“Pak?” tanya Melisa kembali.
Tak lama, Azha pun menggeleng, lalu menyahut singkat, “Tidak.”
Gadis itu seketika bernafas lega karenanya. Padahal, sedari tadi jantung Melisa sudah berdegup kencang karena takut.
“Ouh.. kirain,” kata Melisa lega. “Kalau begitu, Bapak tidur lagi saja. Saya mau salat dulu,” kata Melisa pada Azham sembari bergerak turun melanjutkan niatnya salat lima subuh.
“Melisa,” panggil Azham.
Baru juga Melisa turun, Azham sudah memanggilnya menghentikan gerak Melisa. Melisa menatap kaget pada Azham yang memanggilnya tiba-tiba.
“Ada apa, Pak?” tanya Melisa bingung.
Azham bangkut dari berbaringnya dan memilih posisi duduk di atas ranjang menghadap Melisa yang menatapnya dengan alis terangkat sebelah menunggu apa yang akan dikatakan Azham padanya.
Azham merasa malu dan gugup untuk mengatakan pada Melisa kalau ia ingin ikut Salat dengan gadis itu, apalagi mengatakan kalau dirinya ingin menjadi imam Melisa.
“Kenapa diam, Pak?” tanya Melisa lagi saat lama menunggu Azham bicara, tapi pria itu hanya diam saja. “Kalau ada yang ingin dibicarakan, nanti saja. Soalnya, sudah hampir lewat waktu, Pak.”
Melisa kembali melanjutkan langkahnya, tapi kembali dicegah Azham. Kali ini, tangan Melisa digenggam oleh Azham membuat jantung Melisa berdegup kencang sekali sudah seperti genderang yang ditabuh. Bahkan, Melisa dapat mendengar suara degup jantungnya sendiri. Mata Melisa dan Azham saling bertabrakan. Untuk beberapa detik, mereka saling bertatapan.
“Bisa saya ikut salat denganmu?” tanya Azham mengembalikan kesadaran Melisa.
Seketika, Melisa memalingkan wajahnya memutus kontak mata dengan Azham dan menarik tangannya dengan sedikit kasar, sehingga Azham juga ikut tersadar kalau sejak tadi ia telah menggenggam tangan Melisa. Tiba-tiba, kecanggungan dan kegugupan menghinggapi mereka berdua. Atmosfer di sekeliling berubah sekejap.
“He’em.. bagaimana, boleh?” tanya Azham beberapa kali berdehem untuk menormalkan raut wajahnya yang terlihat sangat canggung.
Melisa yang sangat malu, hanya bisa menganggukkan kepalanya mengiyakan ajakan salat berjamaah Azham. Setelah mengangguk, Melisa berjalan cepat keluar kamar setelah mengatakan akan siap-siap lebih dulu.
Azham menyentuh dadanya saat Melisa sudah pergi keluar kamar. Jantungnya berdebar kencang saat melihat wajah menggemaskan milik Melisa. Rona merah di wajah Melisa saat malu-malu membuatnya semakin cantik, Azham tidak memungkiri itu.
“Astaga, ada apa denganku ini. Otakku mungkin sudah tidak waras,” gumamnya sembari mengusap wajahnya.
Azham pun bergerak turun untuk menuju kamar mandi bersiap mengambil air wudhu untuk segera salat berjamaah dengan istrinya.
***
“Assalamualaikum warhamatullah.”
“Assalamualaikum warhamatullah,” ujar Azham memalingkan wajahnya ke kanan dan ke kiri mengakhiri salat subuh pertama bersama istrinya.
Melisa mengikuti gerakan Azham. Setelah itu, ia mengulurkan tangannya ke depan lewat samping tubuh Azham. Azham melirik ke samping menatap tangan Melisa dan wajah Melis bergantian.
“Mau apa, minta uang?” tanya Azham bingung.
Melisa berdecak sebal, ia menarik tangan Azham paksa dan mencium. Azham terbengong melihat tingkah Melisa. Ada rasa hangat menjalari tubuhnya. Jantung Azham berdebar kencang mendapat perlakuan tiba-tiba Melisa.
