Bab 3
Ibra cukup terkejut mendengar penuturan gadis yang berstatus sebagai istrinya itu. Ia tak menyangka bahwa Arumi akan senekat itu, sampai memintanya mengakhiri pernikahan hanya karena ia enggan menyentuhnya."Jangan labil! Tidurlah, kamu pasti capek!" sahut Ibra dengan nada datar sedatar springbad baru yang kini kosong tanpa ada yang menempatinya. Hampa, sehampa hati Arumi yang ditolak di malam pertama. Kosong, sekosong hati Ibra yang telah lama tak disentuh cinta.Lelaki berprofesi dosen itu mengayun langkah, mengambil posisi di sofa, berbaring dan kembali fokus dengan ponselnya. Berlagak mengabaikan Arumi yang kini meringkuk di kasur, dengan air mata yang mulai berderai membasahi sarung bantalnya. Ibrahim bersikap seolah tidak terjadi apa-apa antara ia dan istrinya, padahal, hampir saja rumah tangga mereka berakhir dengan satu kalimat jika ia mengiyakan permintaan istrinya."Kenapa rasanya sesakit ini ya ditolak sama suami sendiri? Padahal cinta juga nggak. Nikah aja dadakan, tapi rasanya sakit banget, berasa jadi perempuan nggak ada harga diri.Tapi kenapa Mas Ibra nolak, ya? Apa aku kurang cantik? Kurang menarik di matanya? Tapi masa iya, sih? Bahkan hampir semua cowok yang kukenal selalu mengagumi kecantikanku. Tak ada yang memungkiri bahwa Allah menganygerahkan paras yang indah terhadapku. Tapi Mas Ibra?Atau mungkin beliau nggak normal, ya? Secara sampai kepala tiga beliau memutuskan untuk tetap membujang dan tidak menikah. Andai tidak karena kondisi Yusuf yamg kritis, mungkin Mas Ibra nggak akan nikah selama-lamanya.Ah ... gimana kalau ternyata benar Mas Ibra ...? Astaghfirullah, Arumii ... mikir apa sih kamu ini? Beliau dosen ilmu agama, Rum! Mana mungkin dia masuk dalam anggota kaum pelangi, nggak mungkin ah!" Arumi sibuk dengan pikirannya sendiri, menepis pikiran-pikiran buruk tentang suaminya.Sementara Ibrahim, lelaki itu terlihat tak perduli, padahal dalam hati ia merasa khawatir akan kondisi perasaan Arumi. Ia bahkan sampai tak menyadari, bahwa posisi ponsel yang dibawanya terbalik."Kasihan Arumi, dia harus terjebak dalam situasi sulit ini. Semoga Yusuf segera pulih, dan aku bisa segera melepas Arumi.Andai Ibu tak memintaku dengan air matanya untuk melakukan ini, aku tak akan segan menolak pernikahan lawak ini. Bagaimana mungkin seorang Ibrahim memutuskan untuk menikahi seorang wanita hanya dalam kurun waktu kurang dari 30 menit? Sementara di tiga puluh dua tahun usiaku, aku sama sekali tak memikirkan tentang pernikahan. Sungguh ini lawak sekali." Ibrahim nenertawai dirinya sendiri.Ia lalu menghela nafas panjang, sembari mencuri-curi pandang ke arah Arumi. "Maafkan saya, Arumi ... mungkin kamu merasa terluka akan sikap saya yang terkesan dingin dan enggan didekati olehmu. Mungkin sikap saya membuat kamu merasa tersinggung dan insecure. Namun jujur, saya tidak berniat melakukan hal hal menyakitkan itu padamu. Saya hanya ingin menjaga komitmen untuk tak lagi bermain-main dengan cinta, karena cinta telah melukai saya begitu dalam, dan saya tidak ingin