"Dua hari untukku? Aku yakin ini akan menjadi hari yang sempurna untuk dinikmati."
"Ya, dua hari untukmu karena harusnya baru hari ini saya pulang dari Lombok."
Pak Ardi menyuapiku satu sendok penuh. "Oh, liburannya ke Lombok. Terus rencana untuk memindahkan Kenzo dan Naufal ke Singapura jadi? Mereka sehat kan, aku kangen mereka." ucapku tidak jelas.
"Habiskan dulu makananmu baru bicara!" sahutnya galak dan terus menerus menyuapiku tanpa jeda, tanpa sisa.
Setelah selesai. Aku baru berani bicara lagi. "Ayo jawab pertanyaanku tadi."
Pak Ardi menarik satu tisu seraya membersihkan bibirku. "Enak?"
"Enak banget.. Belajar darimana? Sebagai perempuan aku merasa kalah." Aku mengerucutkan bibir.
"Mertua saya pemilik restoran dan Farah pandai memasak. Jadi saya belajar banyak dari mereka." Pak Ardi menguap.
Aku tersenyum. Lelaki yang mengaduk-aduk perasaanku ini begitu sanggup mengubah garis hi
"Kamu tidak tidur, Anna?" Pak Ardi menutup punggung tanganku dengan telapak tangannya yang hangat. Dadanya yang telanjang menyentuh punggungku yang sama telanjangnya.Napasnya yang hangat menyebar ke tengkuk leherku. "Aku sudah terjaga. Aku lapar." dustaku karena aku tidak tidur, aku hanya menikmati kebersamaan ini dengan pikiran yang nyalang kemana-mana.Aku bahagia saat bersamanya. Namun tak ada akhir yang indah dari kesalahan kisah kita. Aku mendesah. "Sebaiknya aku mandi dulu dan masak. Aku benar-benar lapar.""Apa saya tidurnya sangat lama?" Pak Ardi menguap."Kayaknya, ini sudah malam. Jadi sebaiknya kita mandi. Tingkah laku kita menjijikan sekali." Pak Ardi mendesah, ia melepas pelukannya. "Sepertinya kamu masih marah soal tadi." tukasnya. Aku memutar tubuhku, menghadapnya. "Kamu memanggilku sayang saat bercinta, kamu penjahat tau gak! Ucapanmu itu omong kosong. Gak seharusnya."Pak Ardi menurunkan tat
Setelah hari-hari manis berayun pergi. Sunyi kembali bertakhta lagi di hari-hariku. Sungguh, aku masih berharap masih memiliki hari depan penuh harapan dan indah. Namun, sudah tiga Minggu ini periode haidku tidak kunjung datang. Aku mulai bertanya-tanya apakah percintaan pagi hari kami dalam keadaan mabuk itu menghasilkan buah hati? "Gimana, Anna?" Tina menghampiriku, membawakan secangkir teh hangat dengan tambahan bubuk jahe. "Minumlah." "Terima kasih, tapi aku rasa aku gak hamil. Serius. Aku ogah! Dan kemana dia?"Tina mengumbar senyum. "Bagaimana kalau iya?" Aku mengumpat, untuk prasangka buruk itu aku merasa tersinggung lagi. Aku punya hak untuk tersinggung, aku terus berseru, melepas rasa dongkolku."Aku gak hamil, semoga tidak tapi sudahlah. Hari ini aku ada jadwal ke kantor JaffFilm. Biar aku fokus pada kerjaanku dulu, Bu. Jangan membuatku merasa goyah." "Pak Ardi ada di kantor, saya akan membuatkan jadwal pertemuan untuk kalian." Tina mendengus. "Ja
"Omong kosong. Aku gak mungkin bilang kayak gitu." tukasku ngeyel. "Aku mungkin mabuk, tapi aku gak mungkin sampai ngomong cinta, konyol banget! Lepas."Aku meronta di pelukannya. Namun semakin aku meronta, dia semakin memelukku dengan erat."Berhentilah membohongi dirimu sendiri, Anna! Kau mencintaiku."Aku memukul-mukul punggungnya dengan geram. "Terus kenapa kalau aku mencintaimu? Salah? Kamu dan kelakuanmu yang bikin aku seperti ini? Sadar gak sih apa yang kamu lakukan buat aku itu bikin aku kayak gini." Aku menggeram. Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi kemarin. Aku benar-benar gak punya ekspektasi apapun saat malam itu."Karena aku memang menyukai caramu, Anna. Kau menantangku agar tidak perlu mencintaimu, dan caraku ini memang untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku.""Dan kamu merasa senang sekarang?" "Kau begitu emosional, Anna. Istirahatlah untuk kebaikanmu." "Melihat dari sikapmu yang sepert
Hari sudah malam dan aku tak kunjung tenang. Ku tutup jendela dan gorden dengan putus asa. Mungkin memang dia hanya mampu bicara tanpa berani mengambil risikonya.Aku menghempaskan tubuhku di tepi ranjang. Ku raih amplop putih yang sudah aku siapkan di atas nakas dan kami akan membacanya berdua dan sama-sama melihat reaksi masing-masing dari wajah kami atas hasil pemeriksaan tadi. Namun sepertinya aku akan membacanya sendiri sekarang.Aku menghela napas, aku menikmatinya, menerima semua pemberiannya, dan jika memang aku akan hamil sekarang. Aku tidak tahu harus mengambil keputusan apa atas janin ini.Dan tenang lenyap mulai hari ini. Kertas putih tanpa kata-kata ini hanya bertuliskan tanda +, badai langsung menerpaku. Aku sesak, aku ingin menangis, tapi untuk apa? Menangisi dosaku, kesalahan ini? Sia-sia, itu tidak akan membantu. Aku hanya mulai bertanya, harus aku apakan janin ini. Malam kian mencumbuiku tanpa kepastian. Aku bahkan tidak sanggup
