“Babi Bunting! Gue udah sampe kayak gini, bisa-bisanya lo masih sanggup ngemil! Bener-Bener ya lo, Nyam!”
Kamarudin memperhatikan wajah kakaknya. Laki-laki itu tampak begitu terkejut melihat perangai Flora. Siapa pun pasti tidak akan mengira jika gadis secantik Flora, ternyata sama bar-barnya dengan Anya.
Tampangnya memang sangat menipu, tidak seperti Anya dan Angel yang terang-terangan menunjukkan bagaimana wajah asli mereka.
“Anya!” Panggil Kamarudin, membuat si empunya nama memutar kepalanya. “Kamu nggak merasa harus menjelaskan sesuatu?”
“Jelasin apa? Kamu pasti udah tau kan!”
“Kamu!”
Kalingga menahan sang adik dengan meremas pundak Kamarudin. “Sudah, Kamaru. Nggak perlu diperpanjang. Biar ini jadi urusan Mas dan teman istri kamu.”
Menyalahkan Anya juga akan percuma. Titik terberat masalah berada pada ibu mereka. Anya hanyalah berperan sebagai pintu pemb
SIBUK! UDIN DILARANG MASUK!Kalimat tersebut tertulis di atas sebuah kertas yang menempel pada daun pintu kamar Kamarudin dan Anya.“Istrimu di dalem beneran lagi belajar ya, Kamaru?”“Sepertinya, Bu.” Ucap Kamarudin menjawab pertanyaan sang ibu.Sejak pagi menjelang, Anya sudah mengusirnya dari kamar. Wanita itu berkata tidak ingin diganggu sampai ujian mata kuliahnya selesai diadakan.“Duh, mantunya Ibu rajin banget. Nggak salah pilih Ibu, Kam.” Puji Miranti, senang. Menantunya tidak hanya cantik, tapi juga memiliki semangat juang yang tinggi dalam meraih cita-citanya. “Kamu udah kasih kisi-kisinya, kan?”“Semua materi sudah Kamaru share ke mahasiswa, Bu. Mereka kalau merhatiin pasti bisa ngerjainnya.”“Bagus.. Bagus.. Biar nggak sia-sia mantu Ibu belajarnya. Ibu mau minta Mbak bikinin cemilan. Nanti kamu yang anterin ke Anya.” Ujar Mir
“Oh, My God! Aku nggak salah liat?”Anya mencubit layar untuk memperbesar kolom pdf yang dirinya unggah. Matanya hanya tertuju pada bagian mata kuliah yang dirinya incar.Sejak keluarnya indeks penilaian (IP), Anya tak memperdulikan mata kuliah lain yang ia ambil. Tujuan utamanya terletak pada bidang yang suaminya ampu.“Din..”“Apa?” tanya Kamarudin sembari meletakkan Lego terbaru yang ingin dirinya susun.“Kamu nggak ngantuk waktu isi ini? A loh, Din! Beneran?”Apakah Anya serius menanyakan pertanyaan konyol seperti ini? Satu setengah bulan lalu, ia ingat sekali betapa marahnya wanita itu. Dia bahkan menolak pulang bersama karena ia menyuruh semua mahasiswa mengumpulkan contekan mereka.“Kamu nggak seneng dapat A?”“Gila! Ya seneng-lah! Tujuan aku ngulang buat ini!” Ucap Anya.“So?”“Kirain kamu bakalan ng
Sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti, dari pindah atau tidaknya Kamarudin dan Anya. Ibu Kamarudin tetap seperti momok mengerikan yang membayang-bayangi kehidupan putranya. Pagi sekali wanita itu sudah berada di dapur, mengakuisisi kediaman anak keduanya. Membawa para art terbaiknya untuk memasak.“Selamat pagi anak kesayangan, Ibu.”Sesungguhnya tidak ada perbedaan berarti, dari pindah atau tidaknya Kamarudin dan Anya. Ibu Kamarudin tetap seperti momok mengerikan yang membayang-bayangi kehidupan putranya. Pagi sekali wanita itu sudah berada di dapur, mengakuisisi kediaman anak keduanya. Membawa para art terbaiknya untuk memasak.“Selamat pagi anak kesayangan, Ibu.”Seandainya saja ibunya bukan ketua penyamun, Kamarudin akan sangat senang dijadikan anak kesayangan ibunya. Sayangnya, Kamarudin tahu, sikap manis ibunya ini memiliki niat terselubung.Apalagi jika bukan untuk membuatnya kesal sampai mati berdiri.&ldqu
