"Lihat akibat perbuatan tidak pikir panjangmu. Sekarang kamu hamil. Masa depanmu hancur sudah!" Gayatri hanya terdiam saat ayahnya melemparkan sebuah amplop putih ke wajahnya. Dua bulan telah berlalu sejak peristiwa ulang tahun di rumah Citra. Gayatri yang kerap mual-mual di pagi hari, membuat ibunya curiga. Ibunya kemudian membawanya ke rumah sakit untuk melakukan medical check up. Dan inilah hasilnya.
Gayatri memungut amplop yang jatuh di lantai. Mengeluarkan isinya dan membaca dengan bibir bergetar. Dugaan ibunya benar. Mual-mualnya selama ini karena ia hamil!
"Bu, segera bawa Ratri ke rumah sakit Mas Wahyudi. Minta dia mengugurkan kandungan Ratri."
"Jangan, Yah! Anak ini tidak salah apa-apa. Ratri yang salah. Jangan membunuhnya." Gayatri beringsut dari kursi. Ia bersimpuh di hadapan ayahnya. Ia tidak mau anaknya dibunuh.
"Kalau kamu mempertahankannya, lantas bagaimana dengan kuliahmu? Ingat, minggu depan kamu akan menghadapi ujian besar. Bulan September nanti kamu sudah akan mulai kuliah. Berarti kamu hanya punya waktu sekitar empat bulan terhitung mulai hari ini untuk menata masa depan. Bagaimana kamu melewati semua itu dengan perut yang makin lama makin membesar?" Pak Sarwani mengamuk.
"Beri Ratri waktu setahun, Yah. Setelah Ratri melahirkan, Ratri janji akan menebus semua kesalahan Ratri. Ratri akan kuliah dengan rajin. Setelah tamat Ratri juga bersedia mengurus semua bisnis-bisnis Ayah. Ratri janji, Yah." Gayatri berikrar sungguh-sungguh.
"Berarti kamu tidak akan kuliah tahun ini?"
"Benar, Yah. Biarkan Ratri melahirkan anak ini dulu. Setelahnya Ratri akan patuh pada semua perintah Ayah. Ratri janji."
Ibu akan melakukan apapun asal kamu tetap dilahirkan ke dunia ini, Nak.
"Baik, Ayah kabulkan. Tapi ingat, setelahnya kamu harus menepati semua janji-janjimu ini. Mengerti, Ratri?"
"Mengerti, Yah." Ratri mengangguk lega. Akhirnya ayahnya mengalah juga. Ayahnya ini berkarakter keras. Menaklukkan hatinya tidaklah mudah. Apa yang sudah ayahnya niatkan, pasti akan ia realisasikan. Terbukti dengan dikeluarkannya Iwas dari kampus, serta dipecat secara tidak hormatnya Pak Ilham dari sekolah. Gayatri tahu kalau ayahnya punya andil besar di sana. Bukan itu saja. Pak Ilham sekeluarga juga menghilang dari tempat tinggalnya yang biasa. Pak Ilham pasti malu karena nama baik keluarga besar mereka sudah hancur tak bersisa.
"Ayah pergi dulu untuk mengurus keperluanmu. Ingat, jangan mengatakan pada siapa pun kalau kamu hamil. Ayah akan memastikan pihak sekolahmu juga tutup mulut atas keadaanmu saat ini."
Gayatri memandangi kepergian ayahnya. Ia tahu ayahnya pasti akan menekan pihak sekolah untuk tidak mengusik tentang perubahan bentuk tubuhnya. Walaupun perutnya masih rata, namun bahasa tubuhnya sudah berbeda. Ia sering mual-mual di dalam kelas.
Seperti mimpi, hari-hari berikutnya Gayatri jalani seperti keinginan ayahnya. Ia mengikuti ujian, lulus dan mengurung diri di dalam rumah hingga tiba saatnya melahirkan. Sayangnya bayinya tidak selamat. Kedua orang tuanya mengatakan bahwa bayinya meninggal sesaat setelah dilahirkan.
