Bab 4
"Saya bilang nggak ada acara bulan madu, Arumi!" setelah beberapa saat terkejut, dosen muda itu kembali menguasai dirinya. Pembawaannya yang datar dan dingin mempermudah ia melakukan hal itu, berpura-pura terlihat biasa saja walau sebenarnya tidak biasa."Ya sudah, kalau Mas nggak mau, siap-siap saja ribut sama Abah dan Ummi." Arumi tetap pada pendiriannya.Ibrahim menghela nafasnya panjang, sembari memandang Arumi kesal, "Dasar bocah labil, sukanya ngaduan," gerutunya, tentu saja hal itu hanya ia sampaikan dari hati ke hati."Kenapa kamu maksa sekali untuk bulan madu? Bukannya percuma bulan madu tanpa saling menyentuh? Mau ngapain kita?" sahut Ibrahim mencoba mengalihkan keinginan Arumi."Kita bisa kok saling menyentuh, jadi nggak akan percuma, Mas. Itu pun kalau Mas mau." Arumi menimpali."Sayangnya itu tak kan terjadi." Ibrahim dengan cepat menyahuti"Huh, kita lihat aja nanti," gumam Arumi, tentu saja hal itu hanya ia sampaikan dalam hati."Ya itu sih berarti yang bermasalah Mas Ibranya. Setidaknya menurut Arumi ambil cuti untuk bulan madu nggak akan percuma lah, Mas ... Mumpung ada kesempatan, minimal kita bisa sekedar liburan dari rutinitas yang melelahkan, bukan?Pura-pura untuk terlihat baik-baik saja di hadapan keluarga kita itu lelah loh, Mas ... sama aja kita akting seharian, artis aja akting dibayar mahal, masa Arumi harus akting tapi nggak dapat apa-apa? Minimal ada kompensasi liburan lah," sahut Arumi semakin melancarkan rencananya.Dosen muda bernama Ibrahim itu terlihat menimbang."Benar juga apa kata Arumi, minimal kita bisa rehat sejenak dari aktivitas pura-pura yang melelahkan ini. Setidaknya dia mulai bisa menerima keputusanku dengan tidak memaksaku untuk menunaikan tugasku sebagai suaminya. Mengajaknya berlibur barang beberapa hari sepertinya tidak ada salahnya, daripada aku harus ribet dengan urusan keluarga." Ibrahim menimbang dalam hati."Jadi bagaimana, Mas?" tanya Arumi menuntut jawaban dari suaminya."Nanti akan saya pertimbangkan lagi," sahut Ibrahim tak ingin membuat Arumi besar kepala jika ia mengabulkan permintaannya begitu saja."Arumi butuh jawabannya sekarang, Mas ... kalau nggak—." Arumi berniat mengancam."Oke ... oke ... kita ambil cuti minggu depan, tapi ingat, maksimal 3 hari, saya nggak mau kerjaan saya jadi numpuk gara-gara kamu!" sahut Ibrahim cepat.Seketika senyum Arumi mengembang. "Makasih, Mas ...," ucap Arumi sembari bergelayut manja di lengan Ibrahim, membuat lelaki tembok itu merasa risih."Arumi ... maaf, jangan seperti ini," ucapnya berusaha melepas lengannya dari dekapan Arumi. Namun gadis itu sengaja menahan posisinya."Kenapa sih, Mas? Halal, kan? Jangan takut gitu lah ... gini doang nggak akan bikin Arumi jadi hamil kok," sahut Arumi cukup frontal."Tapi saya nggak nyaman, tolong lepaskan!" Ibrahim terus berusaha melepaskan lengannya dari genggaman Arumi.Arumi mulai menjauhkan tubuhnya dari lengan Ibrahim, namun masih enggan melepas genggamannya. Setidaknya Ibrahim terlihat lebih tenang karena tidak lagi bersentuhan dengan lekuk tubuh Arumi yang dapat memicu hasrat kelelakiannya."Mas Ibra harus membiasakan hal-hal seperti ini, supaya lebih mendukung akting kita, Mas ... kalau Mas Ibra terlihat kaku dan