“Mau sampai kapan kamu begini?”Anya memutar tubuhnya.Apa maksudnya?! Tiba-tiba datang menghampiri lalu menanyakan sesuatu yang tidak jelas.Kamarudin ini sedang mencari perkara atau bagaimana?!“Menggoreng telur adalah hal yang sangat mudah, Anya. Kenapa melakukan hal sesimpel itu saja kamu harus meminta bantuan orang lain?”What the hell! Ngajak ribut lagi si kampret!“Aku emang nggak bisa!” Ucap Anya. Ia tidak pernah melakukannya. Sebagai nona muda yang memiliki banyak pelayan, bahkan untuk menyalakan kompor gas saja ia tidak bisa. Memasak bukan keterampilan yang harus dirinya kuasai saat menjadi anak Tanu Handoyo.“Kalau begitu, kamu harus belajar. Sebentar lagi kamu akan jadi mama, Anya!”“Come on! Buat apa ada ART, Udin?!” Masalah sekecil ini kenapa harus diributkan. Kamarudin memang menyebalkan. Ada saja hal yang pria itu jadikan bahan pertika
“Jadi kamu sudah setuju?”“Ya, Pah. Saya ingin mencobanya,” jawab Kamarudin setelah menganggukkan kepalanya. Ia sudah mempertingkan segala konsekuensi dari pilihannya. Setidaknya, ia tak akan mengusik hasil kerja keras kakaknya jika bergabung di perusahaan milik papa mertuanya.Kamarudin tahu diri. Selama dirinya hidup, ia bahkan tak pernah sekali pun membantu sang ayah. Itulah mengapa dirinya tak memiliki minat untuk menerima tawaran Kalingga selama ini.Perusahaan itu berkembang dibawah kepemimpinan Kalingga. Suatu tubuh tidak mungkin bisa terus berjalan baik jika mempunyai banyak kepala.“Baiklah kalau kamu setuju. Ingat! Papa nggak pernah maksa kamu loh, ya, Din?!”Rongga-rongga dada Kamarudin menyerap udara yang masuk dari kedua lubang hidungnya. Secara teknis memang tidak pernah ada pemaksaan. Tanpa disadari oleh kebanyakan orang, dorongan tersebut tercipta menjadi sebuah tuntutan alamiah, hasil terbe
“Kamu dimana?”Ketika membuka matanya tadi, Anya tak menemukan keberadaan Kamarudin di kamar mereka. Biasanya meski ia tertidur, pria itu akan membangunkannya atau setidaknya meninggalkan pesan melalui asisten rumah tangga.Pria itu juga tidak berada di rumah ibu mertuanya. Ia sudah mengirim asisten rumah tangga untuk mencari Kamarudin disana. Namun ibu mertuanya mengatakan jika Kamarudin tidak berkunjung malam ini.“Kenapa ada suara musik kenceng banget?”Anya meremas bed cover yang melapisi ranjangnya. Mungkin kah Kamarudin kembali pada kebiasaan lamanya?— Sekelumit pemikiran negatif itu bersarang dalam benak Anya.Tak bisa Anya pungkiri, kegiatan panas mereka berawal dari pertemuan tak sengaja keduanya di sebuah kelab malam. Ia tak bisa mengingat kejadian beberapa bulan lalu disaat mereka bertemu. Dirinya terlalu mabuk untuk mengetahui bagaimana cara dosennya dapat membawanya ke apartemen pria itu.