Hidup terus berjalan. Gayatri tidak sempat meratapi diri, karena telah disibukkan dengan kegiatan kuliah. Namun ada yang berubah didirinya. Ia bukan seperti dirinya yang dulu lagi. Ia tidak lagi menyukai keriuhan ala remaja puber. Ia jadi pendiam dan lebih nyaman sendirian. Oleh karena itulah teman-teman sekampusnya menjulukinya si ratu es yang sombong. Gayatri tidak mempedulikannya. Fokusnya sekarang adalah kuliah dan membangun masa depan seperti janjinya pada sang ayah.
"Mbak... Mbak Ratri, kita jadi ke bandara tidak?"
"Hah? Apa? Bandara ya? Jadi dong, Mang. Sebentar saya membereskan meja dulu." Lamunan Gayatri buyar saat Mang Diman berdiri di depannya. Refleks Gayatri memindai jam dinding hotel. Pukul setengah sebelas siang. Itu artinya ia telah melamun setengah jam lamanya. Sekarang dirinya telah kembali ke tahun 2023. Sepuluh tahun ke depan dari lamunannya tadi.
"Baik, Mbak. Mamang menunggu di parkiran saja ya? Oh ya, Bu Fauziah sudah menyiapkan keperluan Mbak selama di Medan di koper kecil. Jadi Mbak tinggal berangkat ke bandara saja."
"Baik, Mang. Terima kasih." Gayatri mengucapkan terima kasih pada Mang Diman. Supir setia keluarganya yang kini sudah mulai menua. Waktu berlalu begitu cepat. Dulu dirinya hanyalah seorang anak SMA yang kebingungan. Sekarang dirinya adalah eksekutif muda yang berusia dua puluh tujuh tahun. Saat ini ia mengelola hotel-hotel milik ayahnya yang semakin berkurang. Pandemi telah meluluhlantakkan perekonomian keluarganya.
"Mbak Ratri!"
Teriakan sesorang menyadarkan Gayatri dari lamunannya.Sepanjang perjalanan ke Medan, tanpa disadari, ia mengingat masa lalu.
Ia tak menyangka tempat ini menyimpan rahasia besar dalam hidupnya. Bagaimana keadaan putrinya? Seperti apakah rupa sang putri? Juga bagaimana ia akan bersikap nantinya. Haruskah ia memperkenalkan dirinya sebagi ibu kandungnya atau bagaimana? Sungguh Gayatri bingung memikirkannya.
"Sini, kopernya, Mbak. Biar saya saja yang membawanya." Pak Tono--sopir hotel milik keluarga Gayatri-- tiba-tiba mengambil alih koper kecil dari tangan Gayatri.
Seperti robot, ia pun berjalan bersisian menuju tempat parkir.Sejurus kemudian mereka sudah melaju menuju rumah sakit Harapan Bunda.Dan di sinilah sekarang Gayatri berada. Di lorong tumah sakit dengan langkah maju mundur di nurse station.
Ia perlu menenangkan hatinya terlebih dahulu. Dua jam di pesawat dan satu jam setengah perjalanan ke rumah sakit, membuat Gayatri jet lag. Ia perlu menenangkan diri terlebih dahulu. Setelah Menarik napas panjang dua kali, Gayatri menghampiri perawat di nurse station."Selamat sore eh malam, Suster." Gayatri refleks mengubah ucapannya saat melihat jam di dinding rumah sakit. Waktu telah menunjukkan pukul tujuh kurang sepuluh menit rupanya.
"Pasien yang bernama--" Gayatri menghentikan kalimatnya. Astaga, ia tidak mengetahui nama putrinya. Ibunya hanya mengatakan kalau nama orang tua yang mengadopsi putrinya adalah Pak Azwar Rangkuti dan Bu Nuraini.
"Bernama siapa, Bu?" Sang perawat bertanya ramah.
"Saya lupa nama lengkapnya. Yang saya ingat pasien adalah anak perempuan berusia sepuluh tahun yang mengalami kecelakaan lalu lintas sekitar jam sebelas siang."
"Anak perempuan sepuluh tahun yang mengalami kecelakaan ya? Sebentar saya cek ya?" Sang perawat mengotak-atik kompoter di depannya.
