"Gua kesal banget," ujar Melisa sembari mengunyah bakso pesanannya.
Saat ini, Ia sudah berada di kantin bersama dengan Dea sahabatnya. Mereka berdua tengah menikmati pesanan mereka masing-masing.
"Kesal kenapa, lo?" tanya Dea pada Melisa.
"Gua kesal sama si gunung es itu," jawab Melisa memanggil Azham dengan sebutan gunung Es.
"Lah, kenapa memangnya?" tanya Dea penasaran.
"Ish, gua di skors sama dia, Dea. Emang lo nggak tahu apa?"
"Hah, di skors? Kok, bisa?"
Dea dan Melisa satu universita, tetapi beda jurusan. Dea mengambil jurusan Tataboga Sedangkan, Melisa mengambil jurusan Sastra.
Melisa menghela nafas kasar. "Gua telat lima menit doang, dan gua udah diskors satu bulan sama dia nggak boleh masuk di kelas dia, nggak masuk akal banget, kan?!"
Dea membulatkan matanya tak percaya. "Buset, sampai segitunya. Benar-benar, dah, tuh, orang. Cuman lima menit di skors satu bulan?!" Melisa mengangguk lemah.
"Maka dari itu, gua kesal banget sama dia." Melisa terus menyuapi mulutnya dengan bakso, meski saat ini ia tengah kesal.
"Kesal, sih, Kesal, Mel. Tapi makannya pelan-pelan napa, sih? Kalau keselek, gimana?" peringat Dea pada Melisa yang berhasil mendapat pelototan Melisa.
"Lo doain gua?" tuduhnya.
"Idih... Sensi banget, sih?"
"Elo, sih. Sembarang aja kalau ngomong. Kalau omongan lo di dengar malaikat, terus gua beneran keselek gimana?"
Dea memutar bola mata jengah. Sahabatnya ini terlalu berlebihan. "Terserah lo lah, Mel. Gua serba salah kalau sama lo. Jangan karena Pak Azham skros elo, gua jadi sasarannya," ucap Dea.
"Au Ah, gua lapar," kata Melisa kembali menikmati baksonya sambil habis tak tersisa.
Melisa gadis yang paling menyukai bakso, es krim dan semua makanan yang enak. Bahkan tidak enak pun, Melisa akan tetap makan. Karena Melisa adalah tukang makan. Itu sebutan Dea untuk Melisa.
"Gua udah selesai. Gua mau cabut pulang dulu," ujar Melisa meneguk es teh pesanannya.
"Idihh... Mentang-mentang udah kenyang, main ninggalin aja lo," protes Dea.
Melisa nyengir kuda memperlihatkan deretan giginya yang putih bersi, dan rapi. Dea hanya mendengus sudah hafal dengan kelakuan sahabatnya yang satu ini.
"Memang mau ke mana, sih, buru-buru amat?"
"Iya, nih. Gua dari tadi ditelfonin ibu disuruh pulang. Nggak tahu juga ini kenapa," jelas Melisa.
Dea mengangguk paham. "Oh gitu ya. Ya udah, deh. Lo hati-hati," peringat Dea.
Melisa mengangguk. "Pasti," balasnya.
Melisa pun beranjak berdiri dan pergi meninggalkan Dea yang masih belum selesai makan. Melisa sebenarnya, belum ingin pulang. Meskipun, hari ini ia hanya ada dua kelas saja. Salah satunya kelas Azham, tapi karena tadi pagi ia terlambat dan Azham meng-skorsnya, maka ia terpaksa tidak bisa mengikuti kelas Azham.
Sedangkan, mata kuliah yang satu. Dosennya tidak masuk karena ada keperluan mendadak, makanya Melisa memilih pulang saja dan membatalkan janji bersama Dea yang akan jalan-jalan ke Mall.
Namun, ibunya juga sudah sejak tadi menelfon dan mengirimi Melisa pesan untuk segera pulang, entah apa yang membuat ibunya sampai segitunya menyuruh Melisa pulang. Padahal dulu, Fitri tidak pernah melakukan hal ini.
***Melisa memarkirkan mobilnya di garasi rumahnya, ia bingung dengan kehadiran mobil yang sepertinya tidak asing baginya terparkir di depan rumah Melisa.
'Ini mobil, mirip punya si manusia Es itu, deh,' batin Melisa.
Melisa cepat menepis perasaannya. Ia kembali berpikir logis, kalau bukan hanya Azham yang memiliki mobil seperti ini, bahkan banyak sekali.
Meski dengan masih rasa penasaran. Melisa masuk ke rumahnya untuk mencari keberadaan Fitri. Namun, belum juga ia masuk sepenuhnya.
Dari ruang tamu, Melisa dapat dengan jelas mendengar suara pria dan wanita sedang berbincang. Sepertinya, Fitri ibu Melisa sedang kedatangan tamu.
Melisa mengucapkan salam dan semua yang berada di ruang tamu menyahutinya dan melirik ke arah Melisa. Mata Melisa membulat saat tatapannya jatuh pada satu objek di sofa ruang tamu sedang duduk dengan wajah datar menatap Melisa.
