Coki meringis sambil menghampiriku, ia menarik kursi seraya menghenyakkan tubuhnya. "Lega gue, Ann! Tumpah semua." adunya padaku dengan gamblang.
Aku menyunggingkan senyum. "Kasian amat istrimu ntar cuma dapat sisanya, Cok!"
Coki berdecap puas setelah menghabiskan kopinya. "Lu tau gak, setidaknya dalam sehari testis pria menghasilkan 100 juta sperma dengan ukuran rata-rata 0,05mm. Mana mungkin istri gue ntar dapat sisa! 100 juta sperma itu banyak banget, Ann. Bayangin aja. 100 juta." Coki menggebu-gebu dengan semua tangan yang ia terangkat ke udara.
Aku menepuk jidatku sendiri. Payah kali ini orang, kenapa harus dijelaskan juga. Untung aja kami memilih tempat yang jauh dari pengunjung lain.
"Percaya, percaya. 100 juta itu banyak banget. Tapi hanya satu yang berhasil membuahi sel telur dan kamu tahu, sejak otw ke rahim satu dari 100 juta sperma itu udah berjuang keras untuk mendahului teman sejenisnya demi kehidupan selanjutnya." balasku, "jadi
Aku mendorong troli belanja dengan sebal. Kakiku teramat pegal saat kami berdua sibuk memutari rak demi rak dan memilih kebutuhan dapur dan rumah. "Jalan-jalannya gak begini juga woy, ini penyiksaan!" Tina berbalik setelah sibuk memilih susu diet mana yang harus dia minum. "Udah tua gak usah diet!" cibirku kesal. "Justru saya sudah berumur, saya harus menjaga kesehatan tubuh." jawabnya santai, tangannya meraih susu diet yang sudah ia tatap sedari. "Kamu juga Bu Anna. Itu wajib biar pasangan kita betah." Aku memutar bola mataku. Agaknya dia nyindir kali ya, orang pasangan aku aja lagi dengan pasangannya. "Kamu punya suami?" tanyaku sambil ikut mengambil susu diet. Bodo amat kalau badanku makin singset dan jangan lupa soal olahraga mengencangkan payudara dan bokong. Setiap seminggu tiga kali kami rutin mendatangi pusat kebugaran. Bayangkan saja aku yang biasanya mager sambil membaca buku, sekarang harus ol
Hari-hariku bersama Tina terasa tenang tanpa gangguan Pak Ardi selama lima hari ini. Tina benar-benar mematikan ponselnya dan selama lima hari itu aku belajar banyak darinya.Mulai dari public speaking, self improvement, dan ngobrol hal-hal tinggi yang menyangkut industri perfilman.Rasanya aku seperti punya kakak yang membimbingku dalam bidang ini. Tentunya hal itu tak lepas dari perintah Pak Ardi."Jadi kita nge-gym lagi hari ini?" Aku mengikat tali sepatuku seraya menghenyakkan tubuhku di kursi yang terbuat dari anyaman rotan."Sudah jadwalnya." Tina menjawab seraya meraih kunci mobilnya. "Ayo!"Deru mesin mobil menyala. Aku beranjak dengan malas. Pusat kebugaran tampak menyebalkan bagiku sekarang. Badanku sangat pegal sekali mengingat tadi pagi kami sudah beres-beres rumah dan masak sebagai rasa hormatku kepada Tina, aku mengambil alih sebagai pekerjaannya sebagai babu.Tina tersenyum. "Ayolah, saya bisa terlihat muda seperti i
Mobil berhenti di depan gerbang rumah. Aku sudah mengira Tina tidak ikut turun karena ia langsung meninggalkan halaman rumah tanpa pikir panjang. "Serindu itu dia sama suaminya. Aku jadi merasa bersalah." gumamku seraya masuk ke dalam rumah.Berhubung kunci rumah di bawa Tina dan satpam rumah asyik ngorok di ruangannya. Aku memilih menunggu Pak Ardi. Namun payahnya saat mobilnya datang, aku harus membuka gerbang sendiri. Astaga, aku melihatnya tersenyum lebar dari dalam mobil."Saya merindukan rumah ini. Ayo masuk, Anna." Pak Ardi mendorong pintu. Aku langsung masuk ke kamarku, menguncinya dari dalam. Aku belum sanggup jika harus berduaan dengannya saat ini. Aku tidak sanggup melihatnya bermanja-manja disini setelah apa yang ia lakukan dengan keluarga kemarin. Aku seolah melukai keintiman yang sudah terjalin kemarin."Anna! Kau..." suara Pak Ardi meninggi. "Kamu butuh privasi? Saya akan memberikannya tapi tidak saat ini." suara Pak Ardi menelan seraya me