"Satu-satunya anak perempuan yang mengalami kecelakaan tadi siang namanya Aszanasari Parinduri."
"Iya... iya... Aszanasari namanya. Ruangannya di mana ya?" Gayatri yakin itulah nama anaknya setelah mendengar nama belakangnya. Karena nama itu sama dengan nama yang disebutkan ibunya.
"Saat ini pasien ada di ruang ICU, Bu. Pasien mengalami pendarahan dan memerlukan transfusi darah."
Putrinya dalam bahaya rupanya. Pantas saja ibunya memintanya datang ke sini.
"Ruang ICU di mana ya?" Gayatri panik. Ia belum sempat melihat putrinya. Ia takut kalau putrinya kenapa-napa.
"Naik satu tingkat saja lagi, Bu. Nanti sebutkan nama pasien yang ingin Ibu jenguk pada nurse station di sana. Jam besuk ICU dari pukul 17.00 WIB sampai pukul 20.00 WIB. Tapi itu juga tergantung dari peraturan di sana ya, Bu? Dalam sebagian kasus ada pasien ICU yang tidak boleh dijenguk sembarang orang," terang sang perawat tegas.
"Baik, saya akan menanyakannya pada perawat di atas." Gayatri bergegas berjalan ke arah lift. Karena pintu lift tidak kunjung terbuka, Gayatri tidak sabar. Ia kemudian naik ke tangga darurat. Gayatri baru berniat menghampiri nurse station, sebelum pendengarannya terdistraksi dengan percakapan suami istri di sudut ruangan. Sang istri terus menangis sementara sang suami berupaya menenangkannya.
"Bagaimana ini, Bang? Kalau ibu kandung Zana tidak datang, kita bisa kehilangan dia. Aku tidak mau itu terjadi!"
"Sabar, Dek. Bu Fauziah bilang putrinya, Gayatri dalam perjalanan ke sini. Semoga saja Gayatri tiba tepat waktu."
Benar, kedua suami istri yang tampak kalut ini adalah orang tua adopsi putrinya!
"Tapi aku juga takut, Bang. Bagaimana kalau si Gayatri ini ingin mengambil Zana? Dulu kita mengambilnya di rumah sakit tanpa sepengetahuannya bukan? Persetujuan kita hanya dengan Pak Sarwani dan Bu Fauziah. Aku takut, Bang?"
"Kita pasrahkan saja semuanya pada Allah, Dek. Semoga saja Gayatri bijaksana dan bisa menahan diri demi kebaikan semuanya."
"Aku takut Zana akan sedih jikalau tau bahwa kita bukanlah orang tua kandungnya. Makanya aku melarangmu menelepon Bu Fauziah tadi. Tapi aku juga takut kalau Zana kenapa-napa karena tidak segera mendapatkan pendonor. Aku dilema, Bang!"
Mereka takut kalau ia akan membawa Zana rupanya. Dengan langkah mantap Gayatri menghampiri sepasang suami istri itu. Mereka sangat menyayangi putrinya ternyata.
"Selamat malam, Pak, Bu. Saya Gayatri, ibu kandung Zana." Gayatri memperkenalkan diri. Sontak sepasang suami istri menatap Gayatri.
"Jangan ambil putriku! Aku sangat menyayanginya. Jangan rusak mentalnya dengan mengatakan bahwa kami hanyalah orang tua angkatnya. Aku mohon." Bu Nuraini memandangi Gayatri kalut.
