Share

Perjalanan

Author: murutop07
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba. 

Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.

Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran. 

Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak. "Huh, orgil lagi deh, gak di sekolah gak di tempat asing ini, kenapa harus ada dia sih?" rutuk Zanna di dalam hatinya. 

Tiba-tiba pemilik suara telah berada di hadapan Zanna, menatapnya lekat-lekat. "Aku serius tanya, kamu mau ke mana? Mau naik angkutan nomor berapa? Karena ini sudah sore, belum tentu angkutan yang ingin kamu naiki masih lewat sini," ujar lelaki tersebut yang tak lain adalah Danish.

Medengar hal itu, Zanna terperangah, tanpa sadar ia menatap tepat di wajah Danish yang tampan. "Hah, benarkah?" tanya Zanna sekedar ingin memastikan. 

"Makanya ... angkutan nomor berapa?" tanya Danish lagi dengan mimik wajah serius.

"Nomor nol dua," jawab Zanna pendek.

"Ikut aku ...," ajak Danish tanpa merasa canggung menarik tangan Zanna.

"Hei, apa-apaan sih kamu? Aku gak mau ikut kamu!" hardik Zanna seraya menarik kuat tangannya agar terlepas dari genggaman Danish. 

"Angkutan yang kamu tunggu sudah tidak lewat lagi, terakhir jam tiga tadi," jawab Danish dengan kalem. 

"Iya, tapi tolong lepaskan tanganku, malu dilihat orang-orang tahu." Zanna memohon dengan volume suara ditahan agar tidak terdengar oleh orang-orang di sekitarnya.

Namun, Danish tetap menarik Zanna dan berhenti di depan sepeda motor Ninja berwarna hitam. "Naiklah, aku antar kamu," tegas Danish tidak menerima bantahan.

Kedua tangan Danish terulur, meraih tas ransel dari punggung Zanna dan menurunkannya. "Berat banget? Isinya batu kali ya?" tanya Danish merasa kasihan kepada Zanna dengan beban seberat itu. 

Danish menaiki motornya dan menaruh tas ransel di depannya. "Ayo, naik!" seru Danish tidak sabar melihat Zanna masih seperti orang yang sedang melamun. 

"Zanna, ayolah ...," pinta Danish memelas melihat Zanna yang masih mematung. "Nunggu apa sih?" tanya Danish mulai kehilangan kesabaran. 

"Ta ... tapi, aku harus duduknya gimana?" tanya Zanna dengan roman kebingungan. 

Danish tertawa geli, ia lupa kalau teman cantiknya itu pasti belum pernah melihat motor seperti yang dibawanya ini, bagian jok belakang hanya berpenampang kecil dan lebih tinggi dari jok motor yang diduduki oleh Danish di bagian depan. "Zan ... naiklah," ujar Danish dengan suara lembut sekarang. 

Dengan ragu-ragu, Zanna memanjat ke atas jok belakang motor yang dikendarai oleh Danish, untungnya Zanna memakai celana panjang hingga ia leluasa mengangkat kakinya lebar-lebar dan mendaratkan bokongnya yang penuh berisi ke atas jok sempit itu. 

Segaris senyum melintas pada wajah Danish, melihat kekakuan Zanna yang telah duduk sempurna di atas motornya, dengan posisi tubuh agak maju ke depan, hanya saja Zanna sengaja menahan dirinya agar tidak bersentuhan langsung dengan Danish.

Sebuah ide melintas di benak Danish, ide yang kemungkinan akan membuat Zanna marah, tapi Danish tidak ingin melewatkan keseruannya, ia menarik gas motor seketika dan membuat Zanna terlonjak hingga bagian depan tubuhnya menabrak punggung Danish agak keras. Ketakutan membayang di wajah Zanna seketika, benar saja ia marah saat motor telah melaju dengan normal dan Zanna menahan tubuhnya agar tidak maju ke arah depan.

"Apa-apaan sih kamu? Sengaja kan mau membuat aku ketakutan setengah mati? Danish! Turunkan aku sekarang juga!" teriak Zanna emosi. 

"Ma'af, aku gak sengaja, Zan ... serius deh," jawab Danish kalem. 

Zanna menoyor kepala Danish yang tertutup helm, merasa sangat kesal sekali, duduknya gelisah dan khawatir, ia membayangkan kalau sampai terjatuh, akan banyak luka dan lebam di tubuhnya. 

