Kedua Ibu dan anak itu terpekur, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kehadiran Bagas setelah sekian tahun berlalu, benar-benar mengagetkan Leta.
Sudah jelas terbaca maksud dan tujuan Bagas terhadap putrinya, Zanna Zo. Hal itu sangat mengiris hati Leta di tengah ketidak berdayaannya. "Mungkin, inilah saatnya kita harus membuka lembaran baru di tempat lain?" Leta bergumam lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri.
Zanna mendengar jelas gumaman Leta, jarak mereka begitu dekat. "Ma, kalau kita pergi dari sini, akan percuma juga mama masih bekerja di sini. Jadi, kita bertahan dan bersama-sama menghadapi lelaki itu?" ujar Zanna penuh keraguan.
Lidahnya begitu berat untuk menyebut 'Papa' kepada Bagas. Ia selalu menyebutnya dengan kata 'Lelaki itu'. Perasaan bencinya sudah sampai ke ubun-ubun dan tidak pernah terpikirkan untuk memaafkan Bagas Zo.
Terdengar helaan napas pendek Leta, meninggalkan pekerjaan yang telah menghidupi mereka selama ini meskipun jauh dari kata cukup, tetaplah berat bagi Leta. Namun, keselamatan dan masa depan yang cerah untuk putri semata wayangnya jauh lebih penting dibanding apapun.
"Mama akan berhitung dulu, jelas kita harus menghilang. Otomatis mama akan tinggalkan semuanya di sini. Ke depan, mama buka warung saja untuk memenuhi kebutuhan kita sehari-hari," cetus Leta sambil menerawang.
Keduanya kembali terdiam, Zanna meresapi kata per kata yang diucapkan oleh Leta. Ia paham bahwa keadaan mereka sangat genting karena kehadiran Bagas Zo.
Wajah cantik Zanna memerah, memendam amarah yang begitu besar terhadap ayahnya. Kemarahan yang tidak mampu ia lampiaskan selama bertahun-tahun. Kini, kemarahannya memuncak dan memastikan kebencian yang menggunung sudah dalam genggaman tangannya.
Tok tok.
Pintu yang terbuka diketuk. Dua kepala serentak menoleh ke arah pintu. Wajah Leta seketika pucat pasi, sementara wajah Zanna terasa semakin terbakar.
Seorang lelaki berperawakan tinggi besar dan masih tampan tersenyum kepada mereka. Tangannya menjinjing dua buah bungkusan, satu kantung kertas berlogo sebuah toko pakaian, satu lagi kantung plastik berisi makanan dan minuman.
Selain pucat pasi, tubuh Leta menegang. Ia baru melihat Bagas Zo lagi setelah bertahun-tahun yang lalu orang itu mengusirnya dari rumah dan memilih hidup bersama dengan wanita lain yang bisa dijualnya. Sementara Zanna Zo semakin memerah melihat Bagas Zo masuk ke dalam rumah serta meletakkan kedua bungkusan yang dibawanya ke atas meja.
"Apa kabar kalian?" Bagas Zo menyapa dengan seringai khasnya.
Tidak ada sahutan atas sapaan Bagas dari Leta maupun Zanna. Tubuh Leta gemetar, rasa takut telah bertambah berkali lipat dari pada rasa takut akan penyiksaan Bagas terhadapnya. Leta seakan merasa telah kehilangan putri satu-satunya bahkan sebelum Bagas mengutarakan niatnya.
Lelaki itu menghampiri mereka masih memasang seringai. Kini kedua tangannya telah masuk ke dalam saku celana. Bahasa tubuh yang menyepelekan dan merasa superior. "Papa mau bicara dengan mamamu, tolong tinggalkan kami," perintahnya kepada Zanna seraya menggoyangkan kepalanya ke arah luar.
Zanna bangkit dari duduknya, lalu melangkah ke depan, kini jarak antara mereka begitu dekat. Bola mata Zanna menatap tajam dan dingin sekaligus menantang, "Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi di sini. Silahkan keluar dan bawa kembali bungkusan itu," usir Zanna dengan nada tertahan.