berjarak dengan Arumi di depan keluarga kita, kira-kira apa yang akan mereka pikirkan? Bisa-bisa mereka akan curiga, Mas," ucap Arumi mulai mempengaruhi suaminya."Nggak seribet itu juga, nanti saya akan ajak kamu tinggal di rumah pribadi saya, dengan begitu kita tidak perlu banyak bersandiwara." Ibrahim menyampaikan rencananya.Arumi mencebikkan bibir, "kita lihat aja nanti, Mas," gumamnya dalam hati."Jadi kita mau bulan madu ke mana, Mas?" tanya Arumi kembali ke pembahasan awal."Terserah kamu aja." Ibrahim menyahut sembari kembali mengenakan kacamata dan lanjut memeriksa data skripsi mahasiswanya. Sementara Arumi sibuk mencari destinasi bulan madu yang ingin ka kunjungi."Mas ... gimana kalau Raja Ampat?" tanya Arumi setelah beberapa saat berpkir."Hanya tiga hari, jangan lupakan itu!" sahut Ibrahim tanpa menoleh."Kejaugan ya, Mas?""Hem." lelaki kulkas itu hanya berdehem sebagai jawaban."Kalau Bali?" tanya Arumi lagi."Saya nggak suka suasana Bali, terlalu ramai." Ibrahim kembali menolak."Lombok gimana?""Jangan lombok, di sana saya banyak kenalan, ribet kalau sampai mereka tahu saya ke Lombok." Ibrahim kembali menolak usulan Arumi."Kalau gitu terserah Mas aja lah, kayaknya dari tadi saran Arumi nggak ada yang pas deh," gerutu Arumi kesal."Kamu cari seputar area Jatim saja, jangan jauh-jauh!""Ya ampun, Mas ... ini kan bulan madu, acara kampus aja pilih destinasi di luar jatim loh, masa kita mau bulan madu malah di sini sini aja?" protes Arumi."Terserah kamu, mau pilih di Jatim, atau nggak sama sekali." Ibrahim menyahut datar, membuat Arumi semakin merasa geregetan.Ia menyedekapkan kedua tangannya sembari memandang kesal ke arah suaminya, "aneh, ya? Cowok senyebelin ini bisa famous dan digilai mahasiswi bahkan dosen-dosen muda di kampus? Manis sih ... tapi ... sikapnya nggak ada manis-manisnya," komentarnya dalam hati."Nggak usah ngelihatin saya kayak gitu, nanti kamu naksir!" masih dengan mata yang fokus pada ponselnya, Ibrahrim menyindir istrinya."Bukannya memang seharusnya gitu ya, Mas? Kan kita suami istri, harus saling mencintai dong, minimal pertama naksir dulu?" sahut Arumi berargumentasi."Hanya sementara, kalau kamu naksir saya beneran, nanti kamu sendiri yang repot." Ibrahim berucap sembari beranjak dari tempatnya.Arumi berdecak kesal. "Mas Ibra mau ke mana?" tanya Arumi saat melihat suaminya beranjak meninggalkannya."Kamar mandi, kenapa, mau ikut juga?" sindir Ibrahim kesal, sebab sejak tadi Arumi seperti tak memberi ia ruang untuk sendiri."Wah, boleh, Mas?" di luar dugaan, bukannya mundur, Arumi justru menyambut ajakannya dengan antusias. Gadis itu justru terkesan menantangnya.Ibrahim menghentikan langkah, lalu menoleh ke arah Arumi. "Nggak usah mimpi!" serunya kemudian berlalu."Yeeee ... nawar-nawarin sendiri malah takut-takut sendiri, aneh!" gumam Arumi pelan.Sementara Ibrahim yang samar-samar masih mendengar suara Arumi tersenyim tipis, "Dasar bocah labil!" batinnya sembari menggeleng kepala.Merasa gabut berada di kamar berdua dengan suami temboknya, Arumi pun memutuskan untuk keluar, membuat kopi susu sembari nyemil mungkin akan sedikit menghilangkan rasa gabutnya.Arumi berkutat di dapur, menyeduh secangkir kopi susu instan yang selalu ia