mengulangnya bersamamu.Saya tidak ingin menyentuhmu, lalu membuatmu merasa memiliki harapan atas pernikahan ini. Karena sejatinya tak ada yang bisa diharapkan dari pernikahan sandiwara ini. Kamu berhak bahagia bersama Yusuf, lelaki yang mungkin bisa memberimu cinta, bukan lelaki yang hatinya mati seperti saya.InsyaAllah, ini keputusan yang paling tepat. Saya akan menjagamu, sampai Yusuf dinyatakan pulih dan sanggup menikahimu." Ibrahim berbicara sendiri dalm hati. Hingga tiba-tiba suara Arumi mengejutkannya."Kalau baca di hp tuh jangan dibalik, Mas ... kecuali rotasi otomatisnya nyala. Lah itu Mas bacanya terbalik, apa nggak sakit mata?" tanya Arumi yang tiba-tiba sudah duduk di sisi suaminya.Ibra terlonjak kaget, namun seperti biasa, ia selalu berusaha untuk terlihat stay cool."Mikirin apa, Mas, sampai pegang hp saja terbalik?" tanya Arumi sembari memandang wajah suaminya. Ia telah menguatkan hati, untuk tidak menyerah dalam pernikahan ini. Jika Ibra menolak untuk menalak, maka ia akan memaknainya dengan adanya harapan dan ruang untuk ia memperjuangkan cinta, agar cinta itu hadir di tengah rumah tangga mereka yang baru bermula.Bukannya menjawab, mata Ibrahim justru memicing ke arah Arumi, "Ada apa lagi, Rum? Sudah tidur sana!" ucapnya sembari membenarkan letak kacamata."Arumi nggak terbiasa tidur jam segini, Mas .... Mas Ibra lagi ngapain sih, lagi sibuk, ya?" tanya Arumi sembari melirik ponsel milik suaminya."Lagi meriksa data skripsi mahasiswa, kenapa?" tanya Ibrahim sembari meletakkan ponselnya di meja. Sejenak ia menatap Arumi, menelisik mencari raut kesedihan dan kekecewaan dari wajahnya, namun ia tak berhasil menemukannya."Bagaimana cara gadis ini mengolah perasaannya? Sepertinya baru beberapa menit lalu dia terliahat gundah gulana, tapi sekarang, dia bisa terlihat baik-baik saja. Sungguh aneh tapi nyata." Dalam diam Ibra merasa heran."Kalau meriksa data skripsi mbok jangan dibalik-balik hp nya, Mas ... ntar Mas bisa salah baca, terus yang disalahin mahasiswanya lagi," celetuk Arumi berniat mencairkan suasana."Suka-suka saya mau bacanya gimana." Seperti biasa, lelaki dengan julukan tembok itu hanya menjawab datar."Lagian pengantin baru masa tetep nugas sih, Mas? nggak ambil cuti, gitu?" lanjut Arumi lagi sembari menyandarkan tubuhnya di sofa."Mana sempat ngajuin cuti? Mutusin nikah saja baru beberapa jam yang lalu?" sahut Ibrahim dengan kalimat cukup panjang."Iya juga ya, Mas ... kalau begitu kita ambil cuti minggu depan aja, Mas? Gimana?" tanya Arumi bersemangat."Mau ngapain? Nggak ada cuti-cutian!" Ibrahim menyahut ketus."Ya bulan madu lah, Mas ... kan pengantin baru?" sahut Arumi mulai berani menunjukkan sisi asli dirinya yang friendly."Nggak ada bulan madu-bulan madu!" sahut Ibra seketika membuat bibir Arumi mengerucut.Merasa kehadirannya tak mendapat sambutan, Arumi beranjak dari tempatnya, berjalan menuju pintu dan membuka kenopnya, berniat untuk menemui Abah dan Umminys.' Seketika membuat suami cueknya menoleh ke arahnya."Mau ke mana?" tanyanya sembari