Sedangkan Melisa terlihat biasa-biasa saja, bahkan dengan santai dia melipat kembali mukena miliknya dan meletakkan kembali pada tempatnya. Azham menghela nafas kasar sembari menggeleng.
Melisa kemudian berjalan keluar kamar, tapi belum juga ia sampai pada pintu. Azham sudah bertanya membuat dirinya berhenti melangkah.
“Mau kemana?” tanya Azham sembari melirik Melisa yang berdiri di depan pintu.
“Ke dapur,” jawab Melisa singkat.
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Azham membuat Melisa mendengus sebal.
Kirain kenapa, ternyata cuman itu doang. Dasar manusia Es batu menyebalkan, gerutu Melisa dalam hati.
Azham tidak memedulikan Melisa yang terlihat cemberut, ia memilih untuk melipat sajadah yang ia gunakan untuk salat dan bergegas kembali tidur. Sedangkan Melisa sudah berjalan masuk ke dapur dengan menghentak-hentakkan kakinya karena kesal.
“Manusia seperti Pak Azham memang sangat menyebalkan,” gumam Melisa kesal.
Melisa berdiri di depan meja makan, menghela nafas kasar agar rasa kesalnya berkurang. Hari ini, hari pertama Melisa menginap di rumah Azham, hari pertama menjadi istri Azham dan bangun subuh untuk salat berdua dengan Azham, dan sekarang memasak untuk Azham dan dirinya.
Hal berbeda di pagi ini, dan rasa yang juga berbeda pastinya dirasakan Melisa. Dan hal pertama pula yang ia lakukan dalam hidupnya adalah mencium tangan Azham sebagai suaminya. Membuat jantung Melisa berdebar kencang. Bahkan, wajahnya terasa memanas karena merasa malu atas tindakan bar-barnya tadi.
“Apa aku sudah bertindak bodoh?” tanyanya pada diri sendiri. “Ah, biarlah. Toh, dia suamiku.”
Melisa mengusap wajahnya kasar, ada rasa malu juga melakukan itu. Apalagi, dia sampai menarik tangan Azham. Ia terlihat seperti wanita agresif. Karena tidak ingin terus merasa malu membayangkan itu, Melisa kemudian beralih berdiri di depan kulkas untuk melihat bahan-bahan dapur yang bisa ia eksekusi menjadi menu sarapan mereka berdua.
Ternyata hanya ada beberapa butir telur dan sosis ayam saja yang tersisa di kulkas Azham. Melisa menepuk jidatnya, ia baru ingat kalau kulkas Azham memang sudah tidak banyak bahan-bahan makanan, dan dia lupa memberitahu Azham semalam.
“Astaga, kenapa aku jadi pelupa begini, sih?” ujarnya kesal pada diri sendiri. “Ini mau masak apa dengan bahan yang hanya ada ini?” tanya Melisa pada dirinya sendiri.
Lama Melisa berpikir akan masak untuk sarapannya bersama suaminya, Melisa kemudian memutuskan membuat nasi goreng sosis saja dan telur ceplok. Ia pun melakukannya dengan telaten, mengeluarkan bahan-bahan yang akan dimasaknya.
***
Melisa baru saja selesai membuat nasi goreng sosis dan telur ceplok. Ia memindahkannya dari wajan ke wadah dan menyajikannya di atas meja makan. Setelah semua selesai ia sajikan, ia pun menghela nafas lega sembari tersenyum bangga.
“Akhirnya selesai juga,” ujarnya lega. “Kayanya, aku akan mandi dulu baru mengajak Pak Azham buat sarapan.”
Melisa kemudian berjalan masuk ke kamar tidurnya untuk mandi dan bersiap ke kampus. Berhubung karna kamar utama di rumah Azham sudah ada kamar mandinya. Jadi, Melisa tidak lagi perlu jauh-jauh mandi di kamar mandi dekat dapur.
“Astaga, Pak Azham masih tidur ternyata.” Melisa kaget melihat Azham yang tertidur setelah salat subuh. “Dasar dosen kiler, malas, kebo lagi.”