sediakan, sembari menghangatkan donat frozen sebagai cemilan"Kok manten baru malam-malam begini malah sibuk di dapur?" tiba-tiba suara Aminah–Ummi Arumi terdengar. Tanpa ia sadari, umminya sudah berada di belakangnya."Eh, Ummi ...," Arumi cukup terkeju. Bertemu dengan ummi dan Abahnya adalah hal yang ia hindari saat ini, sebab ia belum menyiapkan jawaban jika orang tuanya bertanya tentang sejauh mana hubungannya dengan Ibrahim."Kamu ngapain, Nduk? Bukannya nemenin suami di kamar, malah sibuk sendiri." Aminah bertanya pada putri semata wayangnya."Arumi lagi pengen ngopi, Ummi ...," sahut Arumi apa adanya."Pengantin baru jangan banyak-banyak konsumsi kopi. Kopi itu bikin anumu baunya jadi kurang sedep, Nduk!Sekarang ini masa-masa penentuan, lho, Nduk, jadi kamu harus hati-hati, jangan sampai buat suamimu kecewa." Ummi Arumi menasihati."Bentar deh, Ummi ... Rum nggak paham, kenapa urusan ngopi bisa sampai ngecewain suami?" tanya Arumi dengan polosnya.Aminah tersenyum, ia merangkul putrinya sembari memberi penjelasan. "Jadi begini, Nduk ... hari-hari pertama pernikahan itu sebenarnya secara nggak langsung akan menjadi gambaran untuk masa depanmu, khususnya dalam hal urusan ranjang.Kalau pas malam pertama kamu berhasil bikin suamimu puas, InsyaAllah di malam-malam selanjutnya akan lebih berhasil dari malam pertamanya, sebab memory pertama yang terekam di benak suamimu adalah memory indah. Begitu juga sebaliknya.Jadi kamu harus bener-bener memperhatikan servicemu di malam pertama, persembahkan yang terbaik, jangan sampai buat suamimu kecewa. Karena ini malam penentuanmu.Salah satunya ya dengan menghindari konsumsi kopi dalam beberapa waktu ke depan, soalnya kopi bisa bikin area itumu bau kurang sedap, khawatir suamimu jadi nggak nyaman dan nggak terpuaskan." Aminah menjelaskan panjang lebar, sementara Arumi hanya ber-oh ria."Ya Allah, Ummi ... boro-boro bicara soal kepuasan, dia disentuh aja ogah!" gumamya dalam hati."Ya wis, gek ndang balik ke kamar, kasih aja kopinya buat suamimu, orang laki itu mudah luluh kalau diperhatikan terus, Nduk ... walaupun itu berupa perhatian-perhatian kecil seperti ini," titah Ummi Aminah."Gitu ya, Mi?" sahut Arumi."Iya, Nduk ... tapi ngomong-ngomong gimana kamu sama Nak Ibra? Kalian baik-baik saja, kan? Ummi jadi kepikiran, soalnya nak Ibra kan nikahin kamu dadakan," tanya Aminah seketika membuat tenggorokan Arumi tercekat, bingung harus menjawab apa?Bab 5"Alhamdulillah, Mi, kami baik-baik saja, kok." Arumi mulai berakting di hadapan umminya."Syukur Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja. Mungkin sekarang Nak Ibrahim masih canggung sama kamu, kalau dia bersikap kurang bersahabat, nggak usah dimasukkan hati, Ummi dengar dia memang anaknya agak kaku, tapi Ummi lihat sendiri, dia sangat menyayangi dan mnghormati ibunya. Biasanya, lelaki seperti ini juga akan bersikap baik kepada istrinya."Arumi hanya tersenyum menanggapi ucapan umminya, "Andai Ummi tahu, bahwa Mas Ibra tak hanya menunjukkan sikap tak bersahabat, melainkan ia telah menolakku di malam pertama kami," batin Arumi sedih.Aminah tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "Jodoh itu memang rahasia Allah ya, Nduk ... Kamu tahu? Awalnya Abahmu memang pengennya jodohin kamu sama Ibrahim, lho ... bukan sama Yusuf, tapi haji Ishak bilang Ibrahim itu belum minat nikah, jadi dia nolak dijodoh-jodohkan. Yang minat malah adiknya, jadilah Yusuf yang dijodohkan sama kamu.Tapi t