Dipandanginya wajah Gayatri yang walau tidak mirip seratus persen, tapi hidung dan bibir anak yang selama ini dirawatnya--sama persis dengannya."Dek, jangan bersikap begini. Adek ingin Zana tetap hidup bukan? Ingat apa yang sudah kita diskusikan berulang kali tadi." Pak Azwar menenangkan istrinya. "Iya, Bang. Iya. Aku cuma takut kehilangan Zana." Bu Nuraini mengangguk berulang kali. Ia harus bisa mengontrol emosinya."Di mana... Zana?" Gayatri mengubah kalimat anak saya menjadi menyebut nama putrinya secara langsung. Ia tidak boleh sembarangan berbicara, mengingat kondisi psikologis Bu Nuraini. "Anak kami ada di dalam."Anak kami. Pak Azwar langsung menunjukkan kepemilikannya. Sesungguhnya Pak Azwar juga sama takutnya dengan Bu Nuraini. Gayatri memejamkan mata--menenangkan diri, terlebih kala mendengar penjelasan selanjutnya."Anak kami mengalami kecelakaan tadi siang saat pulang dari sekolah. Mobil yang membawanya ditabrak mobil pick up yang remnya blong.""Nama anak itu Zana bukan? Sekarang keadaan Zana bagaimana?" Gayatri memberi singnal kalau ia tidak menyukai kalimat kepemilikan Pak Azwar. Melalui sudut mata, Gayatri
"Jangan ge-er kamu. Saya mengenalimu, karena tidak ada orang yang memanggil saya Iwas di sini. Orang-orang sekarang memanggil saya Nara. Nama panggilan Iwas sudah saya kubur dalam-dalam.""Saya minta maaf, Bang. Saya--"Tut... tut... tut...Gayatri berdecak. Iwas menutup teleponnya. Tidak bisa, ia harus mencari cara agar Iwas bersedia datang ke Medan. Gayatri kembali menelepon Iwas. Gayatri bertekad akan menebalkan telinga mendengar apapun sindiran Iwas. Yang penting putrinya selamat."Kalau kamu terus mengganggu saya, saya akan memblokir nomor ponselmu.""Bang, dengar dulu. Saya tidak mungkin menelepon kalau saya tidak benar-benar membutuhkan bantuan Abang. Ada seseorang membutuhkan bantuan--""Siapa yang kali ini berulang tahun hingga kamu ingin meminta bantuan? Saya muak dengan segala tipu dayamu! Saya akan memblokir--""Anak kita, Bang. Anak kita yang membutuhkan bantuan Abang!" Gayatri langsung mengeluarkan kartu As-nya. Tidak ada waktu untuk memperhalus ucapannya. Ia takut nyawa
Gayatri hendak menggenggam tangan sang putri.Hanya saja, ponsel Gayatri bergetar. Sepertinya Iwas sudah tiba. Gayatri keluar ruangan dengan dada berdebar kencang. Setelah sepuluh tahun, ini adalah kali pertamanya bertemu dengan Iwas. Dalam situasi tidak biasa pula. Semoga saja Iwas dan dirinya bisa menekan ego masing-masing demi keselamatan buah hati mereka. Yah, semoga.Gayatri duduk dengan punggung sekaku papan di ruang tunggu rumah sakit. Iwas menelepon dan mengatakan bahwa posisinya sudah dekat. Iwas juga memintanya menunggu di depan. Ia tidak mau menghabiskan waktu dengan mencari-carinya di seluruh penjuru rumah sakit katanya. Ponsel Gayatri kembali berbunyi. Refleks, Gayatri berdiri. Pasti Iwas yang meneleponnya. Tatkala memindai ponsel dan nama ayahnya yang muncul, Gayatri mengerutkan kening. Tumben ayahnya meneleponnya? Biasanya, ayahnya lebih suka meminjam lidah ibunya jikalau ingin berbicara dengannya. Semenjak ayahnya gemar bermain saham sekitar tiga tahun lalu, merek