Danish merasakan kekhawatiran Zanna, ia menepikan motornya,  lalu turun setelah menurunkan standar penyangga, diraihnya tas ransel Zanna yang berat lalu menyampirkannya di punggung. 

Zanna masih duduk terdiam di tempat, tidak mengerti kenapa Danish menepikan motornya. "Apalagi sekarang?" tanya Zanna dengan sewot dan membelalakkan matanya. 

"Jadi cewek tuh jangan galak-galak, cepet kiamat ntar dunia ini." Danish tidak mengindahkan pertanyaan Zanna, sebaliknya ia menuntun gadis galak tersebut untuk turun dari motornya dan mengajak duduk di bangku yang tersedia untuk pejalan kaki. 

"Sebenarnya kamu mau ke mana?" tanya Danish menatap lekat wajah Zanna yang masih pucat. Alih-alih menjawab, Zanna menyodorkan secarik kertas yang berisi alamat, Danish membacanya dan mengangguk, ia tahu tempat yang hendak dituju Zanna.

"Tempat ini masih lumayan jauh Zan, kendaraan umun ke arah sana sudah tidak ada. Satu-satunya jalan ya, aku antar kamu, tapi tolong jangan merasa takut, ok?" mohon Danish menunggu jawaban. 

Zanna ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya mengangguk. Ia tidak punya jalan lain selain menurut pada Danish sementara ini.  "Tapi ... ntar pulangnya bareng lagi kan?" tanya Zanna dengan nada yang tidak pasti. Ia merasa perjalanan ini cukup berat. 

"Pastilah kuantar lagi pulang, masa iya aku membiarkan orang yang kusukai jalan kaki." kata Danish dengan nada menggoda. 

BUK

Zanna meninju lengan atas Danish dengan kesal, di saat dirinya sedang tidak karuan, kalimat Danish malah penuh canda. Zanna kembali menaiki motor, kali ini dirinya sudah agak santai, setidaknya bersama Danish ia tidak perlu merasa ketakutan dan bisa sampai ke tujuan.

Sekitar dua puluh menit kemudian, mereka tiba di alamat yang dituju. Zanna merapikan rambutnya yang kusut tertiup angin sebelum ia turun dari motor. 

"Sudahlah, dengan rambut acak-acakan, kamu malah terlihat tambah seksi," seloroh Danish tanpa ekspresi. 

Lagi-lagi Zanna merasa kesal mendengar ucapan Danish yang selalu menyisipkan kata-kata yang berkaitan dengan fisiknya. Ada saja yang disematkan Danish untuknya. Danish memarkirkan motornya segera setelah Zanna turun dan mulai melangkah menuju sebuah rumah mungil nan asri.

Zanna memencet bel yang menempel pada dinding penyangga pagar besi. Suara 'ting-tong' terdengar menggema sampai ke telinga mereka, menunggu beberapa saat sambil terpaku, Zanna menangkap setiap jengkal pekarangan rumah tersebut dengan kedua matanya, ia mengagumi kebersihan dan kerapiannya. 

Terdengar langkah seseorang dari dalam rumah, menyeret kakinya yang beralaskan sandal jepit karet. Gordyn di samping pintu tersibak, Zanna melihat sosok wanita seusia Leta tengah mengintipnya sebelum suara kunci pintu berputar dan terbuka. "Zanna ya?" tanya wanita tersebut, yang bernama Lidya, teman dari ibunya Zanna. 

"Iya, Tante ...," jawab Zanna seraya mengangguk hormat dan melempar senyum. 

"Oh iya, masuk, masuk, Nak. Pagarnya geser saja, belum dikunci karena tante memang nungguin kamu." Ujarnya sangat ramah. 

Danish segera menggeser pagar, agar Zanna bisa masuk terlebih dahulu lalu ia menyusul sambil menggeser kembali pagar itu, menutupnya. Ia melepaskan tas ransel Zanna dan meletakkan tas tersebut di lantai ruang tamu Lidya. 

"Nak, ibumu tadi telepon, menceritakan semuanya dan berpesan agar kamu mengosongkan tas itu dan dibawa pulang kembali. Ayo, tante antar ke dalam." Ajak Lidya kepada Zanna. 

Zanna melirik sekilas kepada Danish, alih-alih berpamitan ia akan meninggalkannya di ruang tamu. 

"Temanmu?" tanya Lidya setelah mereka sampai di bagian belakang rumah tersebut. 

"Iya, Tante. Teman sekelas," sahut Zanna dengan nada sopan.