'Astaga, Pak Azham kenapa harus ada di sini? Apakah dia mengatakan tentang skrosnya tadi pada ibu? Ah, jangan sampai itu terjadi,' teriak Melisa dalam hati.
"Melisa," ujar Fitri mengembalikan kesadaran gadis itu. "Kemari, Nak."
Kesadaran Melisa kembali, ia melirik ibunya yang juga sedang meliriknya. Memberi kode lewat tatapan mata untuk duduk di sampingnya.
'Mati dah, gua. Jadi, ini ibu suruh gua buru-buru pulang? Aduh, Pak Azham memang benar-benar nyebelin.' batin Melisa.
Melisa berjalan dengan pelan duduk di samping Fitri ibunya. Ia mengernyitkan kening saat Melisa Azham datang tidak sendiri. Akan tetapi, bersama dua orang wanita dan lelaki yang kisaran umurnya hampir sama dengan ibu dan ayahnya.
"Mel, ini Pak Damar, Bu Riana dan Nak Azham. Ayo salam sama mereka, Nak." Fitri memperkenalkan satu persatu tamunya. Melisa mengangguk dan mulai menyalami kedua orang paruh baya itu.
Melisa hanya melirik Azham yang juga meliriknya datar. Melisa semakin tidak mengerti ada apa dengan orang-orang ini.
"Wah, Melisa ternyata lebih cantik aslinya di banding fotonya ya?!" ujar Damar. Melisa hanya tersenyum tipis sembari mengangguk.
"Iya, Pak. Lebih cantik aslinya ya," sahut istrinya sambil tersenyum kearah Melisa.
Azham yang mendengar kedua orang tuanya memuji Melisa merasa kesal sendiri. Azham membuang pandangannya ke lain arah. Sedangkan, Melisa menggaruk tengkuknya yang tidak gatal salah tingkah.
"Melisa kerja atau kuliah?" tanya Riana lembut pada Melisa.
"Dia kuliah, Ma. Melisa mahasiswa yang paling nyebelin di kampus." Bukan Melisa yang menjawab, tetapi Azham.
Melisa yang mendengar itu, melototkan matanya ke arah Azham. Bukannya takut, Azham hanya memutar bola mata jengah. Sedangkan, Riana dan Damar menegur Azham. Fitri hanya tersenyum tidak sama sekali tersinggung. Karena Melisa memang kadang menyebalkan.
"Oh, jadi, Melisa ini mahasiswi kamu?" tanya Damar basa basi. "Jadi, kalian udah kenal, dong?"
Melisa mengangguk sembari tersenyum kecut. "Iya, Om," jawab Melisa singkat.
"Berarti kita nggak usah kasih sesi perkenalan dong dengan mereka. Kan mereka sudah saling kenal." Riana menganggukkan kepala mengiyakan ucapan Suaminya. Sedangkan Fitri masih diam tak mengatakan apa-apa.
"Iya, Pa. Mending langsung ke sesi intinya aja, kan nggak baik juga lama-lama. Entar keduluan sama yang lain," sahut Riana memberi usul.
Melisa mengernyitkan kening tidak paham dengan apa yang kedua orang tua Azham bicarakan. Melisa melirik ibunya yang ternyata juga tengah meliriknya dengan tatapan yang sulit Melisa artikan.
"Iya, kamu benar, Ma. Jadi, bagaimana, Fitri? Apa kamu setuju kalau kita langsung nikahkan saja mereka?"
Bagai disambar petir, Melisa melongo mendengar penuturan Damar barusan. Menikah? Melisa baru sadar kalau yang dimaksud ibunya semalam itu, Azham.
"Maksudnya ini apa ya, Bu?" tanya Melisa pada ibunya.
Fitri Melirik Melisa yang menatapnya dengan tatapan meminta penjelasan. Fitri gelisah dan tidak tahu harus bagaimana caranya untuk menjelaskan kepada anak perawannya ini. Fitri gugup membuat Melisa menunggu dengan gusar.
"Fit, kamu belum ngomong sama Melisa y?" tanya Riani.
"Udah, kok," jawab Fitri singkat.
"Bilang apa, Bu?" tanya Melisa menuntut penjelasan ibunya.
"Semalam Ibu sudah menjelaskannya padamu, Mel. Jadi, mungkin sekarang, Ibu tidak perlu kembali menjelaskannya lagi," jelas Fitri.
Melisa menghela nafas kasar. Jadi, benar, Azham adalah pria yang dimaksud ibu dan Ayahnya. Melisa melirik Azham yang juga meliriknya dengan sorot mata tajam. Melisa dibuat bergidik ngeri. Gadis itu sudah membayangkan akan jadi apa dia setelah menikah dengan Gunung Es seperti Azham.
"Bagaimana, Melisa. Kamu setuju, kan kalau langsung saja dinikahkan dengan Azham?" tanya Damar.