melepas kaca mata."Keluar kamar doang, Mas ... harus izin kah?" sahut Arumi dengan raut kesal."Ganti bajumu!" titah Ibra sepihak."Ngapain harus diganti, Mas? Di rumah ini mahron semua sama Arumi. Hanya ada Abah sama Ummi saja kok," protes Arumi, walau sebenarnya ia pun tak nyaman jika harus bertemu kedua orang tuanya dengan pakaian seperti itu."Tetep aja nggak sopan! Ganti dengan yang lebih sopan!" titah Ibrahim tak terbantah.Arumi hanya mencap-mencep kesal, namun tak urung ia tetap menuruti suaminya. Ia mengenakan Abaya sebagai penutup tubuhnya, tanpa terlebih dahulu melepas piyama tidurnya."Mau ngapain di luar? Jangan bicara aneh-aneh dengan Abah dan Ummimu, ya!" pesan Ibrahim pada istrinya."Kenapa memangnya? Mas Ibra takut ya kalau Abah dan Ummi tahu Mas nggak menjalankan hak dan kewajiban sebagai suami dengan sebagaimana mestinya?" tebak Arumi."Bukan takut, tapi males ribet saja." Ibrahim menyahut santai.Arumi mengangguk, "Oke, Arumi nggak akan ngadu soal itu, tapi ada syaratnya," sahut Arumi tiba-tiba mendapatkan ide cemerlang."Syarat apa?""Minggu depan kita cuti bulan madu, setuju?"Bersambung ...Bab 4"Saya bilang nggak ada acara bulan madu, Arumi!" setelah beberapa saat terkejut, dosen muda itu kembali menguasai dirinya. Pembawaannya yang datar dan dingin mempermudah ia melakukan hal itu, berpura-pura terlihat biasa saja walau sebenarnya tidak biasa."Ya sudah, kalau Mas nggak mau, siap-siap saja ribut sama Abah dan Ummi." Arumi tetap pada pendiriannya.Ibrahim menghela nafasnya panjang, sembari memandang Arumi kesal, "Dasar bocah labil, sukanya ngaduan," gerutunya, tentu saja hal itu hanya ia sampaikan dari hati ke hati."Kenapa kamu maksa sekali untuk bulan madu? Bukannya percuma bulan madu tanpa saling menyentuh? Mau ngapain kita?" sahut Ibrahim mencoba mengalihkan keinginan Arumi."Kita bisa kok saling menyentuh, jadi nggak akan percuma, Mas. Itu pun kalau Mas mau." Arumi menimpali."Sayangnya itu tak kan terjadi." Ibrahim dengan cepat menyahuti "Huh, kita lihat aja nanti," gumam Arumi, tentu saja hal itu hanya ia sampaikan dalam hati."Ya itu sih berarti yang bermasala
Bab 5"Alhamdulillah, Mi, kami baik-baik saja, kok." Arumi mulai berakting di hadapan umminya."Syukur Alhamdulillah kalau kalian baik-baik saja. Mungkin sekarang Nak Ibrahim masih canggung sama kamu, kalau dia bersikap kurang bersahabat, nggak usah dimasukkan hati, Ummi dengar dia memang anaknya agak kaku, tapi Ummi lihat sendiri, dia sangat menyayangi dan mnghormati ibunya. Biasanya, lelaki seperti ini juga akan bersikap baik kepada istrinya."Arumi hanya tersenyum menanggapi ucapan umminya, "Andai Ummi tahu, bahwa Mas Ibra tak hanya menunjukkan sikap tak bersahabat, melainkan ia telah menolakku di malam pertama kami," batin Arumi sedih.Aminah tersenyum, kemudian melanjutkan ucapannya, "Jodoh itu memang rahasia Allah ya, Nduk ... Kamu tahu? Awalnya Abahmu memang pengennya jodohin kamu sama Ibrahim, lho ... bukan sama Yusuf, tapi haji Ishak bilang Ibrahim itu belum minat nikah, jadi dia nolak dijodoh-jodohkan. Yang minat malah adiknya, jadilah Yusuf yang dijodohkan sama kamu.Tapi t
