Bab 5
"Alhamdulillah, Mi, kami baik-baik saja, kok." Arumi mulai berakting di hadapan umminya."Syukur Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja. Mungkin sekarang Nak Ibrahim masih canggung sama kamu, kalau dia bersikap kurang bersahabat, nggak usah dimasukkan hati, Ummi dengar dia memang anaknya agak kaku, tapi Ummi lihat sendiri, dia sangat menyayangi dan mnghormati ibunya. Biasanya, lelaki seperti ini juga akan bersikap baik kepada istrinya."Arumi hanya tersenyum menanggapi ucapan umminya, "Andai Ummi tahu, bahwa Mas Ibra tak hanya menunjukkan sikap tak bersahabat, melainkan ia telah menolakku di malam pertama kami," batin Arumi sedih.Aminah tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "Jodoh itu memang rahasia Allah ya, Nduk ... Kamu tahu? Awalnya Abahmu memang pengennya jodohin kamu sama Ibrahim, lho ... bukan sama Yusuf, tapi haji Ishak bilang Ibrahim itu belum minat nikah, jadi dia nolak dijodoh-jodohkan. Yang minat malah adiknya, jadilah Yusuf yang dijodohkan sama kamu.Tapi ternyata kejadiannya malah seperti ini. Allah sudah mengatur semuanya, dan akhirnya yang menikah sama kamu Ibrahim, sesuai dengar yang kami inginkan, walaupun dengan cara yang cukup dramatis." Ummi Aminah bercerita panjang lebar.Arumi cukup terkejut dengan fakta yang baru diketahuinya. "Jadi wacana awalnya Rum dijodohinnya sama Mas Ibra, Mi?""Iya, tapi awalnya suamimu itu nolak, dan malah ngajuin adiknya. Menurut penuturan Ibunya sih, memang ini bukan kali pertama dia menolak dijodohkan." Aminah menceritakan apa yang ia ketahui dari besannya."Owalah, gitu toh ceritanya? Jadi mas Ibra memang sempat nolak Rum sebelumnya? Pantesan aja sikapnya nyebelin begitu," gumam Arumi mengalir begitu saja."Hush, nggak baik ah ngomongin suaminya seperti itu. Bagaimanapun sikap nak Ibra, dia tetap suami yang kudu kamu junjung dan jaga marwahnya, Nduk!Kalau dia bersikap nyebelin, kaku dan canggung, itu wajar, namanya juga masih baru, nggak saling kenal pula. Apalagi Nak Ibra nikahin kamu itu dadakan, kan? Jadi ya wajar kalau sikapnya masih kaku. Kamu terus saja berusaha mencairkan, jangan menyerah, sambil terus gedein rasa sabar, InsyaAllah lambat laun hatinya akan luluh.Jangan lupa juga untuk meminta Allah meluluhkan hatinya, karena Allah adalah Sang Maha Membolak-balikkan hati manusia, upaya jalur langitnya juga jangan ditinggal, Nduk. Salah satu doa yang paling mustajab adalah doa istri untuk suaminya, jadi doakan saja terus suamimu." Memahami apa yang tengah dialami buah hatinya, Aminah memberikan wejangan yang sangat menentramkan hati Arumi.Arumi tersenyum, "Iya ya, Mi ... Makasih atas nasihat-nasihatnya, Mi. Ummi doain Rum terus, ya?" pinta Arumi pada umminya."Pasti, Nduk ... Harapan Abah dan Ummi atas pernikahanmu dan Ibrahim juga sangat besar. Jangan khawatir, karena doa kami para orang tua selalu menyertai dan menyokong rumah tangga kalian. Bismillah, semoga langgeng dunia akhirat ya, Nduk ... pesan Ummi, kamu harus banyak bersabar," ucap Aminah menyampaikan harapnya."Aamiin ... Aamiin ... insyaAllah, Mi." Arumi menjawab sembari tersenyum."Sama-sama. Wis, sana buruan kasihkan