Bab 6Ibrahim terdiam saat mendengar pertanyaan istrinya."Kapan-kapan aja bahasya, sekarang tidur lah!" Sambil mengalihkan pandangan, Ibrahim menjawab pertanyaan Arumi."Tapi, Mas ....""Besok pagi saya nggak mau datang terlambat gara-gara nungguin kamu!" Ibrahim kembali menyahuti."Jadi besok kita berangkat bareng, Mas?" tanya Arumi antusias, sejenak fokusnya teralihkan. Sementara Ibrahim hanya meliriknya sekilas."Mas ....""Hem?"Arumi janji deh, besok nggak akan bikin Mas Ibra terlambat, Arumi akan siap lebih awal, tapi, Mas ... please dong ... jawab dulu pertanyaan Arumi," pinta Arumi memohon agar suaminya bersedia menjawab.Ibrahim memandang Arumi sejenak, meletakkan ponselnya di meja lalu melepas kacamata."Memangnya kenapa kamu ingin tahu jawabannya? Apakah penting? Toh apapun jawabnnya tak akan merubah apapun." Ibrahim menanggapi serius pertanyaan Arumi."Penting, Mas ... Setidaknya jawaban itu bisa menjadi acuan untuk bagaimana Arumi harus bersikap. Arumi hanya ingin tahu,
Bab 7Setelah terdiam dan saling pandang, Ibrahim kembali tersadar, perlahan ia menegakkan posisi Arumi, lalu melepaskan tangan dari tubuhnya."Maaf ...," ucapnya salah tingkah, ia mengalihkan pandangan dari Arumi."Ya Allah ... debaran ini? Mengapa aku bisa kembali merasakannya saat bersama Arumi? Debaran jantung yang hampir kulupakan rasanya, akibat terlalu lama aku tak dapat merasakannya. Hatiku yang telah lama mati, seolah kembali mendapatkan nyawanya.Tapi ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh terlena, sehingga harus merasakan luka yang sama." Ibrahim bergumam dalam hatinya."Loh, kok minta maaf sih, Mas? Halal loh, Mas ... pahala malah kalau peluk-peluk istri," goda Arumi, kantuk yang dirasakannya seketika menghilang berganti dengan pandangan antusias."Sudah shubuh, buruan ambil wudhu' terus shalat." Tak menanggapi ucapan Arumi, Ibrahim justru mengalihkan pembicaraan, berniat ingin terlihat stay cool, namun tanpa ia sadari, sikapnya justru semakin mempertegas salah tingkahny
Bab 8"Bagaimana, Mas?" melihat suaminya terdiam tanpa merespon, Arumi kembali bertanya"Untuk apa kamu meminta itu, Arumi? Jangan aneh-aneh lah!" Ibrahim melepas kopyah yang dikenakannya, berusaha menganggap permintaan Arumi hanya guyonan semata."Kok aneh-aneh sih, Mas? Cuma cium tangan dan kening loh, nggak lebih. Arumi nggak minta Mas untuk menyentuh Arumi di bagian-bagian intim. Lagian yang aneh tuh Mas Ibra lho, masa cium kening istri aja dibilang aneh?" Arumi memprotes.Ibrahim terlihat menimbang."Ya udah kalau Mas nggak mau, Arumi—.""Ssstttt ... oke oke, nggak usah ngancem-ngancem saya lagi." Ibrahim menyahut cepat, tak ingin lebih lama berdebat dengan Arumi."Bener, Mas?" tanya Arumi antusias, binar matanya mewakili isi hatinya."Iya, hanya tangan dan kening ya? Tidak lebih!' Ibrahim berkata tegas.Arumi mengangguk, dengan senyuman mengembang menghiasi wajah ayunya.Ia lalu meraih tangan suaminya, dikecupnya punggung tangan itu sebagai tanda hormat, lalu dibaliknya tangan I
