Bab 23Setelah mendudukkan Arumi di sebuah batu dengan ukuran cukup besar, Ibrahim memeriksa lutut yang dikeluhkan sakit oleh istrinya.Celana cargo panjang berwarna abu-abu muda yang dikenakan Arumi terlihat memerah di bagian lutut kanan. Kain yang cukup tebal itu terkoyak oleh sayatan batu, membuat Ibrahim meringis membayangkan sakit yang dirasa istrinya. Dengan cekatan Ibrahim mengeluarkan P3K yang sudah disediakannya di dalam sepaket perlengkapan di ranselnya. Mencuci kapas menggunakan air mineral, lalu menggunakannya untuk membersihkan luka Arumi.Arumi mendesis, menahan rasa perih saat kapas dingin itu menyentuh lututnya. Ia reflek mengangkat kaki hingga hampir saja mengenai wajah sang suami. Beruntung Ibrahim tengah berada dalam mode sabar maksimalnya."Sakit, ya? Tahan sebentar, ya?" ucapnya lemah lembut, sembari menurunkan kembali posisi kaki istrinya.Arumi tersenyum, hatinya terus menghangat mendapatkan perhatian demi perhatian yang diberikan suaminya."Ternyata Mas Ibra t
Bab 24"Permisi, Bapak-Bapak, ini istri saya sedang sakit, apa bisa saya mohon izin untuk menggunakan kamar mandinya terlebih dahulu?" Kepada orang-orang yang berkerumun di depan kamar mandi Ibrahim memohon izin untuk menggunakan kamar mandi terlebih dahulu.Tutur kata dan gestur tubuhnya yang sopan membuat orang-orang segan dan balik menghormatinya."Oh nggeh-nggeh, monggo, Mas!" salah satu di antara mereka yang berada di barisan terdepan menjawab, mereka pun membelah kerumunan, memberikan jalan untuk Ibrahim dan Arumi mendekat ke arah pintu kamar mandi.Tak berselang lama, seseorang di kamar mandi keluar, sehingga Arumi bisa segera memasuki kamar mandi."Saya tunggu di sini, ya? Bisa, kan?" tanya Ibrahim setengah berbisik."Bisa, Mas," jawab Arumi yakin, perlahan ia pun mulai memasuki kamar mandi dan menutup pintunya. Sebuah pintu tanpa kunci ataupun selot, hanya ada kain yang mengganjal di bagian atas pintu.Sejenak Arumi memandang kamar mandi tersebut dengan bingung. Di dalam ruan
Bab 25"Mas ... hati-hati dong, Mas!" Arumi segera mengambil secangkir kopi dari tangan suaminya, kemudian menggantinya dengan air mineral."Minum dulu, Mas!" ucapnya seraya menyodorkan botol air mineral yang tinggal separuh.Dengan cepat Ibrahim meraih air mineral tersebut lalu meneguknya hingga tandas tak tersisa."Mas ... Mas ... kok bisa sampai keselek gitu sih? Mangkanya baca bismillah dulu sebelum minum, Mas ...." Arumi mulai mengoceh."Bukan karena tak membaca bismillah saya keselek," sahut Ibrahim meralat."Terus kenapa tiba-tiba keselek?" tanya Arumi sok polos."Ya karena dengerin ucapan kamu yang ngelantur itu." Ibrahim balas menggerutu."Kok ngelantur sih, Mas? Itu beneran, memang Arumi sedang menyatakan perasaan, bukan hanya ngelantur!" jelas Arumi, tak terima ungkapan perasaannya dianggap ngelantur."Sebaiknya kamu lupakan soal perasaan," sahut Ibrahim terdengar dingin, sedingin cuaca di puncak Ijen."Kenapa begitu?" sahut Arumi sembari mencomot ote-ote yang masih hangat.
