Leta membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Di sepanjang hidupnya, baru kali ini dirinya kedatangan polisi.
Dua orang polisi berseragam menyapanya dengan ramah. Mereka menatap Leta dan menampilkan sorot terkejut sekaligus iba. Leta mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, menahan diri agar gemetar yang dirasakannya tidak terlihat oleh tamu berseragam itu. "Silakan masuk," ajak Leta dengan hormat.
Keduanya memasuki rumah dan duduk di kursi usang, Leta ikut duduk dengan jantung masih berdebar, "Ada apa ya, Pak?" tanya Leta seraya berusaha menghilangkan rasa gugupnya.
"Mohon ma'af sebelumnya, Bu. Kami ketitipan warga seorang lelaki bernama Bagas Zo yang dituduh melakukan upaya pemerkosaan terhadap putri ibu," jawab salah seorang tamunya yang terlihat lebih tua dari rekannya.
Leta masih bergeming untuk mendengarkan lebih lanjut. Dengan satu matanya, ia berusaha menilai gestur dan mimik wajah dari kedua tamunya itu.
"Apakah ibu kenal dengan Bagas Zo?" tanya Polisi itu melanjutkan kalimatnya.
Leta menggelengkan kepalanya dengan lemah, "Saya tidak mengenalnya, bahkan baru melihat orang tersebut," sahut Leta, sekarang terlihat jelas ia gemetar dan ketakutan.
Kedua polisi itu merasa iba, tapi kedatangannya adalah tugas mereka dalam rangka penyidikan sebuah kasus yang terlanjur ditanda tangani berita acara pidananya oleh ketua warga.
"Kalau boleh tahu, siapa nama mantan suami ibu?" pertanyaan itu terlontar dari polisi yang lebih muda.
Leta memahami arah pembicaraan mereka, ia tahu Bagas akan bicara bahwa dirinya mantan istri dan Zanna adalah putri kandungnya. "Sebenarnya saya ingin melupakan mantan suami saya, bahkan namanya pun ingin saya hapus dari ingatan ... tapi, baiklah, ayah dari putri saya adalah Toni Sutedja," tandas Leta agak menaikkan volume suaranya agar Zanna mendengar jelas dari balik kamar.
Suara Leta yang agak meninggi itu, diasumsikan oleh kedua tamunya sebagai luapan emosi atas kejadian buruk di masa lalu.
Leta tahu bahwa Zanna pasti menguping pembicaraan mereka. Untungnya, rumah itu sangat sempit sehingga suara serendah apapun akan mudah terdengar.
"Baik, Bu. Boleh bertemu dengan putrinya?" Polisi yang lebih tua meminta berbicara dengan Zanna.
Leta mengangguk pelan setelah menarik napas pendek, ia berteriak memanggil putrinya, "Zanna! Keluar, Nak. Ada tamu," serunya.
Terdengar suara pintu digeser, pintu yang telah rusak karena didobrak paksa oleh warga sewaktu mencari Bagas yang bersembunyi di dalam kamar.
Kedua polisi itu terhenyak menatap Zanna yang tengah berjalan menghampiri mereka. Keduanya saling tukar pandang sejenak lalu kembali menatap Zanna tanpa sadar bahwa hal itu kurang sopan untuk dilakukan.
Kecantikan Zanna memang memukau dengan kulit putih sebening porselen. Aura sensual yang keluar dari tubuhnya juga terasa kental. "Pantas saja Bagas tergiur," batin polisi yang lebih tua, memahami alasannya.
Zanna menduduki kursi di hadapan kedua tamu tersebut yang masih terpana oleh kecantikannya. Tamu yang lebih tua cepat menguasai diri lalu berdehem, menyadarkan rekannya yang masih menatap Zanna tanpa berkedip.
"Hm, siapa namamu?" pertanyaan terlontar dari polisi yang lebih tua kepada Zanna.
"Zanna Zovanka," jawab Zanna pendek sambil menundukkan kepalanya, menatap pada kedua kakinya di lantai.
"Apa Dik Zanna kenal dengan pria tadi yang bernama Bagas Zo?" selidik polisi itu melanjutkan.
Zanna menggelengkan kepala, di wajahnya tergurat kesedihan dan berbagai emosi. "Tidak, Pak. Masa saya gaul sama om-om," tukas Zanna, ingin menunjukkan kalau dirinya malas dengan pertanyaan tersebut.
Kedua polisi kembali saling pandang, mereka memahami kalau peristiwa tadi masih meninggalkan trauma pada gadis itu.