Bab 9Mobil Honda HR-V berwarna merah terlihat gagah membelah jalanan Pandaan, kota di mana Arumi dilahirkan."Kita langsung ke kampus, Mas?" tanya Arumi."Kita mampir ke rumah sakit dulu, bertemu Ayah dan Ibu saya, sekaligus melihat kondisi Yusuf." Masih dengan fokus menyetir, suami Arumi itu menjawab.Arumi mengangguk, "Pantes Mas Ibra pagi bener ngajak berangkatnya. Btw kemarin Arumi hanya lihat Ayah, tapi tidak melihat Ibu, Mas." Arumi berucap sembari membenarkan letak berkas-berkas yang dibawanya."Iya, Ibu fokus mengurus Yusuf di rumah sakit, jadi hanya Ayah yang mendampingi saya." Ibrahim menjawab apa adanya.Arumi mengangguk paham. "Jadi Mas Ibra tuh berapa bersaudara sebenernya?" Arumi terus memanfaatkan momen perjalanan untuk bercengkrama dan mengobrol lebih jauh dengan suaminya."Dua.""Berarti nggak punya saudara cewek dong?" tanya Arumi memastikan."Hem." Ibrahim menjawab singkat."Oohhh ... pantes," gumam Arumi, pelan. Namun tetap terdengar oleh suaminya."Pantes apa?" t
Bab 10Azizah membenarkan posisi duduknya, wanita paruh baya dengan paras manis itu menatap menantunya."Ibrahim, dia memiliki kisah kelam dalam urusan asmaranya di masa lalu. Dahulu, zaman dia masih kuliah, dia dekat dengan seorang wanita, salah satu mahasiswi di kampus yang sama.Sabrina namanya, dia gadis yang baik, beberapa kali Ibrahim mengajaknya menemui Ibu. Hubungan mereka terbilang cukup serius. Ibu bisa menilai seperti itu, sebab Sabrina adalah wanita pertama yang Ibrahim perkenalkan pada kami sebagai kekasihnya setelah usianya cukup dewasa.Ibu kenal betul siapa Ibrahim, dia bukan tipe lelaki yang suka bermain cinta. Berbeda dengan adiknya yang lebih dominan dalam urusan percintaan.Ibrahim lelaki yang pemilih, dia tidak sembarangan mendekati wanita, dan saat dia merasa cocok dengan Sabrina, ia langsung menjalin hubungan secara serius dengannya. Dan saat itu, keduanya terlihat saling mencintai.Waktu berlalu sampai Ibrahim dan Sabrina sama-sama meraih kelulusannya. Ibrahim
Bab 11"Syaratnya, selama kita hidup mandiri, kita harus menjalani hari-hari layaknya suami istri pada umumnya." Arumi mulai menyampaikan syaratnya."Ya nggak bisa gitu dong ... kan saya ajak kamu tinggal terpisah dari orang tua supaya kita bisa terbebas dari sandiwara, Arumi!" Ibrahim membalas cepat, mengingatkan tujuan awal mereka."Dengerin dulu, Mas, mangkanya ...." Arumi mengerlingkan mata kesal."Mas tenang aja, Arumi nggak akan meminta Mas melaksanakan kewajiban dengan memenuhi nafkah batin dalam tanda kutip, kecuali Mas benar-benar sudah siap. Karena Arumi menghargai privasi dan keputusan Mas Ibra. Dalam hal ini, Arumi akan memaklumi.Tapi ... Arumi mau, kita menjalani hidup layaknya suami istri pada umumnya. Pertama, kita wajib tidur satu kamar, satu ranjang, bila perlu satu bantal.""Rum!" Ibrahim memperingati."Bercanda, Mas ... Arumi hanya minta satu kamar dan satu ranjang, nggak ada ceritanya Mas tidur di sofa atau tempat lainnya." Arumi menjelaskan poin pertama dari perj
