Hari tanpa sekolah adalah hari paling menyedihkan bagi Zanna. Dia merasa bosan dan muak atas hidupnya yang selalu kesepian. Dulu sewaktu masih kecil, Leta selalu ada di samping Zanna. Pelukan itu, kecupan itu adalah sarapan setiap paginya.
Perlahan semuanya memudar, Leta bagaikan orang asing yang enggan mengulurkan tangannya. Bahkan berbicara dengan saling menatap mata pun, sudah tidak dilakukannya lagi.
“Ada apa dengan orang-orang yang beranjak dewasa itu? Apakah karena kami tidak selucu waktu masih kecil? Tidak menggemaskan atau kenapa sih?” gumam Zanna dengan frustasi.
Lamunannya buyar ketika suara Leta terdengar, “Zanna, kamu sudah tidak ada kelas hari ini?” tanya Leta dengan nada heran.
“Sudah santai Ma, tinggal tunggu acara perpisahan. Mama kan harus datang, ada yang perlu mama tanda tangani,” sahut Zanna.
“Kalau mama hadir, apa kamu gak malu? Apa kamu gak akan ditertawakan dan diledek teman-temanmu?” tanya Leta merasa khawatir.
Bertahun-tahun putrinya itu harus mengalami perundungan dan penindasan, juga cemoohan yang tidak pernah berhenti. Sampai suatu hari, pada saat Zanna baru masuk Sekolah Menengah Pertama, melarang ibunya datang ke sekolah hanya karena tidak tahan lagi dicemooh oleh teman-temannya.
“Biar saja mereka sibuk mencemoohku, Mama harus datang untuk menerima penghargaan, aku tidak merasa malu Ma, Mama adalah ibu yang hebat buatku,” perkataan Zanna menyentuh hati Leta. Tanpa sadar matanya berkaca-kaca.
“Baiklah, Sayang. Mama akan datang memakai baju terbaik mama.” Leta menghampiri Zanna dan mencium kepalanya.
Leta Letisia, melangkah menuju kamar mandi untuk membasuh dirinya. Hari ini ada kelas pagi, tapi setelah itu dia bebas sampai siang. Dia bisa menemani putrinya di rumah.
Teringat peristiwa yang telah lewat, ketika Leta melihat putrinya bersimpuh di tanah kering, dikelilingi oleh anak-anak lain yang terus melakukan perundungan,
“Mata picek, mata picek, tangan kempreng, tangan kempreng!” seru mereka berirama sahut-sahutan.
Salah satu dari mereka mulai melempari putrinya dengan pasir, teman-temannya terprovokasi dan ikut mengambil pasir lalu beramai-ramai melempari Zanna sambil berteriak, “Anak bajak laut, pergilah sana ke laut. Anak mata picek bajak laut!” seru mereka.
Leta menyaksikan semuanya, ia segera berlari menghampiri mereka sambil teriak, “Bubar kalian, bubaarr ....” Salah satu dari mereka mengomandoi dan berteriak, “Ada bajak lauuutt, pergiiii ...!”
Mereka membubarkan diri sambil berlari ke segala penjuru. Waktu itu, Zanna sudah memasuki kelas enam sekolah dasar. Sejak peristiwa itu, dia mogok sekolah dua hari, merasa trauma bertemu dengan teman-temannya.
Leta mengadukan hal tersebut kepada pihak sekolah. Zanna dijemput oleh wali kelasnya sementara teman-teman yang melakukan perundungan kepada putrinya mendapatkan hukuman yaitu, berjemur di lapangan sepanjang jam pelajaran.
Akan tetapi, tadi Zanna memintanya untuk hadir diundangan sekolah. Dia sudah tidak takut lagi, membuat hati Leta senang sekaligus terharu, apalagi sang Putri mengatakan bahwa dirinya adalah ibu terhebat.
“Mama sarapannya nanti aja ya, cuma ngajar satu jam kok,” ujar Leta sambil melirik meja makan, ada nasi goreng di sana.
“Iya Ma,” sahut Zanna seraya mengambil tudung saji yang digantung di dinding lalu menutup sepiring nasi goreng buatannya.