"Saya memang menunggu di depan, Bang. Abang yang kelewatan jalannya. Coba Abang berbalik." Iwas terdiam sejenak. Ia mempersiapkan diri untuk bertemu kembali dengan penyebab utama kehancuran keluarganya. Bukan hal mudah baginya bertemu kembali dengan Gayatri. Tatkala Iwas berbalik, ia tertegun. Bayangannya akan sosok Gayatri yang glamour sangat jauh dari ekspektasinya. Sebelum bertemu dengan Gayatri, ia sempat mengintip Medsosnya. Sedikit banyak ia ingin tahu kehidupan Gayatri sekarang. Di media sosial Gayatri, ia hanya menemukan dua photo Gayatri pada moment gathering dengan client-clientnya. Yang lainnya adalah postingan promosi-promosi hotel. Gayatri terlihat bagai sosialita papan atas di sana. Glamour dengan barang-barang branded dari ujung kepala hingga ujung kaki. Sementara Gayatri saat ini bernampilan ala karyawati magang dengan kemeja putih kusut dan celana bahan hitam. Rambutnya diikat buntut kuda dengan anak-anak rambut yang mencuat di sana sini. Gayatri mirip dengan ka
"Ceritakan semuanya dari awal." Iwas mendatangi Gayatri yang masih duduk bengong di ruang tunggu. "Maaf, Abang bilang apa?" Gayatri tergagap. Ia tidak menyadari kehadiran Iwas di sampingnya. Ia sedang bingung karena Harsa, anak Pak Bakri mendesaknya untuk segera kembali ke Jakarta. Harsa ingin secepatnya menyelesaikan urusan jual beli hotel Grand Mediterania. "Kamu ini aneh ya? Anak sedang sakit, tapi kamu tidak menunjukkan kekhawatiran sama sekali. Saya amati sikapmu lebih mirip dengan orang bingung daripada seorang ibu yang sedang khawatir. RIP kasih ibu sepanjang masa." Iwas meletakkan blazernya sembarang di kursi ruang tunggu. Ia kemudian mengancingkan kemeja putihnya sebelum menghempaskan pinggul di samping Gayatri. Kepalanya sedikit pusing karena baru saja mendonorkan darahnya cukup banyak untuk Zana. "Oh iya. Saya lupa. Kamu tidak pernah mau tahu tentang keberadaan anak ini sebelumnya. Kamu memberikannya pada orang lain dan masalah pun berakhir di hari itu juga. Hebat kam
Gayatri meluapkan semua perasaannya. Selama berbicara keduanya tangannya terkepal menahan emosi. Selama ini semua orang menyalahkannya. Kedua orang tuanya, Citra bahkan guru-guru di sekolah. Mereka memang tidak berani mengatakannya secara langsung. Tapi melalui tatapan mata dan sindir-sindiran halus antar sesama guru, saat ia mengambil ijazah. Mereka semua menyalahkannya padahal dirinya juga korban. Namun, mereka tidak menyadarinya.Lama keduanya bertatapan.Gayatri bahkan sempat sedikit merasakan penyesaalan dari mata Iwas. Sayangnya, itu tak berlangsung lama. "Oke. Kalau kamu memang mempertahankan anak kita, mengapa sekarang Zana ada di tangan keluarga Parinduri? Setelah Zana lahir baru kamu menyesal karena tanggung jawab untuk merawat seorang anak itu tidak mudah bukan?" tuduh Iwas lagi."Sampai sejauh ini ternyata prasangka buruk masih mendominasi pikiran Abang ya?" Gayatri tertawa sengau. "Kalau begitu ceritakan hingga tuntas, agar dugaan saya tidak meliar." "Baik, saya lanju
Gayatri tidak bisa membantah karena lambungnya terasa makin perih.Iwas benar. Ia memang sudah memerlukan pertolongan medis."Saya malu, Bang," desis Gayatri rikuh. Saat kembali ke kantin saja, beberapa pengunjung yang sedang makan memandanginya. Sebagian ada yang berbisik-bisik dan menyenggol orang yang duduk di sampingnya."Ini uang makan teman saya ya, Bu? Kembaliannya untuk Ibu saja." Dengan sebelah tangan, Iwas menarik selembar uang seratus ribuan dari saku dan memberikannya pada ibu pemilik kantin. Setelahnya ia melenggang dengan Gayatri di atas bahunya. Malu Gayatri memejamkan mata dan menulikan telinga dari bisikan para pengunjung rumah sakit. Selain itu rasa asam di mulut dan perih di lambungnya membuat Gayatri tidak bisa berpikir terlalu banyak. Ia sekarang sudah berkeringat dingin.Karena rasa mualnya kembali naik ke tenggorokan, tubuh Gayatri menegang menahan mual. Ia takut memuntahi Iwas."Jangan berani-berani memuntahi saya. Saya tidak membawa baju ganti. Tahan, sebentar