Bab 12"Mas ... menurut Mas bagaimana hukumnya, seseorang yang memahami hukum agama, namun enggan menjalankannya? Misal, Arumi tahu, hukum birrul walidain itu wajib, tapi Arumi memilih untuk durhaka?" tanya Arumi saat mereka baru saja memasuki mobil untuk segera melakukan perjalanan pulang."Ya dosa." Ibrahim menjawab dengan jawaban yang singkat, padat dan jelas."Apa itu artinya sama halnya dengan Mas Ibra yang paham bahwa ada perintah untuk seorang suami menanam benih di rahim istrinya dalam Al Qur'an, namun Mas enggan melakukannya?" Arumi membalikkan pertanyaan dengan penjelasan yang ia dapat dari suaminya sendiri saat di kelas tadi. Pembahasan tentang tafsir surah Al Baqarah ayat 233 tentang Al Qur'an yang mengumpamakan seorang istri adalah ladang untuk suaminya bercocok tanam."Nisaa'ukum hartsul lakum, fa'tuu hartsakum anna syi'tum.Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." A
Bab 39"Assalamualaikum." Ibrahim mengucap salam, seketika Yusuf dan Azizah menoleh ke arah mereka. Azizah hang tengah menemani putra bungsunta itu menyambut dengan senyuman, memandang Ibrahim yang datang menggandeng tangan istrinya. Sementara Yusuf, ia memandang saudaranya dengan pandangan yang sulit diartikan.Kakak Yusuf itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan menghadap Ibunya, masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan istrinya.Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya dengan penuh takdzim, hal yang sama dilakukan juga oleh Arumi, kemudian istri Ibrahim itu berdiri tertunduk di sisi suaminya."Suf ... gimana kabarmu?" tanya Ibrahim berusah tetap terlihat tenang di depan adiknya, adik yang sebelum ini menjadi calon suami dari wanita yang kini menjadi istrinya. "Ya ... beginilah, Bang ... Alhamdulillah, masih Allah berikan kesempatan untuk hidup," sahut Yusuf juga terlihat santai. Pandangannya beralih memandang Ibrahim dan Arumi bergantian.
Bab 38"Kok nangis? Sakit, ya, Rum? Saya mainnya kasar?" Ibrahim bertanya sesaat setelah mencapai puncak kenikmatannya.Arumi menggeleng sembari tersenyum."Terus kenapa nangis? Jangan nangis, dong ...!" Ibrahim mengusap air mata Arumi.Tak menjawab, Arumi hanya memandang suaminya penuh haru."Kenapa, Rum? Kamu menyesal?" sekali lagi Ibrahim bertanya, namun lagi-lagi Arumi menggeleng."Arumi nggak apa-apa, Mas ...." Arumi menjawab sembari menyentuh tangan Ibrahim di pipinya."Terus kenapa nangis?""Gimana, ya, Mas? Arumi bingung jelasinnya," sahut Arumi sembari mengelus perut bagian bawahnya yang terasa nyeri."Bilang aja nggak apa-apa? Sakit ya?" tanya Ibrahim sembari meringis."Iya, Mas ... tapi lebih ke terharu aja sih nangisnya, karena akhirnya kita sudah menjadi suami istri seutuhnya," balas Arumi dengan memandang suaminya penuh cinta."Bukan karena sakit? Saya kasar, ya?" Ibrahim terlihat khawatir dan merasa bersalah.Arumi tersenyum, "memang sakit, Mas, tapi bukan karena Mas Ib
Bab 37Menjelang maghrib, hujan baru reda, sementara Arumi yang sudah mendapatkan kehangatan dan kenyamanan, malah tertidur di bahu suami tercinta.Ibrahim memandang Arumi melalui ekor matanya, wajah gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Ibrahim terangkat membentuk senyuman yang indah,saat ingatannya memutar kembali momen manis yang baru saja ia lalui bersama Arumi. Manis, semanis bibir Arumi yang akhirnya ia cicipi di tengah hujan badai mengguyur bumi."Arumi Hayfa Hasan, tak pernah kusangka takdirku akan berakhir di pelukannya. Dia hadir menyembuhkan banyak luka, lalu menjadi penyejuk jiwa yang telah lama gersang tanpa sentuhan cinta." Ibrahim membatin.Perlahan ia menggerakkan tangan, membelai pipi Arumi hingga membuat matanya yang terpejam itu terbuka dan perlahan mengembalikan kesadarannya."Mas ...." Arumi tersenyum dan membenarkan posisinya."Sudah reda ya, Mas?" sembari mengucek mata Arumi bertanya."Sudah, sudah hampir maghrib juga. Kita balik, ya? Kamu