kopinya untuk suamimu, keburu dingin nggak enak nanti." Aminah mengingatkan putrinya akan kopi yang mulai kehilangan kehaangatannya."Astaghfirullah, iya, Mi ... sampai lupa." Arumi terkekeh, lalu mengambil nampan berisikan secangkir kopi dan sepiring donat untuk dibawanya ke kamar."Rum balik ke kamar dulu ya, Mi," pamitnya."Iya. Ingat, ya ... jangan dulu minum kopi! Kali aja Mas Ibranya malam ini mau beraksi, kan?" Aminah sengaja menggoda putrinya.Pipi putih Arumi memerah mendengar ucapan wanita yang melahirkannya, "Semoga ya, Mi," sahutnya malu-malu. Ia lalu mengayun langkah, meninggalkan umminya yang tengah tersenyum bahagia, menyaksikannya yang tengah menjemput surga.Sementara di kamar, Ibrahim telah selesai dengan aktivitasnya di kamar mandi, ia mencari keberadaan istrinya yang tiba-tiba menghilang dari pandangan.Khawatir Arumi berbicara macam-macam dengan orang tuanya, ia pun memutuskan untuk menyusul istrinya. Diraihnya tuas pintu berniat membukanya, namun Arumi terlebih dahulu memutar tuas dari luar dan membukanya.Daun pintu yang didorong Arumi menabrak tubuh Ibrahim yang berada di baliknya. Membuatnya mengeluh kesakitan akibat hidung mancungnya yang terapaksa berciuman dengan benda keras berbahan kayu di hadapannya."Aduh, ya Allah ...!" Arumi memekik keras saat mendapati suaminya mengeluh kesakitan sembari mengusap-usap hidung mancungnya.Ibrahim memandang nyalang ke arah istrinya, "saya yang sakit kenapa kamu yang ngeluh?" protesnya sembari berlalu.Arumi meringis, mengikuti langkah suaminya, meletakkan makanan yang dibawanya di atas meja, kemudian mendekati suaminya untuk memastikan kondisinya."Mas ... maaf, ya, Arumi nggak tahu kalau Mas Ibra lagi di balik pintu," sesal Arumi merasa bersalah."Hem." Ibrahim hanya berdehem singkat sebagai responnya."Pasti sakit, ya, Mas ... sini biar Arumi cek," ucap Arumi seraya bergerak cepat mengecek hidung suaminya.Namun Ibrahim menolak, ia menjauhkan wajahnya dari sentuhan Arumi."Nggak apa-apa kok," ucapnya agar Arumi segera menjauhkan posisi darinya. Namun gadis itu tetap tak bergeming."Ngapain masih di situ? Minggir!" ucap Ibrahim sembari menggerakkan tangannya untuk mendorong Arumi mundur.Arumi pun mundur, menjauhkan dirinya dari suaminya."Mas ... Mas ... malam pertama bukannya ciuman sama istri, malah ciuaman sama pintu.Mas ngapain sih diem di belakang pintu begitu?" tanya Arumi menyesalkan kejadian yang baru menimpa suaminya."Ya saya mau keluar, tapi malah kamu masuk duluan.""Mas mau ngapain keluar? Ada butuh sesuatu?" tanya Arumi mengalir begitu saja."Nggak ada, nyariin kamu aja kok tiba-tiba ngilang," jawabnya sembari membenarkan posisi duduknya."Ciyeee ... ditinggal bentar aja udah kangen," goda Arumi dengan melirik manja ke arah suaminya."Nggak usah kege-eran!""Tenang, Mas ... Arumi nggak akan ke mana-mana kok, akan selalu di sisimu, membersamaimu hingga kita menua," sahut Arumi yang mendadak merasa mual mendengar betapa alainya ucapannya sendiri. Namun ia merasa perlu melakukan itu untuk mencairkan suasana di antara ia dan suaminya."Lebih baik kamu simpan kata-kata puitis kamu itu untuk lomba puisi, biar nggak