“Aku mendengarnya, Melisa,” ujar Azham tiba-tiba.
Melisa baru saja berjalan hendak masuk ke kamar mandi menghentikan langkahnya karna Azham tiba-tiba berbicara. Ia menoleh ke arah ranjang melihat Azham sudah menatapnya tajam dengan posisi duduk.
“Dengar apa, Pak?” tanya Melisa pura-pura tak tahu.
Azham mendengus kesal. “Benar kamu nggak ingat? Atau mau saya ingatkan lagi?”
Melisa nyengir kuda sembari menggaruk tengkuknya yang tidak terasa gatal sama sekali. “Maaf nggak sengaja, Pak.” Setelah mengatakan itu, Melisa berlari masuk ke kamar mandi membuat Azham menghembuskan nafas kasar.
Azham geleng-geleng kepala melihat tingkah istrinya yang menyebalkan. Dasar Melisa menyebalkan. Nggak di kampus nggak di rumah memang menyebalkan. Azham membatin.
Azham memutar bola mata jengah saat melihat layar ponselnya yang bergetar menampilkan nama Wanita cerewet. Yang berarti itu adalah ibunya.
“Ck, angkat telfon saja harus pakai lama.” Azham menjauhkan ponselnya dari telinganya karna sakit akibat teriakan dari mamanya dari seberang sana.
“Astaga, Ma. Bisa tidak, sih. Kalau baru nelfon nggak usah teriak-teriak?” protes Azham.
“Ck, siapa suruh lama angkatnya.” Azham memutar bola mata jengah.
“Ya sudah, sih, Ma. Sekarang, ngomong langsung saja. Ada apa nelfon?” Terdengar suara dengusan dari seberang sana.
“Idih, ini anak. Kamu memang menyebalkan, Zham. Orang tua nelfon, bukannya nanyain kabar atau apa. Ini malah jutek banget sama Mamanya sendiri.” Azham mencebikkan mulutnya mendengar cerocosan mamanya.
“Astaga, Ma.” Azham menghela nafas kasar. Masih pagi, tapi mama Azham sudah membuatnya kesal. “Apa kabar, Ma?” tanya Azham kemudian.
“Ish, terlambat.”
Azham mengusap wajahnya kasar. Azham serba salah kalau sudah berurusan dengan mamanya. Maka dari itu, Azham kadang malas untuk mengangkat telfon dari wanita paruh baya yang sudah melahirkannya itu.
“Kalau nggak dikasih tau, pasti nggak bakalan nanyain. Dasar anak nyebelin,” cibir Raina pada Azham.
“Astaga, ayolah, Ma. Ini masih pagi, bisa nggak, sih. Mama nggak bikin kepala Azham pusing?”
“Oh, jadi kalau Mama nelfon kamu. Kepala kamu pusing? Astaga, kamu jadi anak benar-benar ya. Menyebalkan sekali. Nggak takut durhaka kamu?”
“Serah mama lah,” kata Azham pasrah.
“Ish, dasar. Ohiyaa, Mama hampir lupa. Ini semua karna kamu,” kata Raina di seberang sana menyalahkan Azham membuat Azham menghembuskan nafas kasar.
“Jadi….”
