Aku mematut diri di cermin setelah Tina selesai membantuku merias diri dan bersiap-siap untuk acara tumpengan nanti.
Midi dress dengan warna peach membalut tubuhku. Aku terlihat anggun, sungguh anggun dari biasanya apalagi Stiletto dengan warna hitam ini mempertegas kesan dark dalam diriku.
"Terimakasih, Bu Tina. Aku sedikit terkejut dengan baju pilihanmu, tapi ini luar biasa bagus." pujiku tulus.
Tina mengangguk. "Sudah menjadi pekerjaan saya!" ucapnya tegas. Aku menatapnya dengan teliti.
"Bu Tina bukan cuma seorang pelayan kan?" tukasku lugas, "aku sebenarnya gak tau harus menganggap apa yang terjadi padaku ini adalah kesialan atau keuntungan. Aku bimbang, karena rasanya aku terjebak, aku gak punya celah untuk keluar dari semua ini."
Aku mendesah. Tina menegakkan tubuhnya, matanya begitu meneliti setiap detail dalam diriku.
"Setidaknya Pak Ardi memperlakukanmu dengan baik. Itu sudah cukup menggambarkan bahwa d
Mengobrol dan membuat rencana-rencana baru untuk hunting buku dan food court adalah oase yang sedikit menepikan Pak Ardi di benakku."Aku suka rencananya, Cok. Besok kita mulai aja planningnya." sahutku saat ia menyelesaikan ide gilanya.Coki tertawa. "Boleh, boleh. Ntar gue jemput. Lagipula kemarin gue ke apartemen lu lagi karena mau ngasih tau lu hal itu."Aku cengengesan, aku tak bisa terlalu jujur dengan Coki sekarang. Aku harus hati-hati."Coki!" panggil salah satu rekan kerja Coki dari jauh. "Ayo ke lokasi syuting!"Coki meringis kepadaku lalu beranjak. "Ntar gue kabari kalau syuting series pertama udah selesai. Ntar lu bisa nobar sama pemainnya kalau udah selesai editing! Tapi sekarang gue harus cabut dulu."Aku mengangguk. "Makasih udah bantuin aku, Cok. Gak ada kamu mungkin aku seperti orang kesasar di sini dan plonga-plongo." Aku tersenyum penuh rasa terima kasih kepadanya.Suasana hangat kemudian terasa di
Coki meringis sambil menghampiriku, ia menarik kursi seraya menghenyakkan tubuhnya. "Lega gue, Ann! Tumpah semua." adunya padaku dengan gamblang.Aku menyunggingkan senyum. "Kasian amat istrimu ntar cuma dapat sisanya, Cok!"Coki berdecap puas setelah menghabiskan kopinya. "Lu tau gak, setidaknya dalam sehari testis pria menghasilkan 100 juta sperma dengan ukuran rata-rata 0,05mm. Mana mungkin istri gue ntar dapat sisa! 100 juta sperma itu banyak banget, Ann. Bayangin aja. 100 juta." Coki menggebu-gebu dengan semua tangan yang ia terangkat ke udara.Aku menepuk jidatku sendiri. Payah kali ini orang, kenapa harus dijelaskan juga. Untung aja kami memilih tempat yang jauh dari pengunjung lain."Percaya, percaya. 100 juta itu banyak banget. Tapi hanya satu yang berhasil membuahi sel telur dan kamu tahu, sejak otw ke rahim satu dari 100 juta sperma itu udah berjuang keras untuk mendahului teman sejenisnya demi kehidupan selanjutnya." balasku, "jadi
Aku mendorong troli belanja dengan sebal. Kakiku teramat pegal saat kami berdua sibuk memutari rak demi rak dan memilih kebutuhan dapur dan rumah. "Jalan-jalannya gak begini juga woy, ini penyiksaan!" Tina berbalik setelah sibuk memilih susu diet mana yang harus dia minum. "Udah tua gak usah diet!" cibirku kesal. "Justru saya sudah berumur, saya harus menjaga kesehatan tubuh." jawabnya santai, tangannya meraih susu diet yang sudah ia tatap sedari. "Kamu juga Bu Anna. Itu wajib biar pasangan kita betah." Aku memutar bola mataku. Agaknya dia nyindir kali ya, orang pasangan aku aja lagi dengan pasangannya. "Kamu punya suami?" tanyaku sambil ikut mengambil susu diet. Bodo amat kalau badanku makin singset dan jangan lupa soal olahraga mengencangkan payudara dan bokong. Setiap seminggu tiga kali kami rutin mendatangi pusat kebugaran. Bayangkan saja aku yang biasanya mager sambil membaca buku, sekarang harus ol
