"Omong kosong. Aku gak mungkin bilang kayak gitu." tukasku ngeyel. "Aku mungkin mabuk, tapi aku gak mungkin sampai ngomong cinta, konyol banget! Lepas."
Aku meronta di pelukannya. Namun semakin aku meronta, dia semakin memelukku dengan erat."Berhentilah membohongi dirimu sendiri, Anna! Kau mencintaiku."Aku memukul-mukul punggungnya dengan geram. "Terus kenapa kalau aku mencintaimu? Salah? Kamu dan kelakuanmu yang bikin aku seperti ini? Sadar gak sih apa yang kamu lakukan buat aku itu bikin aku kayak gini." Aku menggeram. Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi kemarin. Aku benar-benar gak punya ekspektasi apapun saat malam itu."Karena aku memang menyukai caramu, Anna. Kau menantangku agar tidak perlu mencintaimu, dan caraku ini memang untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku.""Dan kamu merasa senang sekarang?""Kau begitu emosional, Anna. Istirahatlah untuk kebaikanmu.""Melihat dari sikapmu yang sepertHari sudah malam dan aku tak kunjung tenang. Ku tutup jendela dan gorden dengan putus asa. Mungkin memang dia hanya mampu bicara tanpa berani mengambil risikonya.Aku menghempaskan tubuhku di tepi ranjang. Ku raih amplop putih yang sudah aku siapkan di atas nakas dan kami akan membacanya berdua dan sama-sama melihat reaksi masing-masing dari wajah kami atas hasil pemeriksaan tadi. Namun sepertinya aku akan membacanya sendiri sekarang.Aku menghela napas, aku menikmatinya, menerima semua pemberiannya, dan jika memang aku akan hamil sekarang. Aku tidak tahu harus mengambil keputusan apa atas janin ini.Dan tenang lenyap mulai hari ini. Kertas putih tanpa kata-kata ini hanya bertuliskan tanda +, badai langsung menerpaku. Aku sesak, aku ingin menangis, tapi untuk apa? Menangisi dosaku, kesalahan ini? Sia-sia, itu tidak akan membantu. Aku hanya mulai bertanya, harus aku apakan janin ini. Malam kian mencumbuiku tanpa kepastian. Aku bahkan tidak sanggup
"Kalian berdua tanda tangan dibawah ini." Tina mengangsurkan selembar kertas dan pulpen. Aku menatap Tina menyelidiki. Benarkah Pak Ardi tidak main-main dengan tanggung jawabnya?"Surat perjanjian! Dengan begitu Ardi Ardiansyah Tengker resmi menjadi pihak yang menanggung biaya hidup Anna Marianne berserta anak yang dilahirkannya sampai batas waktu yang ditentukan oleh Ardi Ardiansyah Tengker yakni sampai kalian menikah."Aku menoleh ke arah pria yang sejak tadi memegang pinggangku."Bagaimana jika aku tidak menikah? Apa kamu masih akan mengunjungiku dan menyayangiku seperti sekarang?""Siapapun laki-laki yang akan menikahimu harus sanggup menerima anakku dengan baik dan kamu harus jujur dengan saya. Namun jika kamu tidak ingin menikah karena saya. Saya akan ada untukmu. Nanti kita nikah siri, Tina sedang menyiapkan semuanya.""Nikah siri?" Aku semakin tidak mengerti bagaimana jalan pikiran Pak Ardi. Dia menyembunyikan aku demi m
"Maaf Anna saya baru datang. Tadi ada masalah di kantor." Pak Ardi mengelus-elus lenganku. "Kamu marah?" tanyanya dengan khawatir."Aku cuma kehilangan semangat aja, tapi enggak marah. Aku paham." jawabku jujur."Good, kita bisa melakukannya sekarang. Sudah terlalu lama saya mengulurnya." Aku menatapnya dengan saksama. Pak Ardi memang sudah memakai setelan jas hitam, tapi wajahnya kusut, dan lelah. "Masalahnya berat?" "Melarikan diri dari Farah tidak semudah meeting hari ini, Anna." "Harusnya kamu senang karena menjadi lebih hidup mas, bukannya itu yang kamu mau." "Itu karena saya sudah memikirkanmu, Anna. Saya jadi setengah tidak tenang sekarang." "Terima kasih sudah mengingatku. Tapi lebih baik kamu makan dulu dan mandi. Aku tidak mau acara yang sakral ini..." Aku meringis dan melanjutkan. "Kita sama-sama terlihat kucel.""Di tunda saja dulu mandinya, ijab hanya sebentar sementara mandinya lama.
