Bab 16Arumi sibuk mondar-mandir di dalam kamarnya. Ia menggigit ujung jari-jarinya sendiri, pertanda ia sedang gusar, memikirkan hal apa yang harus ia lakukan untuk menebus kesalahannya terhadap sang suami."Kamu ceroboh si, Rum! Harusnya kamu lebih hati-hati, tahu sendiri kan suamimu orangnya gimana? Baru juga sehari menikah masa udah bikin masalah aja sih kamu, Rum? Ya ... gimana suamimu bisa jatuh cinta kalau begini caranya? Yang ada dia makin ilfeel sama kamu, Arumi ...!" Arumi sibuk bermonolog. Ia tak henti-hentinya merutuki diri sendiri. Kesalahan yang ia perbuat membuat semua rencananya bubar."Ya Allah ... aku harus gimana ya bersikap ke Mas Ibra? Jujur aku bingung banget ... seandainya Mas Ibra tadi langsung marah dan ngomel-ngomel mungkin aku bisa gunakan jurus pelukan maut seperti di novel-novel romance yang biasa aku baca, dijamin Mas Ibra langsung diam dan tak dapat berkata-kata. Uh romanits banget pastinya.Tapi Mas Ibra? Ah, dia terlalu sabar apa gimana? Dia jawabinnya
Bab 17"Kok istighfar, Mas? Ada yang salah?" Arumi bertanya seolah ia tengah terheran dengan respon suaminya, bersikap sok polos padahal dalam hati ia bersorak penuh kemenangan, sebab respon sang suami benar-benar sesuai harapan."Arumi ... ganti baju kamu!" titah Ibrahim sembari mengalihkan pandangan dari istrinya."Kok diganti, Mas? Ini kan sudah sesuai perjanjian? Lengan panjang dan celana panjang?" sahut Arumi yang memang sudah menyiapkan jawaban sejak awal."Ya tapi nggak ketat gitu juga, Arumi ...! Itu sama aja kamu nggak pakai baju, lekuk tubuhmu tercetak sempurna. Buruan ganti!" titah Ibrahim dengan sisa kesabarannya.Arumi tersenyum tipis, kemudian berjalan menuju ranjang, dan duduk di sisi suaminya."Maaf, ya, Mas ... Arumi punyanya ini, baju tidur Arumi semuanya pendek, set babydoll pendek, dan piyama tidur seperti yang Arumi pakai kemarin malam, Arumi nggak punya baju tidur panjang, karena emang nggak terbiasa make piyama panjang," jelas Arumi di sisi suaminya.Ibrahim men
Bab 18Setelah Arumi terlihat tenang dan tak bergerak-gerak lagi, Ibrahim kembali memberanikan diri untuk memandangnya. Mengamati setiap detail dari lekukan tubuh Arumi yang tercetak jelas akibat pakaian ketat yang dikenakannya."MasyaAllah, sungguh Arumi merupakan manifestasi keindahan wanita yang begitu nyata. Paras cantiknya, tubuh indahnya nan berisi membuat jiwa binatangku meronta.Sepertinya dia sudah tidur, mungkin sedikit menyentuh atau memeluknya dalam kondisi tak sadarkan diri tak kan membuatnya terhanyut dalam perasaan terhadapku. Dengan begitu semua akan aman. Aku juga tidak akan melakukan hal-hal yang melampaui batas. Hanya sekedar memeluk tak akan merusak Arumi, toh dia halal bagiku. Aku akan tetap mempertahankan mahkota kebanggaannya untuk diberikan kepada lelaki yang benar-benar tepat, lelaki yang akan mendampinginya hingga akhir hayat. Setidaknya aku berhak melakukan ini untuk meredam syahwatku. Bismillah ...." Ibrahim bergumam dalam hati.Kemudian dengan gerakan yan
Bab 19"Kenapa murung begitu mukanya?" Ibrahim menyambut kedatangan Arumi dengan pertanyaan."Arumi datang bulan, Mas ...." Arumi terduduk sedih di tepi ranjang."Oh, ya sudah, saya shalat dulu kalau begitu." Ibrahim menyahut datar, seolah sama sekali tak peduli dengan kesedihan Arumi.Arumi menghembuskan nafasnya, memandang suami yang tengah menghamba pada Rabbnya. "Harusnya aku berada di belakang Mas Ibra untuk shalat shubuh berjamaah, tapi justru tamu tak diundang ini datang.Ya Allah ... harusnya aku nggak boleh begini, biar bagaimana pun ini adalah kodratku sebagai seorang wanita.Hanya saja sangat disayangkan, kenapa dia harus datang di saat perjuanganku untuk menaklukkan hati Mas Ibra baru saja dimulai, sementara selama ini kunanti-nantikan ia tak kunjung datang.Semoga saja tubuh ini bisa diajak kompromi, supaya nggak ngerepotin Mas Ibra." Arumi bergumam dalam hati, kemudian berjalan mengambil pembalut dan bertolak kembali ke kamar mandi.Sementara di sisi lain, Ibrahim yang b