mubadzir," sahut Ibrahim membuat Arumi menahan tawa, namun gadis itu tak menggubrisnya."Kopi, Mas ... mumpung masih hangat," ucap Arumi sembari menyodorkan secangkir kopi miliknya pada sang suami."Buat saya?" tanya Ibrahim heran."Iya lah, Mas ... terus buat siapa kalau nggak buat suami Arumi?" jawab Arumi.Ibrahim memandang tak percaya, namun tak urung berterima kasih juga."Terima kasih ya, kamu nggak minum juga?" tanyanya kemudian mulai menyesap kopi pemberian Arumi."Nggak, buat Mas aja, sama donat enak, Mas!" ucap Arumi sembari mencomot donat dan memakannya."Sudah malam, seharusnya jangan ngemil yang berat-berat," ucap Ibrahim mengingatkan."Memangnya kenapa, Mas takut Arumi jadi gendut?" tanya Arumi setelah menelan gigitan pertama dari donatnya."Nggak juga, karena nggak ada ngaruhnya untuk saya." dengan penuh keyakinan, Ibrahim menjawab pertanyaan Arumi."Ya sudah, berarti no problem, kan?" sahut Arumi lanjut mencomot donat kedua. Namun dengan cepat Ibrahim menahannya. Ia mengambil alih donat dari tangan Arumi, kemudian meletakkannya kembali di piring."Kenapa sih, Mas?" protes Arumi."Kandungan gula dan lemaknya banyak, nggak baik untuk kesehatan kamu. Biarkan ususmu istirahat di malam hari, jangan membuatnya harus bekerja keras di waktu istirahat, yang ada kamu yang nantinya akan merasakan akibatnya." kalimat yang cukup panjang itu terlontar dari mulut suami tembok Arumi, membuat hati Arumi menghangat karena merasa diperhatikan."Mas Ibra khawatir Arumi sakit, ya? Ciyee mulai perhatian nih ye ...," goda Arumi tidak ada kapok-kapoknya.Ibrahim memandang Arumi lekat, "selama Yusuf belum sadar, kamu adalah tanggung jawab saya. Kalau kamu sakit, saya juga yang repot!""Iya, itu namanya perhatian, Mas ...!""Terserah kamu aja mau nyebutnya apa," sahut Ibrahim malas meladeni pembahasan yang ia anggap receh dan tidak penting."Mas ....""Hem ...?""Kenapa Mas nggak menolak saja saat diminta untuk menggantikan posisi Yusuf?" tanya Arumi cukup menyita perhatian Ibrahim.Bab 6Ibrahim terdiam saat mendengar pertanyaan istrinya."Kapan-kapan aja bahasya, sekarang tidur lah!" Sambil mengalihkan pandangan, Ibrahim menjawab pertanyaan Arumi."Tapi, Mas ....""Besok pagi saya nggak mau datang terlambat gara-gara nungguin kamu!" Ibrahim kembali menyahuti."Jadi besok kita berangkat bareng, Mas?" tanya Arumi antusias, sejenak fokusnya teralihkan. Sementara Ibrahim hanya meliriknya sekilas."Mas ....""Hem?"Arumi janji deh, besok nggak akan bikin Mas Ibra terlambat, Arumi akan siap lebih awal, tapi, Mas ... please dong ... jawab dulu pertanyaan Arumi," pinta Arumi memohon agar suaminya bersedia menjawab.Ibrahim memandang Arumi sejenak, meletakkan ponselnya di meja lalu melepas kacamata."Memangnya kenapa kamu ingin tahu jawabannya? Apakah penting? Toh apapun jawabnnya tak akan merubah apapun." Ibrahim menanggapi serius pertanyaan Arumi."Penting, Mas ... Setidaknya jawaban itu bisa menjadi acuan untuk bagaimana Arumi harus bersikap. Arumi hanya ingin tahu,