“Ud-diin..”Kamarudin bergidik ngeri. Panggilan mendayu dari mulut Anya membuatnya takut. Perempuan itu pasti memiliki keinginan yang sulit untuk dikabulkan.“Din, liat ke aku dong.”“Anya, jangan peluk-peluk. Kamu kenapa sih?!”“Pengen peluk kamu..”Aw— mengerikan! Anya tidak pernah seperti ini sebelumnya.“Anya, ponsel dan dompet saya ada di atas nakas.” Ucap Kamarudin. Lebih baik Anya segera mengambil kedua barang itu agar penyiksaannya cepat berlalu. Perilaku Anya ini membuat jantungnya berdetak tak karuan.“Buat apa? Aku nggak lagi pengen belanja online kok.”“Terus mau apa? Makan? Order dulu saja pake ponsel saya. Saya masih ada pekerjaan.”Sebelum masa liburan kuliah selesai, Kamarudin harga segera dapat bernegosiasi dengan pihak yayasan. Tidak mudah untuk mengundurkan diri ditengah kontrak kerja mengingat d
“ANYA!”Kamarudin terbangun dengan peluh membasahi tubuhnya. Deru napasnya bergerak sangat cepat, seolah seluruh emosi yang dirinya rasakan di dalam mimpi, merupakan suatu kejadian yang nyata terjadi.Kamarudin bahkan hampir tak bisa membedakan mimpi atau kenyataan jika saja tak melihat foto pernikahan mereka tergantung di dinding kamar.“Hanya mimpi,” monolog Kamarudin. Salah satu tangannya menyugar rambut ke belakang.Sungguh mimpi yang sangat mengerikan. Baru semalam Anya membicarakan tentang karakternya yang perempuan itu nilai buruk, lalu ketika terlelap mimpi menyeramkan menghampirinya.Kamarudin bermimpi keduanya mengalami cekcok besar. Sikap dan sifatnya yang katanya menyebalkan itu menjadi dalang mengapa Anya memutuskan ingin berpisah darinya. Hal yang begitu Kamarudin sayangkan, disana, Anya sama sekali tak mau memberikan dirinya kesempatan ke-2 untuk berubah. Pintu maaf istrinya ditutup rapa
Kegagalan Josephin dalam menikahi Jesika secara dadakan akhirnya terbalas. Dikarenakan dirinya yang merupakan kakak Kamasea, ijab qobulnya pun dilaksanakan terlebih dahulu. Tak seperti biasa, Josephin benar-benar tidak mau mengalah pada saudara kembarnya. Untuk pertama kalinya ia bersikap egois, memprioritaskan dirinya di atas kemauan sang adik. “Hi, Wife..” Sapa Josephin dengan senyuman sehangat mentari kala penghulu telah mengesahkan pernikahan mereka. “Hello, Jo..” Pada meja yang bersebelahan dengan prosesi ijab qobul Josephin, Kamasea berseru. “Cih! Abang shut up! Gilirannya Ceya ini!!” Seruannya itu terdengar oleh seluruh tamu undangan mengingat adanya alat pengeras yang terpasang di atas meja ijabnya. “Ya Tuhan.. Punya anak pada ngebet kawin.. Dikira kawin enak kali ya..” gumam Anya, menepuk keningnya. Setelah Michellion yang biang kerok itu ia lepaskan dengan segenap keikhlasan hati, kini tibalah pada momen yang menurut Anya paling berat. Sebagai seorang ibu yang mencintai
Duka mendalam sedang dirasakan oleh Alexiz. Sejak penghulu yang menikahkan putrinya pulang, pria tampan itu terus saja menangis. Kenyataan dimana putrinya telah dipersunting oleh anak sahabatnya semakin terasa nyata.“Tell me! It was a dream, right? Tadi mereka cuman simulasi ijab aja kan?!” Ucap lirih Alexiz yang belum dapat menerima kenyataan.Melepaskan putri kesayangannya ke tangan pria lain merupakan mimpi terburuk Alexiz. Apalagi kepada orang seperti Michellion Hasan yang ia kenal baik kebobrokannya.“Alexiz, wake up! ini nyata! Lexa kita udah nikah, Lex. Dia akhirnya bisa raih cita-citanya..”Alexiz pun terhenyak. ‘Cita-Cita sampah sialan!’ maki pria itu dalam hati.Sejak kapan tepatnya menikah menjadi cita-cita? Putrinya sungguh abnormal. Disaat anak lain mencita-citakan pekerjaan setinggi langit, putrinya yang cantik dan sedikit tidak baik hati justru mengidam-idamkan lelaki bermasa depan suram seperti Michellion.Ngenes.. Ngenes! Mana anak satu-satunya lagi ah!“Stop crying