Hari-hariku bersama Tina terasa tenang tanpa gangguan Pak Ardi selama lima hari ini. Tina benar-benar mematikan ponselnya dan selama lima hari itu aku belajar banyak darinya.Mulai dari public speaking, self improvement, dan ngobrol hal-hal tinggi yang menyangkut industri perfilman.Rasanya aku seperti punya kakak yang membimbingku dalam bidang ini. Tentunya hal itu tak lepas dari perintah Pak Ardi."Jadi kita nge-gym lagi hari ini?" Aku mengikat tali sepatuku seraya menghenyakkan tubuhku di kursi yang terbuat dari anyaman rotan."Sudah jadwalnya." Tina menjawab seraya meraih kunci mobilnya. "Ayo!"Deru mesin mobil menyala. Aku beranjak dengan malas. Pusat kebugaran tampak menyebalkan bagiku sekarang. Badanku sangat pegal sekali mengingat tadi pagi kami sudah beres-beres rumah dan masak sebagai rasa hormatku kepada Tina, aku mengambil alih sebagai pekerjaannya sebagai babu.Tina tersenyum. "Ayolah, saya bisa terlihat muda seperti i
Mobil berhenti di depan gerbang rumah. Aku sudah mengira Tina tidak ikut turun karena ia langsung meninggalkan halaman rumah tanpa pikir panjang. "Serindu itu dia sama suaminya. Aku jadi merasa bersalah." gumamku seraya masuk ke dalam rumah.Berhubung kunci rumah di bawa Tina dan satpam rumah asyik ngorok di ruangannya. Aku memilih menunggu Pak Ardi. Namun payahnya saat mobilnya datang, aku harus membuka gerbang sendiri. Astaga, aku melihatnya tersenyum lebar dari dalam mobil."Saya merindukan rumah ini. Ayo masuk, Anna." Pak Ardi mendorong pintu. Aku langsung masuk ke kamarku, menguncinya dari dalam. Aku belum sanggup jika harus berduaan dengannya saat ini. Aku tidak sanggup melihatnya bermanja-manja disini setelah apa yang ia lakukan dengan keluarga kemarin. Aku seolah melukai keintiman yang sudah terjalin kemarin."Anna! Kau..." suara Pak Ardi meninggi. "Kamu butuh privasi? Saya akan memberikannya tapi tidak saat ini." suara Pak Ardi menelan seraya me
"Dua hari untukku? Aku yakin ini akan menjadi hari yang sempurna untuk dinikmati." "Ya, dua hari untukmu karena harusnya baru hari ini saya pulang dari Lombok." Pak Ardi menyuapiku satu sendok penuh. "Oh, liburannya ke Lombok. Terus rencana untuk memindahkan Kenzo dan Naufal ke Singapura jadi? Mereka sehat kan, aku kangen mereka." ucapku tidak jelas. "Habiskan dulu makananmu baru bicara!" sahutnya galak dan terus menerus menyuapiku tanpa jeda, tanpa sisa. Setelah selesai. Aku baru berani bicara lagi. "Ayo jawab pertanyaanku tadi." Pak Ardi menarik satu tisu seraya membersihkan bibirku. "Enak?" "Enak banget.. Belajar darimana? Sebagai perempuan aku merasa kalah." Aku mengerucutkan bibir. "Mertua saya pemilik restoran dan Farah pandai memasak. Jadi saya belajar banyak dari mereka." Pak Ardi menguap. Aku tersenyum. Lelaki yang mengaduk-aduk perasaanku ini begitu sanggup mengubah garis hi