Bab 6Ibrahim terdiam saat mendengar pertanyaan istrinya."Kapan-kapan aja bahasya, sekarang tidur lah!" Sambil mengalihkan pandangan, Ibrahim menjawab pertanyaan Arumi."Tapi, Mas ....""Besok pagi saya nggak mau datang terlambat gara-gara nungguin kamu!" Ibrahim kembali menyahuti."Jadi besok kita berangkat bareng, Mas?" tanya Arumi antusias, sejenak fokusnya teralihkan. Sementara Ibrahim hanya meliriknya sekilas."Mas ....""Hem?"Arumi janji deh, besok nggak akan bikin Mas Ibra terlambat, Arumi akan siap lebih awal, tapi, Mas ... please dong ... jawab dulu pertanyaan Arumi," pinta Arumi memohon agar suaminya bersedia menjawab.Ibrahim memandang Arumi sejenak, meletakkan ponselnya di meja lalu melepas kacamata."Memangnya kenapa kamu ingin tahu jawabannya? Apakah penting? Toh apapun jawabnnya tak akan merubah apapun." Ibrahim menanggapi serius pertanyaan Arumi."Penting, Mas ... Setidaknya jawaban itu bisa menjadi acuan untuk bagaimana Arumi harus bersikap. Arumi hanya ingin tahu,
Bab 7Setelah terdiam dan saling pandang, Ibrahim kembali tersadar, perlahan ia menegakkan posisi Arumi, lalu melepaskan tangan dari tubuhnya."Maaf ...," ucapnya salah tingkah, ia mengalihkan pandangan dari Arumi."Ya Allah ... debaran ini? Mengapa aku bisa kembali merasakannya saat bersama Arumi? Debaran jantung yang hampir kulupakan rasanya, akibat terlalu lama aku tak dapat merasakannya. Hatiku yang telah lama mati, seolah kembali mendapatkan nyawanya.Tapi ini tidak boleh terjadi. Aku tidak boleh terlena, sehingga harus merasakan luka yang sama." Ibrahim bergumam dalam hatinya."Loh, kok minta maaf sih, Mas? Halal loh, Mas ... pahala malah kalau peluk-peluk istri," goda Arumi, kantuk yang dirasakannya seketika menghilang berganti dengan pandangan antusias."Sudah shubuh, buruan ambil wudhu' terus shalat." Tak menanggapi ucapan Arumi, Ibrahim justru mengalihkan pembicaraan, berniat ingin terlihat stay cool, namun tanpa ia sadari, sikapnya justru semakin mempertegas salah tingkahny
Bab 8"Bagaimana, Mas?" melihat suaminya terdiam tanpa merespon, Arumi kembali bertanya"Untuk apa kamu meminta itu, Arumi? Jangan aneh-aneh lah!" Ibrahim melepas kopyah yang dikenakannya, berusaha menganggap permintaan Arumi hanya guyonan semata."Kok aneh-aneh sih, Mas? Cuma cium tangan dan kening loh, nggak lebih. Arumi nggak minta Mas untuk menyentuh Arumi di bagian-bagian intim. Lagian yang aneh tuh Mas Ibra lho, masa cium kening istri aja dibilang aneh?" Arumi memprotes.Ibrahim terlihat menimbang."Ya udah kalau Mas nggak mau, Arumi—.""Ssstttt ... oke oke, nggak usah ngancem-ngancem saya lagi." Ibrahim menyahut cepat, tak ingin lebih lama berdebat dengan Arumi."Bener, Mas?" tanya Arumi antusias, binar matanya mewakili isi hatinya."Iya, hanya tangan dan kening ya? Tidak lebih!' Ibrahim berkata tegas.Arumi mengangguk, dengan senyuman mengembang menghiasi wajah ayunya.Ia lalu meraih tangan suaminya, dikecupnya punggung tangan itu sebagai tanda hormat, lalu dibaliknya tangan I