“Saya terima nikah dan kawinnya, Alexa Sasongko bin..” “Bin.. Bin-tiiii..” Plak! “Argh, Mama!!” erang Michellion kesakitan. “Satu tarikan napas, Ichell!! Satu tarikan!” berang Anya tak mengindahkan protes kesakitan bungsunya. “Serius dong! Jangan salah-salah mulu! Sekali salah lagi, nggak bisa kawin selamanya kamu!” timpal Anya, menakut-nakuti Michellion. Putranya sudah dua kali mengacaukan ijab qobulnya. Anya kan gemas jadinya. Kalau memang tidak niat menikah, anak itu seharusnya bersikap gentle, berani mengakui ketidaksiapannya di depan Alexa dan keluarganya. Memang dasar Michellion! Otaknya hanya berkembang jika menyangkut uang, selebihnya mah nol besar. Michellion yang ragu dengan pernyataan Anya pun bertanya, “masa sih, Mah? Masa gitu doang Ichell terus harus jadi jomblo seumur hidup?” “Dih, nggak percaya-an! Auto blacklist kamu tuh. Iya kan Pak Penghulu?” “Ng..” Melihat pelototan maut Anya, penghulu yang tadinya hendak menyangkal pun merubah jawabannya. “Iya, Mas! Mas h
“Gundulmu!” Sembur Alexiz, ngegas.Calon menantunya memang minta ditendang sampai ke Afrika. Ya mengapatidak– disaat suasana sedang panas-panasnya, anak itu tetap bisa mengelantur.Padahal ia sedang panas dingin karena mendeteksi adanya sinyal permusuhan dariorang-orang rumahnya.Anya menjentikan jari. “Woi! Jadinya gimana? Kaki gue pegel nih berdiri mulu!” tanya perempuan itu tak santai.“...”“Mah, Mah!!” sela Josephin karena omnya tak kunjung menanggapi pertanyaan sang mama. “Nikahin sekarang aja sekalian, Mah. Itung-itung jagain Om Lexiz kalau berubah pikiran lagi ntarnya..”“What?!”Siapa sangka jika usul Josephin itu mengagetkan dua pria disana.Iya, kalian tidak salah jika menebak pekikan tersebut berasal dari mulut Michellion dan calon papa mertuanya.Kali ini keduanya terlihat sangat kompak. Karena kekompakan yang jarang terlihat itu, keduanya bahkan sampai bertatapan mesra.Respon kaget yang mengisyaratkan ketidaksetujuan itu berbanding terbalik dengan Alexa.Alexa yang te
‘Anjing lah! Perasaan gue jadi anak udah sholeh, kenapa ada aja sih ujiannya!’Ditengah umpatan yang Michellion pendam, bibir anak itu berkedut dikarenakan senyuman yang terpaksa harus dirinya hadirkan.“Kamu, bla-bla-bla..”Dengan wajah datarnya— bungsu kamarudin itu berpura-pura fokus mendengarkan. Setiap kali nada papa Alexa berubah, ia menganggukkan kepala. Padahal ia sendiri tidak menyimak serius kalimat-kalimat yang dikeluarkan oleh omnya.“Gara-gara kamu masa depan Lexa jadi kacau gini! Kalau sampai kamu nanti nggak bisa bahagiain Lexa... Siap-siap aja ya kamu.. Om bakal kirim kamu ke neraka jahanam!”“Heum..” gumam Michellion lemah sebagai jawaban.“Jalur express!!”“Via darat apa laut, Om?” celetuk Michellion. Ia paling tidak betah jika harus terus dalam mode serius. Menjadi orang serius bukanlah bakatnya. Melakukan itu hanya membuatnya lelah jiwa dan raga.“What the..”“Uhuk!! Banyak anak dibawah umur disini, Lex!” tegur Kalingga. Setelah tak bisa menghadiri acara lamaran ke