Bab 7Setelah terdiam dan saling pandang, Ibrahim kembali tersadar, perlahan ia menegakkan posisi Arumi, lalu melepaskan tangan dari tubuhnya."Maaf ...," ucapnya salah tingkah, ia mengalihkan pandangan dari Arumi."Ya Allah ... debaran ini? Mengapa aku bisa kembali merasakannya saat bersama Arumi? Debaran jantung yang hampir kulupakan rasanya, akibat terlalu lama aku tak dapat merasakannya. Hatiku yang telah lama mati, seolah kembali mendapatkan nyawanya.Tapi ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh terlena, sehingga harus merasakan luka yang sama." Ibrahim bergumam dalam hatinya."Loh, kok minta maaf sih, Mas? Halal loh, Mas ... pahala malah kalau peluk-peluk istri," goda Arumi, kantuk yang dirasakannya seketika menghilang berganti dengan pandangan antusias."Sudah shubuh, buruan ambil wudhu' terus shalat." Tak menanggapi ucapan Arumi, Ibrahim justru mengalihkan pembicaraan, berniat ingin terlihat stay cool, namun tanpa ia sadari, sikapnya justru semakin mempertegas salah tingkahny
Bab 8"Bagaimana, Mas?" melihat suaminya terdiam tanpa merespon, Arumi kembali bertanya"Untuk apa kamu meminta itu, Arumi? Jangan aneh-aneh lah!" Ibrahim melepas kopyah yang dikenakannya, berusaha menganggap permintaan Arumi hanya guyonan semata."Kok aneh-aneh sih, Mas? Cuma cium tangan dan kening loh, nggak lebih. Arumi nggak minta Mas untuk menyentuh Arumi di bagian-bagian intim. Lagian yang aneh tuh Mas Ibra lho, masa cium kening istri aja dibilang aneh?" Arumi memprotes.Ibrahim terlihat menimbang."Ya udah kalau Mas nggak mau, Arumi—.""Ssstttt ... oke oke, nggak usah ngancem-ngancem saya lagi." Ibrahim menyahut cepat, tak ingin lebih lama berdebat dengan Arumi."Bener, Mas?" tanya Arumi antusias, binar matanya mewakili isi hatinya."Iya, hanya tangan dan kening ya? Tidak lebih!' Ibrahim berkata tegas.Arumi mengangguk, dengan senyuman mengembang menghiasi wajah ayunya.Ia lalu meraih tangan suaminya, dikecupnya punggung tangan itu sebagai tanda hormat, lalu dibaliknya tangan I
Bab 9Mobil Honda HR-V berwarna merah terlihat gagah membelah jalanan Pandaan, kota di mana Arumi dilahirkan."Kita langsung ke kampus, Mas?" tanya Arumi."Kita mampir ke rumah sakit dulu, bertemu Ayah dan Ibu saya, sekaligus melihat kondisi Yusuf." Masih dengan fokus menyetir, suami Arumi itu menjawab.Arumi mengangguk, "Pantes Mas Ibra pagi bener ngajak berangkatnya. Btw kemarin Arumi hanya lihat Ayah, tapi tidak melihat Ibu, Mas." Arumi berucap sembari membenarkan letak berkas-berkas yang dibawanya."Iya, Ibu fokus mengurus Yusuf di rumah sakit, jadi hanya Ayah yang mendampingi saya." Ibrahim menjawab apa adanya.Arumi mengangguk paham. "Jadi Mas Ibra tuh berapa bersaudara sebenernya?" Arumi terus memanfaatkan momen perjalanan untuk bercengkrama dan mengobrol lebih jauh dengan suaminya."Dua.""Berarti nggak punya saudara cewek dong?" tanya Arumi memastikan."Hem." Ibrahim menjawab singkat."Oohhh ... pantes," gumam Arumi, pelan. Namun tetap terdengar oleh suaminya."Pantes apa?" t