"Kamu tidak tidur, Anna?" Pak Ardi menutup punggung tanganku dengan telapak tangannya yang hangat. Dadanya yang telanjang menyentuh punggungku yang sama telanjangnya.Napasnya yang hangat menyebar ke tengkuk leherku. "Aku sudah terjaga. Aku lapar." dustaku karena aku tidak tidur, aku hanya menikmati kebersamaan ini dengan pikiran yang nyalang kemana-mana.Aku bahagia saat bersamanya. Namun tak ada akhir yang indah dari kesalahan kisah kita. Aku mendesah. "Sebaiknya aku mandi dulu dan masak. Aku benar-benar lapar.""Apa saya tidurnya sangat lama?" Pak Ardi menguap."Kayaknya, ini sudah malam. Jadi sebaiknya kita mandi. Tingkah laku kita menjijikan sekali." Pak Ardi mendesah, ia melepas pelukannya. "Sepertinya kamu masih marah soal tadi." tukasnya. Aku memutar tubuhku, menghadapnya. "Kamu memanggilku sayang saat bercinta, kamu penjahat tau gak! Ucapanmu itu omong kosong. Gak seharusnya."Pak Ardi menurunkan tat
Setelah hari-hari manis berayun pergi. Sunyi kembali bertakhta lagi di hari-hariku. Sungguh, aku masih berharap masih memiliki hari depan penuh harapan dan indah. Namun, sudah tiga Minggu ini periode haidku tidak kunjung datang. Aku mulai bertanya-tanya apakah percintaan pagi hari kami dalam keadaan mabuk itu menghasilkan buah hati? "Gimana, Anna?" Tina menghampiriku, membawakan secangkir teh hangat dengan tambahan bubuk jahe. "Minumlah." "Terima kasih, tapi aku rasa aku gak hamil. Serius. Aku ogah! Dan kemana dia?"Tina mengumbar senyum. "Bagaimana kalau iya?" Aku mengumpat, untuk prasangka buruk itu aku merasa tersinggung lagi. Aku punya hak untuk tersinggung, aku terus berseru, melepas rasa dongkolku."Aku gak hamil, semoga tidak tapi sudahlah. Hari ini aku ada jadwal ke kantor JaffFilm. Biar aku fokus pada kerjaanku dulu, Bu. Jangan membuatku merasa goyah." "Pak Ardi ada di kantor, saya akan membuatkan jadwal pertemuan untuk kalian." Tina mendengus. "Ja
Beberapa menit yang terjadi dalam hidup saya, dalam keadaan terengah-engah Anna mencengkram rambut belakang saya dengan keras. "Kayaknya aku mau melahirkan sekarang mas, kayaknya aku..." Wajahnya mulai mengeras, kakinya mulai terbuka dan saya mendadak pontang-panting dalam hati ingin sekali memintanya lebih lama bertahan lama dalam perjalanan. "Bagaimana pak?" sahut Johan."Usahakan lebih cepat, Han! Jika di tilang polisi tidak masalah. Saya lebih takut jika anak saya lahir di dalam mobil dan di jalan raya, dia akan menjadi pembalap!"Johan tidak menjawab sebab ia langsung menghidupkan lampu hazard di tengah jalan dan membunyikan klakson mobil berulang kali. Di belakang, mobil yang membuntuti kami ikut menghidupkan lampu hazard—lampu darurat—, tak ayal kejadian itu membuat beberapa pengguna jalan lain melihat ke arah mobil kami di tengah kemacetan."Istri saya mau melahirkan, tolong beri jalan!" teriak saya dari jendela mobil. "Tolong bapak, ibu, kakak... Anna sudah bukaan lima–aaaw
"Honeymoon, are you sure?" omel Anna sembari berkacak pinggang. Saya mengangguk sambil merapatkan jaket, lama-lama dingin ternyata."Han, tutup semua pintu dan pergilah bersama kuncinya!""Whyyyyy...." teriak Anna dengan panik, "Mas, kamu makin lama malah makin mirip penjahat ya. Han, Han. Jangan..." Anna mendekap tubuh Johan dengan spontan. "Han, delapan tahun kita berusaha menjadi partner kerja dan keluarga yang baik. Tolong dong kali ini aja kamu membantah bos kita! Gak bisa apa sedikit aja membangkang." rengek Anna dengan lucu.Johan menatap saya dengan takut-takut. "Maaf bapak, ini bukan salah saya." katanya sambil berusaha melepas tangan Anna yang tetap kekeh menahannya di dapur.Saya beranjak sembari mengulum senyum. "Lepaskan Johan, Anna. Ada saya yang bisa kamu peluk seperti itu. Jangan dia, dia tidak akan tergoda dengan omelanmu apalagi rayuanmu!" kata saya mengingatkan.Saya hendak meraih rambutnya yang panjang dan pirang keemasan, namun secepat yang saya duga, Anna mengh