Bab 9Mobil Honda HR-V berwarna merah terlihat gagah membelah jalanan Pandaan, kota di mana Arumi dilahirkan."Kita langsung ke kampus, Mas?" tanya Arumi."Kita mampir ke rumah sakit dulu, bertemu Ayah dan Ibu saya, sekaligus melihat kondisi Yusuf." Masih dengan fokus menyetir, suami Arumi itu menjawab.Arumi mengangguk, "Pantes Mas Ibra pagi bener ngajak berangkatnya. Btw kemarin Arumi hanya lihat Ayah, tapi tidak melihat Ibu, Mas." Arumi berucap sembari membenarkan letak berkas-berkas yang dibawanya."Iya, Ibu fokus mengurus Yusuf di rumah sakit, jadi hanya Ayah yang mendampingi saya." Ibrahim menjawab apa adanya.Arumi mengangguk paham. "Jadi Mas Ibra tuh berapa bersaudara sebenernya?" Arumi terus memanfaatkan momen perjalanan untuk bercengkrama dan mengobrol lebih jauh dengan suaminya."Dua.""Berarti nggak punya saudara cewek dong?" tanya Arumi memastikan."Hem." Ibrahim menjawab singkat."Oohhh ... pantes," gumam Arumi, pelan. Namun tetap terdengar oleh suaminya."Pantes apa?" t
Bab 10Azizah membenarkan posisi duduknya, wanita paruh baya dengan paras manis itu menatap menantunya."Ibrahim, dia memiliki kisah kelam dalam urusan asmaranya di masa lalu. Dahulu, zaman dia masih kuliah, dia dekat dengan seorang wanita, salah satu mahasiswi di kampus yang sama.Sabrina namanya, dia gadis yang baik, beberapa kali Ibrahim mengajaknya menemui Ibu. Hubungan mereka terbilang cukup serius. Ibu bisa menilai seperti itu, sebab Sabrina adalah wanita pertama yang Ibrahim perkenalkan pada kami sebagai kekasihnya setelah usianya cukup dewasa.Ibu kenal betul siapa Ibrahim, dia bukan tipe lelaki yang suka bermain cinta. Berbeda dengan adiknya yang lebih dominan dalam urusan percintaan.Ibrahim lelaki yang pemilih, dia tidak sembarangan mendekati wanita, dan saat dia merasa cocok dengan Sabrina, ia langsung menjalin hubungan secara serius dengannya. Dan saat itu, keduanya terlihat saling mencintai.Waktu berlalu sampai Ibrahim dan Sabrina sama-sama meraih kelulusannya. Ibrahim
Bab 11"Syaratnya, selama kita hidup mandiri, kita harus menjalani hari-hari layaknya suami istri pada umumnya." Arumi mulai menyampaikan syaratnya."Ya nggak bisa gitu dong ... kan saya ajak kamu tinggal terpisah dari orang tua supaya kita bisa terbebas dari sandiwara, Arumi!" Ibrahim membalas cepat, mengingatkan tujuan awal mereka."Dengerin dulu, Mas, mangkanya ...." Arumi mengerlingkan mata kesal."Mas tenang aja, Arumi nggak akan meminta Mas melaksanakan kewajiban dengan memenuhi nafkah batin dalam tanda kutip, kecuali Mas benar-benar sudah siap. Karena Arumi menghargai privasi dan keputusan Mas Ibra. Dalam hal ini, Arumi akan memaklumi.Tapi ... Arumi mau, kita menjalani hidup layaknya suami istri pada umumnya. Pertama, kita wajib tidur satu kamar, satu ranjang, bila perlu satu bantal.""Rum!" Ibrahim memperingati."Bercanda, Mas ... Arumi hanya minta satu kamar dan satu ranjang, nggak ada ceritanya Mas tidur di sofa atau tempat lainnya." Arumi menjelaskan poin pertama dari perj