"Kalian berdua tanda tangan dibawah ini." Tina mengangsurkan selembar kertas dan pulpen. Aku menatap Tina menyelidiki. Benarkah Pak Ardi tidak main-main dengan tanggung jawabnya?"Surat perjanjian! Dengan begitu Ardi Ardiansyah Tengker resmi menjadi pihak yang menanggung biaya hidup Anna Marianne berserta anak yang dilahirkannya sampai batas waktu yang ditentukan oleh Ardi Ardiansyah Tengker yakni sampai kalian menikah."Aku menoleh ke arah pria yang sejak tadi memegang pinggangku."Bagaimana jika aku tidak menikah? Apa kamu masih akan mengunjungiku dan menyayangiku seperti sekarang?""Siapapun laki-laki yang akan menikahimu harus sanggup menerima anakku dengan baik dan kamu harus jujur dengan saya. Namun jika kamu tidak ingin menikah karena saya. Saya akan ada untukmu. Nanti kita nikah siri, Tina sedang menyiapkan semuanya.""Nikah siri?" Aku semakin tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Pak Ardi. Dia menyembunyikan aku demi m
"Maaf Anna saya baru datang. Tadi ada masalah di kantor." Pak Ardi mengelus-elus lenganku. "Kamu marah?" tanyanya dengan khawatir."Aku cuma kehilangan semangat aja, tapi enggak marah. Aku paham." jawabku jujur."Good, kita bisa melakukannya sekarang. Sudah terlalu lama saya mengulurnya." Aku menatapnya dengan saksama. Pak Ardi memang sudah memakai setelan jas hitam, tapi wajahnya kusut, dan lelah. "Masalahnya berat?" "Melarikan diri dari Farah tidak semudah meeting hari ini, Anna." "Harusnya kamu senang karena menjadi lebih hidup mas, bukannya itu yang kamu mau." "Itu karena saya sudah memikirkanmu, Anna. Saya jadi setengah tidak tenang sekarang." "Terima kasih sudah mengingatku. Tapi lebih baik kamu makan dulu dan mandi. Aku tidak mau acara yang sakral ini..." Aku meringis dan melanjutkan. "Kita sama-sama terlihat kucel.""Di tunda saja dulu mandinya, ijab hanya sebentar sementara mandinya lama.
Usai pernikahan siri yang teramat sederhana tanpa seserahan atau acara intim lainnya. Aku menjalani hidupku dengan sewajar-wajarnya. Mencoba mengerti bagaimana kesibukan seorang pria yang memiliki dua istri. Apalagi aku hanya istri siri. Cukup tidak punya hak untuk meminta jatah lebih meski perhatiannya tidak pernah surut padaku. Satu Minggu di awal pernikahan, Pak Ardi bersamaku hampir setiap malam. Dia perhatian, disela-sela kesibukannya yang harus tetap bekerja dari rumah. Dia masih menyempatkan diri untuk membuat makan malam untuk kami. Di Minggu berikutnya, jadwal pertemuan kami mulai menyusut. Pak Ardi harus kembali menjadi suami sempurna untuk Bu Farah dan menjadi pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab. Walaupun begitu setiap hari ada saja ojek online yang datang ke rumah untuk mengantarkan pesanan Pak Ardi untukku.Aku menyukai caranya perhatian, sekecil apapun itu aku akan menghargainya sebagai bentuk rasa sayangnya padaku.Begitupun
Gaun pesta berwarna putih tulang berenda di bagian dadanya tergantung di dinding kamarku. Aku langsung paham maksudnya, aku harus memakai gaun itu untuk pesta ulangtahun suamiku nanti malam. Tidak ada kabar saat ini darinya, dugaanku sekarang Pak Ardi dan keluarganya baru merayakan pesta pribadi mereka di rumah, dengan suka cita dan kehangatan sebuah keluarga.Aku akan maklum. Setidaknya liburan yang disiapkan Pak Ardi untuk kami yang tersisihkan cukup membuatku tenang, karena ada waktu untuk bersama tanpa gangguan dari pemirsa.Suara pintu gerbang yang terbuka membuatku mengintip dari balik gorden. Tina? "Maaf Bu Anna, dicari Bu Tina." "Ya, makasih Bu Mer." Aku keluar dari kamar seraya menghampiri Tina yang melihatku dengan lekat-lekat."Kenapa? Kangen?" tanyaku sambil cipika-cipiki dengannya. "Aku kangen." Tina mengelus punggungku pelan. "Suamiku ada di rumah besar suamimu. Dia memintaku agar kamu juga ikut serta d