Desember, Musim dingin yang sangat menyejukkan kulit, hati, jiwa tapi tidak dengan isi kepala.Kami sekeluarga bersama rekan seperjuangan meninggalkan musim hujan bulan Desember di tanah air demi menuruti Alinka pergi ke London untuk melihat salju turun dan bisa menjadi keluarga ‘dingin’ dengan kualitas sekian. Saya termenung di depan pemanas ruangan, mendengar obrolan anak muda di belakang saya yang sedang seru-serunya bermain kartu. Naufal membawa pacarnya yang berambut cokelat tua panjang, anak pejabat negara yang kapan hari bapaknya menemui saya untuk mengajak kolaborasi bisnis dan mencocokkan anak kami berdua. Saya tidak tahu jodoh Naufal nantinya siapa, jadi saya cuma bisa senyum-senyum sambil mengambil tawaran pertama saja. Kolaborasi bisnis biar enakan hidup saya, urusan itu kan bisa di atur, kalau jodoh anak saya tidak.Kenzo membawa sahabatnya, laki-laki, tukang nge-game. Saya heran, dulu saya tidak nge-game, tapi anak saya yang satu itu sangat menyukai permainan. Entah y
Tina memasang muka datarnya setelah bunyi bell berdentang berkali-kali. Parasnya yang semakin berusia dan jompo, dia menyebutkan begitu karena tidak bisa lagi memakai hak tinggi menatap saya dengan wajah jengkel."Masuk aja kali..." ucapnya dengan suara malas di mic rapat yang tertempel di meja kerja, suara itu akan terdengar di louds speaker di depan ruangan saya. Seseorang di luar saya yang pasti adalah keluargaku—bel itu bel khusus private family—mendorong pintu. Seorang wanita dengan anggun melangkah sembari menggandeng tangan anak laki-lakinya yang berekspresi cemberut. Saya menaruh pulpen di meja seraya beranjak. Menyambut keduanya dengan pelukan. "Sebelum kita makan siang, ada yang perlu kamu urus, mas."Apa?Anna merogoh tas kerjanya yang besar, mobil derek mainan Alinskie rusak, dereknya copot dan gigi Sir Tow Mater nama karakter di film kartun itu rompel. Saya menerima mainan yang nyaris pasti akan menjadi rosokan ini dengan wajah ternganga. "Harus aku apakan ini sayang?
"London, papa. London, aku ingin ke sana. Aku ingin menikmati musim dingin di sana, aku ingin main salju seperti Elsa dan Anna, papa." seru Alinka sembari menarik-narik ujung jas kerja saya di depan lemari kacanya berisi mainannya dan Alinskie. Dua bayi saya yang kami bertiga perjuangkan dan tumbuhkan dengan suka duka cita atas harapan yang besar di rumah ini sudah tumbuh menjadi anak sekolah dasar berusia delapan tahun."Ayolah papa jawab, aku maksa ini." desak Alinka keras kepala. Saya mendesah, batal berangkat ke kantor dengan tertib dan memilih berlutut untuk melihat wajah manis, pipi putih dan tidak suka memakai rok atau dress, dia benci katanya tidak keren seperti kakak-kakaknya juga ampuh memberi contoh baju keren cowok ganteng ibu kota."Anna dan Elsa bukan di London sayang, tapi di Norwegia dan Irlandia. Kita tidak bisa ke sana, kamu belum libur sekolah." kata saya menasihati, tapi tepat seperti yang saya duga ini bukan jawaban yang tepat. Mawar berduriku menjerit, memanggi
Saya merenung, meyakini diri sekuat mungkin dengan apa terjadi di dalam sana bahwa Anna memang berbicara dari hati ke hati kepada Farah, mengungkap segalanya yang terpendam dan meyakinkan Farah jika ia mampu menjadi yang terakhir, mengalah dan menjadi ibu sambung yang mumpuni. Saya yakin itu, saya yakin karena kerap kali Anna berkata bahwa ia tidak ingin mengambil lebih dari haknya. Walau sejujurnya dengan amat sangat, banyak ragu yang menyapa silih berganti di dalam dada saya. Saya kalut. Bagaimana jika Farah tiada? Tapi logika berkata, jangan Tuhan, jangan dulu. Jangan sekarang, jangan Tuhan. Dia harus kembali padaku, harus kembali bagaimanapun kondisinya. Saya harus memperbaiki kesalahan ini, saya harus memperbaikinya dulu dan akan saya serahkan perhatian lebih.Saya membenturkan kepala belakang di tembok berkali-kali dengan frustrasi seraya mengusap wajah dan tertunduk.•••Derap langkah sepatu yang tergesa-gesa dari ujung koridor yang senyap membuat saya beranjak dan tertegun me