Bab 26Suara Ibrahim yang cukup keras seketika membuat Arumi terdiam, hatinya mencolos mendengar sang suami membentaknya hanya karena tak rela ia berkata buruk tentang mantannya. Istri Ibrahim yang belum tersentuh itu tertunduk, antara merasa bersalah dan merasa sedih atas sikap suaminya.Detik berikutnya Ibrahim menyadari kesalahan. Ia mengusap wajah frustasi seraya beristighfar."Ya Allah ... harusnya aku tidak boleh sentimental seperti ini." dalam hati ia merutuki diri sendiri.Perlahan ia meraih kedua bahu Arumi, "Maafkan saya, Arumi ... maafkan saya. Saya terlalu sentimen jika kembali membahas masalah ini. Maaf karena sudah kasar sama kamu." Ibrahim memohon maaf dari sang istri.Arumi meraih kedua tangan suaminya, kemudian perlahan menurunkannya dari bahu. "Sudahlah, Mas ... setidaknya Arumi jadi tahu, alasan mengapa Mas Ibra tidak bisa menerima Arumi. Karena tempat di hati Mas Ibra masih dipenuhi olehnya.Sekeras apapun Arumi berusaha mendobrak pintu hati Mas Ibra, kalau ternyat
Bab 27Arumi dan Ibrahim melanjutkan perjalanan dengan suasana yang berbeda, saling menggandeng dan bercengkrama. Meskipun tetap kaku, namun Ibrahim terlihat sedikit lebih hangat dari biasanya. Setidaknya ia tidak lagi menolak bersentuhan dengan istrinyaBeberapa kali mereka berhenti, sejenak untuk mengistirahatkan kaki Arumi yang tidak sesuai dengan standar pendaki."Ya Allah, Mas ... jauh banget sih nggak sampai-sampai," keluh Arumi sembari memijat kakinya yang ia selonjorkan."Ya ... sepertinya saya memang salah ngajak kamu mendaki gunung begini. Saya nggak mikir kapasitas kamu yang hanya sekelas pejalan kaki. Harusnya saya ngajak kamu bulan madu di alun-alun kota saja," sahut Ibrahim meremehkan."Yeee ... ngeremehin kamu, Mas ... ini bukan soal kapasitas tau, Mas ... Arumi bisa aja kuat mendaki, tapi harus ada pemanasan dulu. Setidaknya Mas Ibra kasih tahu kek bakal bulan madu ke mana? Kalau tahu mau mendaki kan Arumi bisa olahraga tiap pagi, joging kek atau apa, jadi lebih berten
Bab 28Belum sempat wanita yang dimintai tolong Arumi itu menjawab, Ibrahim telah terlebih dahulu menarik Arumi menjauh."Loh, Mas ... kenapa? Kita nggak jadi foto? Dia siapa sih?" Arumi memberondong suaminya dengan pertanyaan. Sembari terus memantau wanita tersebut berlari mengejar mereka.Ibrahim tak menjawab, ia terus mempercepat langkah, pandangannya lurus ke depan, sorot matanya menandakan emosi mendalam."Ibrahim! Tunggu ...!" wanita itu masih terus mengejar, ia bahkan sampai berlari demi agar bisa menyamai posisi Ibrahim dan Arumi."Ibrahim, stop!" wanita itu tiba-tiba sudah berada di hadapan Ibrahim dan menghadangnya. Seketika Ibrahim menghentikan langkah diikuti istri di belakangnya. Namun di hadapan wanita itu, Ibrahim membuang muka."Ibrahim, kita harus bicara.""Tak ada yang perlu dibicarakan lagi, Sabrina!" Ibrahim menjawab dingin dan masih enggan memandang wanita bernama Sabrina di hadapannya."Oh, jadi ini wanita bernama Sabrina itu? Ya Allah ... kenapa kita harus diper
Bab 29Ibrahim mengalihkan pandangannya dari Sabrina, kemudian mengusap wajah kasar."Dan apakah kamu mengira, setelah kamu merusak kepercayaanku terhadap cinta, aku akan menerimamu kembali saat kamu datang menawarkan cinta untuk kedua kalinya?" Ibrahim bertanya sekali lagi, namun pertanyaan ke-duanya berhasil membuat Sabrina bungkam tak dapat berkata-kata."Sabrina ... apa yang telah kamu lakukan padaku beberapa tahun lalu sangat melukai hati dan jiwaku. Aku merasakan sakit teramat sangat dan bersusah payah aku untuk menyembuhkannya.Andai kamu datang dan kondisiku belum menikah, bukan tidak mungkin aku memberikan sikap yang sama. Karena sebuah kekecewaan itu menimbulkan rasa trauma, sehingga tidak mungkin aku bisa dengan mudah mempercayai cinta yang diberikan oleh seseorang yang telah menghancurkan keyakinanku akan cinta. Kamu paham, kan maksudku, Sabrina?" ucap Ibrahim dengan pandangan lepas ke depan."Iya, aku paham, dan cukup tahu diri, Ibrahim. Tapi setidaknya, aku lega karena s
Bab 30Ibrahim terus menyusuri jalan, sembari menoleh ke kanan dan ke kiri, mencari keberadaan Arumi.Rasa cemas dan khawatir di hatinya semakin menjadi. Pikiran buruk mulai memenuhi. Jika perjalanan menuju puncak dilaluinya dengan happy bersama Arumi, maka kali ini perjalanan turunnya terasa hampa dan gelisah tanpa Arumi di sisi."Ya Allah, Rum ... di mana kamu?" gumam Ibrahim untuk ke sekian kalinya. Beberapa kali ia menghentikan sesama pendaki untuk ditanyai, namun tak satupun dari mereka yang tahu akan keberadaan Arumi.Ia kembali melanjutkan jalan, dengan gundah di hati, berbagai doa ia panjatkan untuk keselamatan Arumi.Tiba-tiba pandangannya menangkap sebuah kerumunan orang yang tak jauh dari tempatnya berdiri, Ibrahim berjalan cepat ke arah kerumunan tersebut, untuk memastikan apa yang tengah terjadi?"Maaf, Pak, ini ada apa ya kok berkerumun?" tanya Ibrahim pada salah satu dari orang-orang yang sedang berkerumun."Ada kecelakaan, Mas," sahutnya sembari memandang ke arah juran