Bab 11"Syaratnya, selama kita hidup mandiri, kita harus menjalani hari-hari layaknya suami istri pada umumnya." Arumi mulai menyampaikan syaratnya."Ya nggak bisa gitu dong ... kan saya ajak kamu tinggal terpisah dari orang tua supaya kita bisa terbebas dari sandiwara, Arumi!" Ibrahim membalas cepat, mengingatkan tujuan awal mereka."Dengerin dulu, Mas, mangkanya ...." Arumi mengerlingkan mata kesal."Mas tenang aja, Arumi nggak akan meminta Mas melaksanakan kewajiban dengan memenuhi nafkah batin dalam tanda kutip, kecuali Mas benar-benar sudah siap. Karena Arumi menghargai privasi dan keputusan Mas Ibra. Dalam hal ini, Arumi akan memaklumi.Tapi ... Arumi mau, kita menjalani hidup layaknya suami istri pada umumnya. Pertama, kita wajib tidur satu kamar, satu ranjang, bila perlu satu bantal.""Rum!" Ibrahim memperingati."Bercanda, Mas ... Arumi hanya minta satu kamar dan satu ranjang, nggak ada ceritanya Mas tidur di sofa atau tempat lainnya." Arumi menjelaskan poin pertama dari perj
Bab 12"Mas ... menurut Mas bagaimana hukumnya, seseorang yang memahami hukum agama, namun enggan menjalankannya? Misal, Arumi tahu, hukum birrul walidain itu wajib, tapi Arumi memilih untuk durhaka?" tanya Arumi saat mereka baru saja memasuki mobil untuk segera melakukan perjalanan pulang."Ya dosa." Ibrahim menjawab dengan jawaban yang singkat, padat dan jelas."Apa itu artinya sama halnya dengan Mas Ibra yang paham bahwa ada perintah untuk seorang suami menanam benih di rahim istrinya dalam Al Qur'an, namun Mas enggan melakukannya?" Arumi membalikkan pertanyaan dengan penjelasan yang ia dapat dari suaminya sendiri saat di kelas tadi. Pembahasan tentang tafsir surah Al Baqarah ayat 233 tentang Al Qur'an yang mengumpamakan seorang istri adalah ladang untuk suaminya bercocok tanam."Nisaa'ukum hartsul lakum, fa'tuu hartsakum anna syi'tum.Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki." A
Bab 13Surat Perjanjian Suami IstriSaya, Ibrahim Moalvic, yang bertanda tangan di bawah ini, menyatakan dalam keadaan sadar dan tanpa paksaan, bahwasannya saya bersedia, melaksanakan poin-poin di bawah ini, dan menerima hukuman apabila melakukan pelanggaran.Di antaranya; 1. Menjalankan tugas saya sebagai suami dengan semestinya, ex: tidur di ruangan yang sama dengan istri saya, Arumi Hayfa Hasan, saling terbuka dan menghargai, saling menjaga perasaan dan tidak saling menyakiti, saling menjaga marwah dan kehormatan satu sama lain. 2. Melaksanakan kewajiban memberikan nafkah lahir dan batin, lahir dalam makna finansial, dan batin dalam makna menjamin kesejahteraan dan ketentraman hati. 3. Menghabiskan waktu lebih banyak bersama istri, ex: makan bersama istri, menghabiskan hari libur di rumah bersama istri, mengantar istri belanja seminggu sekali. 4. Memperlakukan istri dengan baik, ex: mencium kening istri minimal sehari 7 kali, setiap selepas shalat wajib dan ketika hendak be
