"Tri kamu sekarang ke rumah Sakit Harapan Bunda di Medan ya? Ibu sudah memesan tiket pukul tiga sore untukmu?"
"Ke rumah sakit di Medan sekarang? Siapa yang sakit, Bu?" Sambil menandatangani beberapa dokumen, Gayatri menerima telepon dari sang ibu. Refleks ia memindai jam dinding. Pukul sebelas siang. Artinya ia punya waktu tiga jam lagi untuk sampai di bandara. Cukuplah. Ia sudah terbiasa bepergian dalam waktu mepet.
"Anakmu."
"Hah, a--anak Ratri. Anak dari mana? Bukankah anak Ratri waktu itu sudah meninggal? Ibu ngomong apa sih?" Gayatri meletakkan pena. Ia kini serius mendengarkan kata-kata ibunya. Hening. Tidak terdengar kalimat apapun dari mulut ibunya.
"Ratri menunggu jawaban dari Ibu."
"Sebenarnya putrimu tidak meninggal. Ayah dan ibu telah memberikan putrimu pada kerabat jauh ayahmu di Medan sana."
"Astaga, Ibu. Mengapa Ibu dan ayah membohongi, Ratri?" Gayatri memegangi dadanya. Ingatannya seketika kembali pada saat dirinya dirinya masih berseragam putih abu-abu. Ya, dirinya hamil saat masih SMA. Usianya 17 tahun waktu itu.
"Ibu dan ayah melakukannya demi menyelamatkan masa depanmu! Kamu masih 17 tahun waktu itu. Hamil dengan mahasiswa baru yang belum bekerja. Menurutmu kami sebagai orang tua harus bagaimana?"
"Ratri memang masih kecil saat itu. Tapi seharusnya Ibu memberitahu Ratri. Mana boleh Ibu membohongi, Ratri. Dia anak Ratri, Bu!"
"Sudahlah. Semuanya sudah berlalu. Tidak perlu dibahas lagi. Lakukan saja apa yang Ibu minta tadi. Kalau mau main salah-salahan, sebenarnya yang paling bersalah itu kamu. Hamil diusia sekolah dan melarang Ibu dan ayah memenjarakan laki-laki yang sudah menghamilimu. Kamu ini ibarat melemparkan setumpuk kotoran ke wajah ayah dan ibu, tapi kamu tidak memperbolehkan kami membersihkan kotoran itu!"
"Karena Mas Iwas itu memang tidak bersalah, Bu. Ratri yang mengajak Bang Iwas ke acara ulang tahun Citra. Bang Iwas juga tidak memperkosa, Ratri. Kami sama-sama mabuk karena keadaan waktu itu. Jadi mana boleh Ibu memenjarakan Bang Iwas? Dengan dipecatnya ayah Bang Iwas sebagai guru, itu saja sudah sangat mempermalukan keluarga mereka besar mereka, Bu."
"Sudah! Jangan dilanjutkan cerita lama itu. Membuat Ibu emosi saja. Sana, temui putrimu. Nanti Pak Tono yang akan menjemputmu di bandara Kualanamu."
Gayatri menutup telepon dengan jantung berdebar. Anaknya masih hidup! Ibunya tadi mengatakan kalau anaknya perempuan. Berarti putrinya sekarang sudah berusia sepuluh tahun. Mengingat masa lalunya, benak Gayatri kembali ketahun-tahun di mana dirinya masih berseragam putih abu-abu. Gayatri memejamkan mata. Ia berusaha menghadirkan seraut wajah yang sebenarnya ingin sekali ia lupakan. Tanpa bisa ia tahan, kejadian sepuluh tahun lalu itu pun kembali terbayang.
"Bangun Ratri! Astaga, apa yang sudah kalian berdua lakukan! Jawab Ayah, Ratri! Ratri!"
"Astaghfirullahaladzim, Iwas. Kenapa kamu bisa melakukan hal seperti ini, Nak?!"
"Ada apa sih, Bik? Pagi-pagi udah berisik. Ratri masih ngantuk. Lima menit lagi deh Ratri mandi. Kepala Ratri pusing banget ini." Gayatri mendecakkan lidah kesal.