Wajah Bagas pun memerah, dalam keterkejutannya, dia membalas tatapan tajam Zanna dengan melotot. Emosi telah merayap ke kepalanya. "Berani-beraninya kamu sama orang tua seperti itu?" hardik Bagas dengan keras.
"Orang tua? Benarkah? Orang tua yang ingin menjual istrinya demi uang? Atau orang tua yang juga menginginkan anaknya sebagai alat untuk menambang uang?" ledek Zanna dengan sorot mata merendahkan.
"Kurang ajar!" teriak Bagas seraya mengangkat tangannya ke atas hendak memberikan tamparan kepada putrinya yang dianggap sangat lancang.
Dengan gerakan cepat, Zanna mengayunkan langkah lebih mendekat ke arah Bagas. Jarak mereka hanya sekitar sepuluh senti meter. Perlahan tangan Bagas turun, napasnya memburu dengan mata memerah. Dia benar-benar marah sekarang.
Zanna melenggang ke arah pintu dengan tenang, lalu mengulurkan tangannya sebagai tanda mempersilakan Bagas agar keluar dari rumah itu. Tiba-tiba terdengar suara pekikan dari dalam. Leta tengah dibekap oleh Bagas hingga tidak bisa bergerak.
Gadis cantik itu menoleh ke dalam, gerakannya begitu tenang. Ia memicingkan matanya setelah menyapu keadaan sekitar yang sepi, tapi ia tahu Pak Parjo sedang berada di pos sekolah. Ia akan menjalankan aksinya. Tanpa melepaskan pandangan dari ibunya yang megap-megap nyaris kehabisan napas. Tangan Zanna menghentakkan kain daster lusuh yang dipakainya pada bagian depan.
Sreek.
Tidak harus menggunakan tenaga lebih, kain itu sobek menganga, menampakkan gundukan kembar yang tengah bersemayam pada bantalan berbentuk setengah lingkaran. Bulat dan berisi dengan warna putih bercahaya. Sesaat, Bagas tidak mengerti maksud Zanna, ia menelan salivanya berulang kali, tanpa melepaskan tatapannya dari maha karya Tuhan yang teramat indah itu.
Srek.
Hentakan kedua pada bagian lengan atas, terbukalah bahu mulus Zanna yang membuat Bagas merasa pusing hingga tanpa disadari, bekapannya pada Leta mengendur.
Merasa bisa mendapatkan asupan oksigen, Leta megap-megap dengan rakusnya menghirup udara, sebab kepalanya sudah terasa pusing dan melayang. Saat itu Leta tidak bisa berpikir apalagi memberi isyarat kepada Zanna atas apa yang sedang sedang dilakukan oleh putrinya.
"Toloong ... toloong ... rampook ... toloong!" teriak Zanna sekencang-kencangnya dan mengulang-ulang meminta tolong.
Bagas sangat terkejut, refleks ia menghentakkan Leta sampai jatuh tersungkur ke lantai, lalu berlari ke bagian belakang rumah. Sayangnya, tidak ada pintu lain selain pintu di mana Zanna sedang berteriak dan menangis.
Terdengar suara kaki berlarian dari beberapa orang menuju rumah yang ditempati oleh Zanna. Bagas semakin panik, tidak mungkin berlari keluar melewati pintu itu, sebab orang-orang akan menangkapnya dengan mudah. Pilihan terakhirnya adalah masuk ke dalam kamar dan mencari kesempatan untuk melarikan diri.
Malang bagi Bagas, kamar itu tertutup. Satu-satunya jendela adalah yang menghadap ke teras depan. Tidak ada jalan untuk keluar dari sana, Bagas menggeserkan lemari pakaian yang terbuat dari plastik yang sudah tidak bisa berdiri kokoh. Dengan sangat terpaksa, Bagas menjadi sandaran lemari agar tidak jatuh di belakang lemari plastik tersebut, sekaligus menjadi tempat bersembunyi di sana.
Pak Parjo dan beberapa orang telah sampai di teras, mereka ternganga melihat kondisi Zanna dengan pakaian yang sobek di sana-sini. Mata mereka beringas karena emosi, salah satu di antaranya bertanya, "Mana rampoknya? Dia mau rampok harta apa rampok kamu?" Disusul dengan suara orang-orang menanyakan hal yang sama dengan riuh rendah.