"Baiklah, setelah ini kamu harus segera pulang, karena sudah kemalaman. Tante bawakan roti dan minuman botol ya." Lidya membalikkan badannya setelah mengucapkan kalimat itu.

Zanna hanya mengangguk sambil menatap punggung Lidya yang berlalu. Kemudian ia mulai membongkar isi tas ranselnya dan menyusun barang-barang yang ternyata lumayan banyak. Menyimpan surat-surat yang menurut Leta surat berharga paling bawah dan menimpanya dengan tumpukan baju.

Kamar itu lebih besar dari pada kamarnya di rumah sekolah, lemarinya pun lemari kayu bukan lemari plastik seperti yang ia lihat setiap hari. Ia mendengus pelan, memikirkan kemungkinan dirinya beserta Leta akan menumpang di rumah itu, kenyataan itu sedikit mengusik perasaannya. 

Zanna tidak ingin berlama-lama berada di sana, kebanyakan berdiam diri hanya akan membuat pikirannya terus berkelana mengingat segala hal yang telah menimpanya pada hari itu.

Langkah kaki Zanna bergegas kembali ke ruang tamu, Lidya telah berada di sana, duduk berhadapan dengan Danish dan ada sebuah bungkusan plastik di atas meja. 

"Pulanglah, Nak. Ini bekal makan malammu." Lidya bangkit berdiri seraya menyerahkan bungkusan plastik itu kepada Zanna. Mereka undur diri dari hadapan Lidya, kembali pada motor ninja milik Danish. 

"Zan ... itu saudara?" tanya Danish penasaran, selama ini ia memang tidak tahu apa-apa tentang gadis yang sejak lama diincarnya itu.

"Temana mamaku," jawab Zanna pendek.

"Aku lapar, kita makan dulu yuk, biar kamu juga gak masuk angin ...," ajak Danish kepada Zanna sambil mengarahkan motornya ke area kuliner yang ramai. 

"Kan ini ada roti ... sama minumnya," sahut Zanna menawarkan makanannya kepada Danish.

"Roti buat kamu sarapan aja, aku lagi mau soto, kamu mau apa?" tanya Danish tepat saat motor berhenti di tempat parkir.

Zanna menggelengkan kepalanya, jujur saja ia tidak banyak tahu tentang makanan. Matanya menatap lekat pada Danish, sebenarnya ia malu karena tidak tahu apa-apa.

"Kok bengong, ayolah ... kamu mau makan apa?" tanya Danish lagi.

"Tempe-tahu juga boleh ...," jawab Zanna dengan percaya diri. 

"Tempe-tahu, di mana ya ...," gumam Danish mengedarkan pandangan ke sekelilingnya, permintaan sederhana jika di rumah sendiri, tapi jadi rumit dan butuh pemikiran lebih ketika berada pada area kuliner yang didominasi oleh menu mekanan kekinian.

Zanna merasa bahwa permintaannya agak merepotkan, tapi ia benar-benar kebingungan, tidak bisa menentukan sendiri mau makan apa. "Terserah kamu saja, tapi gak mahal kan? Aku cuma bawa uang delapan ribu buat ongkos tadi ...," ujar Zanna polos. 

Hati Danish mencelos mendengar penuturan lugu dari gadis di sampingnya itu, bahkan untuk membayar angkutan umum saja kurang, bagaimana jika tadi dia tidak bertemu dengannya? Danish merinding memikirkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi pada Zanna.

Memasang senyum dengan tatapan yang lembut, Danish meneliti wajah Zanna. Gadis cantik itu juga sedang menatapnya, menunggu jawaban Danish perihal harga makanan.  "Cantik ... aku yang ajak kamu makan, jadi kamu gak usah pikirin soal bayar-membayar," ujar Danish merasa gemas pada gadis lugu itu.

"Setiap orang harus bertanggung jawab terhadap apa yang diperbuatnya. Jadi, aku akan bayar sendiri," tandas Zanna dengan mimik wajah serius.

Danish terpekur, tatapan matanya beralih ke atas seraya memiringkan kepalanya, ia tidak tahu harus menjawab apa. Sejurus kemudian, "Oke, ayuk," ajak Danish mengarahkan langkah Zanna menuju warung soto langganannya. 

Danish merogoh telepon genggamnya, lalu mengetik sesuatu dan tersenyum pada Zanna yang sedang memperhatikan benda pipih  menyala di tangan Danish dengan sorot mata ingin tahu.