Zanna mengantar kepergian Leta dengan pandangan matanya. Memperhatikan tangan kiri Leta yang terkulai. Tangan itu tidak bisa diajak bekerja. Seandainya dulu Leta mendapatkan perawatan yang baik, tentu cacat di tubuhnya tidak akan separah ini.
Dia teringat bagaimana ayahnya memperlakukan Leta selalu dengan kekerasan fisik, hingga membuat ibunya cacat, alih-alih bertanggung jawab mengobati, tapi justru malah mengusir mereka keluar dari rumah yang telah ditempatinya dari sebelum Zanna lahir.
Karena ayahnya, Zanna harus menerima perlakuan kasar dari orang-orang yang menganggap dirinya adalah anak buangan. Hal itu membuat ia menutup diri rapat-rapat. Tidak membiarkan siapa pun bisa menyentuh hatinya. Apalagi sang Ayah, Bagas Zo yang mulai rutin menemuinya secara diam-diam.
Zanna mendengus, dia sangat membenci lelaki itu. Peristiwa pahit yang dialaminya waktu kecil, masih jelas terbayang di benaknya. Dia memang tidak ingin melupakan, berharap suatu saat nanti, saat ia sudah mempunyai kekuatan, akan menunjukkan kehebatannya, ingin membuat ayahnya menyesal karena telah membuangnya. Untuk itulah ia menolak memaafkan Bagas Zo.
Dia memutuskan untuk memberi tahu Leta bahwa Bagas Zo dalam satu tahun ini, telah mengunjunginya beberapa kali di luar rumah dan kemarin berani masuk ke dalam rumah meskipun tanpa percakapan apa-apa antara dia dengan ayahnya.
Pertemuan pertama, saat dia sedang menjemur pakaian. Zanna yang langsung mengenali sosok ayahnya, menatapnya dengan datar dan dingin. Tidak ada rona terkejut dari wajahnya.
“Apa kabar putriku? Kamu telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik. Papa merindukanmu siang malam.” Masih terngiang jelas ucapan ayahnya waktu itu.
Zanna benar-benar tidak mempedulikannya, dia melewati Bagas tanpa menoleh dengan ekspresi wajah yang datar dan dingin.
Pertemuan kedua, ia baru saja pulang dari mengerjakan tugas sekolah, tiba-tiba ayahnya menjejeri langkah Zanna yang hanya tinggal beberapa meter saja dari rumah.
“Halo putriku, bagaimana sekolahnya? Kamu pasti capek ya pulang pergi jalan kaki setiap hari. Papa belikan motor ya untuk kamu?” Bagas Zo berusaha menyuap Zanna yang tidak bergeming.
Sesampainya di rumah, Zanna langsung menutup pintu dan menguncinya. Dia melihat ayahnya masih terpaku di depan rumah sekitar sepuluh menit sebelum akhirnya berlalu dari sana.
Pertemuan mereka yang terakhir adalah kemarin. Ayahnya nyelonong masuk ke dalam rumah yang pintunya masih terbuka dan Zanna sedang berusaha memasukkan butiran nasi ke mulutnya sambil berlinang air mata.
Pagi itu pukul delapan lewat dua puluh menit, selepas Leta sarapan, mereka masih duduk di meja makan, Zanna akhirnya berterus terang kepada ibunya tentang kedatangan Bagas Zo secara detail.
Wajah Leta begitu pucat pasi. Kekhawatiran dan ketakutannya selama ini, hampir mendekati kenyataan. Kali ini, Leta harus berterus terang kepada Zanna tentang apa yang terjadi di antara Leta dengan Bagas Zo dan apa yang selalu ditakutkan oleh Leta selama ini.
“Kamu sudah dewasa sekarang, mama akan berterus terang padamu kenyataan yang sebenarnya tentang papamu dan kenapa mama mendapat penyiksaan dan pengusiran.” Leta berhenti sejenak, menarik napas panjang.
“Sebenarnya hal ini sangat berat untuk mama ungkapkan, karena memang permasalahannya bukan permasalahan umum yang wajar terjadi, ini di luar batas kewajaran, mama mengatakan ini supaya kamu berhati-hati,” lanjut Leta, terpekur menatap lantai abu-abu, ubin yang hanya terbuat dari polesan semen.