Zanna menunjuk ke arah dalam dengan dagunya, sementara kedua tangannya sibuk menutupi bagian tubuhnya yang terbuka sambil terduduk di lantai dan berlinang air mata.
Seseorang berteriak, "Ibu Leta! Bu, ibu tidak apa-apa?" Sambil menghampiri Leta dan memapahnya keluar. Sementara beberapa orang langsung bergerak cepat menggeledah rumah yang hanya terdiri dari tiga ruangan. Dapur, ruang depan serbaguna dan kamar tidur.
Kamar tidur terkunci dari dalam, serempak mereka mengambil keputusan untuk mendobrak pintu, mereka berhasil merusak pintu dan masuk ke dalam kamar sempit itu.
Bagas Zo ditemukan di belakang lemari plastik dalam kondisi berjongkok dengan kedua tangan memegangi lemari agar tidak roboh ke depan. Sontak Bagas ditarik ramai-ramai dan digusur keluar dari kamar, meninggalkan lemari yang benar-benar jatuh terbanting ke lantai. Mereka tersulut emosi terlebih setelah melihat kondisi Zanna dan Leta.
Tak ayal, pukulan dan tendangan liar dari warga setempat harus dirasakan oleh Bagas. Ia menjadi bulan-bulanan warga yang semakin lama, semakin banyak. Sementara para wanita terlihat sibuk mengurusi Leta dan Zanna sambil bertanya-tanya dengan ramai.
Setelah ketua warga datang ke lokasi, pemukulan terhadap Bagas yang sudah babak belur, berhenti. Ketua warga dibantu dengan warga berbondong-bondong menyerahkan Bagas ke kantor polisi.
Tuduhan terhadap Bagas tidak tanggung-tanggung, yaitu upaya pemerkosaan, sebab tidak masuk akal bagi warga kalau Bagas akan merampok di rumah Leta yang miskin itu, apalagi penampilan Bagas sangat necis.
Bagas Zo mengatakan kepada polisi bahwa dia adalah ayah kandung Zanna dan Leta adalah mantan istri yang diceraikannya, dia berada di situ untuk membicarakan putrinya yang akan memasuki masa perkuliahan.
Mendengar hal itu, warga tidak percaya, mereka menyangkal dengan berbagai asumsi,
"Mana ada mantan istri yang tidak mengenali mantan suaminya?"
"Bagaimana ceritanya ayah kandung merobek baju yang dikenakan oleh anaknya sendiri kalau tidak bertujuan mesum?"
"Kalau memang tidak bersalah, kenapa harus bersembunyi di balik lemari?"
"Kenapa Ibu Leta di dorong jatuh? Heh, beraninya sama orang cacat."
"Lagian kalau memang benar anaknya, kenapa membiarkan anaknya hidup miskin padahal Anda orang kaya?"
Suara-suara itu hiruk pikuk dan riuh rendah. Suasana kembali memanas, orang-orang yang bergerombol akan mudah tersulut emosinya hanya mendengar sebuah kalimat provokasi. Melihat kondisi yang mengarah tidak kondusif, pihak kepolisian berusaha menghalau warga dan berjanji akan menyelidikinya secepat dan sebaik mungkin.
Perlahan warga mundur lalu meninggalkan kantor polisi satu per satu, tapi ada juga yang masih bertahan di sana, karena ingin tahu seperti apa proses yang akan terjadi selanjutnya.
Zanna telah berganti pakaian dan merasa lelah berdrama menangis. Ia merebahkan dirinya di atas kasur lepek yang keras. Matanya memandang nanar pada satu titik, masih melamunkan peristiwa yang baru saja terjadi. Ia yakin, Bagas akan menekan ibunya seandainya dibiarkan mereka saling bicara. Sudah pasti, hasilnya adalah kemenangan atas rencana Bagas Zo. Zanna bergidik ngeri.