"Ini, Ayah, Ratri! Bukan Bik Dedeh. Lepaskan pelukanmu pada laki-laki itu! Sikapmu sungguh memalukan!"
Lepaskan pelukanmu? Maksudnya apa ini?
Bugh! Bugh!
"Aduh!"
Gayatri kaget saat batal gulingnya direbut darinya. Tapi mengapa bantal gulingnya bersuara aduh? Gayatri membuka mata. Ia kemudian terpekik lirih saat melihat ayahnya menjambak rambut Iwas dan memukulinya dalam keadaan hanya ditutupi selimut seadanya.
"Kenakan pakaianmu, Was! Kamu benar-benar sudah membuat Ayah malu!" Gayatri ternganga melihat kehadiran Pak Ilham yang menjejalkan kaos dan celana pada Iwas. Mengapa Pak Ilham ada di kamarnya?
"Bang Iwas tidak bersalah, Om. Saya yang meminta Ratri membawa Bang Iwas ke sini." Lho, ada Citra juga yaang berdiri tegang di samping ayahnya.
Ulang tahun Citra? Membawa Bang Iwas sebagai hadiah?
Mendadak potongan-potongan ingatan perihal ulang tahun Citra, tersusun satu per satu dalam benak Gayatri. Ia mendapatkan undangan ulang tahun dari temannya itu saat baru tiba di kelas. Hanya saja, Citra ingin membuat party besar-besaran karena sang ayah sedang berada di London. Sebagai kado, ia ingin Gayatri mengajak Iwas atau Narawastu Adiwangsa--putra sulung dari Pak Ilham Adiwangsa, guru PPKN di sekolah mereka. Sahabatnya itu begitu penasaran apakah Iwas gay atau tidak karena pernah menolaknya. Mengingat Gayatri cantik, Citra terang-terangan ingin memanfaatkan itu.Oleh sebab itu, Gayatri pun terpaksa mengiyakan. Meski awalnya ditolak, Gayatri akhirnya berhasil juga.Di sana, Gayatri dan Iwas menikmati pesta sampai bertemu dengan Windy--anak dari musuh sang ayah. Perempuan itu memaksanya dan Iwas ikut bermain truth and dare, hingga keduanya tanpa sengaja mabuk.
'Mabuk? Jangan-jangan...' batin perempuan itu takut-takut. Diperiksanya keadaan tubuhnya segera.Hanya saja, ia menjerit kaget saat mendapati dirinya tidak mengenakan sehelai benang pun dibalik selimutnya. Sejurus kemudian, Gayatri segera menyadari mengapa ayahnya dan Pak Ilham ada di rumah Citra ini.Plak! Plak!
Suara tamparan keras Pak Ilham pada Iwas menakutkan Gayatri. Ia sekarang sudah tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apalagi saat ia melihat beberapa noktah merah di sprai yang putih bersih. Dirinya telah ternoda. Kehilangan kesadaran akibat minuman telah membuatnya dan Iwas lepas kendali.
"Sini, Bu. Bawa keluar anakmu. Ayah akan mengurus laki-laki bajingan yang sudah merusak anak gadis kita! Ayah akan membawa laki-laki ini ke kantor polisi!"
"Jangan, Yah. Bang Iwas tidak bersalah. Ratri yang--"
"Sini, Ratri. Kita pulang. Biar ayahmu saja yang menyelesaikan semuanya."
Gayatri kebingungan saat ibu masuk ke dalam kamar, dengan membawa sebuah selimut. Setelah membalut tubuhnya dengan selimut, ibunya menggeret Gayatri yang masih kebingungan. Ia kasihan melihat Iwas yang dipukuli ayahnya membabi buta. Iwas tidak sekalipun melawan. Iwas hanya menghindar sebisanya sambil mengucapkan kata maaf berkali-kali. Iwas juga mengatakan bahwa dirinya tidak ingat apa-apa.
Namun, ayahnya tidak mempedulikan penjelasan Iwas. Ayah terus memukuli Iwas dengan pukulan demi pukulan. Saat Iwas mengenakan pakaian pun, ayahnya terus menghajarnya. Pak Ilham yang berdiri di samping Iwas hanya terdiam dengan air muka kecewa. Gayatri merasa sangat bersalah pada Iwas.