Gadis itu bergerak gelisah, terlihat tidak sabar ingin mendengar cerita sesungguhnya. Pembukaan cerita Leta bagi Zanna terlalu panjang, tapi ia tidak berani protes saat melihat ibunya memasang mimik wajah serius seperti saat ini.
Leta menarik napas panjang lagi, terlalu berat baginya menanggung semua derita yang timbul, berat juga untuk menceritakan hal-hal yang belum saatnya Zanna tahu mengingat usianya baru saja lepas sembilan belas tahun. Tapi kalau tidak sekarang, Leta khawatir sudah tidak ada waktu lagi.
Matanya yang tinggal sebelah kanan menatap Zanna dengan gelisah, “Berulang kali Bagas Zo meminta Mama untuk menemani temannya di hotel dengan imbalan sejumlah uang.” Leta berhenti untuk melihat reaksi Zanna.
Tidak ada tanda-tanda terkejut dari wajah putrinya itu, yang ada hanya rasa penasaran atas ceritanya.
“Kamu belum mengerti ya?” ujar Leta lirih, putrinya masih polos untuk memahami permasalahan orang-orang dewasa. “Begini Zanna, kalau tiba-tiba Bagas Zo datang menyuruh kamu menikah dengan orang yang tidak kamu kenal, mau gak?” tanya Leta seraya memperhatikan raut wajah Zanna.
“Gak mau lah, siapa juga yang mau nikah iihh amit-amit!” seru Zanna seraya bergidik ngeri.
“Kalau dipaksa? Dipukuli?” tanya Leta mengejar.
“Ya tetap gak mau,” ujar Zanna sungguh-sungguh. “Eh, memangnya mama di suruh menikah? Kan mama sudah menikah dengan papa.” Zanna terheran-heran, menatap Leta dengan mengangkat alisnya.
“Bukan disuruh menikah, tapi disuruh melayani laki-laki lain di dalam kamar hotel. Bahasa kasarnya, mama disuruh menjadi pelacur. Paham kamu sekarang?” Leta merasa sedikit kesal karena kepolosan putrinya itu.
Zanna ternganga dengan mata melotot, baginya itu tidak masuk akal. Ayahnya tega memberikan istrinya sendiri kepada lelaki lain yang membuat mamanya dianiaya sampai diusir dari rumah, karena menolak keinginan Bagas. Ia mulai mengerti alasannya.
Tidak lama kemudian, Zanna menangis meraung-raung. Leta terkejut melihat putrinya seperti itu, Leta menghampiri gadis kecilnya yang berbadan besar itu dan memeluknya erat dengan satu tangan.
Leta memberikan waktu kepada putrinya untuk menumpahkan beban hati lewat tangisan, meski ia harus menyampaikan rasa kekhawatirannya. Zanna yang mengerti bahwa ibunya masih ingin membicarakan sesuatu, ia berusaha menghentikan tangisnya masih sambil sesenggukan, “Katakan saja Ma ..,” ujar Zanna lirih.
Leta memperbaiki posisi duduknya, “Bagas Zo tiba-tiba menemuimu pasti karena dia melihat kamu sebagai aset atau modal untuk mendapatkan uang dari lelaki, karena kamu cantik. Bukan karena peduli. Kalau dia peduli, dia akan mencarimu dari dulu, sebelum kamu menjadi gadis yang cantik seperti ini,” tutur Leta panjang lebar, mencoba membuat putrinya mengerti.
“Paling tidak, dia akan mengawinkanmu dengan lelaki tua yang kaya raya, pokoknya yang bisa menghasilkan uang banyak buat dia,” lanjut Leta, “Sekarang kamu paham kan apa yang mama takutkan?” tanya Leta seraya mengelus rambut putrinya.
“Ngerti, Ma. Zanna ngerti sekali,” sahut Zanna.
Mereka kembali berpelukan dalam suasana tertekan karena merasa hidup mereka masih terancam bahaya. Leta tidak habis pikir, kenapa Bagas bisa hadir di hadapan putrinya tepat saat Zanna tumbuh beranjak dewasa.
