Selama perjalanan menuju rumah Azham, mereka hanya diam tanpa ada yang mau mengalah untuk memecah keheningan. Mereka berdua sibuk dengan pikiran mereka masing-masing. Azham yang fokus dengan kemudinya. Sedangkan Melisa menatap jauh keluar jendela memperhatikan jalanan yang cukup ramai oleh kendaraan.
“Masih jauh lagi nggak ini?” Tiba-tiba Melisa bertanya menghilangkan kesunyian di antara mereka.
Azham melirik sebentar, lalu kembali fokus ke depan. “Dikit lagi,” jawabnya singkat.
Melisa menghela nafas kasar. “Kenapa nggak menginap saja, sih, di rumah Ibu buat malam ini saja?” tanya Melisa melirik Azham yang masih fokus pada kemudinya.
“Saya ada urusan mendadak hari ini, terus pulangnya malam. Nggak bisa jemput kamu,” jelas Azham.
“Ya sudah, nggak usah dijemput. Biarin saja saya di rumah Ibu,” usul Melisa.
Azham mendengus sebal sembari lirik Melisa melemparkan tatapan tajam. “Itu juga saya mau. Tapi, mama bakalan bikin telinga saya sakit karena diceramahin,” ketus Azham.
“Bodo amat,” gumam Melisa pelan, tapi masih bisa didengar oleh Azham.
Azham mendelik. Kesal juga lama-lama harus dekat-dekat dengan Melisa seperti ini. Lalu, akan bagaimana nanti kalau harus setiap saat bersamanya. Azham mungkin akan mati seketika. Pikir Azham.
Lama mereka dalam perjalanan, akhirnya sampai juga di rumah milik Azham. Sederhana, tapi sangat terasa nyaman untuk ukuran Azham. Bukan cuman, Azham, tapi Melisa juga merasakan hal yang sama saat melihat rumah suaminya itu.
“Ayo turun,” ajak Azham. “Kita sudah sampai.”
Melisa mengangguk mengiyakan, lalu keluar dari mobil dan berjalan menuju rumah Azham. Namun, belum juga sampai di depan pintu, Azham memanggilnya membuat gadis itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.
“Kamu mau kemana?” tanya Azham.
“Masuk,” jawab Melisa. “Ini rumah Bapak, kan?”
“Iya, ini rumah saya,” sahut Azham.
“Lalu, kenapa saya dilarang masuk?” tanya Melisa heran.
“Ini koper kamu dibawa!” perintah Azham ketus. “Jangan main masuk aja.”
Melisa menghela nafas kasar. Punya suami modelan Azham membuat Melisa harus super sabar. Melisa mengira, setelah menikah dengannya, Azham akan sedikit merubah sikapnya terhadap dirinya, tapi prediksi Melisa salah. Malah, Azham semakin menjadi.
“Kirain bakalan dibantuin bawa,” kata Melisa sembari berjalan menghampiri Azham yang mengeluarkan koper Melisa dari bagasi.
“Memang kamu siapa?” tanya Azham dengan ketus.
“Istrimu lah,” jawab Melisa enteng. Azham memutar bola matanya, lalu masuk begitu saja ke dalam rumahnya tanpa menghiraukan Melisa.
“Ish, menyebalkan sekali manusia es batu itu.” Melisa kemudian dengan susah payah membawa kopernya masuk ke dalam rumah.
Ia kagum dengan rumah Azham yang terlihat sederhana di luar, tapi mewah di dalam. Pria itu memiliki selera tinggi juga. Pikir Melisa. Azham berdiri di ruang tamu menoleh ke arah Melisa yang baru saja datang dengan koper besar di tangannya membuat gadis itu kesusahan. Namun Azham tidak memedulikannya.
“Kamar kita di sana,” tunjuk Azham pada sebuah pintu berwarna putih. “Silahkan kalau mau istirahat.”
Kening Melisa mengerut, ia tidak bergeming membuat Azham heran. “Ada apa? Masih kurang jelas?”
“Kita akan sekamar?” tanya Melisa gugup.
Azham memutar bola mata jengah. “Lalu, menurutmu kita akan tidur di kamar terpisah?” Melisa mengangguk. Membuat Azham menghela nafas kasar.
“Ini bukan novel yang sering kau baca, Melisa. Yang di mana mereka akan memilih tidur di kamar berbeda. Ini kehidupan nyata. Jadi, sadarlah,” ledek Azham.
“Berhenti berpikiran yang aneh-aneh. Kita suami istri, jadi nggak akan ada yang melarang kita tidur sekamar,” lanjut Azham.
Melisa menghela nafas kasar. Melisa kira, Azham akan menolak untuk tidur sekamar, ternyata prediksinya pun kali ini salah. Sekarang Melisa harus melatih dirinya untuk terbiasa tidur dengan orang asing yang berstatus suaminya.
“Kenapa lagi?” tanya Azham saat melihat Melisa masih diam berdiri di sampingnya.
“Berat, Pak. Boleh minta tolong di angk—“ Belum selesai kalimat Melisa, Azham sudah lebih dulu membantunya membawa kopernya masuk ke dalam kamar. Meski dalam hati Azham kesal.
“Nih, sudah, kan. Baru beberapa menit di sini sudah bikin repot,” gerutu Azham yang dibalas dengan Melisa mencebik.
“Baru juga dimintai tolong. Udah marah-marah nggak jelas,” gumam Melisa pelan.
Azham mengabaikan Melisa. Ia menatap jam tangannya, ternyata ia harus segera pergi. Selain menjadi dosen, Azham juga memiliki perusahaan sendiri yang ia bangun dengan jerih payahnya sendiri. Menjadi dosen bukalah keinginannya, tapi karena atas dasar paksaan papanya.
Maka dari itu, tanpa sepengetahuan Damar, Azham membangun bisnisnya sendiri. Dan sekarang sudah berjalan dengan sukses. Namun, pada akhirnya, Damar mengetahuinya juga, tap tidak lagi mempersulit Azham. Asalkan, Azham tetap mau menjadi dosen. Jadilah, Azham memilih mengelola bisnisnya dibantu Deon sahabatnya.
“Saya harus pergi,” ujar Azham pada Melisa.
Melisa mengangguk tanpa menoleh pada Azham, ia sibuk dengan kopernya. Melisa menyusun baju-bajunya ke dalam lemari milik Azham. Pria itu mendesah panjang.
“Kamu jangan membiarkan orang asing masuk ke dalam rumah,” peringat Azham. Melisa mengangguk. “Jangan lupa matikan kompor saat masak dan jan—“
“Astaga, Pak. Saya belum pikun harus didikte begitu. Tenang saja, saya akan menjaga rumah Bapak dengan baik dan akan menjaminnya tetap aman,” ujar Melisa memotong ucapan Azham.
Pria itu mendelik sebal. “Hhmm... Baik kalau begitu saya pergi dulu,” pamit Azham. Tanpa menunggu balasannya Melisa, pria itu pergi begitu saja meninggalkan gadis itu di dalam kamarnya.
“Ish, ternyata Pak Azham cerewet juga jadi orang ya. Aku baru tahu sekarang,” gerutunya kembali menyusun baju-bajunya masuk ke dalam lemari.
***
Setelah Melisa selesai memasukkan baju-bajunya di dalam lemari, Azham. Dan juga merapikan barang-barangnya yang lain, Melisa beristirahat sebentar. Tidur siang dan bangun jam empat sore. Melisa berniat untuk memasak makanan untuk menu makan malamnya sebentar bersama Azham.
Berhubung, Azham tidak memiliki pembantu. Jadi, Melisa harus melakukan semuanya sendiri. Melisa tidak masalah dengan itu. Karena di rumah ibunya, Melisa juga sudah terbiasa melakukan semua sendiri, meski ada Mbok Ina yang bisa dimintai tolong untuk membantunya.
Namun, Melisa lebih senang melakukannya sendiri. Saat ini, Melisa sudah ada di dalam dapur. Memilah bahan-bahan masakan yang ada di dalam kulkas milik Azham, dan ternyata hanya ada sayuran seadanya dan ayam.
Melisa mengeluarkannya dari kulkas, dan mulai berpikir akan masak apa ia dengan bahan seadanya. Sepertinya, ayam goreng tumis kecap dan sayur sop-lah yang akan menjadi menu makan malamnya. Selain gampang, bahannya juga hanya ada itu. Maka dari itu, pilihannya jatuh pada menu tadi.
Melisa mulai mencuci ayam dan sayurannya, dan menggoreng ayamnya terlebih dahulu sembari memotong-motong sayuran yang sudah di cuci. Melisa mengerjakannya dengan sangat telaten. Hingga tidak hampir satu jam, Melisa sudah menyelesaikan semuanya. Masakannya sudah matang. Tinggal dipindahkan di wadah untuk menyajikannya di atas meja makan.
“Akhirnya selesai juga,” seru Melisa bernafas lega saat semua masakannya sudah disajikan di atas meja makan.
“Sudah hampir magrib,” ujarnya menatap jam dinding yang menunjukkan waktu magrib akan tiba.
“Gua mandi dulu aja, deh. Pak Azham juga belum datang,” dialognya.
Kemudian, ia pun meninggalkan meja makan berjalan menuju kamarnya untuk segera bersih-bersih dan mandi. Selesai mandi, Melisa berniat untuk salat magrib dulu, baru akan makan malam. Kayaknya, gadis itu tidak akan menunggu kepulangan Azham. Ia terlalu lapar kalau harus menunggu Azham.
Selesai mandi, Melisa segera memakai pakaian, dan bergegas mengambil whudu saat Azdan di magrib selesai dikumandangkan. Melisa melaksanakan salat magrib dengan begitu khusyuk. Azham yang baru saja pulang dari kantornya, berhenti di depan pintu saat melihat Melisa melaksanakan salat lima waktu.
Azham tidak pernah menyangka, gadis seperti Melisa taat dalam melaksanakan perintah Tuhannya. Ada setitik di hati Azham merasa di cubit melihat Melisa, entah kapan terakhir kali Azham melaksanakan salat lima waktu.
Selama ini, Azham sudah melupakan kewajibannya sebagai seorang muslim. Azham terlalu terpaku pada urusan duniawi hingga melupakan urusan akhirat. Azham kembali menutup pintu kamar meninggalkan Melisa.
Di dalam kamar, Melisa baru saja selesai melaksanakan salat magrib. Ia melepas dan melipat mukena yang tadi dipakainya untuk salat dan menyimpannya ke tempat semula. Gadis itu, lalu berjalan keluar kamar.
Saat ia baru saja ingin masuk ke dapur, ia terkejut melihat Azham yang duduk bersandar pada sofa dengan keadaan melamun. Melisa menghampirinya, dan mengernyitkan keningnya bingung. Melisa melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Azham, tapi pria itu terlalu fokus dengan pikirannya yang melayang sekarang.
“Pak,” panggil Melisa pelan sembari menoel lengan Azham.
Sekali lagi, Melisa mencoba memanggil Azham dan tetap sama. Azham tetap tidak bergeming. Hingga Melisa kesal dan juga takut Azham kenapa-napa, Melisa berteriak memanggil nama Azham sehingga membuat pria itu memekik kaget.
“Astaga, Melisa!” teriak Azham kesal sembari melayangkan tatapan tajam pada gadis itu. “Kamu kenapa, sih, teriak-teriak?”
Melisa menyentuh dadanya, jantungnya berdebar kencang akibat ikut terkejut karena Azham. Melisa mendengus sebal melihat Azham seperti itu. Sedangkan Azham berdiri di depan Melisa masih menatapnya dengan kesal.
“Gimana nggak teriak. Di panggil-panggilin dari tadi, nggak nyahut-nyahut. Ya, terpaksa saya teriak. Kirain bapak kenapa-napa lagi,” jelas Melisa mencoba mencari pembelaan.
Azham mendengus kesal. “Nggak harus teriak juga!” ketus Azham.
“Ya maaf, Pak,” sesal Melisa. “Kan, niat saya baik.”
Azham menghela nafas kasar. Melisa kemudian berjalan meninggalkan Azham. Ia kesal karena Azham terus saja berkata ketus dan membentaknya. Azham mengernyitkan keningnya bingung.