Itu bukan urusanmu, Was! Iwas berkutat dengan suara hatinya sendiri. Di tengah keheningan, ponsel Iwas berbunyi. Iwas bergegas bangkit dari kursi dan menjauh setelah melihat nama pemanggilnya."Ya, Vira? Ada apa? Masih. Lusa mungkin aku baru aku bisa pulang ke Surabaya."Dalam diam Gayatri mempertajam pendengarannya. Kata ganti aku yang Iwas ucapkan serta santainya nada bicara Iwas membuat Gayatri menarik satu kesimpulan. Bahwa orang yang menelepon Iwas pasti seseorang yang istimewa. Karena topeng dingin Iwas luruh kala berbicara dengan orang yang meneleponnya. "Heh, kok kamu tahu aku ada di rumah sakit? Sudah di depan mata? Mana?" Iwas terperanjat saat Vira mengatakan bahwa dirinya sudah berada di rumah sakit. Bahkan di depan matanya. Akan halnya Gayatri ia segera duduk lebih jauh saat menguping percakapan Iwas. Alam bawah sadarnya mengatakan bahwa Vira ini entah istri atau pacar Iwas. Ia harus bisa menjaga sikap. Sejurus kemudian tampak dua orang gadis masuk melalui koridor depan
"Ramai sekali rumah Abang sepertinya ya?" Gayatri mengamati keadaan rumah Iwas. Dirinya dan Iwas baru saja tiba. Ada dua buah mobil yang diparkir sejajar di halaman. Iwas juga parkir sejajar di sana. Sekarang halaman dipenuhi oleh tiga buah mobil. "Seperti yang saya bilang tadi. Ada seseorang yang istimewa ingin bertemu denganmu." Iwas tersenyum simpul. Selain ingin mempertemukan Gayatri dengan tamunya, Sesungguhnya ia juga sudah tidak sabar ingin bertemu dengan tamu istimewa tersebut."Ayolah, Bang. Kemisteriusan sikap Abang membuat saya makin senewen saja." Gayatri mengikuti Iwas yang keluar dari mobil. Setelah Iwas menekan remote untuk mengunci pintu mobil, Gayatri melangkah lebar-lebar menuju pintu rumah Iwas."Kamu sudah sampai, Tri?" Gayatri disambut oleh ayah dan ibunya di ruang tamu. Kedua orang tua Iwas juga berada di ruangan yang sama. Hubungan orang tuanya dan Iwas memang semakin membaik dari hari ke hari."Oh, tamu istimewanya Ayah dan Ibu ya?" Gayatri meringis. Ia memang
Gayatri dan Iwas duduk bersisian di ruangan juru periksa kepolisian. Mereka berdua sedang menunggu kedatangan Vira. Pada akhirnya Gayatri bersedia memenuhi permintaan Vira. Ia dan Iwas terbang ke Surabaya tadi pagi. Dan sore ini mereka berdua sudah duduk di kantor polisi tempat Vira ditahan.Sejurus kemudian Vira masuk ke dalam ruangan dikawal oleh seorang petugas. Gayatri termangu melihat penampakan Vira. Jikalau di televisi kemarin Vira tampak sehat dan tegar, saat ini Vira terlihat depresi. Wajahnya murung dengan mata memerah. Ditambah rambutnya yang acak-acakan, Vira tampak nelangsa. Namun Vira memaksakan seulas senyum padanya dan Iwas setelah mereka duduk berhadapan."Apa kabar, Mbak?" Setelah kalimat pembukanya terucap, Gayatri menyesalinya. Pertanyaan ini bisa artikan ambigu. Salah satunya adalah mengejek keterpurukan Vira."Maaf, Mbak. Bukan maksud saya untuk menyindir keberadaan Mbak Vira di sini." Gayatri meralat kalimatnya. "Tidak apa-apa, Tri. Saya sudah mengenal kepriba