"Apakah selama ini dia mengetahui keberadaan kami dan sengaja menunggu sampai Zanna dianggap berharga olehnya? Betapa kejinya seorang ayah yang menganggap anaknya sendiri sebagai komoditas," batin Leta geram.
Tangan kanan dengan kulit yang sudah mulai terlihat kehilangan elastisitasnya, menyentuh kulit pipi Zanna. Tatapan matanya begitu sendu, akankah kini putrinya selamat dari cengkeraman Bagas, Leta meragukannya.
"Sayang, bagaimana kalau kita pindah dari sini secara diam-diam? Agar kita, terutama kamu, tidak bertemu lagi dengan lelaki itu." Leta mengucapkan kalimatnya dengan nada mengandung permohonan.
Gadis itu terdiam, mencerna kalimat Leta dan berpikir. Hal yang melintas di benaknya adalah pindah tempat tinggal itu sangat membutuhkan biaya, sementara mereka bisa dikatakan hidup di bawah garis kemiskinan.
"Zanna bisa mengatasi hal ini Ma, jangan khawatir," sahut Zanna ragu-ragu, kenyataannya, ia sangat mengkhawatirkan Leta. Terpikir olehnya bahwa bisa saja Leta dijadikan senjata oleh Bagas agar ia mau menuruti keinginannya.
Pikiran Zanna melayang ke masa kecilnya. Semua terekam jelas dalam ingatan. Ia bergidik ngeri, seketika menoleh dan menatap Leta lekat-lekat, "Ayo kita pindah saja, Ma ... tapi, apakah mama punya uang?" Manik mata coklat itu menyiratkan kekhawatiran akan masa depan mereka.
Kedua Ibu dan anak itu terpekur, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kehadiran Bagas setelah sekian tahun berlalu, benar-benar mengagetkan Leta.Sudah jelas terbaca maksud dan tujuan Bagas terhadap putrinya, Zanna Zo. Hal itu sangat mengiris hati Leta di tengah ketidak berdayaannya."Mungkin, inilah saatnya kita harus membuka lembaran baru di tempat lain?" Leta bergumam lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri.Zanna mendengar jelas gumaman Leta, jarak mereka begitu dekat. "Ma, kalau kita pergi dari sini, akan percuma juga mama masih bekerja di sini. Jadi, kita bertahan dan bersama-sama menghadapi lelaki itu?" ujar Zanna penuh keraguan.Lidahnya begitu berat untuk menyebut 'Papa' kepada Bagas. Ia selalu menyebutnya dengan kata 'Lelaki itu'. Perasaan bencinya sudah sampai ke ubun-ubun dan tidak pernah terpikirkan untuk memaafkan Bagas Zo.
Leta membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Di sepanjang hidupnya, baru kali ini dirinya kedatangan polisi.Dua orang polisi berseragam menyapanya dengan ramah. Mereka menatap Leta dan menampilkan sorot terkejut sekaligus iba. Leta mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, menahan diri agar gemetar yang dirasakannya tidak terlihat oleh tamu berseragam itu. "Silakan masuk," ajak Leta dengan hormat.Keduanya memasuki rumah dan duduk di kursi usang, Leta ikut duduk dengan jantung masih berdebar, "Ada apa ya, Pak?" tanya Leta seraya berusaha menghilangkan rasa gugupnya."Mohon ma'af sebelumnya, Bu. Kami ketitipan warga seorang lelaki bernama Bagas Zo yang dituduh melakukan upaya pemerkosaan terhadap putri ibu," jawab salah seorang tamunya yang terlihat lebih tua dari rekannya.Leta masih bergeming untuk mendengarkan lebih lanjut
Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba.Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran.Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak."Huh, orgil lagi deh, gak di seko
Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis
"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"
Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.