Pada hari berikutnya, kediaman Anya kembali ramai. Kali ini lamaran datang dari pihak orang kepercayaan Kamarudin.“Apaan nih, Man? Pake repot-repot segala.”“Sogokan biar lamarannya nanti diterima, Bu.” Kekeh Lukman dengan tawa renyah di akhir kalimatnya.“Aigo! Mana ada Kenan ditolak.. Bawa diri aja udah pasti diterima lamarannya.” Sahut Anya, membalas.Anya tak mungkin mempersulit masuknya Kenan ke dalam keluarga besar mereka. Selain dikarenakan putrinya yang terlanjur cinta mati, Kenan sendiri sudah dirinya incar sejak keduanya baru mendekatkan diri.Andaikan Kamarudin tidak bertindak sebagai ayah yang terlewat posesif kepada putrinya, pembicaraan tentang pernikahan Kamaseda dan Kenan pasti sudah lama terealisasikan.“Masuk, yuk.. Kita kirain nggak jadi kesini.. Abisnya lama banget nggak nyampe-nyampe kaliannya.” Ujar Kamarudin, mempersilahkan.“Iya, nih!! Ceya sampe udah mau banjir air mata itu..” pungkas Anya, menimpali perkataan Kamarudin.Kenan pun meminta maaf karena telah me
Sudah diputuskan!! Demi menghargai silsilah persaudaraan diantara anak-anaknya, Kamarudin dan Anya pun akhirnya menentukan hari yang berbeda untuk prosesi lamaran ketiganya. Ya, hanya 3 karena Josephin tidak dihitung.. Menjelang hari lamarannya, Josephin untuk sementara waktu diungsikan ke rumah orang tua Anya. Anak itu akan mengetuk pintu rumah mereka dengan didampingi opa dan kedua omanya. Terdengar rempong kan?! Namun bagi Anya, alur seperti itu, hukumnya wajib untuk dijalankan. Anya tidak ingin melepas putri pertamanya dengan asal-asalan. Ia ingin putrinya dilepaskan dengan alur yang semestinya, seperti para anak perempuan milik orang lain. Untuk itu, Josephin pun harus melakukannya sesuai prosedur, dengan bertindak seolah-olah dia merupakan pihak luar yang hendak meminang putri dari keluarganya. Yah, salah sendiri ngebet nikahnya sama dengan angota keluarga sendiri. Coba saja anak itu memilih gadis lain, pendampingan pada lamarannya pasti akan ditemani Anya dan Kamarudin se
“Ya Tuhan,” desah Kamarudin.Pria itu meletakkan ponselnya ke atas meja kerja.“Sialan lo, Lex!”Beberapa detik yang lalu Kamarudin baru saja mendapatkan laporan. Ia akhirnya mengetahui jika sahabat baiknya lah yang menjadi dalang dari meledaknya tagihan putra bungsunya.Sungguh sahabat yang baik. Pria itu sangat tahu cara untuk membalaskan dendamnya. Dengan begini, ia jadi tak bisa berkutik, termasuk memarahi putranya agar Michellion dapat belajar artinya bertanggung jawab dalam menggunakan uang.Yah, mereka juga tak mungkin mengambil kembali barang-barang yang telah diberikan. Hal itu sangat tidak etis. Sebesar apa pun mereka merugi, apa yang mereka hadiahkan jelas sudah menjadi hak si penerima, terlepas dari seberapa liciknya Alexiz dalam memanfaatkan momentum lamaran putrinya.“Man, buat lamaran Ceya nanti, kalian udah nyiapin apa?” tanya Kamarudin, mengangkat kepalanya dan memandang Lukman yang saat ini tengah membaca berkas di meja tamu ruangan kerjanya.“Standar saja sih, Pak..
Michellion berjalan mengendap setelah melewati pintu utama rumahnya.Kepalanya celingukan, memastikan jika dirinya aman, tak berpapasan dengan sang mama.Gila, Gila!Seharian berkeliling mencari hadiah benar-benar membuatnya ingin mati berdiri.Ia tidak tahu pasti berapa uang yang telah dirinya gelontorkan, tapi mengingat banyaknya perhiasan dan hal-hal lain yang calon papa mertuanya beli, sudah dipastikan ia akan tinggal nama ditangan mamanya.“Chell..”“Ssst, Kak, jangan kenceng-kenceng!” hardik Michellion, pelan. Ia kan tengah menghindari pertemuan dengan mamanya. Kalau sampai mamanya tahu ia sudah pulang, habis sudah telinga dan kewarasannya.Di Balik tembok yang memisahkan ruang tamu dengan keluarga, Michellion melambaikan tangan, mengundang sang kakak untuk mendekat ke arahnya.“Apaan sih? Kamu yang kesini lah!”Mendengar jawaban kakaknya, Michellion pun menghentakkan kaki-kakinya.“Cepetan ih!!” pinta Michellion, setengah mengerang.Rumahnya mungkin terlihat sepi, tapi dibalik