"Apakah ibu akan menandatangani surat penuntutan?" tanyanya lagi beralih kepada Leta.
"Bukankah sekarang sudah ditahan di kantor polisi?" tanya Leta heran.
"Ya, tapi tanpa tuntutan dari korban, kami tidak bisa menahannya lebih dari dua puluh empat jam," tutur polisi tersebut.
"Kami rasa ... tidak perlu ya, sudah biarkan saja, toh dia tidak mungkin menganggu kami lagi, karena dia pasti takut dengan warga sini dan semoga jera." jawab Leta dengan penuh harap.
Akhirnya kedua polisi tersebut memutuskan untuk menyudahi penyidikannya. Keduanya segera pamit kepada Leta dan Zanna, seraya meninggalkan pesan agar mereka segera menghubungi kantor polisi jika terjadi sesuatu atau ingat sesuatu yang bisa membantu penyidikan.
Leta segera menutup pintu setelah kedua polisi itu berlalu dari teras dan menarik Zanna ke kamar mereka. "Kamu sudah beresin barang belum?" pertanyaannya penuh harap dan tergesa-gesa."Baru sedikit," jawabnya pendek, heran dengan ketergesaan ibunya.
"Ayo, mama bantu. Berkas-berkas penting dulu, lalu beberapa pakaian. Gak usah dibawa semua baju-bajunya, yang jelek dan rombeng tinggal aja," papar Leta seraya bergerak ke arah laci di meja belajar.
Keduanya sibuk memasukkan barang-barang ke dalam tas ransel Zanna hingga menggelembung. "Tidak berat 'kan?" Leta memperhatikan Zanna yang mengangkat tas tersebut sambil menggelengkan kepalanya.
"Baiklah, kamu segera pergi, ini ongkosnya dan ini alamatnya. Katakan pada teman mama sejujurnya, dia akan membantu kita," ujar Leta seraya menyodorkan kertas kecil berisi alamat dan sedikit uang.
Tanpa bicara apapun, Zanna mengambil kertas tersebut lalu memasukkannya pada kantung celana. "Zanna pergi, Bu ...," ucapnya sambil meraih telapak tangan Leta dan menciumnya.
◇◇◇
Suara rintihan masih terdengar dari mulut Bagas di dalam tahanan kepolisian. Dia tidak peduli dengan tahanan lain yang merasa terganggu oleh kehadiran Bagas yang berisik.
"Diam kau! Badan aja gede, tapi cengeng!" hardik seorang tahanan berbadan tinggi besar dengan perut buncit dan kedua tangannya penuh tatto.
Bagas hanya melirik sekilas. Seandainya dalam kondisi normal, tentu ia tidak takut pada orang itu, tapi kali ini, ia harus merasa takut jika tidak ingin rasa sakitnya bertambah akibat satu atau dua pukulan lagi.
Bagas menahan suaranya, dengan perasaan marah yang membuncah di hatinya. Ia berusaha memejamkan matanya dan berpikir, kejadian hari ini sungguh di luar dugaannya, dan sama sekali ia tidak menyangka bahwa Zanna, putrinya yang lemah itu, telah berani berbuat keji kepadanya.
"Betina busuk. Akan kuperhitungkan matang-matang pembalasan yang lebih keji dari yang pernah menimpa ibumu!" geram Bagas di dalam hatinya.
Tiba-tiba Bagas tersentak. Sebuah ide melintas di kepalanya. Ia harus menelepon seseorang! Bagas memanggil penjaga dan meminta agar ia diijinkan telepon keluar melalui telepon genggamnya yang disimpan oleh aparat. Setelah menunggu beberapa saat, seorang polisi menghampirinya dan membuka pintu besi, lalu membawa Bagas keruangan sebelah sambil menyerahkan telepon genggamnya.
"Lima menit," tegas polisi itu kepada Bagas.
Tergesa-gesa tangan yang telah licin oleh keringat itu membuka layar pada benda pipih dan memencet deretan angka, lalu menempelkan telepon genggamnya pada telinga sebelah kiri. Deringan ketiga, terdengar suara klik halus lalu seseorang menyapanya.
"Halo, Gas. Ada apa?" tanya suara di ujung telepon.
"Ada cewe luar biasa cantik, perawan masih gres, putih, seksi pokoknya luar biasa maut. Datangin aja rumahnya, intai dulu kalau belum bisa angkut. Kecuali mau nekat angkut, lakukan tengah malam. Saya kirim alamat dan potonya." Bagas nyerocos terburu-buru saking takut waktunya tidak cukup.