Setelah mematikan telepon, Gayatri segera membuka televisi. Vira yang kini berseragam oranye, diwawancari beberapa awak media."Semenjak saya kecil, saya sudah lama mengalami pelecehan seksua* oleh Om Danu. Saya tetap diam karena Om Danu mengancam akan membuka rahasia saya. Yaitu bahwa saya mempunyai orientasi seksua* yang menyimpang. Ya, saya adalah penyuka sesama jenis. Ketika Om Danu kembali mengetahui rahasia saya yang lainnya, ia kembali mengancam saya. Bahwa jikakau saya ingin rahasia saya aman lagi, maka saya harus mengizinkannya mengulangi perbuatannya seperti dulu. Saya melawan, yang berakhir dengan terbunuhnya Om Danu. Saya hanya membela diri.Gayatri terkesima. Ia tidak menyangka kalau Vira dengan gagah berani membuka semua rahasianya."Saya tidak pernah mencintai Narawastu Adiwangsa. Saya telah mempunyai pacar sesama jenis sejak lama sekali. Saya berpacaran dengan Nara, karena tuntutan orang tua dan kehidupan sosial saya. Mengenai Gayatri Harimurti, dia dan Nara sudah sepu
"Tidak apa-apa kalau mereka membatalkan pesanan, Pak Wayan. Selama mereka mengikuti prosedur, proses saja. Anggap saja belum rezeki mereka menginap di hotel kita." Gayatri menutup ponsel. Ia baru saja berbicara dengan pengurus hotel Grand Mediterania yang berlokasi di Ubud Bali. Semalam hingga siang hari ini, banyak tamu yang tiba-tiba membatalkan kamar yang sudah mereka pesan. Gayatri menduga hal itu ada hubungannya dengan berita-berita online yang berseliweran di media sosial.Sedari malam hingga siang ini Gayatri terus mendapat telepon dari relasi dan teman-teman dekatnya. Termasuk Citra dan juga Windy. Mereka memberinya link-link berita tentang dirinya dan Iwas yang wara wiri di tabloid online. Gayatri sama sekali tidak menduga. Kalau aksi lamaran tidak biasa Iwas akan mendapat tanggapan negatif dari netizen. Judul-judul berita yang ia baca dari berita-berita online tersebut rata-rata memojokkan dirinya dan Iwas. Malangnya nasib anak konglomerat ; dihianati kekasih, dilecehkan o
Di depan mobil, Gayatri melihat Iwas berdiri. Iwas mengembangkan sebuah poster di dada dengan tulisan ; will you make me the happiest man on earth and say yes? Bukan itu saja. Di samping kanan dan kiri Iwas tampak Citra dan Windy bertepuk tangan dan berteriak ; say yes, Bestie."Ya Allah, semoga semua kebahagiaan ini bukan mimpi," bisik Gayatri dengan bibir bergetar. "Baiklah, Bang. Mari kita sempurnakan kebahagiaan kita." Gayatri membuka pintu mobil. Ia kemudian berlari menghampiri Iwas. Ketika tinggal berjarak beberapa langkah, Gayatri menghentikan langkahnya.“I’ve been waiting for this moment all my life. And the answer is, yes!” Gayatri berteriak keras. Setelahnya ia berlari menuju Iwas yang mengembangkan kedua tangannya. Citra dan Windy berteriak gembira. Suitan dan tepuk tangan dari para pengguna jalan lainnya mengiringi kebahagiaan Gayatri dan Iwas. Beberapa orang tampak merekam aksi mereka dengan ponsel."Selamat ya, Tri, Bang Iwas." Citra memeluk Gayatri dan mengucapkan sel
Gayatri menguap lebar. Rapat baru saja ia bubarkan. Akhir-akhir ini dirinya dan segenap pengurus hotel memang bekerja lebih keras. Dengan adanya cicilan hutang yang jumlahnya tidak sedikit pada Harsa, Gayatri melakukan segala cara untuk menambah income hotel.Sembari memindai jam dinding, Gayatri memutar pinggangnya yang pegal ke kiri dan ke kanan. Gerakannya sangat hati-hati mengingat dirinya sedang mengandung. "Sudah pukul setengah tujuh rupanya," gumam Gayatri. Terlalu semangat bekerja telah membuatnya lupa waktu. Menguap lebar sekali lagi, Gayatri membereskan meja kerjanya. Setelah semua tertata rapi, Gayatri meraih tas. Ia bermaksud pulang dan beristirahat di rumah. Merogoh tas untuk mencari ponsel, Gayatri pun menelepon Pak Diman. Ia menginstruksikan agar Pak Diman menjemputnya di depan lobby. Gayatri memang meminta Pak Diman menjemputnya. Ia tadi menolak tawaran Iwas yang menelepin ingin mengantarnya pulang. Gayatri mengerti bahwa kedatangan Iwas ke Jakarta selain mengurus m