"Anda juga bersalah, Pak Ilham. Guru apa Anda ini? Mendidik akhlak anak sendiri pun Anda tidak mampu. Anda juga akan saya laporkan. Saya ingin lihat, apakah setelah ini Anda masih bisa mengajar!" Gayatri masih bisa mendengarkan ancaman ayahnya pada Pak Ilham, sebelum ia dipaksa masuk ke dalam mobil.
"Bu, coba bilang pada Ayah. Bang Iwas itu tidak bersalah. Kami berdua mabuk. Bang Iwas ke sini juga Ratri yang mengajak. Bilang pada ayah, jangan memenjarakan Bang Iwas apalagi Pak Ilham, Bu. Pak Ilham itu tidak tahu apa-apa."
Di dalam mobil pun Gayatri terus menoleh ke belakang. Ia tidak tega membayangkan nasib Iwas dan Pak Ilham. Ayahnya tadi sangat marah. Padahal walau terbata-bata Citra juga mengatakan kebenarannya. Tapi ayahnya tidak mempedulikan pengakuan Citra. Ayahnya tadi hanya fokus pada Iwas dan Pak Ilham.
"Diam dan tutup mulutmu, Ratri. Kekacauan hari ini hanya sampai hari ini. Jangan pernah membicarakannya lagi. Paham, Ratri?"
"Baik, Bu. Asal Bang Iwas dan Pak Ilham tidak dipenjara, Ratri bersedia menuruti apapun kata-kata ayah dan ibu." Ratri pasrah. Dalam hati ia berdoa, semoga saja amarah ayahnya segera mereda agar ayahnya tidak melaporkan Iwas dan Pak Ilham ke kantor polisi.
Hanya saja, siapa yang akan menyangka bila Gayatri hamil, hingga segala kekacauan pun dimulai....
"Lihat akibat perbuatan tidak pikir panjangmu. Sekarang kamu hamil. Masa depanmu hancur sudah!" Gayatri hanya terdiam saat ayahnya melemparkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak peristiwa ulang tahun di rumah Citra. Gayatri yang kerap mual-mual di pagi hari, membuat ibunya curiga. Ibunya kemudian membawanya ke rumah sakit untuk melakukan medical check up. Dan inilah hasilnya. Gayatri memungut amplop yang jatuh di lantai. Mengeluarkan isinya dan membaca dengan bibir bergetar. Dugaan ibunya benar. Mual-mualnya selama ini karena ia hamil! "Bu, segera bawa Ratri ke rumah sakit Mas Wahyudi. Minta dia mengugurkan kandungan Ratri." "Jangan, Yah! Anak ini tidak salah apa-apa. Ratri yang salah. Jangan membunuhnya." Gayatri beringsut dari kursi. Ia bersimpuh di hadapan ayahnya. Ia tidak mau anaknya dibunuh. "Kalau kamu mempertahankannya, lantas bagaimana dengan kuliahmu? Ingat, minggu depan kamu akan menghadapi ujian besar. Bulan September nanti kamu sudah akan m
"Dek, jangan bersikap begini. Adek ingin Zana tetap hidup bukan? Ingat apa yang sudah kita diskusikan berulang kali tadi." Pak Azwar menenangkan istrinya. "Iya, Bang. Iya. Aku cuma takut kehilangan Zana." Bu Nuraini mengangguk berulang kali. Ia harus bisa mengontrol emosinya."Di mana... Zana?" Gayatri mengubah kalimat anak saya menjadi menyebut nama putrinya secara langsung. Ia tidak boleh sembarangan berbicara, mengingat kondisi psikologis Bu Nuraini. "Anak kami ada di dalam."Anak kami. Pak Azwar langsung menunjukkan kepemilikannya. Sesungguhnya Pak Azwar juga sama takutnya dengan Bu Nuraini. Gayatri memejamkan mata--menenangkan diri, terlebih kala mendengar penjelasan selanjutnya."Anak kami mengalami kecelakaan tadi siang saat pulang dari sekolah. Mobil yang membawanya ditabrak mobil pick up yang remnya blong.""Nama anak itu Zana bukan? Sekarang keadaan Zana bagaimana?" Gayatri memberi singnal kalau ia tidak menyukai kalimat kepemilikan Pak Azwar. Melalui sudut mata, Gayatri