Bab 14"Syarat Mas Ibra ini cukup berat, aku nggak bisa mengabulkannya begitu saja, jelas hal itu akan menghalangi rencanaku untuk segera mendapatkan benih Mas Ibra. Bagaimana mungkin dia akan tertarik untuk menyentuhku jika aku berpakaian tertutup setiap bersamanya? Rasanya tidur satu ranjang pun akan percuma jika penampilanku tak dapat mengundang syahwatnya." Arumi menimbang dalam hati."Mas, sepertinya Arumi nggak setuju dengan syarat kedua," ucap Arumi setelah beberapa saat."Memangnya kenapa?""Saya orangnya gerahan, Mas, nggak bisa tidur kalau nggak pakai baju tidur." Arumi mulai beralasan."Kamu bisa mengenakan piyama tidur berlengan panjang, kan ada? Pasti nyaman lah, sebab baju itu memang didesain khusus untuk tidur. Nggak usah banyak alasan kamu, ya!" Ibrahim memperingati.Arumi mendengus kesal. "Tetep aja,Mas, gerah kalau nggak terbiasa." Arumi pantang menyerah."Di kamar saya ada AC, kamu bisa setting suhunya sesuka hati kamu. Jadi nggak ada alasan lagi untuk alasan gerah,
Bab 15Mendengar Arumi memekik, seketika Ibrahim menoleh dan raut wajahnya berubah khawatir. Diletakkannya pisau yang sedang digunakannya, kemudian segera mendekati Arumi untuk mengecek lukanya.Diraihnya tangan Arumi yang berdarah, menariknya menuju wastefel kemudian mencucinya di bawah air mengalir, menekan-nekan area yang terluka agar darah keluar membawa bakteri yang mungkin tersisa di area luka."Hati-hati dong, Rum! Kamu sebenarnya bisa masak apa nggak sih?" sembari mengeringkan tangan Arumi menggunakan tissue Ibrahim mengomel.Arumi hanya terdiam, ia tak menyangka bahwa suaminya akan bereaksi demikian. Lelaki yang terlihat datar seperti tembok itu ternyata bisa peduli juga."Mas tahu nggak? tidak semua jari yang terkena pisau itu akibat sang pemilik raga tak pandai memasak. Bahkan, wanita-wanita mesir bisa sampai tak sengaja memotong jari mereka sendiri akibat terpesona oleh ketampanan nabi Yusuf. Kira-kira begitulah yang terjadi pada Arumi, terpesona oleh ketampanan titisan na
Bab 16Arumi sibuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia menggigit ujung jari-jarinya sendiri, pertanda ia sedang gusar, memikirkan hal apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya terhadap sang suami."Kamu ceroboh si, Rum! Harusnya kamu lebih hati-hati, tahu sendiri kan suamimu orangnya gimana? Baru juga sehari menikah masa udah bikin masalah aja sih kamu, Rum? Ya ... gimana suamimu bisa jatuh cinta kalau begini caranya? Yang ada dia makin ilfeel sama kamu, Arumi ...!" Arumi sibuk bermonolog. Ia tak henti-hentinya merutuki diri sendiri. Kesalahan yang ia perbuat membuat semua rencananya bubar."Ya Allah ... aku harus gimana ya bersikap ke Mas Ibra? Jujur aku bingung banget ... seandainya Mas Ibra tadi langsung marah dan ngomel-ngomel mungkin aku bisa gunakan jurus pelukan maut seperti di novel-novel romance yang biasa aku baca, dijamin Mas Ibra langsung diam dan tak dapat berkata-kata. Uh romanits banget pastinya.Tapi Mas Ibra? Ah, dia terlalu sabar apa gimana? Dia jawabinnya
Bab 17"Kok istighfar, Mas? Ada yang salah?" Arumi bertanya seolah ia tengah terheran dengan respon suaminya, bersikap sok polos padahal dalam hati ia bersorak penuh kemenangan, sebab respon sang suami benar-benar sesuai harapan."Arumi ... ganti baju kamu!" titah Ibrahim sembari mengalihkan pandangan dari istrinya."Kok diganti, Mas? Ini kan sudah sesuai perjanjian? Lengan panjang dan celana panjang?" sahut Arumi yang memang sudah menyiapkan jawaban sejak awal."Ya tapi nggak ketat gitu juga, Arumi ...! Itu sama aja kamu nggak pakai baju, lekuk tubuhmu tercetak sempurna. Buruan ganti!" titah Ibrahim dengan sisa kesabarannya.Arumi tersenyum tipis, kemudian berjalan menuju ranjang, dan duduk di sisi suaminya."Maaf, ya, Mas ... Arumi punyanya ini, baju tidur Arumi semuanya pendek, set babydoll pendek, dan piyama tidur seperti yang Arumi pakai kemarin malam, Arumi nggak punya baju tidur panjang, karena emang nggak terbiasa make piyama panjang," jelas Arumi di sisi suaminya.Ibrahim men
Bab 18Setelah Arumi terlihat tenang dan tak bergerak-gerak lagi, Ibrahim kembali memberanikan diri untuk memandangnya. Mengamati setiap detail dari lekukan tubuh Arumi yang tercetak jelas akibat pakaian ketat yang dikenakannya."MasyaAllah, sungguh Arumi merupakan manifestasi keindahan wanita yang begitu nyata. Paras cantiknya, tubuh indahnya nan berisi membuat jiwa binatangku meronta.Sepertinya dia sudah tidur, mungkin sedikit menyentuh atau memeluknya dalam kondisi tak sadarkan diri tak kan membuatnya terhanyut dalam perasaan terhadapku. Dengan begitu semua akan aman. Aku juga tidak akan melakukan hal-hal yang melampaui batas. Hanya sekedar memeluk tak akan merusak Arumi, toh dia halal bagiku. Aku akan tetap mempertahankan mahkota kebanggaannya untuk diberikan kepada lelaki yang benar-benar tepat, lelaki yang akan mendampinginya hingga akhir hayat. Setidaknya aku berhak melakukan ini untuk meredam syahwatku. Bismillah ...." Ibrahim bergumam dalam hati.Kemudian dengan gerakan yan
Bab 39"Assalamualaikum." Ibrahim mengucap salam, seketika Yusuf dan Azizah menoleh ke arah mereka. Azizah hang tengah menemani putra bungsunta itu menyambut dengan senyuman, memandang Ibrahim yang datang menggandeng tangan istrinya. Sementara Yusuf, ia memandang saudaranya dengan pandangan yang sulit diartikan.Kakak Yusuf itu menutup pintu, kemudian berjalan perlahan menghadap Ibunya, masih dengan tangan yang menggenggam erat tangan istrinya.Diraihnya tangan wanita yang telah melahirkannya itu, lalu menciumnya dengan penuh takdzim, hal yang sama dilakukan juga oleh Arumi, kemudian istri Ibrahim itu berdiri tertunduk di sisi suaminya."Suf ... gimana kabarmu?" tanya Ibrahim berusah tetap terlihat tenang di depan adiknya, adik yang sebelum ini menjadi calon suami dari wanita yang kini menjadi istrinya. "Ya ... beginilah, Bang ... Alhamdulillah, masih Allah berikan kesempatan untuk hidup," sahut Yusuf juga terlihat santai. Pandangannya beralih memandang Ibrahim dan Arumi bergantian.
Bab 38"Kok nangis? Sakit, ya, Rum? Saya mainnya kasar?" Ibrahim bertanya sesaat setelah mencapai puncak kenikmatannya.Arumi menggeleng sembari tersenyum."Terus kenapa nangis? Jangan nangis, dong ...!" Ibrahim mengusap air mata Arumi.Tak menjawab, Arumi hanya memandang suaminya penuh haru."Kenapa, Rum? Kamu menyesal?" sekali lagi Ibrahim bertanya, namun lagi-lagi Arumi menggeleng."Arumi nggak apa-apa, Mas ...." Arumi menjawab sembari menyentuh tangan Ibrahim di pipinya."Terus kenapa nangis?""Gimana, ya, Mas? Arumi bingung jelasinnya," sahut Arumi sembari mengelus perut bagian bawahnya yang terasa nyeri."Bilang aja nggak apa-apa? Sakit ya?" tanya Ibrahim sembari meringis."Iya, Mas ... tapi lebih ke terharu aja sih nangisnya, karena akhirnya kita sudah menjadi suami istri seutuhnya," balas Arumi dengan memandang suaminya penuh cinta."Bukan karena sakit? Saya kasar, ya?" Ibrahim terlihat khawatir dan merasa bersalah.Arumi tersenyum, "memang sakit, Mas, tapi bukan karena Mas Ib
Bab 37Menjelang maghrib, hujan baru reda, sementara Arumi yang sudah mendapatkan kehangatan dan kenyamanan, malah tertidur di bahu suami tercinta.Ibrahim memandang Arumi melalui ekor matanya, wajah gadis itu terlihat damai dalam tidurnya. Kedua sudut bibir Ibrahim terangkat membentuk senyuman yang indah,saat ingatannya memutar kembali momen manis yang baru saja ia lalui bersama Arumi. Manis, semanis bibir Arumi yang akhirnya ia cicipi di tengah hujan badai mengguyur bumi."Arumi Hayfa Hasan, tak pernah kusangka takdirku akan berakhir di pelukannya. Dia hadir menyembuhkan banyak luka, lalu menjadi penyejuk jiwa yang telah lama gersang tanpa sentuhan cinta." Ibrahim membatin.Perlahan ia menggerakkan tangan, membelai pipi Arumi hingga membuat matanya yang terpejam itu terbuka dan perlahan mengembalikan kesadarannya."Mas ...." Arumi tersenyum dan membenarkan posisinya."Sudah reda ya, Mas?" sembari mengucek mata Arumi bertanya."Sudah, sudah hampir maghrib juga. Kita balik, ya? Kamu
Bab 36"Arumi, are you okey?" Ibrahim segara menyambut Arumi di depan toilet. Raut wajahnya menunjukkan kekhawatiran. Rasa bersalah memenuhi hatinya. Ia tak mengira bahwa aroma kecombrang yang digemarinya akan memberikan pengaruh sejauh itu untuk istrinya."Nggak apa-apa, kok, Mas, maaf, ya?" sahut Arumi sembari tersenyum santai."Saya nggak tahu kalau kamu sangat sensitiv dengan aroma kecombrang, maaf karena sudah memaksa." Ibrahim mengiringi langkah Arumi yang kembali berjalan menuju saung tempat di mana mereka meninggalkan makanan."Arumi nggak terpaksa sih, Mas ... bahkan tadi dengan senang hati makannya, karena disuapin Mas Ibra. Cuma emang nggak suka aja dasarnya, Arumi pikir dengan disuapin Mas Ibra rasa makanan yang nggak enak di mulut Arumi bakal jadi enak. Seperti teori-teori di sinetron-sinetron pas adegan romance gitu. Eh ternyata teorinya sesat." Arumi menceritakan apa adanya sembari terkikik sendiri menertawai dirinya."Kamu itu ada-ada aja! Kamu pikir tangan saya tangah
Bab 35Ibrahim beberapa kali menghela nafas panjang dan menghembuskannya. Mengafirmasi positif pada dirinya."Benar kata Arumi, rilex saja, Ibra! Nggak perlu tegang. Apa yang perlu ditakutkan? Arumi istrimu, dia halal untukmu, kamu halal menikmati setiap keindahan tubuhnya. So, nikmati saja! Bukankah ini sebuah tahap untuk kamu bisa mencintainya secara utuh?" Ibrahim bermonolog dengan dirinya sendiri.Perlahan afirmasi positif itu mulai dirasakan manfaatnya. Ia mulai menikmati momen kebersamaannya dengan Arumi yang cukup intim.Melalui perjalanan sembari mengobrol, membahas pemandangan indah di sepanjang jalan yang mereka lewati. Bahkan sesekali tangan Ibrahim menyentuh tangan Arumi yang melingkar di perutnya, sekedar membelainya saat wanitanya itu tengah membuatnya bahagia dengan celotehannya."Mas tahu nggak?" tanya Arumi masih dengan posisi yang sama."Nggak tahu.""Eh, iya juga ya, kan Arumi belum cerita. Kalau gitu, mau Arumi kasih tau nggak?" Arumi terkekeh."Kasih tahu apa?" sa
Bab 34"Kamu sudah selesai?" Ibrahim meletakkan kembali ponselnya saat melihat Arumi keluar dari kamar mandi."Sudah, Mas." Arumi menjawab sembari mendekat ke arah suaminya."Sudah selesai telepon Ibunya, Mas?" tanya Arumi seraya duduk di tepi ranjang, tepat di sisi suaminya."Sudah.""Terus, gimana?""Aman. Sesuai rencana."Segaris senyum penuh kelegaan terukir di bibir Arumi."Mas mau siap-siap? Yuk Arumi bantu." Arumi menawarkan bantuan. Ibrahim yang masih sedikit pening tak menolak, perlahan ia berganti posisi menjadi duduk dibantu oleh Arumi. Meneguk air mineral sebelum beranjak menuju kamar mandi.Dengan dipapah oleh sang istri, Ibrahim berjalan menuju kamar mandi. Bukan tak mampu berjalan sendiri, hanya saja ia mulai menikmati perhatian-perhatian yang diberikan oleh Arumi."Mandi air hangat, ya, Mas, biar rilex," pesan Arumi saat mereka sampai di ambang pintu kamar mandi."Iya, terima kasih, ya?" ucap Ibrahim sembari tersenyum manis ke arah istrinya. Arumi balas tersenyum dan
Bab 33"Rum ... coba jangan seperti ini." Ibrahim berusaha menjauhkan tubuh Arumi dari tubuhnya setelah beberapa saat berpelukan. Bukannya menjauh, Arumi justru memainkan tangan di dada suaminya."Arumi ...!" Ibrahim memperingati sekali lagi."Kenapa sih, Mas? Masih canggung sama istri sendiri?" tanya Arumi sembari memandang suaminya."Badan saya kotor, Arumi!" jawab Ibrahim tak sepenuhnya berbohong, walau sebenarnya bukan itu alasannya menjauhkan tubuh sang istri. Melainkan karena ia tak ingin Arumi mendengar gemuruh di dadanya yang mendadak berdisko saat tubuh wanita itu menempel menyentuh tubuhnya."Nggak apa-apa lah, Mas ... cuma kotor doang," sahut Arumi sembari meletakkan pipinya kembali di dada sang suami."Saya juga laper, kok tega sekali kamu ini malah manja-manjaan, bukannya bikinin suaminya makanan." Ibrahim kembali beralasan.Perlahan Arumi mengangkat kepala dari dada bidang sang suami. "Mas Ibra mau makan apa?" tanya Arumi terlihat tak bersemangat."Apa saja lah, asalkan
Bab 32Setelah berususah payah membawa tubuh suaminya dan membaringkannya di ranjang, Arumi segera bergerak mencari minyak kayu putih, mengoleskan di telapak kaki sang suami yang terasa dingin, juga di bawah hidungnya untuk melegakan saluran pernapasan.Tak berselang lama, Ibrahim yang merasakan dingin minyak kayu putih menelusuk ke dalam hidungnya, perlahan mulai membuka mata. Ungkap syukur menjadi yang pertama kali ia panjatkan kala pemandangan pertama yang tampak di matanya adalah istrinya."Mas ... kamu sudah sadar?" Tanya Arumi setelah mendapati sang suami telah membuka mata.Ibrahim hanya mengangguk lemah."Kamu minum dulu ya, Mas ...," tawar Arumi pada suaminya yang memandanginya lekat.Ibrahim hanya mengangguk pasrah. Arumi segera mengambil air, memberinya sedotan kemudian membantu sang suami untuk meminum dalam kondisi masih berbaring."Kamu ini kenapa sih, Mas? Kok bisa sampai pingsan begitu?" Tanya Arumi seraya meletakkan kembali botol air mineral di atas nakas, kemudian me
Bab 31Ibrahim bernafas lega, memandang Arumi yang tengah gundah gulana. Walaupun gadis itu telah banyak mengatainya, namun sedikitpun tak ada rasa sakit di hatinya. Ia memaklumi, dan ia sangat bersyukur sebab Arumi terlihat baik-baik saja.Perlahan ia berjalan mendekat ke arah Arumi, sengaja ia mengendap-endap agar istrinya itu tidak menyadari kedatangannya. Hingga saat jarak di antara mereka hanya tersisa satu meter, Ibrahim berdehem dan membuat Arumi terjingkat kaget."Astaghfirullah," desis Arumi reflek beristighfar sembari mengelus dada, masih dengan posisi memunggungi suaminya."Tenang saja, saya mendengar semua yang kamu ucapkan tentang saya, sehingga kamu terbebas dari dosa, karena saya sudah memaafkannya," sahut Ibrahim dengan nafas yang sedikit memburu. Rasa panik bercampur khawatir yang berlebihan membuat dadanya bergemuruh sepanjang perjalanan, tentu hal itu membuat tubuhnya bergetar dan nafasnya hanya sepenggal-sepenggal.Perlahan Arumi membalikkan tubuhnya, memandang Ibr