Dalam keremangan lampu kamar rumah sakit, saya membelai rambut Farah yang terasa kusut dan lembab. Ia masih terlelap seperti tak punya beban apapun. Wajahnya tenang, napasnya teratur, air susu ibu yang seharusnya keluar sebagai insting terkuat seorang ibu menyusui hanya merembes sesekali dan sangat jarang seakan tubuhnya berhenti beroperasi dalam tenang yang menegangkan. "Sepertinya kamu ingin menjadi putri tidur, Fa. Mimpimu bagus?" tanya saya seraya membelai wajahnya. "Kamu mimpi apa? Apa seindah waktu kencan pertama kita di kebun teh Cisarua Bogor? Seindah itu, ah... Kamu membuatku iri jadinya."Saya tersenyum sendiri, entah kenapa ingatan akan masa kencan pertama kami, pendekatan yang lucu itu menggelikan dan menyenangkan."Aku ingat, kamu mengeluh kedinginan dan tidak mau aku peluk. Katamu aku simpanse bonobo yang tidak cukup punya satu pasangan dan kamu yakin itu walaupun kamu mencintaku dengan tulus. Dan kamu tau, itu kata-kata paling kejam yang aku dengar selain buaya darat,
Entah berapa lama waktu yang saya habiskan untuk menunggu Farah di rumah sakit, keadaannya yang belum stabil mengharuskan Farah mendapatkan perawatan intensif yang lebih dari apa yang saya perkirakan."Makan dulu mas." Anna mengusap kedua bahu saya dari belakang seraya mengecup puncak kepala saya. "Semuanya akan membaik mas, percayalah." bisiknya sambil merangkul pundak saya. "Kamu yang kuat, banyak orang yang membutuhkanmu hari ini dan selamanya sampai waktu berhenti."Saya menelengkan kepala untuk mengecup pipinya yang masih terlihat tembam meski Alinka sudah berusia nyaris tiga bulan. "Terima kasih, makanlah lebih dulu Anna." pinta saya, dia mengasihi dua bayi, Alinka dan Alinskie sekarang, selama seminggu kami di rumah sakit. Anna butuh banyak makan, sementara saya, saya tidak tahu kenapa akhir-akhir ini rasanya energi dalam tubuh saya tidak sekuat dan seegois biasanya. Pikiran saya hanya tersita untuk kepulihan Farah.Saya hanya kerja sebentar lalu ke sini, tidur di sofa dan me
Dua bulan kemudian. Saya menuruni anak tangga dengan cepat setelah mendengar Naufal berteriak dari bawah memanggil nama saya dan mengatakan mama-nya menyuruh saya turun."Iya, papa turun. Papa turun sayang." kata saya menggebu-gebu.Naufal berkacak pinggang di depan anak tangga paling bawah. Ia mengerut marah, saya tersenyum kanak-kanak. Aturan main di rumah ini sudah berjalan selama dua bulan setelah saya dengan berani dan bertanggung jawab mengatakan pada semua keluarga, rekan bisnis, teman nongkrong, dan media jika saya memiliki dua istri dan bayi mungil. Meski sempat terjadi gonjang-ganjing gosip yang makin lama di gosok makin sip saya percaya waktu akan menjawab semua getir dan getar yang ada. "Papa tadi baru ganti popok adikmu, Fal. Maaf lama, adikmu bawel." seloroh saya, Naufal menutup telinganya. Dia sering begitu jika saya membicarakan Alinka, berbeda dengan Kenzo. Oh anakku yang satu itu memang anak pintar, dia menjadi kakak yang baik dan sering tidur bersama Anna karena b