“Hei, kamu mau kemana?” seru Azham.
“Makan,” jawab Melisa singkat tanpa menoleh kearah Azham. "Saya lapar!"
“Saya juga lapar kali,” ujar Azham sambil menghampiri Melisa ikut masuk ke ruang makan. Melisa tidak peduli dengan Azham yang menggerutu berjalan di sampingnya.
***
Sejak tadi, Melisa tidak bisa tertidur. Ia terus mengubah posisi berbaringnya agar bisa terlelap, tapi tetap saja tidak bisa. Entah apa alasan pastinya, tapi mungkin salah satunya karena ada Azham di sampingnya yang tidur dengan pulas.Untuk pertama kalinya, Melisa tertidur di ranjang yang sama dengan lawan jenisnya. Membuat dirinya merasa canggung. Meskipun, Azham tidak meminta yang macam-macam, dan langsung tidur begitu saja di samping Melisa setelah makan malam. Namun tetap saja, Melisa merasa canggung dan gelisah. Karena untuk pertama kalinya dalam hidupnya tidur bersama laki-laki. Untuk kesekian kalinya, Melisa mengubah posisi tidurnya yang tadinya tertidur miring sekarang telentang menghadap langit-langit kamar. "Berhenti bergerak, Melisa. Kamu membuatku tidak bisa tidur kalau terus saja bergerak tidak bisa diam," ujar Azham tiba-tiba membuat Melisa terkejut. Ia melirik ke samping melihat Azham yang juga sedang menatapnya. Netra mereka berdua saling beradu satu sama lain. Mem
“Pak?” tanya Melisa kembali. Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.” Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.“Melisa,” panggil Azham.Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham b
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese
Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Selama perjalanan, Azham dan Melisa sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Azham dengan kemudinya dan segala hal yang terjadi di kantor tadi memenuhi isi kepalanya. Sementara, Melisa menatap keluar jendela dengan pikirannya yang kesal dengan Azham. Mereka hanya dengan pemikiran mereka. “Ini ... Kita mau ke mana?” tanya Melisa saat tahu jalan yang ditempuh Azham bukan jalan ke rumah mereka. “Ck, tadi pagi saya sudah bilang, bukan!? Kita akan ke rumah Mama. Mama meminta kita ke sana,” jelas Azham tanpa menoleh ke arah Melisa. Melisa hanya mangut-mangut seolah mengerti. Azham yang melihatnya mendengus sebal. “Kenapa memangnya?” “Ke rumah Mama, untuk apa?” “Kau bisa tanyakan itu nanti, pada mertuamu. Setelah sampia,” ucap Azham ketus. Melisa mendecak. Lalu mereka kembali terdiam. Azham kembali memikirkan perihal Zera yang sekarang sudah berani mengungkap perihal perasannya secara terang-terangan. Azham tidak menyangka Zera akan melakukan itu. Juga, Azham tidak tahu
“Pak Azham?” tanya Riana dengan kening mengerut sementara Melisa menjawabnya dengan anggukan. “Why? Kenapa kamu masih memanggilnya, Pak Azham? Kalian, ‘kan sudah suami istri!?” Melisa menjadi kikuk untuk menjawab pertanyaan Riana. Melisa tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia juga tidak tahu harus memanggil Azham dengan sebutan apa? Sedangkan kebiasaan Melisa hanya memanggil Pak saja. “Melisa,” ujar Riana seraya menyentuh tangan Melisa lembut. “Azham suamimu saat di rumah. Kalau di kampus mungkin sah, sah saja kau memanggilnya dengan sebutan begitu. Tetapi, apa kamu tidak akan mengganti panggilanmu dengannya saat berdua saja di rumah? Seperti Ma-s mungkin. Atau sayang,” usul Riana membuat Melisa mendengus dalam hati. Usulan pertama mungkin masih bisa diterima Melisa. Usulan kedua. Melisa ingin muntah. Tidak mungkin Melisa akan memanggilnya dengan sebutan itu. Terlalu canggung dan aneh menurut Melisa. “Hehe... Iya, Ma. Masalahnya, Melisa kebiasaan di kampus. Jadi, terbawa-bawa s
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i