Bab 36"Arumi, are you okey?" Ibrahim segara menyambut Arumi di depan toilet. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia tak mengira bahwa aroma kecombrang yang digemarinya akan memberikan pengaruh sejauh itu untuk istrinya."Nggak apa-apa, kok, Mas, maaf, ya?" sahut Arumi sembari tersenyum santai."Saya nggak tahu kalau kamu sangat sensitiv dengan aroma kecombrang, maaf karena sudah memaksa." Ibrahim mengiringi langkah Arumi yang kembali berjalan menuju saung tempat di mana mereka meninggalkan makanan."Arumi nggak terpaksa sih, Mas ... bahkan tadi dengan senang hati makannya, karena disuapin Mas Ibra. Cuma emang nggak suka aja dasarnya, Arumi pikir dengan disuapin Mas Ibra rasa makanan yang nggak enak di mulut Arumi bakal jadi enak. Seperti teori-teori di sinetron-sinetron pas adegan romance gitu. Eh ternyata teorinya sesat." Arumi menceritakan apa adanya sembari terkikik sendiri menertawai dirinya."Kamu itu ada-ada aja! Kamu pikir tangan saya tangah
Bab 35Ibrahim beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya. Mengafirmasi positif pada dirinya."Benar kata Arumi, rilex saja, Ibra! Nggak perlu tegang. Apa yang perlu ditakutkan? Arumi istrimu, dia halal untukmu, kamu halal menikmati setiap keindahan tubuhnya. So, nikmati saja! Bukankah ini sebuah tahap untuk kamu bisa mencintainya secara utuh?" Ibrahim bermonolog dengan dirinya sendiri.Perlahan afirmasi positif itu mulai dirasakan manfaatnya. Ia mulai menikmati momen kebersamaannya dengan Arumi yang cukup intim.Melalui perjalanan sembari mengobrol, membahas pemandangan indah di sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan sesekali tangan Ibrahim menyentuh tangan Arumi yang melingkar di perutnya, sekedar membelainya saat wanitanya itu tengah membuatnya bahagia dengan celotehannya."Mas tahu nggak?" tanya Arumi masih dengan posisi yang sama."Nggak tahu.""Eh, iya juga ya, kan Arumi belum cerita. Kalau gitu, mau Arumi kasih tau nggak?" Arumi terkekeh."Kasih tahu apa?" sa
Bab 34"Kamu sudah selesai?" Ibrahim meletakkan kembali ponselnya saat melihat Arumi keluar dari kamar mandi."Sudah, Mas." Arumi menjawab sembari mendekat ke arah suaminya."Sudah selesai telepon Ibunya, Mas?" tanya Arumi seraya duduk di tepi ranjang, tepat di sisi suaminya."Sudah.""Terus, gimana?""Aman. Sesuai rencana."Segaris senyum penuh kelegaan terukir di bibir Arumi."Mas mau siap-siap? Yuk Arumi bantu." Arumi menawarkan bantuan. Ibrahim yang masih sedikit pening tak menolak, perlahan ia berganti posisi menjadi duduk dibantu oleh Arumi. Meneguk air mineral sebelum beranjak menuju kamar mandi.Dengan dipapah oleh sang istri, Ibrahim berjalan menuju kamar mandi. Bukan tak mampu berjalan sendiri, hanya saja ia mulai menikmati perhatian-perhatian yang diberikan oleh Arumi."Mandi air hangat, ya, Mas, biar rilex," pesan Arumi saat mereka sampai di ambang pintu kamar mandi."Iya, terima kasih, ya?" ucap Ibrahim sembari tersenyum manis ke arah istrinya. Arumi balas tersenyum dan