Gadis itu tersentak, tubuhnya mendadak kaku. Kini matanya membelalak dan seketika wajah cantiknya pucat pasi. Orang yang sedang memandangi kegiatan mereka, terus menatap tidak peduli kalau dirinya telah diketahui, seperti sengaja ingin mereka tahu bahwa apa yang dilakukan adalah hal menjijikkan.Zanna membuang muka ke samping dengan napas memburu dan jantung yang bertalu-talu. Rasa terkejutnya sangat kuat. Sementara, Marcel menoleh dengan cepat mengikuti arah mata kekasih wanitanya. Ia pun terkejut tapi keterkejutannya menghasilkan kemarahan. Marcel turun dari mobil dan meraih kerah kemeja lelaki yang memergoki mereka."Siapa kamu? Hah?!" teriak Marcel sambil mendorong lelaki itu ke belakang.Seorang lelaki muda seusia mereka, sangat tampan dan penampilannya jelas terlihat bukan dari kalangan biasa. Lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Marcel yang menyala-nyala oleh kobaran amarah. Tapi ia bergeming.Perlahan, kedua tangannya m
Melihat kondisi Leta yang sudah membaik dan boleh pulang setelah hasil labolatorium terakhir keluar, Zanna mencoba bicara pada ibunya mengenai keinginannya membawa Leta ke Jakarta."Ma, Za akan mengontrak rumah kecil, Mama bisa buka warung atau terserah mau jualan apa, yang penting Mama ikut Zanna ya? Di sini gak enak kan Mama sendirian kalau ada apa-apa yang repot orang lain, Ma ...," tutur Zanna."Dari mana kamu dapat uang untuk kontrak rumah?" tanya Leta bingung. Setahunya rumah-rumah di kota besar itu mahal-mahal."Za kan kerja, Ma. Bisa juga pinjam ke tempat kerja potong gaji. Mama gak usah pusing mikirin hal itu, Ma." Gadis muda tersebut berusaha meyakinkan ibunya.Leta terdiam beberapa saat, ia memang terlalu banyak merepotkan orang. Satu-satunya keluarga hanya Zanna, putrinya. "Baiklah, mama ikut kamu," sahut Leta yang membuat Zanna merasa lega.Keesokan harinya, Marcelia yang mengantar Leta ke rumah pak RT di mana L
Perjalanan naik pesawat adalah perjalanan yang pertama kalinya baik Zanna ataupun Lidya. Perasaan takut ketinggian menyergap keduanya. Lidya mampu menguasai diri hingga ketakutan itu tidak terlalu tampak, lain dengan Zanna yang masih polos itu. Namun, justru penglihatan satu-satunya wanita dewasa itu semakin jelas bahwa ada sesuatu antara kedua anak gadis tersebut.Adalah sikap Marcel kepada Zanna jelas terlihat seperti orang pada umumnya yang sedang mengalami kasmaran. Hati kecilnya meyakini hal itu. Selama dalam perjalanan, pengawasannya tidak pernah terlewat sedikitpun. Hatinya begitu miris memikirkan masa depan gadis putri dari salah satu sahabatnya itu."A-aku takut ...." Berulang kali Zanna mengatakannya. "Ssstt ... tenang saja, Hon." Marcel selalu memeluk gadis itu setiap kali ia merasa ketakutan."Minum ya." Marcel mengangsurkan botol minuman kepada Zanna seraya satu tangan mengelus-ngelus paha yang terbalut celana jeans."
Zanna mengajak Lidya ke area taman hidroponik di belakang fakultas hukum. Taman yang instagramable itu terasa sejuk. Ia menempati tempat duduk dari besi yang mengarah ke arah tanaman hijau itu."Ada kabar apa, Tante. Apakah dari mama?" tanya Zanna sudah tidak sabar. Dugaannya kedatangan Lidya pasti berkaitan dengan Leta. Darahnya berdesir dengan kekhawatiran yang tinggi."Ya, tentang mamamu. Sudah satu minggu di rawat di rumah sakit. Awalnya jatuh, ternyata kena serangan stroke. Kami, tante dan beberapa teman, telah berusaha untuk membiayai pengobatan, tapi saat ini, kami menyerah. Tante gak mau bikin kamu bingung, tapi sebagai putrinya, kamu berhak tahu keadaan mamamu. Karena kamu tidak bisa dihubungi melalui telepon, maka tante kesini menemuimu," papar Lidya panjang lebar.Pandangan Zanna berkunang-kunang, ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak pingsan di tempat. Penyesalan yang dalam seakan menghantamnya dengan sangat keras. Sejak pertama mene
Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol
Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak
Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya
"Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.