Bab 10Azizah membenarkan posisi duduknya, wanita paruh baya dengan paras manis itu menatap menantunya."Ibrahim, dia memiliki kisah kelam dalam urusan asmaranya di masa lalu. Dahulu, zaman dia masih kuliah, dia dekat dengan seorang wanita, salah satu mahasiswi di kampus yang sama.Sabrina namanya, dia gadis yang baik, beberapa kali Ibrahim mengajaknya menemui Ibu. Hubungan mereka terbilang cukup serius. Ibu bisa menilai seperti itu, sebab Sabrina adalah wanita pertama yang Ibrahim perkenalkan pada kami sebagai kekasihnya setelah usianya cukup dewasa.Ibu kenal betul siapa Ibrahim, dia bukan tipe lelaki yang suka bermain cinta. Berbeda dengan adiknya yang lebih dominan dalam urusan percintaan.Ibrahim lelaki yang pemilih, dia tidak sembarangan mendekati wanita, dan saat dia merasa cocok dengan Sabrina, ia langsung menjalin hubungan secara serius dengannya. Dan saat itu, keduanya terlihat saling mencintai.Waktu berlalu sampai Ibrahim dan Sabrina sama-sama meraih kelulusannya. Ibrahim
Bab 11"Syaratnya, selama kita hidup mandiri, kita harus menjalani hari-hari layaknya suami istri pada umumnya." Arumi mulai menyampaikan syaratnya."Ya nggak bisa gitu dong ... kan saya ajak kamu tinggal terpisah dari orang tua supaya kita bisa terbebas dari sandiwara, Arumi!" Ibrahim membalas cepat, mengingatkan tujuan awal mereka."Dengerin dulu, Mas, mangkanya ...." Arumi mengerlingkan mata kesal."Mas tenang aja, Arumi nggak akan meminta Mas melaksanakan kewajiban dengan memenuhi nafkah batin dalam tanda kutip, kecuali Mas benar-benar sudah siap. Karena Arumi menghargai privasi dan keputusan Mas Ibra. Dalam hal ini, Arumi akan memaklumi.Tapi ... Arumi mau, kita menjalani hidup layaknya suami istri pada umumnya. Pertama, kita wajib tidur satu kamar, satu ranjang, bila perlu satu bantal.""Rum!" Ibrahim memperingati."Bercanda, Mas ... Arumi hanya minta satu kamar dan satu ranjang, nggak ada ceritanya Mas tidur di sofa atau tempat lainnya." Arumi menjelaskan poin pertama dari perj
Bab 12"Mas ... menurut Mas bagaimana hukumnya, seseorang yang memahami hukum agama, namun enggan menjalankannya? Misal, Arumi tahu, hukum birrul walidain itu wajib, tapi Arumi memilih untuk durhaka?" tanya Arumi saat mereka baru saja memasuki mobil untuk segera melakukan perjalanan pulang."Ya dosa." Ibrahim menjawab dengan jawaban yang singkat, padat dan jelas."Apa itu artinya sama halnya dengan Mas Ibra yang paham bahwa ada perintah untuk seorang suami menanam benih di rahim istrinya dalam Al Qur'an, namun Mas enggan melakukannya?" Arumi membalikkan pertanyaan dengan penjelasan yang ia dapat dari suaminya sendiri saat di kelas tadi. Pembahasan tentang tafsir surah Al Baqarah ayat 233 tentang Al Qur'an yang mengumpamakan seorang istri adalah ladang untuk suaminya bercocok tanam."Nisaa'ukum hartsul lakum, fa'tuu hartsakum anna syi'tum.Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." A
Bab 13Surat Perjanjian Suami IstriSaya, Ibrahim Moalvic, yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan, bahwasannya saya bersedia, melaksanakan poin-poin di bawah ini, dan menerima hukuman apabila melakukan pelanggaran.Di antaranya; 1. Menjalankan tugas saya sebagai suami dengan semestinya, ex: tidur di ruangan yang sama dengan istri saya, Arumi Hayfa Hasan, saling terbuka dan menghargai, saling menjaga perasaan dan tidak saling menyakiti, saling menjaga marwah dan kehormatan satu sama lain. 2. Melaksanakan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin, lahir dalam makna finansial, dan batin dalam makna menjamin kesejahteraan dan ketentraman hati. 3. Menghabiskan waktu lebih banyak bersama istri, ex: makan bersama istri, menghabiskan hari libur di rumah bersama istri, mengantar istri belanja seminggu sekali. 4. Memperlakukan istri dengan baik, ex: mencium kening istri minimal sehari 7 kali, setiap selepas shalat wajib dan ketika hendak be