Leta memasuki kamar melalui pintu yang telah rusak akibat didobrak paksa, gerakannya terburu-buru sambil agak meringis merasakan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Dia duduk di pinggiran ranjang, suara derit ranjang tua itu terdengar nyaring tatkala mendapat beban tambahan dari Leta. Matanya terlihat basah dan merah.
"Nak, bereskan barang-barang pentingmu, masukkan ke dalam tas ransel, lalu temuilah teman mama, tinggalkan di sana barangnya lalu kamu kembali pulang. Besok pagi kita sama-sama bawa barang lainnya, lalu kembali kesini. Kita akan lakukan kepindahan secara diam-diam," perintah Leta kepada putrinya. "Jangan khawatir, mama punya sedikit tabungan untuk menyewa tempat baru. Pokoknya keluar dulu dari sini. Usahakan tetangga tidak ada yang tahu kepergian kita," lanjut Leta perlahan.
Gadis itu menoleh kepada Leta, terlihat ibunya menahan sakit dan sorot matanya menyiratkan rasa takut yang nyata. Hati Zanna mencelos, perasaannya teramat pedih. "Ya, aku ikut apa kata mama," jawabnya dengan penuh keyakinan.
Tok tok tok
Suara ketukan pada pintu. Leta berdiri dan tergopoh-gopoh ke pintu sambil berseru, "Siapa?" Dengan mimik wajah bertanya-tanya.
"Kami dari kepolisian," sahut seseorang dari balik pintu.
Leta tertegun sejenak. "Polisi?" gumamnya semakin resah.
Leta membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Di sepanjang hidupnya, baru kali ini dirinya kedatangan polisi.Dua orang polisi berseragam menyapanya dengan ramah. Mereka menatap Leta dan menampilkan sorot terkejut sekaligus iba. Leta mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, menahan diri agar gemetar yang dirasakannya tidak terlihat oleh tamu berseragam itu. "Silakan masuk," ajak Leta dengan hormat.Keduanya memasuki rumah dan duduk di kursi usang, Leta ikut duduk dengan jantung masih berdebar, "Ada apa ya, Pak?" tanya Leta seraya berusaha menghilangkan rasa gugupnya."Mohon ma'af sebelumnya, Bu. Kami ketitipan warga seorang lelaki bernama Bagas Zo yang dituduh melakukan upaya pemerkosaan terhadap putri ibu," jawab salah seorang tamunya yang terlihat lebih tua dari rekannya.Leta masih bergeming untuk mendengarkan lebih lanjut
Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba.Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran.Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak."Huh, orgil lagi deh, gak di seko
Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis
"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"
Saat itu, Zanna merasa benci pada dirinya sendiri, kenapa ia harus selalu menjadi korban pelecehan? Lelaki yang telah meremas bokongnya yang bulat dan seksi itu telah menghilang dengan cepat, ia hanya bisa menangis pilu, menahan amarahnya yang memuncak.Ibu Bahtiar tergesa-gesa menghampiri gadis yang masih menangis dengan gusar, ia sungguh merasa prihatin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Merasakan kepiluan Zanna, Ibu Bahtiar merengkuh bahu gadis itu lalu membimbingnya ke arah motor."Ayo kita segera pulang, jalanan tidak aman buatmu, sini koper kecilnya biar taro di depan," ujar Ibu Bahtiar tergesa-gesa, rasanya ia ingin segera membawa gadis itu pergi dari sana.Mau tidak mau, Zanna menghentikan tangisnya meski masih terisak-isak, ia menyerahkan kopernya kepada Ibu Bahtiar dan menaiki motor. "Ibu tidak bawa helm cadangan, jadi kita akan melewati jalan tikus," ujar Ibu Bahtiar."Jalan hik
Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.