"Dua hari untukku? Aku yakin ini akan menjadi hari yang sempurna untuk dinikmati." "Ya, dua hari untukmu karena harusnya baru hari ini saya pulang dari Lombok." Pak Ardi menyuapiku satu sendok penuh. "Oh, liburannya ke Lombok. Terus rencana untuk memindahkan Kenzo dan Naufal ke Singapura jadi? Mereka sehat kan, aku kangen mereka." ucapku tidak jelas. "Habiskan dulu makananmu baru bicara!" sahutnya galak dan terus menerus menyuapiku tanpa jeda, tanpa sisa. Setelah selesai. Aku baru berani bicara lagi. "Ayo jawab pertanyaanku tadi." Pak Ardi menarik satu tisu seraya membersihkan bibirku. "Enak?" "Enak banget.. Belajar darimana? Sebagai perempuan aku merasa kalah." Aku mengerucutkan bibir. "Mertua saya pemilik restoran dan Farah pandai memasak. Jadi saya belajar banyak dari mereka." Pak Ardi menguap. Aku tersenyum. Lelaki yang mengaduk-aduk perasaanku ini begitu sanggup mengubah garis hi
"Kamu tidak tidur, Anna?" Pak Ardi menutup punggung tanganku dengan telapak tangannya yang hangat. Dadanya yang telanjang menyentuh punggungku yang sama telanjangnya.Napasnya yang hangat menyebar ke tengkuk leherku. "Aku sudah terjaga. Aku lapar." dustaku karena aku tidak tidur, aku hanya menikmati kebersamaan ini dengan pikiran yang nyalang kemana-mana.Aku bahagia saat bersamanya. Namun tak ada akhir yang indah dari kesalahan kisah kita. Aku mendesah. "Sebaiknya aku mandi dulu dan masak. Aku benar-benar lapar.""Apa saya tidurnya sangat lama?" Pak Ardi menguap."Kayaknya, ini sudah malam. Jadi sebaiknya kita mandi. Tingkah laku kita menjijikan sekali." Pak Ardi mendesah, ia melepas pelukannya. "Sepertinya kamu masih marah soal tadi." tukasnya. Aku memutar tubuhku, menghadapnya. "Kamu memanggilku sayang saat bercinta, kamu penjahat tau gak! Ucapanmu itu omong kosong. Gak seharusnya."Pak Ardi menurunkan tat
Setelah hari-hari manis berayun pergi. Sunyi kembali bertakhta lagi di hari-hariku. Sungguh, aku masih berharap masih memiliki hari depan penuh harapan dan indah. Namun, sudah tiga Minggu ini periode haidku tidak kunjung datang. Aku mulai bertanya-tanya apakah percintaan pagi hari kami dalam keadaan mabuk itu menghasilkan buah hati? "Gimana, Anna?" Tina menghampiriku, membawakan secangkir teh hangat dengan tambahan bubuk jahe. "Minumlah." "Terima kasih, tapi aku rasa aku gak hamil. Serius. Aku ogah! Dan kemana dia?"Tina mengumbar senyum. "Bagaimana kalau iya?" Aku mengumpat, untuk prasangka buruk itu aku merasa tersinggung lagi. Aku punya hak untuk tersinggung, aku terus berseru, melepas rasa dongkolku."Aku gak hamil, semoga tidak tapi sudahlah. Hari ini aku ada jadwal ke kantor JaffFilm. Biar aku fokus pada kerjaanku dulu, Bu. Jangan membuatku merasa goyah." "Pak Ardi ada di kantor, saya akan membuatkan jadwal pertemuan untuk kalian." Tina mendengus. "Ja
"Omong kosong. Aku gak mungkin bilang kayak gitu." tukasku ngeyel. "Aku mungkin mabuk, tapi aku gak mungkin sampai ngomong cinta, konyol banget! Lepas."Aku meronta di pelukannya. Namun semakin aku meronta, dia semakin memelukku dengan erat."Berhentilah membohongi dirimu sendiri, Anna! Kau mencintaiku."Aku memukul-mukul punggungnya dengan geram. "Terus kenapa kalau aku mencintaimu? Salah? Kamu dan kelakuanmu yang bikin aku seperti ini? Sadar gak sih apa yang kamu lakukan buat aku itu bikin aku kayak gini." Aku menggeram. Rasanya aku tidak percaya dengan apa yang sudah terjadi kemarin. Aku benar-benar gak punya ekspektasi apapun saat malam itu."Karena aku memang menyukai caramu, Anna. Kau menantangku agar tidak perlu mencintaimu, dan caraku ini memang untuk membuatmu jatuh cinta kepadaku.""Dan kamu merasa senang sekarang?" "Kau begitu emosional, Anna. Istirahatlah untuk kebaikanmu." "Melihat dari sikapmu yang sepert
Hari sudah malam dan aku tak kunjung tenang. Ku tutup jendela dan gorden dengan putus asa. Mungkin memang dia hanya mampu bicara tanpa berani mengambil risikonya.Aku menghempaskan tubuhku di tepi ranjang. Ku raih amplop putih yang sudah aku siapkan di atas nakas dan kami akan membacanya berdua dan sama-sama melihat reaksi masing-masing dari wajah kami atas hasil pemeriksaan tadi. Namun sepertinya aku akan membacanya sendiri sekarang.Aku menghela napas, aku menikmatinya, menerima semua pemberiannya, dan jika memang aku akan hamil sekarang. Aku tidak tahu harus mengambil keputusan apa atas janin ini.Dan tenang lenyap mulai hari ini. Kertas putih tanpa kata-kata ini hanya bertuliskan tanda +, badai langsung menerpaku. Aku sesak, aku ingin menangis, tapi untuk apa? Menangisi dosaku, kesalahan ini? Sia-sia, itu tidak akan membantu. Aku hanya mulai bertanya, harus aku apakan janin ini. Malam kian mencumbuiku tanpa kepastian. Aku bahkan tidak sanggup