Melisa terdiam sebentar, dan melirik sekali lagi pada Fitri ibunya. Sepertinya, Melisa sudah tidak punya pilihan lain selain menerima perjodohan ini, apalagi Fitri sudah mengatakan semalam. Agar Melisa mau untuk menuruti keinginan terakhir ayahnya. Melisa menarik nafas panjang, lalu.
"Saya ikut, Ibu saja," sahut Melisa setelah lama terdiam.
Fitri tersenyum senang mendengar jawaban Melisa. Itu artinya, Melisa akan menurut apa pun yang Fitri inginkan. Termaksud kalau Fitri setuju Melisa menikah dengan Azham dosen menyebalkan yang Melisa sangat benci.
"Jadi, bagaimana, Fitri? Apa kamu setuju, mereka langsung saja dinikahkan?" tanya Damar lagi.
Fitri tersenyum sembari mengangguk, "Saya setuju."
Damar dan Riana ikut tersenyum senang bersama dengan Fitri, tapi tidak dengan Melisa dan Azham. Kedua orang itu merasa tertekan dan gelisah. Mereka akan disatukan dalam satu hubungan sakral, namun tidak saling mencintai. Bukan hubungan yang terpaksa begini yang mereka inginkan. Akan tetapi, mereka sudah tidak tahu harus berbuat apa. Mereka hanya akan menjalaninya saja.
***
“Saya terima nikah dan kawinnya, Melisa Aderani binti Jaka Arwanto dengan mas kawin emas tiga puluh gram dan seperangkat alat shalat dibayar, tunai.”“Bagaimana para saksi, Sah?” .“Sah!”“Alhamdulillah.”Air mata Melisa tidak bisa tertahankan lagi setelah ijab qobul selesai diucapkan Azham. Pernikahan ini bagaikan mimpi buruk bagi Melisa. Bukan pernikahan seperti ini yang ia impikan. Menikah dengan bukan pilihannya jauh dari list hidupnya.Azham, dosen kiler yang paling Melisa benci. Kini, sudah menjadi suaminya. Melisa dengan terpaksa mencium tangan Azham atas paksaan ibunya. Tangan Azham begitu dingin saat Melisa menyentuhnya. Apakah, Azham juga secanggung itu?Berat sekali rasanya Melisa menerima pernikahan hari ini. Dengan pria yang sama sekali tidak dicintainya, meski kata orang. Cinta akan datang dengan sendirinya. Seiring berjalannya waktu. Namun, tetap saja, Melisa merasa ini terlalu cepat dan mendadak untuknya.“Bu, bisa saya izin ke kamar duluan?” ujar Melisa meminta izin
Selama perjalanan menuju rumah Azham, mereka hanya diam tanpa ada yang mau mengalah untuk memecah keheningan. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Azham yang fokus dengan kemudinya. Sedangkan Melisa menatap jauh keluar jendela memperhatikan jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.“Masih jauh lagi nggak ini?” Tiba-tiba Melisa bertanya menghilangkan kesunyian di antara mereka.Azham melirik sebentar, lalu kembali fokus ke depan. “Dikit lagi,” jawabnya singkat.Melisa menghela nafas kasar. “Kenapa nggak menginap saja, sih, di rumah Ibu buat malam ini saja?” tanya Melisa melirik Azham yang masih fokus pada kemudinya.“Saya ada urusan mendadak hari ini, terus pulangnya malam. Nggak bisa jemput kamu,” jelas Azham.“Ya sudah, nggak usah dijemput. Biarin saja saya di rumah Ibu,” usul Melisa.Azham mendengus sebal sembari lirik Melisa melemparkan tatapan tajam. “Itu juga saya mau. Tapi, mama bakalan bikin telinga saya sakit karena diceramahin,” ketus Azham.“Bodo amat,” gu
Sejak tadi, Melisa tidak bisa tertidur. Ia terus mengubah posisi berbaringnya agar bisa terlelap, tapi tetap saja tidak bisa. Entah apa alasan pastinya, tapi mungkin salah satunya karena ada Azham di sampingnya yang tidur dengan pulas.Untuk pertama kalinya, Melisa tertidur di ranjang yang sama dengan lawan jenisnya. Membuat dirinya merasa canggung. Meskipun, Azham tidak meminta yang macam-macam, dan langsung tidur begitu saja di samping Melisa setelah makan malam. Namun tetap saja, Melisa merasa canggung dan gelisah. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya tidur bersama laki-laki. Untuk kesekian kalinya, Melisa mengubah posisi tidurnya yang tadinya tertidur miring sekarang telentang menghadap langit-langit kamar. "Berhenti bergerak, Melisa. Kamu membuatku tidak bisa tidur kalau terus saja bergerak tidak bisa diam," ujar Azham tiba-tiba membuat Melisa terkejut. Ia melirik ke samping melihat Azham yang juga sedang menatapnya. Netra mereka berdua saling beradu satu sama lain. Mem
“Pak?” tanya Melisa kembali. Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.” Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.“Melisa,” panggil Azham.Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham b
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese
Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i