"Mahal nih pasti ...," ucap lawan bicara Bagas.
"Sangat. Berlian asli, Bro," sahut Bagas, sebelum memutuskan sambungan telepon.
Gerakan jarinya lincah, mengirim alamat dan beberapa poto Zanna lalu memencet tombol sent dan menunggu beberaoa detik, sampai yakin kirimannya terkirim dan terbaca oleh seseorang di luar sana. Setelah merasa semua aman, Bagas mematikan telepon genggamnya dan keluar dari ruangan tersebut lalu menyerahkan benda pipih miliknya kepada polisi yang sedang berjaga.
Bagas diantarkan kembali memasuki sel tahanan sementara. Tersungging senyum puas pada wajahnya. Selama beberapa tahun kedepan, dirinya akan terus menerus menerima royalti dari putrinya sendiri. "Bisnis wanita cantik memang menggiurkan," gumamnya bahagia.
Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba.Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran.Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak."Huh, orgil lagi deh, gak di seko
Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis
"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Terminal kampung rambutan adalah salah satu terminal yang cukup besar. Berbagai jurusan ke kota-kota di seluruh pulau jawa dan sumatera, hampir bisa dipastikan ada di sana.Sebelah kaki jenjang yang terbalut celana jeans, tampak turun dari tangga bis disusul kaki jenjang selanjutnya. Postur tubuhnya yang tinggi kini telah terlihat secara keseluruhan, ia mencangklong tas punggung yang berat serta menggusur sebuah koper kecil.Wajahnya yang sangat cantik celingukan mencari-cari tanda atau tulisan pada plang yang akan dijadikannya sebagai petunjuk. Namun, ia merasa terganggu saat beberapa lelaki mendekatinya dengan riuh."Mau ke mana lagi, Non?""Taksi, taksi, Mbak ....""Ayo ikut, saya akan antar ke tujuan Mbaknya.""Mbak cantik, naik ojek, Mbak, ojek ya, sini Mbak.""Minum, minum. Seger, seger.""Oleh-olehnya, Mbak ....""Si mbaknya cantik banget, taksi, Mbak?"
Saat itu, Zanna merasa benci pada dirinya sendiri, kenapa ia harus selalu menjadi korban pelecehan? Lelaki yang telah meremas bokongnya yang bulat dan seksi itu telah menghilang dengan cepat, ia hanya bisa menangis pilu, menahan amarahnya yang memuncak.Ibu Bahtiar tergesa-gesa menghampiri gadis yang masih menangis dengan gusar, ia sungguh merasa prihatin, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Merasakan kepiluan Zanna, Ibu Bahtiar merengkuh bahu gadis itu lalu membimbingnya ke arah motor."Ayo kita segera pulang, jalanan tidak aman buatmu, sini koper kecilnya biar taro di depan," ujar Ibu Bahtiar tergesa-gesa, rasanya ia ingin segera membawa gadis itu pergi dari sana.Mau tidak mau, Zanna menghentikan tangisnya meski masih terisak-isak, ia menyerahkan kopernya kepada Ibu Bahtiar dan menaiki motor. "Ibu tidak bawa helm cadangan, jadi kita akan melewati jalan tikus," ujar Ibu Bahtiar."Jalan hik
Masa orientasi kampus adalah masa kelam tersendiri bagi Zanna. Di hari pertamanya berbaur dengan mahasiswa-mahasiswi lain, semua memandang gadis itu dengan tatapan aneh dan dengan caranya masing-masing, mereka berusaha menghindar agar tidak berada dekat-dekat dengan dirinya.Meskipun sudah terbiasa dikucilkan, kali ini, Zanna merasakan sesuatu yang lain. Lebih menyakitkan dan menyedihkan. Ia hanya menghibur dirinya sendiri dengan ungkapan, 'mungkin baru lulus SMA masih kekanak-kanakkan, ayo Zanna ... kuatkan hatimu'. Ia mengatakannya terus berulang-ulang.Saat istirahat, perutnya berontak, ia merasa kelaparan.Zanna mengikuti petunjuk menuju kantin. Sayangnya kantin itu penuh. Dengan perlahan Zanna melangkah mundur, dirinya tidak berani ikut duduk bersama yang lainnya karena khawatir mereka semua terganggu oleh kehadirannya.Akhirnya ia memutuskan membeli beberapa buah gorengan dan es teh, lalu beranjak
Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.