“Jadi, apa Ma?” potong Azham.“Ish, Mama sama Papa mau kamu datang ke rumah. Jangan lupa ajak Melisa. Entar malam,” kata Raina memberitahu.Azham menghela nafas kasar. “Tapi Ma. Az—““Nggak ada alasan, Zham. Mama tunggu nanti malam ya. Ya sudah Mama tutup dulu,” kata Raina mematikan sambungan telfon sepihak.Azham yang baru saja membuka mulutnya ingin menyela, tapi belum selesai Mamanya sudah mematikan sambungan telfonnya. Azham mengusap wajahnya kasar sembari melempar ponselnya ke atas ranjang.“Mama memang menyebalkan.”***Melisa baru saja selesai mandi, ia membuka pintu kamar mandi hendak keluar dan berhias tipis di meja rias yang ada di dalam kamarnya. Melisa melirik ke arah Azham yang duduk di tepi ranjang sembari menutup wajahnya dengan kedua tangannya.Melisa mengernyitkan kening heran. “Ada apa, Pak?” tanya Melisa. “Bapak sakit kepala?” Azham yang tidak menyadari kehadiran Melisa sontak terkejut.“Kamu mengagetkan saja, Melisa.,” protes Azham sebal. Melisa hanya nyengir kuda
“Lupakan saja! Sepertinya, saya sudah telat.” Kegugupan jelas tercetak di raut wajah Azham.Azham menggaruk ceruk lehernya yang bisa dipastikan tidak gatal sama sekali. Wajahnya memanas menahan malu.Melisa menatap Azham dengan mata yang mengerjap lucu. Jujur saja, Azham sangat gemas dengan tatapan itu. Namun karena sangat malu, ia pun pergi begitu saja.Melisa masih terdiam, belum bisa mengontrol kondisi saat ini. Benarkah, Azham mengatakan itu barusan? Ah, entahlah, Melisa tidak ingin memikirkan itu.Melisa bangkit dan membereskan meja makan, serta mengutip piring bekas makannya dan Azham.Melisa baru saja ingin mengunci pintu untuk berangkat ke kampus, tetapi geraknya terhenti kala dering di ponselnya.Melisa lantas merogoh tas dan memeriksa siapa yang sedang menghubunginya. Nama ibunya yang tertera di layar ponselnya. Melisa mendesah, tapi tetap mengangkatnya.“Ada apa, Bu?” tanya Melisa saat sambungan telepon tersambung.“Ck, sekalinya sudah menikah. Ibunya dilupakan,” ujar Fitri
“Jadi, bagaimana Pak. Anda setuju dengan kontrak kerja sama kita?” tanya Azham pada kliennya. “Tidak ada alasan untuk menolak, Pak Azham,” ujar pria paruh baya yang menjadi patner kerja sama Azham kali ini. Pria itu tersenyum, tapi seperti biasa Azham hanya akan membalasnya dengan anggukan pelan tanpa adanya senyum ramah di sudut bibirnya. Memang apa yang akan kalian harapkan dengan seorang Azham si gunung salju itu? Senyum ramah? Atau sapaan yang ramah serta kata yang hangat? Ah, sudahlah! Jangan terlalu berharap. Zera sebagai sekretaris yang mendampingi Azham meeting hanya menghela nafas kasar. “Baik kalau begitu. Itu artinya kita deal Tuan Deon?” tanya Azham. Pria paruh baya yang bernama Deon itu mengangguk seraya mengulas senyum manis sekali lagi. “Deal, Pak Azham.” Pria paruh baya itu berdiri dan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan tanda mereka sudah sepakat. Spontan Azham ikut berdiri dan menyambut jabat tangan dari kliennya. Deon sepertinya senang sekali mendapat kese