Bab 39"Assalamualaikum." Ibrahim mengucap salam, seketika Yusuf dan Azizah menoleh ke arah mereka. Azizah hang tengah menemani putra bungsunta itu menyambut dengan senyuman, memandang Ibrahim yang datang menggandeng tangan istrinya. Sementara Yusuf, ia memandang saudaranya dengan pandangan yang sulit diartikan.Kakak Yusuf itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan menghadap Ibunya, masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan istrinya.Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya dengan penuh takdzim, hal yang sama dilakukan juga oleh Arumi, kemudian istri Ibrahim itu berdiri tertunduk di sisi suaminya."Suf ... gimana kabarmu?" tanya Ibrahim berusah tetap terlihat tenang di depan adiknya, adik yang sebelum ini menjadi calon suami dari wanita yang kini menjadi istrinya. "Ya ... beginilah, Bang ... Alhamdulillah, masih Allah berikan kesempatan untuk hidup," sahut Yusuf juga terlihat santai. Pandangannya beralih memandang Ibrahim dan Arumi bergantian.
Bab 38"Kok nangis? Sakit, ya, Rum? Saya mainnya kasar?" Ibrahim bertanya sesaat setelah mencapai puncak kenikmatannya.Arumi menggeleng sembari tersenyum."Terus kenapa nangis? Jangan nangis, dong ...!" Ibrahim mengusap air mata Arumi.Tak menjawab, Arumi hanya memandang suaminya penuh haru."Kenapa, Rum? Kamu menyesal?" sekali lagi Ibrahim bertanya, namun lagi-lagi Arumi menggeleng."Arumi nggak apa-apa, Mas ...." Arumi menjawab sembari menyentuh tangan Ibrahim di pipinya."Terus kenapa nangis?""Gimana, ya, Mas? Arumi bingung jelasinnya," sahut Arumi sembari mengelus perut bagian bawahnya yang terasa nyeri."Bilang aja nggak apa-apa? Sakit ya?" tanya Ibrahim sembari meringis."Iya, Mas ... tapi lebih ke terharu aja sih nangisnya, karena akhirnya kita sudah menjadi suami istri seutuhnya," balas Arumi dengan memandang suaminya penuh cinta."Bukan karena sakit? Saya kasar, ya?" Ibrahim terlihat khawatir dan merasa bersalah.Arumi tersenyum, "memang sakit, Mas, tapi bukan karena Mas Ib
Bab 37Menjelang maghrib, hujan baru reda, sementara Arumi yang sudah mendapatkan kehangatan dan kenyamanan, malah tertidur di bahu suami tercinta.Ibrahim memandang Arumi melalui ekor matanya, wajah gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Ibrahim terangkat membentuk senyuman yang indah,saat ingatannya memutar kembali momen manis yang baru saja ia lalui bersama Arumi. Manis, semanis bibir Arumi yang akhirnya ia cicipi di tengah hujan badai mengguyur bumi."Arumi Hayfa Hasan, tak pernah kusangka takdirku akan berakhir di pelukannya. Dia hadir menyembuhkan banyak luka, lalu menjadi penyejuk jiwa yang telah lama gersang tanpa sentuhan cinta." Ibrahim membatin.Perlahan ia menggerakkan tangan, membelai pipi Arumi hingga membuat matanya yang terpejam itu terbuka dan perlahan mengembalikan kesadarannya."Mas ...." Arumi tersenyum dan membenarkan posisinya."Sudah reda ya, Mas?" sembari mengucek mata Arumi bertanya."Sudah, sudah hampir maghrib juga. Kita balik, ya? Kamu