Gayatri tidak menjawab. Ia mengerutkan kening. Berpikir keras sebelum menjawab. Iwas memintanya menjawab jujur. Makanya harus hati-hati. Lebih baik ia memberi jawaban yang aman saja."Sama saja kok, Bang. Dulu maupun sekarang, saya suka-suka saja.""Begitu ya? Coba berikan alasannya." Iwas tidak mau dijawab seadanya. Ia ingin mengetahui perasaan Gayatri padanya."Alasannya? Apa ya? Sikap Abang dulu walau dingin, Abang baik pada saya. Buktinya Abang dulu bersedia memenuhi permintaan saya. Baik itu permintaan menemani ke pesta ulang tahun Citra, ataupun ke rumah sakit menemui Zana.""Kalau saya yang sekarang?" cecar Iwas lagi. "Kalau Abang yang sekarang, ya lebih ramah sih." Gayatri mulai kesulitan merangkai kata-kata. Ia memang paling tidak bisa memuji-muji orang. Setelan pabriknya memang begitu."Masa cuma begitu? Tambahin lagi dong. Kan saya minta jawabnya yang jujur." Sembari tetap fokus menyetir, Iwas memasang telinganya baik-baik. Sulit sekali rupanya meminta Gayatri mengutarakan
Iwas menjalankan kendaraan dengan hati-hati. Saat ini Gayatri tertidur dalam mobil. Kepala Gayatri bersandar nyaman di bahunya. Selama berkendara dari gerai mie ayam menuju rumah Gayatri, Gayatri terkantuk-kantuk yang berakhir dengan tertidur di bahunya. Iwas tidak tega membangunkan Gayatri. Ia tahu Gayatri kelelahan. Mendekati rumah Gayatri, Iwas melambatkan laju kendaraan sebelum benar-benar berhenti. Saat Pak Irwan membuka pintu gerbang, Iwas melajukan kendaraan dan berhenti di teras rumah. Iwas menunggu sekitar lima menit, baru ia membangunkan Gayatri. Lebih baik Gayatri istirahat di kamar saja daripada bersandar begini."Tri, bangun. Kita sudah sampai di rumahmu." Iwas mengusap-usap bahu Gayatri."Heh, sampai di rumah? Kok tidak ke hotel saja?" Gayatri tersentak saat dibangunkan Iwas. Menyadari bahwa sekarang ia sudah berada di rumah, Gayatri mendecakkan lidah. Salahnya sendiri yang ketiduran. "Kamu mau ke hotel ya? Apa kamu tidak capek, Tri? Bukannya lebih baik kalau kamu isti
"Saya dan Vira mempunyai masa lalu yang hampir sama. Jikalau Vira kerap dilecehkan oleh omnya, saya oleh ayah tiri saya." Nia memandangi langit-langit ruangan. Hari ini ia menerima kunjungan dari Gayatri dan Nara di kantor polisi. Mereka sekarang duduk berhadapan dengan sebuah meja sebagai pemisah. "Jikalau Vira dijebak omnya dengan photo-photo, saya dijebak dengan masalah finansial. Saya mempunyai dua orang adik yang masih kecil-kecil. Sementara ibu saya hanyalah ibu rumah tangga yang tidak berpenghasilan. Kalau saya mengadu, ayah tiri saya mengancam akan menceraikan ibu saya. Saya terpaksa bertahan demi ibu dan adik-adik," ungkap Nia jujur."Saya menyesal atas semuanya, Tri. Tapi mau bagaimana lagi. Nasi telah menjadi bubur," ucap Nia lesu."Saya tidak akan menghakimi masa lalu Mbak Nia, karena saya tidak berada di posisi Mbak. Yang saya sayangkan kenapa kalian berdua tidak berterus terang dari awal? Masalah kalian ini sebenarnya penyelesaiannya sederhana. Kalian cukup mengaku saja