Zera masih diam dan manik matanya sudah dipenuhi bulir bening yang sekali saja Zera berkedip. Bulir bening itu akan jatuh membasahi pipinya.“Dengarkan aku, Zer. Kamu harus tahu ini. Kenapa aku memilih menjadikanmu sebagai sahabatku selamanya. Karena, aku tidak mau menjadikan hubungan yang sudah lama kita jalani hancur hanya karena cinta yang mungkin tidak akan pernah abadi,” lanjut Azham. “Tidak ada yang tahu, Zer. Perasaan cinta kita akan abadi sampai kapan? Jadi, tolong terima keputusanku ini. Tetaplah menjadi Zera sahabatku yang aku sayangi dan jangan berubah hanya soal cintamu yang tak terbalas. Sebab, hubungan persahabatan lebih murni dibanding kau harus memaksa cinta tumbuh di hati yang memang bukan untukmu,” sambung Azham panjang lebar.“Aku akan tetap berada di sampingmu kapan dan di mana kau mau. Bahkan, dalam keadaan apa pun. Aku janji,” tambah Zera. Zera mengangguk mengiyakan. Meski sakit tapi Zera tidak dapat berbuat apa-apa. Ini keputusan Azham, dan dia tidak bisa mema
Selama perjalanan, Azham dan Melisa sama-sama terdiam dengan pikiran mereka masing-masing. Azham dengan kemudinya dan segala hal yang terjadi di kantor tadi memenuhi isi kepalanya. Sementara, Melisa menatap keluar jendela dengan pikirannya yang kesal dengan Azham. Mereka hanya dengan pemikiran mereka. “Ini ... Kita mau ke mana?” tanya Melisa saat tahu jalan yang ditempuh Azham bukan jalan ke rumah mereka. “Ck, tadi pagi saya sudah bilang, bukan!? Kita akan ke rumah Mama. Mama meminta kita ke sana,” jelas Azham tanpa menoleh ke arah Melisa. Melisa hanya mangut-mangut seolah mengerti. Azham yang melihatnya mendengus sebal. “Kenapa memangnya?” “Ke rumah Mama, untuk apa?” “Kau bisa tanyakan itu nanti, pada mertuamu. Setelah sampia,” ucap Azham ketus. Melisa mendecak. Lalu mereka kembali terdiam. Azham kembali memikirkan perihal Zera yang sekarang sudah berani mengungkap perihal perasannya secara terang-terangan. Azham tidak menyangka Zera akan melakukan itu. Juga, Azham tidak tahu
“Pak Azham?” tanya Riana dengan kening mengerut sementara Melisa menjawabnya dengan anggukan. “Why? Kenapa kamu masih memanggilnya, Pak Azham? Kalian, ‘kan sudah suami istri!?” Melisa menjadi kikuk untuk menjawab pertanyaan Riana. Melisa tidak tahu harus menjawab apa. Karena ia juga tidak tahu harus memanggil Azham dengan sebutan apa? Sedangkan kebiasaan Melisa hanya memanggil Pak saja. “Melisa,” ujar Riana seraya menyentuh tangan Melisa lembut. “Azham suamimu saat di rumah. Kalau di kampus mungkin sah, sah saja kau memanggilnya dengan sebutan begitu. Tetapi, apa kamu tidak akan mengganti panggilanmu dengannya saat berdua saja di rumah? Seperti Ma-s mungkin. Atau sayang,” usul Riana membuat Melisa mendengus dalam hati. Usulan pertama mungkin masih bisa diterima Melisa. Usulan kedua. Melisa ingin muntah. Tidak mungkin Melisa akan memanggilnya dengan sebutan itu. Terlalu canggung dan aneh menurut Melisa. “Hehe... Iya, Ma. Masalahnya, Melisa kebiasaan di kampus. Jadi, terbawa-bawa s
Melisa dan Riana sudah berada di dalam kamar tidur Riana—mertuanya itu. Riana mempersilahkan Melisa masuk dan duduk di sofa yang ada di dalam kamarnya. Selagi ia mencari baju-baju lamanya untuk Melisa. “Kamu sukanya pakai dress atau—““Terserah yang ada saja, Ma. Yang cocok sama aku,” kata Melisa memotong ucapan mertuanya. Riana menoleh seraya tersenyum. “Baiklah, tunggu sebentar. Mama carikan dulu, ya. Semoga saja ada yang cocok denganmu,” ujarnya sembari mencari-cari baju yang akan dikenakan Melisa yang ada di dalam lemari pakaiannya. Sementara di ruang tengah, Azham dan Rama masih duduk di sana dengan Damar yang masih fokus dengan pertandingan bola favoritnya. Dan Azham yang hanya duduk bersandar seraya memperhatikan tanpa minat. Mood Azham sudah jelek akibat mamanya yang datang membuat rusuh. Azham tidak pernah menyangka mamanya akan seagresif itu setelah memilik menantu. Tahu begitu, Azham tidak akan cepat-cepat menikah dan mungkin ia akan menolak mentah-menatah perjodohan i