BAB 20Arumi meringis, "dibahas kapan-kapan aja ya, Mas ... perut Arumi sakit banget," ucap Arumi seraya semakin meringkukkan tubuhnya.Ibrahim menghembuskan nafas, "ya sudah, sebaiknya kamu istirahat saja, supaya nggak semakin sakit. Kamu butuh sesuatu?" tanya Ibrahim, ia sangat berempati melihat kondisi istrinya."Iya, Mas.""Apa itu? Coba katakan!" pinta Ibrahim."Pelukan, Mas," sahut Arumi seketika membuat sang suami melirik sinis ke arahnya."Modus kamu, Rum!" balas Ibrahim seraya menggelengkan kepala."Mas ...." Arumi memanggil manja."Apa lagi?!""Arumi lagi sakit loh, Mas ... kok tega sih bicara ketus gitu?" ucap Arumi dengan suara yang masih terdengar lemah."Mau kamu sakit, mau kamu sehat, saya ya tetap saya, ya beginilah saya. Nggak akan ada yang berubah. Jangan pikir saya akan termakan rayuanmu!" balas Ibrahim teguh pendirian.Arumi mencebik, kemudian lebih memilih diam, berdebat dengan Ibrahim hanya menambah rasa sakit yang dirasakannya.Sementara Ibrahim, ia mulai sibuk
Bab 21Hari berganti hari, hingga sudah berlalu sepuluh hari sejak pernikahan Ibrahim dan Arumi. Hubungan mereka pun semakin dekat. Walau tetap kaku, Ibrahim mulai banyak mengerti Arumi. Ia memutuskan untuk berdamai dengan keadaan, setidaknya sampai Yusuf sadar dari koma.Ia mulai terbiasa dan tak merasa keberatan dengan syarat-syarat yang diberikan Arumi. Ia juga mulai biasa meladeni bercandaan sang istri. Sikap receh Arumi lama-lama dapat dinikmatinya sebagai aktivitas yang menghibur.Malam ini, mereka tengah berada di sebuah kamar Villa. Seperti yang sudah disepakati, di minggu kedua pernikahan, mereka akhirnya mengambil cuti untuk bulan madu.Kawah Ijen menjadi pilihan destinasi bulan madu mereka, tentunya setelah melalui banyak perdebatan dan Arumi memutuskan untuk mengalah. Ia terpaksa harus menuruti kemauan suaminya yang menyukai pendakian. Mengesampingkan khayalan aktivitas masa bulan madu yang indah menjadi aktivitas pendakian yang melelahkan baginya."Rum ... ayo bangun! Kam
Bab 22Arumi dan Ibrahim mulai memasuki area pendakian sekitar pukul satu dini hari. Hawa dingin mulai menerpa permukaan kulit wajah keduanya, satu-satunya area permukaan kulit yang tidak tertutup kain. Sebelum melakukan perjalanan, Ibrahim mengeluarkan dua buah masker untuk mereka kenakan sebagai penunjang kehangatan."Mas ....""Hmmm ....""Ini kita yakin tengah malam begini mau mendaki gunung? Nggak bahaya ta, Mas? Kenapa nggak siang-siang aja sih?" sembari mengenakan maskernya, Arumi bertanya dengan slogan 'nggak bahaya' yang sedang viral di kalangan anak-anak muda."Kita sudah sampai sini dan kamu baru bertanya saya yakin atau tidak? Saya nggak lagi mimpi, Arumi!" Ibrahim menutup kembali resleting ranselnya, lalu kembali menggendongnya."Duh ... Mas, tapi ini serem banget loh. Emang kenapa harus malam-malam?" Arumi masih tak habis pikir dengan kegemaran suaminya. Sebuah aktivitas yang sangat menyeramkan baginya."Karena surga keindahan kawah ijen itu memang saat malam menjelang p
Bab 23Setelah mendudukkan Arumi di sebuah batu dengan ukuran cukup besar, Ibrahim memeriksa lutut yang dikeluhkan sakit oleh istrinya.Celana cargo panjang berwarna abu-abu muda yang dikenakan Arumi terlihat memerah di bagian lutut kanan. Kain yang cukup tebal itu terkoyak oleh sayatan batu, membuat Ibrahim meringis membayangkan sakit yang dirasa istrinya. Dengan cekatan Ibrahim mengeluarkan P3K yang sudah disediakannya di dalam sepaket perlengkapan di ranselnya. Mencuci kapas menggunakan air mineral, lalu menggunakannya untuk membersihkan luka Arumi.Arumi mendesis, menahan rasa perih saat kapas dingin itu menyentuh lututnya. Ia reflek mengangkat kaki hingga hampir saja mengenai wajah sang suami. Beruntung Ibrahim tengah berada dalam mode sabar maksimalnya."Sakit, ya? Tahan sebentar, ya?" ucapnya lemah lembut, sembari menurunkan kembali posisi kaki istrinya.Arumi tersenyum, hatinya terus menghangat mendapatkan perhatian demi perhatian yang diberikan suaminya."Ternyata Mas Ibra t