Related chapters

  • Dongeng Zanna   Pulang

    Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis

  • Dongeng Zanna   Darurat

    "Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta

  • Dongeng Zanna   Keputusan Zanna

    Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal

  • Dongeng Zanna   Kepergian Zanna

    Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir

  • Dongeng Zanna   Pertama Tiba

    Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"

  • Dongeng Zanna   Memasuki Asrama

    Saat itu, Zanna merasa benci pada dirinya sendiri, kenapa ia harus selalu menjadi korban pelecehan? Lelaki yang telah meremas bokongnya yang bulat dan seksi itu telah menghilang dengan cepat, ia hanya bisa menangis pilu, menahan amarahnya yang memuncak.Ibu Bahtiar tergesa-gesa menghampiri gadis yang masih menangis dengan gusar, ia sungguh merasa prihatin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Merasakan kepiluan Zanna, Ibu Bahtiar merengkuh bahu gadis itu lalu membimbingnya ke arah motor."Ayo kita segera pulang, jalanan tidak aman buatmu, sini koper kecilnya biar taro di depan," ujar Ibu Bahtiar tergesa-gesa, rasanya ia ingin segera membawa gadis itu pergi dari sana.Mau tidak mau, Zanna menghentikan tangisnya meski masih terisak-isak, ia menyerahkan kopernya kepada Ibu Bahtiar dan menaiki motor. "Ibu tidak bawa helm cadangan, jadi kita akan melewati jalan tikus," ujar Ibu Bahtiar."Jalan hik

  • Dongeng Zanna   Perkenalan

    Masa orientasi kampus adalah masa kelam tersendiri bagi Zanna. Di hari pertamanya berbaur dengan mahasiswa-mahasiswi lain, semua memandang gadis itu dengan tatapan aneh dan dengan caranya masing-masing, mereka berusaha menghindar agar tidak berada dekat-dekat dengan dirinya.Meskipun sudah terbiasa dikucilkan, kali ini, Zanna merasakan sesuatu yang lain. Lebih menyakitkan dan menyedihkan. Ia hanya menghibur dirinya sendiri dengan ungkapan, 'mungkin baru lulus SMA masih kekanak-kanakkan, ayo Zanna ... kuatkan hatimu'. Ia mengatakannya terus berulang-ulang.Saat istirahat, perutnya berontak, ia merasa kelaparan.Zanna mengikuti petunjuk menuju kantin. Sayangnya kantin itu penuh. Dengan perlahan Zanna melangkah mundur, dirinya tidak berani ikut duduk bersama yang lainnya karena khawatir mereka semua terganggu oleh kehadirannya.Akhirnya ia memutuskan membeli beberapa buah gorengan dan es teh, lalu beranjak

  • Dongeng Zanna   Pendekatan

    Zanna menghidangkan segelas air putih yang diambilnya dari dispenser diluar kamar untuk teman barunya, Marcelia yang masih mondar-mandir di kamarnya."Uh, di sini panas banget. Lo udah berapa lama tinggal sini?" Marcel memutar tombol kipas angin yang melekat pada dinding di sebelah ranjang."Baru semalam di sini," jawab Zanna sambil memperhatikan Marcelia memutar tombol itu. Dari kemarin ia bertanya-tanya dalam hatinya, fungsi tombol itu untuk apa, ternyata pengontrol kipas angin yang berputar di plafon kamarnya.Marcelia ikut duduk di pinggir kasur, karena di kamar itu, satu-satunya kursi dipakai oleh Zanna untuk meletakkan tasnya."Minum dulu, maaf tidak ada suguhan lain," ujar Zanna merasa tidak enak hati. "Aku ke kamar mandi dulu ya, mau ganti baju, gerah," lanjut Zanna, kali ini berpamitan sebentar.Gadis itu hanya mengangguk sambil meraih gelas berisi air putih yang disuguhkan Zanna. Sekali teguk, tandas

Latest chapter

  • Dongeng Zanna   Perasaan Apa Ini?

    Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.