Azham dan Melisa kini sudah berada di dalam kamar Azham yang ada di rumah Riana dan Rama. Mereka semua sudah makan malam juga berbincang-bincang ringan di ruang keluarga setelah makan malam. Kini saatnya mereka beristirahat dan tidur untuk mengumpulkan tenaga mereka untuk pagi nanti. Melisa yang ada di dalam kamar mandi ingin mengganti dressnya dengan baju tidur yang diberikan mama mertuanya. Melisa kira, baju tidur yang diberikan Riana padanya adalah piama atau apalah. Ternyata, yang diberikan Riana kepadanya adalah Lingeri yang berbahan tipis dan sangat minim. Melisa sampai terbengong-bengong menatap linger itu yang masih belum ia kenakan. Melisa mendecak merasa kalau mama mertuanya itu sedang mengerjainya. Melisa tidak mungkin memakainya. Sementara ia akan tidur bersama Azham. Apa yang akan dikatakan Azham padanya saat tahu Melisa memakai baju seperti itu. “Astaga, baju macam apa ini? Pasti ini Mama sengaja,” ujar Melisa seraya meletakkan lingeri itu di atas wastafel seraya me
Tidak sedikit orang yang sedang merasakan risau di hatinya lari ke pantai, pasti pantai adalah opsi pelarian paling tepat menurut mereka. Di sana mereka bisa menikmati deru ombak yang sesekali akan menabrakkan diri ke kaki, dan hal itu sangat menyenangkan. Bermain dengan ombak membuat gelisah sedikit berkurang. Begitulah yang saat ini terjadi pada Melisa, dia terlihat begitu nyaman berada di tempat ini. Azham tersenyum melihat keceriaan kembali terpancar di wajah sang istri. Setelah sempat murung beberapa hari, dan terlihat terus ketakutan serta cemas berlebihan atas apa yang menimpanya beberapa hari yang lalu. “Pak!!” seru Melisa membuat Azham tersentak dari lamunan. “Ayo, sini. Ini sangat menyenangkan,” ajak Melisa. Azham tersenyum lalu mengangguk sembari berjalan ke arah Melisa yang tengah memperhatikannya. “Kau menyukainya?” tanya Azham saat sudah berada di dekat Melisa. Dia membiarkan kaki dan celananya basah. “Hmm ...,” jawab Melisa dengan mengangguk sembari kembali menatap
POV Author “Kenapa bisa begini, Rian?” tanya Azham sambil matanya tidak lepas dari seorang gadis dengan menggunakan pakaian serba putih.Gadis itu duduk di sebuah brankar rumah sakit. Tangannya diikat di masing-masing sudut ranjang tersebut. Dia terus saja meronta ingin melepaskan ikatan di tangannya, berteriak tidak jelas. “Entahlah, Zham.” Rian mendesah seraya memalingkan wajahnya ke arah lain. Tidak sanggup dengan pemandangan di depannya. “Zera sepertinya depresi atas kepergian Leon.” Azham berbalik menghadap Rian mengalihkan pandangannya dari Zera. Ya, gadis yang ada di dalam ruangan yang cukup sempit itu, adalah Zera—sahabat Azham—juga Rian. Kedua pria itu sedih melihat kondisi Zera yang begitu menyedihkan. Memang kehilangan adalah salah satu penyebab luka yang paling dalam. Saking dalam luka yang dialami Zera, gadis itu sampai kehilangan akal sehatnya. Hingga terpaksa dirinya berada di tempat ini, yaitu rumah sakit jiwa. Rian dan kerabat dekat Zera memutuskan untuk memasukk
POV Melisa “Saya sudah siap, kota ketemu di sana saja.” Samar-samar dapat aku dengar suara Pak Azham dari dalam kamar. Dia sedang berbicara dengan seseorang di telfon. “...”“Tidak, saya berangkat sendiri.” Kulihat dari sela pintu yang sedikit terbuka, Pak Azham berjalan ke arah meja rias. Membetulkan dasinya dengan satu tangan, satunya lagi dipakai memegang ponsel yang menempel di telinganya. “Melisa masih masa pemulihan. Lukanya memang sudah mengering, dan bahkan sudah hampir sembuh. Hanya saja ....” Pak Azham terdiam sejenak dengan gerakan tangannya, pun ikut berhenti. Tatapannya lurus pada cermin di depannya. Aku tidak tahu, apa yang sedang dipikirkan olehnya. Yang aku tahu, dia membuang napas kasar. “Traumanya pasti belum sembuh. Apa yang dilakukan Zera kepadanya, dan apa yang dia saksikan hari itu ... pasti akan sangat membekas di ingatannya.” Pak Azham menarik napas dalam. Kepalanya tertunduk sebentar, lalu kemudian mendongak menatap wajahnya di cermin. “Saya masih ragu mem