Usai pernikahan siri yang teramat sederhana tanpa seserahan atau acara intim lainnya. Aku menjalani hidupku dengan sewajar-wajarnya. Mencoba mengerti bagaimana kesibukan seorang pria yang memiliki dua istri. Apalagi aku hanya istri siri. Cukup tidak punya hak untuk meminta jatah lebih meski perhatiannya tidak pernah surut padaku. Satu Minggu di awal pernikahan, Pak Ardi bersamaku hampir setiap malam. Dia perhatian, disela-sela kesibukannya yang harus tetap bekerja dari rumah. Dia masih menyempatkan diri untuk membuat makan malam untuk kami. Di Minggu berikutnya, jadwal pertemuan kami mulai menyusut. Pak Ardi harus kembali menjadi suami sempurna untuk Bu Farah dan menjadi pimpinan perusahaan yang bertanggungjawab. Walaupun begitu setiap hari ada saja ojek online yang datang ke rumah untuk mengantarkan pesanan Pak Ardi untukku.Aku menyukai caranya perhatian, sekecil apapun itu aku akan menghargainya sebagai bentuk rasa sayangnya padaku.Begitupun
Gaun pesta berwarna putih tulang berenda di bagian dadanya tergantung di dinding kamarku. Aku langsung paham maksudnya, aku harus memakai gaun itu untuk pesta ulangtahun suamiku nanti malam. Tidak ada kabar saat ini darinya, dugaanku sekarang Pak Ardi dan keluarganya baru merayakan pesta pribadi mereka di rumah, dengan suka cita dan kehangatan sebuah keluarga.Aku akan maklum. Setidaknya liburan yang disiapkan Pak Ardi untuk kami yang tersisihkan cukup membuatku tenang, karena ada waktu untuk bersama tanpa gangguan dari pemirsa.Suara pintu gerbang yang terbuka membuatku mengintip dari balik gorden. Tina? "Maaf Bu Anna, dicari Bu Tina." "Ya, makasih Bu Mer." Aku keluar dari kamar seraya menghampiri Tina yang melihatku dengan lekat-lekat."Kenapa? Kangen?" tanyaku sambil cipika-cipiki dengannya. "Aku kangen." Tina mengelus punggungku pelan. "Suamiku ada di rumah besar suamimu. Dia memintaku agar kamu juga ikut serta d
Ibu, sebuah gelar yang disandang perempuan setengah baya itu sungguh mengguncang hidupku pagi ini bersama dengan perasaan yang bergemuruh di dada."Aku harus ke terminal mas, singkirkan lenganmu! Atau ibu bakal panik nanti." ucapku lembut seraya menyingkirkan lengan Pak Ardi yang membebani perutku."Kau sudah membuatku cemburu tadi malam, sementara sekarang kau mengusirku dengan cepat! Setega itu kamu, Anna." Pak Ardi menggeram, jika semalam aku bersenang-senang dengan Coki tanpa beban, pria yang mendatangiku pukul satu dini hari tadi harus menjadi pria hangat, ramah dan sempurna dimata semua orang selama jalannya pesta. "Sebentar lagi." ucapnya sembari mengeratkan pelukannya. "Saya masih belum tuntas.""Aku harus akting di hadapan Bu Farah, jadi tolong gak usah overthinking. Itu semata-mata agar dia tidak semakin curiga denganku." jelasku sambil menepuk-nepuk pipinya. "Terima kasih udah datang, tapi sekarang bangun dong, ibu bilang satu jam lagi
Aku sering mengalami momen-momen seperti ini. Dimana suka dan duka berada pada satu momen yang sama. Kalau dulu aku menganggapnya sebagai kejadian yang aku anggap, ya sudahlah nanti akan selesai dan baik-baik saja. Berbeda dengan sekarang, aku belum menemukan solusi terbaik untukku.Ibu bahagia dengan rasa ketertarikannya pada kota besar ini. Semangatnya yang membuncah untuk tamasya membuatku ikut semangat untuk menemaninya jalan-jalan. Disisi lain, aroma bensin dan oli yang kerap aku hirup di parkiran membuatku mual dan muntah. Berkali-kali aku berdusta saat kemarin kami tamasya ke Monas, pasar Tanah Abang, Kebun Binatang Ragunan dan terakhir kami kesini, ke pusat perbelanjaan di daerah M.H Thamrin."Sebenarnya Ibu heran, Na. Setiap di parkiran kamu pasti muntah-muntah. Kenapa? Masuk anginmu tidak sembuh-sembuh?" Aku meringis sambil menyandarkan tubuh ke tembok. "Kayaknya aku alergi parkiran Bu, makanya muntah terus.""Alergi parkiran?
Aku butuh perisai untuk menghalau panah yang melesat ke jantungku. Semua terasa sulit bagiku saat ini, aku tidak bisa tenang saat Dito bersikeras mengikuti ke apartemenku.Perjalanan akhirnya membawaku bertemu lagi dengannya. Konon ku kira dia akan menyerah karena kisah kita yang tak seindah itu. Kisah kita banyak kendala, namun kasih sayangnya terlalu membekas di ingatanku. Caranya marah, bucin, kecewa, dan memperhatikanku terlalu melekat. Namun ia datang saat semua sudah terlambat. Aku sudah membuka lembaran baru dengan suamiku sebagai simpanan.Lebih menyakitkan mana? Aku tidak mengerti rasanya, aku jatuh terlalu cepat saat aku seharusnya berlari."Sebaiknya anda pergi! Bu Anna tidak bisa menerima tamu laki-laki di apartemennya!" usir si plontos saat kami turun di lobi apartemen kepada Dito. Dito masih memasang ekspresi tidak percaya, dan Ibu yang prihatin dengan kondisiku dan Dito marah-marah karena perilaku pengawal Pak Ardi tidak sopan.