Bab 36"Arumi, are you okey?" Ibrahim segara menyambut Arumi di depan toilet. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia tak mengira bahwa aroma kecombrang yang digemarinya akan memberikan pengaruh sejauh itu untuk istrinya."Nggak apa-apa, kok, Mas, maaf, ya?" sahut Arumi sembari tersenyum santai."Saya nggak tahu kalau kamu sangat sensitiv dengan aroma kecombrang, maaf karena sudah memaksa." Ibrahim mengiringi langkah Arumi yang kembali berjalan menuju saung tempat di mana mereka meninggalkan makanan."Arumi nggak terpaksa sih, Mas ... bahkan tadi dengan senang hati makannya, karena disuapin Mas Ibra. Cuma emang nggak suka aja dasarnya, Arumi pikir dengan disuapin Mas Ibra rasa makanan yang nggak enak di mulut Arumi bakal jadi enak. Seperti teori-teori di sinetron-sinetron pas adegan romance gitu. Eh ternyata teorinya sesat." Arumi menceritakan apa adanya sembari terkikik sendiri menertawai dirinya."Kamu itu ada-ada aja! Kamu pikir tangan saya tangah
Bab 35Ibrahim beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya. Mengafirmasi positif pada dirinya."Benar kata Arumi, rilex saja, Ibra! Nggak perlu tegang. Apa yang perlu ditakutkan? Arumi istrimu, dia halal untukmu, kamu halal menikmati setiap keindahan tubuhnya. So, nikmati saja! Bukankah ini sebuah tahap untuk kamu bisa mencintainya secara utuh?" Ibrahim bermonolog dengan dirinya sendiri.Perlahan afirmasi positif itu mulai dirasakan manfaatnya. Ia mulai menikmati momen kebersamaannya dengan Arumi yang cukup intim.Melalui perjalanan sembari mengobrol, membahas pemandangan indah di sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan sesekali tangan Ibrahim menyentuh tangan Arumi yang melingkar di perutnya, sekedar membelainya saat wanitanya itu tengah membuatnya bahagia dengan celotehannya."Mas tahu nggak?" tanya Arumi masih dengan posisi yang sama."Nggak tahu.""Eh, iya juga ya, kan Arumi belum cerita. Kalau gitu, mau Arumi kasih tau nggak?" Arumi terkekeh."Kasih tahu apa?" sa
Bab 34"Kamu sudah selesai?" Ibrahim meletakkan kembali ponselnya saat melihat Arumi keluar dari kamar mandi."Sudah, Mas." Arumi menjawab sembari mendekat ke arah suaminya."Sudah selesai telepon Ibunya, Mas?" tanya Arumi seraya duduk di tepi ranjang, tepat di sisi suaminya."Sudah.""Terus, gimana?""Aman. Sesuai rencana."Segaris senyum penuh kelegaan terukir di bibir Arumi."Mas mau siap-siap? Yuk Arumi bantu." Arumi menawarkan bantuan. Ibrahim yang masih sedikit pening tak menolak, perlahan ia berganti posisi menjadi duduk dibantu oleh Arumi. Meneguk air mineral sebelum beranjak menuju kamar mandi.Dengan dipapah oleh sang istri, Ibrahim berjalan menuju kamar mandi. Bukan tak mampu berjalan sendiri, hanya saja ia mulai menikmati perhatian-perhatian yang diberikan oleh Arumi."Mandi air hangat, ya, Mas, biar rilex," pesan Arumi saat mereka sampai di ambang pintu kamar mandi."Iya, terima kasih, ya?" ucap Ibrahim sembari tersenyum manis ke arah istrinya. Arumi balas tersenyum dan
Bab 33"Rum ... coba jangan seperti ini." Ibrahim berusaha menjauhkan tubuh Arumi dari tubuhnya setelah beberapa saat berpelukan. Bukannya menjauh, Arumi justru memainkan tangan di dada suaminya."Arumi ...!" Ibrahim memperingati sekali lagi."Kenapa sih, Mas? Masih canggung sama istri sendiri?" tanya Arumi sembari memandang suaminya."Badan saya kotor, Arumi!" jawab Ibrahim tak sepenuhnya berbohong, walau sebenarnya bukan itu alasannya menjauhkan tubuh sang istri. Melainkan karena ia tak ingin Arumi mendengar gemuruh di dadanya yang mendadak berdisko saat tubuh wanita itu menempel menyentuh tubuhnya."Nggak apa-apa lah, Mas ... cuma kotor doang," sahut Arumi sembari meletakkan pipinya kembali di dada sang suami."Saya juga laper, kok tega sekali kamu ini malah manja-manjaan, bukannya bikinin suaminya makanan." Ibrahim kembali beralasan.Perlahan Arumi mengangkat kepala dari dada bidang sang suami. "Mas Ibra mau makan apa?" tanya Arumi terlihat tak bersemangat."Apa saja lah, asalkan
Bab 32Setelah berususah payah membawa tubuh suaminya dan membaringkannya di ranjang, Arumi segera bergerak mencari minyak kayu putih, mengoleskan di telapak kaki sang suami yang terasa dingin, juga di bawah hidungnya untuk melegakan saluran pernapasan.Tak berselang lama, Ibrahim yang merasakan dingin minyak kayu putih menelusuk ke dalam hidungnya, perlahan mulai membuka mata. Ungkap syukur menjadi yang pertama kali ia panjatkan kala pemandangan pertama yang tampak di matanya adalah istrinya."Mas ... kamu sudah sadar?" Tanya Arumi setelah mendapati sang suami telah membuka mata.Ibrahim hanya mengangguk lemah."Kamu minum dulu ya, Mas ...," tawar Arumi pada suaminya yang memandanginya lekat.Ibrahim hanya mengangguk pasrah. Arumi segera mengambil air, memberinya sedotan kemudian membantu sang suami untuk meminum dalam kondisi masih berbaring."Kamu ini kenapa sih, Mas? Kok bisa sampai pingsan begitu?" Tanya Arumi seraya meletakkan kembali botol air mineral di atas nakas, kemudian me
Bab 31Ibrahim bernafas lega, memandang Arumi yang tengah gundah gulana. Walaupun gadis itu telah banyak mengatainya, namun sedikitpun tak ada rasa sakit di hatinya. Ia memaklumi, dan ia sangat bersyukur sebab Arumi terlihat baik-baik saja.Perlahan ia berjalan mendekat ke arah Arumi, sengaja ia mengendap-endap agar istrinya itu tidak menyadari kedatangannya. Hingga saat jarak di antara mereka hanya tersisa satu meter, Ibrahim berdehem dan membuat Arumi terjingkat kaget."Astaghfirullah," desis Arumi reflek beristighfar sembari mengelus dada, masih dengan posisi memunggungi suaminya."Tenang saja, saya mendengar semua yang kamu ucapkan tentang saya, sehingga kamu terbebas dari dosa, karena saya sudah memaafkannya," sahut Ibrahim dengan nafas yang sedikit memburu. Rasa panik bercampur khawatir yang berlebihan membuat dadanya bergemuruh sepanjang perjalanan, tentu hal itu membuat tubuhnya bergetar dan nafasnya hanya sepenggal-sepenggal.Perlahan Arumi membalikkan tubuhnya, memandang Ibr