Bab 33"Rum ... coba jangan seperti ini." Ibrahim berusaha menjauhkan tubuh Arumi dari tubuhnya setelah beberapa saat berpelukan. Bukannya menjauh, Arumi justru memainkan tangan di dada suaminya."Arumi ...!" Ibrahim memperingati sekali lagi."Kenapa sih, Mas? Masih canggung sama istri sendiri?" tanya Arumi sembari memandang suaminya."Badan saya kotor, Arumi!" jawab Ibrahim tak sepenuhnya berbohong, walau sebenarnya bukan itu alasannya menjauhkan tubuh sang istri. Melainkan karena ia tak ingin Arumi mendengar gemuruh di dadanya yang mendadak berdisko saat tubuh wanita itu menempel menyentuh tubuhnya."Nggak apa-apa lah, Mas ... cuma kotor doang," sahut Arumi sembari meletakkan pipinya kembali di dada sang suami."Saya juga laper, kok tega sekali kamu ini malah manja-manjaan, bukannya bikinin suaminya makanan." Ibrahim kembali beralasan.Perlahan Arumi mengangkat kepala dari dada bidang sang suami. "Mas Ibra mau makan apa?" tanya Arumi terlihat tak bersemangat."Apa saja lah, asalkan
Bab 32Setelah berususah payah membawa tubuh suaminya dan membaringkannya di ranjang, Arumi segera bergerak mencari minyak kayu putih, mengoleskan di telapak kaki sang suami yang terasa dingin, juga di bawah hidungnya untuk melegakan saluran pernapasan.Tak berselang lama, Ibrahim yang merasakan dingin minyak kayu putih menelusuk ke dalam hidungnya, perlahan mulai membuka mata. Ungkap syukur menjadi yang pertama kali ia panjatkan kala pemandangan pertama yang tampak di matanya adalah istrinya."Mas ... kamu sudah sadar?" Tanya Arumi setelah mendapati sang suami telah membuka mata.Ibrahim hanya mengangguk lemah."Kamu minum dulu ya, Mas ...," tawar Arumi pada suaminya yang memandanginya lekat.Ibrahim hanya mengangguk pasrah. Arumi segera mengambil air, memberinya sedotan kemudian membantu sang suami untuk meminum dalam kondisi masih berbaring."Kamu ini kenapa sih, Mas? Kok bisa sampai pingsan begitu?" Tanya Arumi seraya meletakkan kembali botol air mineral di atas nakas, kemudian me
Bab 31Ibrahim bernafas lega, memandang Arumi yang tengah gundah gulana. Walaupun gadis itu telah banyak mengatainya, namun sedikitpun tak ada rasa sakit di hatinya. Ia memaklumi, dan ia sangat bersyukur sebab Arumi terlihat baik-baik saja.Perlahan ia berjalan mendekat ke arah Arumi, sengaja ia mengendap-endap agar istrinya itu tidak menyadari kedatangannya. Hingga saat jarak di antara mereka hanya tersisa satu meter, Ibrahim berdehem dan membuat Arumi terjingkat kaget."Astaghfirullah," desis Arumi reflek beristighfar sembari mengelus dada, masih dengan posisi memunggungi suaminya."Tenang saja, saya mendengar semua yang kamu ucapkan tentang saya, sehingga kamu terbebas dari dosa, karena saya sudah memaafkannya," sahut Ibrahim dengan nafas yang sedikit memburu. Rasa panik bercampur khawatir yang berlebihan membuat dadanya bergemuruh sepanjang perjalanan, tentu hal itu membuat tubuhnya bergetar dan nafasnya hanya sepenggal-sepenggal.Perlahan Arumi membalikkan tubuhnya, memandang Ibr