Gadis itu tersentak, tubuhnya mendadak kaku. Kini matanya membelalak dan seketika wajah cantiknya pucat pasi. Orang yang sedang memandangi kegiatan mereka, terus menatap tidak peduli kalau dirinya telah diketahui, seperti sengaja ingin mereka tahu bahwa apa yang dilakukan adalah hal menjijikkan.Zanna membuang muka ke samping dengan napas memburu dan jantung yang bertalu-talu. Rasa terkejutnya sangat kuat. Sementara, Marcel menoleh dengan cepat mengikuti arah mata kekasih wanitanya. Ia pun terkejut tapi keterkejutannya menghasilkan kemarahan. Marcel turun dari mobil dan meraih kerah kemeja lelaki yang memergoki mereka."Siapa kamu? Hah?!" teriak Marcel sambil mendorong lelaki itu ke belakang.Seorang lelaki muda seusia mereka, sangat tampan dan penampilannya jelas terlihat bukan dari kalangan biasa. Lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Marcel yang menyala-nyala oleh kobaran amarah. Tapi ia bergeming.Perlahan, kedua tangannya m
Melihat kondisi Leta yang sudah membaik dan boleh pulang setelah hasil labolatorium terakhir keluar, Zanna mencoba bicara pada ibunya mengenai keinginannya membawa Leta ke Jakarta."Ma, Za akan mengontrak rumah kecil, Mama bisa buka warung atau terserah mau jualan apa, yang penting Mama ikut Zanna ya? Di sini gak enak kan Mama sendirian kalau ada apa-apa yang repot orang lain, Ma ...," tutur Zanna."Dari mana kamu dapat uang untuk kontrak rumah?" tanya Leta bingung. Setahunya rumah-rumah di kota besar itu mahal-mahal."Za kan kerja, Ma. Bisa juga pinjam ke tempat kerja potong gaji. Mama gak usah pusing mikirin hal itu, Ma." Gadis muda tersebut berusaha meyakinkan ibunya.Leta terdiam beberapa saat, ia memang terlalu banyak merepotkan orang. Satu-satunya keluarga hanya Zanna, putrinya. "Baiklah, mama ikut kamu," sahut Leta yang membuat Zanna merasa lega.Keesokan harinya, Marcelia yang mengantar Leta ke rumah pak RT di mana L
Perjalanan naik pesawat adalah perjalanan yang pertama kalinya baik Zanna ataupun Lidya. Perasaan takut ketinggian menyergap keduanya. Lidya mampu menguasai diri hingga ketakutan itu tidak terlalu tampak, lain dengan Zanna yang masih polos itu. Namun, justru penglihatan satu-satunya wanita dewasa itu semakin jelas bahwa ada sesuatu antara kedua anak gadis tersebut.Adalah sikap Marcel kepada Zanna jelas terlihat seperti orang pada umumnya yang sedang mengalami kasmaran. Hati kecilnya meyakini hal itu. Selama dalam perjalanan, pengawasannya tidak pernah terlewat sedikitpun. Hatinya begitu miris memikirkan masa depan gadis putri dari salah satu sahabatnya itu."A-aku takut ...." Berulang kali Zanna mengatakannya. "Ssstt ... tenang saja, Hon." Marcel selalu memeluk gadis itu setiap kali ia merasa ketakutan."Minum ya." Marcel mengangsurkan botol minuman kepada Zanna seraya satu tangan mengelus-ngelus paha yang terbalut celana jeans."
Zanna mengajak Lidya ke area taman hidroponik di belakang fakultas hukum. Taman yang instagramable itu terasa sejuk. Ia menempati tempat duduk dari besi yang mengarah ke arah tanaman hijau itu."Ada kabar apa, Tante. Apakah dari mama?" tanya Zanna sudah tidak sabar. Dugaannya kedatangan Lidya pasti berkaitan dengan Leta. Darahnya berdesir dengan kekhawatiran yang tinggi."Ya, tentang mamamu. Sudah satu minggu di rawat di rumah sakit. Awalnya jatuh, ternyata kena serangan stroke. Kami, tante dan beberapa teman, telah berusaha untuk membiayai pengobatan, tapi saat ini, kami menyerah. Tante gak mau bikin kamu bingung, tapi sebagai putrinya, kamu berhak tahu keadaan mamamu. Karena kamu tidak bisa dihubungi melalui telepon, maka tante kesini menemuimu," papar Lidya panjang lebar.Pandangan Zanna berkunang-kunang, ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak pingsan di tempat. Penyesalan yang dalam seakan menghantamnya dengan sangat keras. Sejak pertama mene
Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol
Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak
Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya
"Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.