"Jangan ge-er kamu. Saya mengenalimu, karena tidak ada orang yang memanggil saya Iwas di sini. Orang-orang sekarang memanggil saya Nara. Nama panggilan Iwas sudah saya kubur dalam-dalam.""Saya minta maaf, Bang. Saya--"Tut... tut... tut...Gayatri berdecak. Iwas menutup teleponnya. Tidak bisa, ia harus mencari cara agar Iwas bersedia datang ke Medan. Gayatri kembali menelepon Iwas. Gayatri bertekad akan menebalkan telinga mendengar apapun sindiran Iwas. Yang penting putrinya selamat."Kalau kamu terus mengganggu saya, saya akan memblokir nomor ponselmu.""Bang, dengar dulu. Saya tidak mungkin menelepon kalau saya tidak benar-benar membutuhkan bantuan Abang. Ada seseorang membutuhkan bantuan--""Siapa yang kali ini berulang tahun hingga kamu ingin meminta bantuan? Saya muak dengan segala tipu dayamu! Saya akan memblokir--""Anak kita, Bang. Anak kita yang membutuhkan bantuan Abang!" Gayatri langsung mengeluarkan kartu As-nya. Tidak ada waktu untuk memperhalus ucapannya. Ia takut nyawa
Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar. Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang. Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya. Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening. Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, merek
"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan ka
"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu. "Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania. "Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa." Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana. "Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kam
Gayatri meluapkan semua perasaannya. Selama berbicara keduanya tangannya terkepal menahan emosi. Selama ini semua orang menyalahkannya. Kedua orang tuanya, Citra bahkan guru-guru di sekolah. Mereka memang tidak berani mengatakannya secara langsung. Tapi melalui tatapan mata dan sindir-sindiran halus antar sesama guru, saat ia mengambil ijazah. Mereka semua menyalahkannya padahal dirinya juga korban. Namun, mereka tidak menyadarinya.Lama keduanya bertatapan.Gayatri bahkan sempat sedikit merasakan penyesaalan dari mata Iwas. Sayangnya, itu tak berlangsung lama. "Oke. Kalau kamu memang mempertahankan anak kita, mengapa sekarang Zana ada di tangan keluarga Parinduri? Setelah Zana lahir baru kamu menyesal karena tanggung jawab untuk merawat seorang anak itu tidak mudah bukan?" tuduh Iwas lagi."Sampai sejauh ini ternyata prasangka buruk masih mendominasi pikiran Abang ya?" Gayatri tertawa sengau. "Kalau begitu ceritakan hingga tuntas, agar dugaan saya tidak meliar." "Baik, saya lanju
Gayatri tidak bisa membantah karena lambungnya terasa makin perih.Iwas benar. Ia memang sudah memerlukan pertolongan medis."Saya malu, Bang," desis Gayatri rikuh. Saat kembali ke kantin saja, beberapa pengunjung yang sedang makan memandanginya. Sebagian ada yang berbisik-bisik dan menyenggol orang yang duduk di sampingnya."Ini uang makan teman saya ya, Bu? Kembaliannya untuk Ibu saja." Dengan sebelah tangan, Iwas menarik selembar uang seratus ribuan dari saku dan memberikannya pada ibu pemilik kantin. Setelahnya ia melenggang dengan Gayatri di atas bahunya. Malu Gayatri memejamkan mata dan menulikan telinga dari bisikan para pengunjung rumah sakit. Selain itu rasa asam di mulut dan perih di lambungnya membuat Gayatri tidak bisa berpikir terlalu banyak. Ia sekarang sudah berkeringat dingin.Karena rasa mualnya kembali naik ke tenggorokan, tubuh Gayatri menegang menahan mual. Ia takut memuntahi Iwas."Jangan berani-berani memuntahi saya. Saya tidak membawa baju ganti. Tahan, sebentar
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja