Sesampainya di rumah, Zanna terbiasa langsung meneguk air putih yang telah tersedia di meja, setelah melepaskan sepatunya di depan pintu masuk.
Leta Letisia menghampiri meja makan, di tangannya ada sepiring nasi serta dua potong tempe goreng. Ia meletakkan piring nasi itu di depan Zanna.
“Makanlah.” Leta menyuruh Zanna tanpa melihat ke arahnya.
“Tidak ada sambal ya?” tanya Zanna yang sudah merasa lapar.
“Mama sudah taburi garam, cepat makan saja. Mama sudah harus ke warung Bu Tomo," sahut Leta sambil berlalu.
“Eh, Ma ....“ Zanna menghentikan langkah Leta. Lalu ia mengeluarkan laporan sementara dari sekolahnya, menyodorkannya kepada Leta.
“Apa ini? Tagihan lagi? Mama kan sudah bilang belum bisa bayar sekarang,” sahut Leta, mengambil kertas laporannya dengan gerak malas.
Leta membaca laporan sementara itu, predikat murid teladan bagi putrinya terpampang di sana. Wajahnya tanpa ekspresi. Zanna merasa heran dengan sikap ibunya.
“Mama kok seperti tidak senang untuk Zanna? Mama ngerti kan ini artinya apa? Zanna bisa kuliah di Perguruan Tinggi Negeri tanpa biaya sepeser pun, Zanna menerima beasiswa penuh Ma ...," ucap putri Leta panjang lebar.
“Mama senang kamu bisa lanjut sekolah, sangat senang kamu dapat beasiswa. Mama cuma bingung, Universitas ini jauh, bagaimana caranya kamu ke sana? Mama tidak bisa memberimu ongkos," tutur Leta dengan rona sedih di wajahnya.
“Jadi, mama nyerah hanya karena tidak mampu ongkosin Zanna?” Tatapan Zanna tidak percaya mendengar ibunya mempermasalahkan ongkos.
Leta tidak menjawab, ia mengembalikan laporan ke tangan putrinya dan pergi begitu saja meninggalkan Zanna yang merasa kecewa dengan sikap yang diterimanya dari Leta. Tanpa sadar ia menitikkan air mata.
Gadis itu hanya membutuhkan satu pelukan saja dari Leta atas usahanya yang telah berhasil mengalahkan ratusan siswa di sekolah. Hanya ingin melihat sang ibu tersenyum dan bangga melihat nilai-nilai Zanna yang sempurna.
Ia menundukkan wajahnya, melangkah kembali ke meja makan, menghempaskan diri pada kursi seraya meletakkan berkas laporan di sampingnya. Dengan linangan air mata, ia menyendok nasi sedikit lalu menyuapkannya ke dalam mulut, mulai mengunyah tanpa selera.
Meskipun rasa lapar itu telah hilang, Zanna harus tetap menghabiskan nasinya, kalau tidak ingin mendengar omelan Leta yang panjang kali lebarnya sudah tidak mungkin bisa dihitung lagi.
“Eh, makan kok sambil menangis? Kamu sudah sebesar ini masih saja cengeng!” seru seseorang bersuara berat yang tiba-tiba muncul.
Bagas Zo yang dalam setahun terakhir sudah beberapa kali datang menemui Zanna di luar, siang itu telah berani menginjakkan kakinya di rumah, bahkan tanpa mengetuk pintu.
Gadis itu mendengus kesal, tanpa mau menoleh kepada lelaki itu, tatapan Zanna jatuh pada nasi dan tempe yang masih utuh di depannya.
“Papa dengar apa yang kamu bicarakan tadi. Kamu tinggal di kos papa saja dekat kampus, bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi, jangan sampai ketahuan istri papa.” Bagas Jo menghampiri sang Putri yang tidak menengok sama sekali kearahnya, karena dianggap orang asing yang tidak tahu diri oleh Zanna.
Bagas Zo menarik dompet dari saku celana kain yang melekat pada kaki gemuknya, lalu mengeluarkan lembaran seratus ribu sebanyak lima lembar dan menaruh uang itu di meja.
“Ini, gunakan untuk ongkos urus pendaftaran dan beli buku," ujar Bagas menyeringai.
Zanna tidak bergeming, dia tetap melakukan ritual makannya dengan tatapan kosong seperti robot.
Bagas yang langkahnya sudah hampir mencapai pintu, berbalik dan menatap Zanna, “Papa bangga kok sama kamu. Kamu anak cerdas tidak seperti anak-anak papa yang lain. Kamu juga sangat cantik.” Bagas mengucapkan kalimatnya dengan sungguh-sungguh.
Sejurus kemudian dia sudah menghilang, pergi dengan cepat meninggalkan rumah itu. Zanna mendengus kesal. Bagaimana bisa memuji seseorang dengan menjatuhkan orang lain? Ia sangat tidak suka dengan sikap seperti itu.
Zanna melirik uang yang diletakkan Bagas Zo di meja. Dengan cepat ia menyambar uang itu, lalu memasukkannya ke dalam kantung tas sekolah. Uang sebanyak itu, yang belum pernah ia lihat sebelumnya, membuat tangan Zanna bergetar.
Kemudian, ia mengganti baju seragamnya dengan daster katun lusuh milik Leta. Ia duduk di depan jendela kamar, tampak olehnya Bapak Parjo yang sedang menyapu halaman sekolah, Pak Parjo itulah yang telah menolong mereka hingga bisa tinggal di sini.
Pikiran Zanna melayang ke masa lalu. Saat itu, setelah ibunya pulang dari rumah sakit yang hanya merawat luka-lukanya saja, kondisi Leta ternyata jauh lebih buruk.
Leta Letisia yang cantik dan menawan, harus menerima kenyataan matanya sebelah kiri menjadi buta, tangannya sebelah kiri lemah dan terus semakin melemah hingga sulit untuk digunakan lagi. Pasca penganiayaan yang dilakukan oleh ayahnya.
Leta terkena hantaman ujung tongkat tepat pada mata kirinya! Saat Leta melindungi putrinya, Zanna yang sedang di incar oleh Bagas. Ia tidak bisa membayangkan andai tongkat itu mengenai dirinya yang masih sangat kecil itu.
Zanna bergidik, saat Bagas Zo menyeret tubuh kecilnya melalui pintu keluar lalu melemparkannya ke teras rumah hingga tubuh gempal putrinya menabrak dinding teras.
Zanna menangis kuat-kuat karena terkejut dan kesakitan. Saat itulah ayahnya mengusir mereka keluar dari rumah itu.
Gadis kecil dengan linangan air mata, harus pasrah berjalan kaki mengikuti langkah Leta, karena ibunya tidak sanggup menggendong Zanna. Tangan kanannya menenteng tas yang hanya berisi sedikit baju mereka.
Zanna yang masih belum mengerti apa-apa, terus menangis dengan egois, seakan rasa sakit itu hanya menimpanya seorang diri.
Leta belum mendapatkan upah dari pekerjaannya mengajar sebagai guru honorer di sebuah sekolah dasar, ia tidak bisa menyewa tempat untuk tinggal, bahkan jika mereka lapar pun, terpaksa harus menahannya.
Akhirnya malam itu, Leta membawa Zanna tidur di emperan toko. Kebetulan di tempat sampah depan toko, ada tumpukan koran yang bertali, Leta mengambilnya dan membukanya lalu menyusun kertas koran itu untuk menjadi alas tidur putrinya.
Dia membongkar tas, mengeluarkan dua buah daster lebar untuk menyelimuti putri dan dirinya. Sementara tas itu dijadikan bantal oleh Zanna.
Paginya, Leta membawa Zanna ke Sekolah tempat ia bekerja. Mereka menumpang mandi di rumah yang sekarang ini ditempati oleh mereka, rumah ini adalah rumah milik Sekolah, yang difungsikan untuk mondok penjaga sekolah.
Pak Parjo merasa iba dan prihatin kepada Leta dan putrinya, dia berinisiatif menghadap kepala sekolah untuk meminta ijin agar Ibu Guru Leta diperbolehkan tinggal di tempatnya, sementara Pak Parjo pindah ke sebelah musala yang ada dua kamar kecil-kecil berjejer di sana.
Kepala sekolah mendengar permasalahan yang dihadapi oleh Leta, beliau tidak tega atas peristiwa yang terjadi kepada ibu dan anak itu lalu memutuskan bahwa Leta diijinkan tinggal di rumah itu selama berstatus sebagai tenaga pengajar di sana.
Zanna menarik napas, hampir dua belas tahun mereka tinggal di sana, Leta masih saja menjadi guru honorer, tidak ada pengangkatan. Kenaikan gaji pun karena adanya kenaikan inflasi, sehingga tidak bisa dirasakan manfaat kelebihannya.
Sudah berapa kali penggantian kepala sekolah itu Zanna tidak ingat lagi, yang jelas mereka masih tetap berada di sana. Setelah pulang mengajar, dengan keterbatasan Leta, masih harus bekerja di toko Ibu Tomo sebagai kasir sampai jam sembilan malam.
Wajah cantik itu terlihat bingung sebab, meskipun gaji ibunya dari dua tempat, tetap saja kehidupan mereka morat-marit. Tetap saja dia makan hanya dengan satu jenis lauk di atas nasinya. Tahu, tempe, kerupuk diremas campur kecap, tumis kangkung, sayur bayam, sesekali hanya nasi tabur garam, kecap atau terasi. Terus seperti itu berulang-ulang selama bertahun-tahun.
Zanna merasa kesepian, melewati hari-harinya nyaris tanpa kehadiran Leta. Saat sang Ibu pulang biasanya Zanna sudah tidur lelap. Saat dirinya bangun subuh siap-siap untuk berangkat sekolah, ibunya masih tidur. Hari Sabtu minggu, Leta full bekerja di toko. Lagi-lagi Zanna harus sendirian di rumah, mengerjakan seluruh pekerjaan rumah yang memang tidak bisa dilakukan oleh ibunya.
Gadis cantik yang dekil itu mengangkat tubuhnya, menjauh dari jendela. Kini saatnya ia mengerjakan pekerjaan rumah, menyapu, mengepel, menyapu halaman, mencuci piring, mencuci baju, mandi, makan dan berakhir dengan rasa lelah lalu beranjak tidur.
◇◇◇
Di tempat lain, Bagas Zo melamun di halaman depan rumahnya yang cukup bagus. Dia merasa upaya-upaya untuk mendekati putrinya kurang maksimal. Gadis itu masih belum memberikan muka kepadanya.
Saat ini, Bagas Zo terancam bangkrut, dia harus mencari cara agar bisnis kecilnya bisa menghasilkan lagi.Tanpa sengaja dia melihat Zanna sedang berjalan bersama Leta. Dia sangat mengenali Leta terlebih cacat fisik akibat ulahnya dan memperhatikan sosok gadis di samping mantan istrinya dengan teliti, sampai ia yakin, bahwa gadis itu memang benar putrinya!
Sebelas tahun tidak pernah menemui bahkan melihatnya, kini putri kandungnya telah tumbuh menjadi seorang wanita, sangat cantik dan seksi. Hanya butuh sedikit dipoles dengan pakaian bagus serta merapikan rambut a'la salon, maka sang Putri akan membuat semua lelaki menoleh padanya.
Bagas Zo tidak pernah mengira bahwa hasil dari perkawinannya dengan Leta Letisia yang keras kepala adalah kehadiran Zanna Zo yang ternyata begitu memukau. Baginya kecantikan seorang wanita adalah Aset. Ide gila melintas di kepalanya saat itu.
Dia akan menjodohkan putrinya dengan seorang pria kaya kenalannya yang sedang melajang untuk kedua kalinya dan kebetulan sedang mencari istri. Dia akan mengajukan kesepakatan. Putrinya sangat cantik tentu ada harga tinggi yang bisa dimainkan.
Pilihan kedua adalah menjual putrinya kepada salah seorang kolega bisnis, ini berarti dia hanya bisa mengambil keuntungan satu kali saja saat transaksi, setelah itu ia tidak punya hak lagi atas diri putrinya. Lain hal jika dikawinkan, dia bisa meraup untung selamanya sepanjang perkawinan itu berjalan.
Dengan begitu, bisnisnya akan terus berdiri bahkan mungkin akan menjadi besar. Diam-diam dia menemui putrinya saat mantan istri, Leta, sedang bekerja di tempat lain. Hanya saja, gadis itu melihatnya seperti orang asing, bahkan tanpa ekspresi apa pun di wajahnya. Meskipun Zanna mengenali dirinya sebagai ayah.
Bagas Zo tidak akan pernah berhenti untuk memperalat putrinya sendiri demi uang. Sejak saat itu, dia bertekad tidak akan pernah meninggalkan Zanna lagi, apalagi membuangnya seperti dulu.
Saya ingatkan ya teman readers, Dongeng Zanna bisa dikategorikan bacaan berat meskipun minimal usia 16 tahun bisa baca. Harap bijak dalam memilih bacaan. Thanks All.
Hari tanpa sekolah adalah hari paling menyedihkan bagi Zanna. Dia merasa bosan dan muak atas hidupnya yang selalu kesepian. Dulu sewaktu masih kecil, Leta selalu ada di samping Zanna. Pelukan itu, kecupan itu adalah sarapan setiap paginya.Perlahan semuanya memudar, Leta bagaikan orang asing yang enggan mengulurkan tangannya. Bahkan berbicara dengan saling menatap mata pun, sudah tidak dilakukannya lagi.“Ada apa dengan orang-orang yang beranjak dewasa itu? Apakah karena kami tidak selucu waktu masih kecil? Tidak menggemaskan atau kenapa sih?” gumam Zanna dengan frustasi.Lamunannya buyar ketika suara Leta terdengar,“Zanna, kamu sudah tidak ada kelas hari ini?” tanya Leta dengan nada heran.“Sudah santai Ma, tinggal tunggu acara perpisahan. Mama kan harus datang, ada yang perlu mama tanda tangani,” sahut Zanna.“Kalau mama hadir, apa kamu gak malu? Apa kamu gak akan dit
Kedua Ibu dan anak itu terpekur, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kehadiran Bagas setelah sekian tahun berlalu, benar-benar mengagetkan Leta.Sudah jelas terbaca maksud dan tujuan Bagas terhadap putrinya, Zanna Zo. Hal itu sangat mengiris hati Leta di tengah ketidak berdayaannya."Mungkin, inilah saatnya kita harus membuka lembaran baru di tempat lain?" Leta bergumam lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri.Zanna mendengar jelas gumaman Leta, jarak mereka begitu dekat. "Ma, kalau kita pergi dari sini, akan percuma juga mama masih bekerja di sini. Jadi, kita bertahan dan bersama-sama menghadapi lelaki itu?" ujar Zanna penuh keraguan.Lidahnya begitu berat untuk menyebut 'Papa' kepada Bagas. Ia selalu menyebutnya dengan kata 'Lelaki itu'. Perasaan bencinya sudah sampai ke ubun-ubun dan tidak pernah terpikirkan untuk memaafkan Bagas Zo.
Leta membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Di sepanjang hidupnya, baru kali ini dirinya kedatangan polisi.Dua orang polisi berseragam menyapanya dengan ramah. Mereka menatap Leta dan menampilkan sorot terkejut sekaligus iba. Leta mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, menahan diri agar gemetar yang dirasakannya tidak terlihat oleh tamu berseragam itu. "Silakan masuk," ajak Leta dengan hormat.Keduanya memasuki rumah dan duduk di kursi usang, Leta ikut duduk dengan jantung masih berdebar, "Ada apa ya, Pak?" tanya Leta seraya berusaha menghilangkan rasa gugupnya."Mohon ma'af sebelumnya, Bu. Kami ketitipan warga seorang lelaki bernama Bagas Zo yang dituduh melakukan upaya pemerkosaan terhadap putri ibu," jawab salah seorang tamunya yang terlihat lebih tua dari rekannya.Leta masih bergeming untuk mendengarkan lebih lanjut
Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba.Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran.Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak."Huh, orgil lagi deh, gak di seko
Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis
"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Lelaki muda itu tersentak dari tidur panjangnya. Dalam kesadaran yang lemah, masih di antara mimpi dan kenyataan, pikirannya terpusat kepada seorang gadis yang semalam sangat berdekatan dengannya.Seketika kesadarannya pulih sempurna saat ingatannya menyambar bayangan kamar di paviliun. "Ah, Zanna! Pasti dia sudah bangun dan menungguku," serunya seraya melompat dari atas kasur dan melesat ke kamar mandi.Danish membasuh dirinya cepat-cepat seperti saat ia kesiangan sewaktu masih bersekolah. Bedanya, kali ini ia tidak harus mengenakan seragam, hanya memakai T-Shirt dan celana jeans lalu berlari menuju paviliunnya.Namun, ia tidak menemukan gadis itu di manapun. Ia hanya menemukan tas ransel dan tas jinjing yang dibawa Zanna dari rumahnya, tapi tas travel miliknya tidak ia temukan juga. Satpam mengaku tidak merasa membukakan pintu untuk tamu wanita anak tuannya itu.Perasaan Danish sedikit khawatir
Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.