POV Melisa Aku, Mama, Ibu dan Pak Azham berjalan bersama-sama menuju parkiran rumah sakit. Setelah hampir seminggu aku dirawat di rumah sakit ini, akhirnya bisa terbebas juga. Aroma obat khas rumah sakit yang selalu mampu menghilangkan nafsu makanku. Kini tak akan lagi aku rasakan setelah kembali ke Makassar. Pak Azham memasukkan tas dan beberapa barang-barang ke dalam bagasi mobil. Setelahnya, dia berpamitan kepada Mama dan Ibu. Begitupun denganku. Setelah dari rumah sakit, kami akan segera ke bandara. Hari ini juga kami akan kembali ke Makassar. Namun, hanya kami. Karena Mama dan Ibu masih akan menetap beberapa hari di Bali. Katanya, ingin berlibur sejenak mumpung masih berada di sini. Sehingga aku dan Pak Azham pun tidak keberatan membiarkannya tetap menetap. Lagian, Ibu juga sudah lama sekali tidak pergi berlibur. Jadi, biarlah. “Kalian yakin nggak apa-apa kalau kami tetap di sini?” tanya Ibu memastikan. “Ibu nggak enak,” ujarnya lagi dengan pelan. “Nggak enak kenapa, Bu?” ta
“Ada apa?” tanya Azham kala melihat Melisa sering curi-curi pandang ke arahnya, yang tengah duduk di kursi dengan laptop di atas pangkuannya. “Sejak tadi kuperhatikan kamu sering melirikku. Apa kamu butuh sesuatu?” Melisa sontak salah tingkah kala Azham mengetahui dirinya sering mencuri pandang ke arah pria itu. Melisa tidak mengerti bagaimana bisa Azham tahu kalau Melisa melakukan itu, padahal sejak tadi gadis itu perhatikan Azham sama sekali tidak melepaskan pandangannya dari laptop di pangkuannya itu. Aneh, pikir Melisa. “Enggak,” jawab Melisa menggelengkan kepalanya dengan kuat. Berusaha meyakinkan Azham kalau yang pria itu pikirkan itu salah. Dirinya tidak melakukan hal seperti yang dituduhkan Azham. “Siapa bilang saya curi-curi pandang ke Bapak? Ngacoh,” elak Melisa dengan raut salah tingkah. Azham yang masih belum mengalihkan pandangannya ke arah laptop tersenyum mendengar jawaban Melisa, yang terdengar sedang berusaha mengelak apa yang Azham katakan. “Benarkah? Padahal seja
Azham masuk kembali ke ruangan Melisa setelah mengantar mama dan ibu mertuanya ke parkiran. Melisa menoleh kala mendengar suara derit pintu. Tatapan mereka bertemu untuk beberapa saat sebelum Melisa memutus kontak mata dengan Azham. Pria itu melangkah perlahan mendekati brankar Melisa. Mereka terlihat masih sangat asing. Meskipun, beberapa waktu yang lalu saat kejadian penculikan dan ditemukannya Melisa. Azham sempat mengungkapkan ketakutannya terhadap keadaan sang istri. Namun, sekarang situasi kembali semula. “Mama sama Ibu sudah ke hotel?” tanya Melisa tanpa menatap Azham yang duduk di sampingnya. “Nggak Bapak antar?” Azham menghela napas kasar, dia tidak tahu apakah Melisa hanya berbasa-basi atau memang tidak tahu. Padahal, saat Diana mengatakan sudah memesan tiket pesawat sekaligus hotel Melisa tidak sedang tertidur. Juga tidak sedang dalam keadaan tidak sadar. Gadis itu bahkan memperhatikan wajah Diana saat berbicara. Akan tetapi, kenapa sekarang malah bertanya pikir Azham.
“Jangan bangun dulu.” Azham dengan cepat membantu Melisa kembali berbaring, kala melihat gadis itu mengangkat kepala hendak duduk. “Kata dokter, kamu masih butuh banyak istirahat.” Melisa yang masih lemas terpaksa kembali membaringkan tubuhnya. Padahal, dia sudah merasa pegal kalau harus terus terbaring seperti saat ini. Dia tidak punya cukup tenaga untuk berdebat dengan Azham. “Apa kamu butuh sesuatu? Katakan saja,” pinta Azham. “Mau makan, minum atau apa?” tanyanya kepada Melisa yang hanya menatapnya. Hening. Tidak ada suara yang keluar dari mulut gadis itu. Hanya ada gelengan kepala begitu pelan. Azham mengerti Melisa saat ini pasti masih sangat lemas. Suara Melisa hanya terdengar saat pertama kali siuman. Setelahnya, tidak ada lagi. Azham kemudian diam, dia duduk di kursi yang ada di samping ranjang Melisa. Membiarkan Melisa untuk beristirahat. Tidak lagi memberondong istrinya itu dengan pertanyaan-pertanyaan. Di saat mereka sedang berada di situasi hening, tiba-tiba pintu ru
“Di mana ruangan Melisa, Di? Aku sudah tidak sabar bertemu dengannya.” Fitri mencecar Diana untuk segera membawanya ke ruangan Melisa berada. “Kata Rian, Melisa berada di ruangan yang ada di lantai dua. Nomor kamarnya kalau nggak salah 201.” Diana dan Fitri yang mengetahui keadaan Melisa lantas bergegas ke Bali. Mereka tidak lagi ingin menunggu berita burung. Sehingga mereka pun segera memesan tiket penerbangan hari itu juga.Kedua wanita paruh baya itu bergegas ke resepsionis untuk bertanya ruangan Melisa. Setelah mereka sudah mengetahuinya. Lantas segera menuju ruangan gadis itu berada. Di saat keduanya hampir menemukan ruangan Melisa. Tidak sengaja mereka bertemu Rian dan Zera yang hendak kembali ke Makassar untuk pemakaman Leon. Fitri dan Diana yang sedang geram kepada Zera, karena telah menyeka dan menyiksa Melisa hingga membuat gadis itu kini terbaring tak berdaya di rumah sakit. Membuat emosi kedua wanita itu tersulut ketika melihat gadis itu. Keduanya bersama-sama menghamp
Seorang gadis cantik dengan bulu mata lentik yang di wajah dan hampir seluruh tubuhnya dipenuhi luka terbaring tak berdaya di atas brankar rumah sakit. Di samping brankar itu seorang pria duduk di sana sambil menggenggam tangan sang gadis. Menunggu kesadaran gadis itu segera didapatinya. Sudah beberapa jam gadis itu menutup mata rapat tanpa tahu kapan akan membukanya. Padahal dokter sudah mengatakan kepada pria itu kalau sebentar lagi dia akan tersadar. Namun, karena begitu khawatir pada sang gadis. Pria itu merasa waktu beberapa menit sangatlah lama. Tangan gadis itu terpasang selang infus, hidungnya terpasang selang bantu pernapasan. Juga beberapa bagian tubuhnya terpasang alat yang entah fungsinya untuk apa. Pria itu tidak tahu. Yang dia tahu kondisi gadis itu sedikit memburuk akibat di sekap, lalu disiksa. “Melisa, tolong buka matamu. Jangan buat aku khawatir seperti ini,” ucap Azham dengan suara bergetar masih menggenggam tangan Melisa. Ya, gadis di atas ranjang rumah sakit i