  • Dongeng Zanna   Lelaki Misterius

    Gadis itu tersentak, tubuhnya mendadak kaku. Kini matanya membelalak dan seketika wajah cantiknya pucat pasi. Orang yang sedang memandangi kegiatan mereka, terus menatap tidak peduli kalau dirinya telah diketahui, seperti sengaja ingin mereka tahu bahwa apa yang dilakukan adalah hal menjijikkan.Zanna membuang muka ke samping dengan napas memburu dan jantung yang bertalu-talu. Rasa terkejutnya sangat kuat. Sementara, Marcel menoleh dengan cepat mengikuti arah mata kekasih wanitanya. Ia pun terkejut tapi keterkejutannya menghasilkan kemarahan. Marcel turun dari mobil dan meraih kerah kemeja lelaki yang memergoki mereka."Siapa kamu? Hah?!" teriak Marcel sambil mendorong lelaki itu ke belakang.Seorang lelaki muda seusia mereka, sangat tampan dan penampilannya jelas terlihat bukan dari kalangan biasa. Lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Marcel yang menyala-nyala oleh kobaran amarah. Tapi ia bergeming.Perlahan, kedua tangannya m

  • Dongeng Zanna   Memboyong Leta

    Melihat kondisi Leta yang sudah membaik dan boleh pulang setelah hasil labolatorium terakhir keluar, Zanna mencoba bicara pada ibunya mengenai keinginannya membawa Leta ke Jakarta."Ma, Za akan mengontrak rumah kecil, Mama bisa buka warung atau terserah mau jualan apa, yang penting Mama ikut Zanna ya? Di sini gak enak kan Mama sendirian kalau ada apa-apa yang repot orang lain, Ma ...," tutur Zanna."Dari mana kamu dapat uang untuk kontrak rumah?" tanya Leta bingung. Setahunya rumah-rumah di kota besar itu mahal-mahal."Za kan kerja, Ma. Bisa juga pinjam ke tempat kerja potong gaji. Mama gak usah pusing mikirin hal itu, Ma." Gadis muda tersebut berusaha meyakinkan ibunya.Leta terdiam beberapa saat, ia memang terlalu banyak merepotkan orang. Satu-satunya keluarga hanya Zanna, putrinya. "Baiklah, mama ikut kamu," sahut Leta yang membuat Zanna merasa lega.Keesokan harinya, Marcelia yang mengantar Leta ke rumah pak RT di mana L

  • Dongeng Zanna   Kecurigaan Lidya

    Perjalanan naik pesawat adalah perjalanan yang pertama kalinya baik Zanna ataupun Lidya. Perasaan takut ketinggian menyergap keduanya. Lidya mampu menguasai diri hingga ketakutan itu tidak terlalu tampak, lain dengan Zanna yang masih polos itu. Namun, justru penglihatan satu-satunya wanita dewasa itu semakin jelas bahwa ada sesuatu antara kedua anak gadis tersebut.Adalah sikap Marcel kepada Zanna jelas terlihat seperti orang pada umumnya yang sedang mengalami kasmaran. Hati kecilnya meyakini hal itu. Selama dalam perjalanan, pengawasannya tidak pernah terlewat sedikitpun. Hatinya begitu miris memikirkan masa depan gadis putri dari salah satu sahabatnya itu."A-aku takut ...." Berulang kali Zanna mengatakannya. "Ssstt ... tenang saja, Hon." Marcel selalu memeluk gadis itu setiap kali ia merasa ketakutan."Minum ya." Marcel mengangsurkan botol minuman kepada Zanna seraya satu tangan mengelus-ngelus paha yang terbalut celana jeans."

  • Dongeng Zanna   Kabar Leta

    Zanna mengajak Lidya ke area taman hidroponik di belakang fakultas hukum. Taman yang instagramable itu terasa sejuk. Ia menempati tempat duduk dari besi yang mengarah ke arah tanaman hijau itu."Ada kabar apa, Tante. Apakah dari mama?" tanya Zanna sudah tidak sabar. Dugaannya kedatangan Lidya pasti berkaitan dengan Leta. Darahnya berdesir dengan kekhawatiran yang tinggi."Ya, tentang mamamu. Sudah satu minggu di rawat di rumah sakit. Awalnya jatuh, ternyata kena serangan stroke. Kami, tante dan beberapa teman, telah berusaha untuk membiayai pengobatan, tapi saat ini, kami menyerah. Tante gak mau bikin kamu bingung, tapi sebagai putrinya, kamu berhak tahu keadaan mamamu. Karena kamu tidak bisa dihubungi melalui telepon, maka tante kesini menemuimu," papar Lidya panjang lebar.Pandangan Zanna berkunang-kunang, ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak pingsan di tempat. Penyesalan yang dalam seakan menghantamnya dengan sangat keras. Sejak pertama mene

  • Dongeng Zanna   Perubahan Zanna

    Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol

  • Dongeng Zanna   Sentilan Marcelia

    Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak

  • Dongeng Zanna   Cemburu

    Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya

  • Dongeng Zanna   Pertemuan Tak Terduga

    "Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.

DMCA.com Protection Status