Gadis itu tersentak, tubuhnya mendadak kaku. Kini matanya membelalak dan seketika wajah cantiknya pucat pasi. Orang yang sedang memandangi kegiatan mereka, terus menatap tidak peduli kalau dirinya telah diketahui, seperti sengaja ingin mereka tahu bahwa apa yang dilakukan adalah hal menjijikkan.Zanna membuang muka ke samping dengan napas memburu dan jantung yang bertalu-talu. Rasa terkejutnya sangat kuat. Sementara, Marcel menoleh dengan cepat mengikuti arah mata kekasih wanitanya. Ia pun terkejut tapi keterkejutannya menghasilkan kemarahan. Marcel turun dari mobil dan meraih kerah kemeja lelaki yang memergoki mereka."Siapa kamu? Hah?!" teriak Marcel sambil mendorong lelaki itu ke belakang.Seorang lelaki muda seusia mereka, sangat tampan dan penampilannya jelas terlihat bukan dari kalangan biasa. Lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Marcel yang menyala-nyala oleh kobaran amarah. Tapi ia bergeming.Perlahan, kedua tangannya m
Melihat kondisi Leta yang sudah membaik dan boleh pulang setelah hasil labolatorium terakhir keluar, Zanna mencoba bicara pada ibunya mengenai keinginannya membawa Leta ke Jakarta."Ma, Za akan mengontrak rumah kecil, Mama bisa buka warung atau terserah mau jualan apa, yang penting Mama ikut Zanna ya? Di sini gak enak kan Mama sendirian kalau ada apa-apa yang repot orang lain, Ma ...," tutur Zanna."Dari mana kamu dapat uang untuk kontrak rumah?" tanya Leta bingung. Setahunya rumah-rumah di kota besar itu mahal-mahal."Za kan kerja, Ma. Bisa juga pinjam ke tempat kerja potong gaji. Mama gak usah pusing mikirin hal itu, Ma." Gadis muda tersebut berusaha meyakinkan ibunya.Leta terdiam beberapa saat, ia memang terlalu banyak merepotkan orang. Satu-satunya keluarga hanya Zanna, putrinya. "Baiklah, mama ikut kamu," sahut Leta yang membuat Zanna merasa lega.Keesokan harinya, Marcelia yang mengantar Leta ke rumah pak RT di mana L
Perjalanan naik pesawat adalah perjalanan yang pertama kalinya baik Zanna ataupun Lidya. Perasaan takut ketinggian menyergap keduanya. Lidya mampu menguasai diri hingga ketakutan itu tidak terlalu tampak, lain dengan Zanna yang masih polos itu. Namun, justru penglihatan satu-satunya wanita dewasa itu semakin jelas bahwa ada sesuatu antara kedua anak gadis tersebut.Adalah sikap Marcel kepada Zanna jelas terlihat seperti orang pada umumnya yang sedang mengalami kasmaran. Hati kecilnya meyakini hal itu. Selama dalam perjalanan, pengawasannya tidak pernah terlewat sedikitpun. Hatinya begitu miris memikirkan masa depan gadis putri dari salah satu sahabatnya itu."A-aku takut ...." Berulang kali Zanna mengatakannya. "Ssstt ... tenang saja, Hon." Marcel selalu memeluk gadis itu setiap kali ia merasa ketakutan."Minum ya." Marcel mengangsurkan botol minuman kepada Zanna seraya satu tangan mengelus-ngelus paha yang terbalut celana jeans."
Zanna mengajak Lidya ke area taman hidroponik di belakang fakultas hukum. Taman yang instagramable itu terasa sejuk. Ia menempati tempat duduk dari besi yang mengarah ke arah tanaman hijau itu."Ada kabar apa, Tante. Apakah dari mama?" tanya Zanna sudah tidak sabar. Dugaannya kedatangan Lidya pasti berkaitan dengan Leta. Darahnya berdesir dengan kekhawatiran yang tinggi."Ya, tentang mamamu. Sudah satu minggu di rawat di rumah sakit. Awalnya jatuh, ternyata kena serangan stroke. Kami, tante dan beberapa teman, telah berusaha untuk membiayai pengobatan, tapi saat ini, kami menyerah. Tante gak mau bikin kamu bingung, tapi sebagai putrinya, kamu berhak tahu keadaan mamamu. Karena kamu tidak bisa dihubungi melalui telepon, maka tante kesini menemuimu," papar Lidya panjang lebar.Pandangan Zanna berkunang-kunang, ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak pingsan di tempat. Penyesalan yang dalam seakan menghantamnya dengan sangat keras. Sejak pertama mene
Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol
Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak
Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya
"Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.