Gadis itu tersentak, tubuhnya mendadak kaku. Kini matanya membelalak dan seketika wajah cantiknya pucat pasi. Orang yang sedang memandangi kegiatan mereka, terus menatap tidak peduli kalau dirinya telah diketahui, seperti sengaja ingin mereka tahu bahwa apa yang dilakukan adalah hal menjijikkan.Zanna membuang muka ke samping dengan napas memburu dan jantung yang bertalu-talu. Rasa terkejutnya sangat kuat. Sementara, Marcel menoleh dengan cepat mengikuti arah mata kekasih wanitanya. Ia pun terkejut tapi keterkejutannya menghasilkan kemarahan. Marcel turun dari mobil dan meraih kerah kemeja lelaki yang memergoki mereka."Siapa kamu? Hah?!" teriak Marcel sambil mendorong lelaki itu ke belakang.Seorang lelaki muda seusia mereka, sangat tampan dan penampilannya jelas terlihat bukan dari kalangan biasa. Lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Marcel yang menyala-nyala oleh kobaran amarah. Tapi ia bergeming.Perlahan, kedua tangannya m
Melihat kondisi Leta yang sudah membaik dan boleh pulang setelah hasil labolatorium terakhir keluar, Zanna mencoba bicara pada ibunya mengenai keinginannya membawa Leta ke Jakarta."Ma, Za akan mengontrak rumah kecil, Mama bisa buka warung atau terserah mau jualan apa, yang penting Mama ikut Zanna ya? Di sini gak enak kan Mama sendirian kalau ada apa-apa yang repot orang lain, Ma ...," tutur Zanna."Dari mana kamu dapat uang untuk kontrak rumah?" tanya Leta bingung. Setahunya rumah-rumah di kota besar itu mahal-mahal."Za kan kerja, Ma. Bisa juga pinjam ke tempat kerja potong gaji. Mama gak usah pusing mikirin hal itu, Ma." Gadis muda tersebut berusaha meyakinkan ibunya.Leta terdiam beberapa saat, ia memang terlalu banyak merepotkan orang. Satu-satunya keluarga hanya Zanna, putrinya. "Baiklah, mama ikut kamu," sahut Leta yang membuat Zanna merasa lega.Keesokan harinya, Marcelia yang mengantar Leta ke rumah pak RT di mana L
Perjalanan naik pesawat adalah perjalanan yang pertama kalinya baik Zanna ataupun Lidya. Perasaan takut ketinggian menyergap keduanya. Lidya mampu menguasai diri hingga ketakutan itu tidak terlalu tampak, lain dengan Zanna yang masih polos itu. Namun, justru penglihatan satu-satunya wanita dewasa itu semakin jelas bahwa ada sesuatu antara kedua anak gadis tersebut.Adalah sikap Marcel kepada Zanna jelas terlihat seperti orang pada umumnya yang sedang mengalami kasmaran. Hati kecilnya meyakini hal itu. Selama dalam perjalanan, pengawasannya tidak pernah terlewat sedikitpun. Hatinya begitu miris memikirkan masa depan gadis putri dari salah satu sahabatnya itu."A-aku takut ...." Berulang kali Zanna mengatakannya. "Ssstt ... tenang saja, Hon." Marcel selalu memeluk gadis itu setiap kali ia merasa ketakutan."Minum ya." Marcel mengangsurkan botol minuman kepada Zanna seraya satu tangan mengelus-ngelus paha yang terbalut celana jeans."
Zanna mengajak Lidya ke area taman hidroponik di belakang fakultas hukum. Taman yang instagramable itu terasa sejuk. Ia menempati tempat duduk dari besi yang mengarah ke arah tanaman hijau itu."Ada kabar apa, Tante. Apakah dari mama?" tanya Zanna sudah tidak sabar. Dugaannya kedatangan Lidya pasti berkaitan dengan Leta. Darahnya berdesir dengan kekhawatiran yang tinggi."Ya, tentang mamamu. Sudah satu minggu di rawat di rumah sakit. Awalnya jatuh, ternyata kena serangan stroke. Kami, tante dan beberapa teman, telah berusaha untuk membiayai pengobatan, tapi saat ini, kami menyerah. Tante gak mau bikin kamu bingung, tapi sebagai putrinya, kamu berhak tahu keadaan mamamu. Karena kamu tidak bisa dihubungi melalui telepon, maka tante kesini menemuimu," papar Lidya panjang lebar.Pandangan Zanna berkunang-kunang, ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak pingsan di tempat. Penyesalan yang dalam seakan menghantamnya dengan sangat keras. Sejak pertama mene
Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol
Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak
Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya
"Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.