2 Tahun Sebelumnya.
Hari ini adalah hari di mana Zanna Zovanka melihat papan pengumuman kelulusan di halaman sekolahnya.
Berjejer papan tulis yang biasa berada di dalam kelas, beralih fungsi menjadi papan pengumuman di halaman tengah sekolah.
Tidak sulit mencari nama Zanna Zovanka, karena namanya terletak di tiga nama paling atas yang tidak tergabung dalam kelompok daftar nama siswa-siswi lainnya.
Predikat murid teladan disandangnya, karena dia berhasil menyabet nilai tertinggi dari delapan kelas pada angkatan tahun itu di Sekolah Menengah Atas.
Karenanya, Zanna Zovanka berhak atas Beasiswa penuh di Perguruan Tinggi ternama tanpa melalui tahapan tes ujian masuk. Dia hanya perlu mendaftar dengan membawa persyaratan Administrasi berupa data diri dan bukti sebagai siswa dari sekolah sebelumnya.
Gadis cantik pendiam dan tidak bergaul itu, dikenal sebagai murid yang aneh di mata teman-temannya. Selain pendiam juga ia berpenampilan lusuh dan selalu menundukkan wajah. Terkesan kampungan, hingga tidak ada satu orang pun yang ingin berteman dengannya. Kecuali teman sebangkunya, Danish.
Danish yang cuek, merasa tidak pernah terganggu akan sikap diamnya Zanna, justru ia merasa kagum akan kepintaran dan kecerdasan Zanna yang mampu melahap seluruh pelajaran tanpa kesulitan sama sekali.
Zanna seakan tidak pernah berpikir untuk memecahkan soal-soal sesulit apa pun, dia mengerjakan semuanya dengan santai dan super cepat serta hasilnya selalu membuat teman-teman sekelasnya melongo sekaligus iri. Di seluruh mata pelajaran yang dipelajari oleh Zanna, nilainya sempurna.
Terlebih, di mata Danish, di balik kelusuhan dan noraknya penampilan Zanna, kecantikan yang terpahat di wajah gadis itu, benar-benar kecantikan alami yang tidak bisa dibandingkan dengan gadis mana pun di sekolah ini.
Paras Zanna Zovanka memang sangat cantik. Sebenarnya semua orang mengakui kecantikannya, hanya sayang, tidak ada orang yang berani berteman dengan Zanna. Mereka seakan jijik karena Zanna hanya anak yang sengaja dibuang oleh Ayahnya, sangat miskin, dekil dan memalukan.
Danish, pria jangkung dan tampan mirip artis sinetron itu, berdiri mematung melihat Zanna yang sedang membaca pengumuman dengan serius.
Ada perasaan tidak enak dalam hatinya, mengingat hari-hari selanjutnya, ia tidak akan bisa melihat gadis cantik yang pendiam, tapi telah memikat hatinya selama dua tahun ke belakang.
Perlahan Danish menyeret kakinya untuk melangkah menghampiri Zanna dengan jantung yang berdebar dua kali lipat dari biasanya. Ia berdiri tepat di samping Zanna sambil menatap tulisan pada white board, tiga nama teratas dan satu nama tampak begitu indah di mata Danish.
Zanna Zovanka III E
Tanpa disadarinya, mulut Danish bergumam, "Zanna Zovanka, nama yang selalu terukir indah di dalam hatiku, membingkai kecantikan dirinya luar dalam."
Mendengar hal itu, Zanna menoleh ke sampingnya, jarak mereka begitu dekat. Kening gadis itu mengernyit, tidak mengerti kenapa Danish menggunakan namanya untuk melantunkan sebuah puisi yang norak.
"Apaan sih ...," tegur Zanna dengan mimik wajah tidak suka.
"Hehe, ma'af ... selamat ya, aku sudah menduga kamu bakalan lolos menjadi murid teladan dan pantas mendapatkan beasiswa penuh, boleh gak kalau aku ingin merayakannya?" tanya Danish, posisinya kini telah berhadapan dengan Zanna.
Gadis cantik itu menatap Danish, dari raut wajahnya terbaca bahwa ia merasa heran atas sikap Danish yang mendadak ramah juga perhatian. Selama duduk bersebelahan dalam satu tahun ini, Danish adalah lelaki masa bodoh dan dingin. Tidak pernah ada obrolan apapun di antara mereka.
Zanna membalikkan tubuhnya dan berlalu dari hadapan Danish tanpa mengucapkan satu kata pun.
Tiba-tiba Danish merasa panik dan refleks mengejar Zanna lalu menjejeri langkahnya, "Zanna, ma'af kalau kata-kataku ada yang salah, please, ma'afin aku." Danish memohon kepadanya.
"Tidak ada yang perlu dima'afkan, eeh ... Danish 'kan?" tanya Zanna ragu-ragu, tanpa menghentikan langkahnya.
Sesaat hati Danish mencelos, perasaannya tidak terima kalau Zanna lupa akan namanya. "Kamu lupa namaku? Setelah satu tahun kita duduk bareng setiap hari? Ah, jangankan tahu perasaanku, namaku saja bisa lupa," keluh Danish tampak merana.
Tiba-tiba Zanna menghentikan langkahnya, membuat Danish yang terlanjur mengangkat kaki untuk melangkah, harus mengerem diri seketika. Tubuhnya agak limbung sedikit dan merasa kaget.
"Perasaan? Perasaan apa? Ingin membully? Menghinaku? Mengata-ngatai ibuku? Itu tidak perlu, jangan buang waktumu yang berharga untuk melakukan semua itu, sebab keadaanku memang seperti ini. Semuanya tidak akan membuatku berubah, justru kamu yang rugi karena memelihara hati yang busuk," tuduh Zanna panjang lebar.
Danish melongo mendengar perkataan Zanna yang sangat jahat pada dirinya. Tapi, entah kenapa ia tidak peduli atas tuduhan gadis di hadapannya itu. Ia hanya merasa frustasi karena kesulitan masuk untuk bisa berbicara dengan santai layaknya seorang teman.
"Terserah kamu mau ngomong apa, yang jelas, tidak pernah terpikirkan olehku untuk mengina atau membully satu-satunya cewek yang aku suka," ucap Danis dengan santai.
Zanna memalingkan wajahnya dengan sebal. Bagaimana pun ia tidak percaya ada orang yang menyukainya kecuali berpura-pura dengan tujuan tertentu yang pada akhirnya hanya untuk menyakiti perasaan saja.
Kembali Zanna berbalik dan melenggang meninggalkan Danish. Lagi-lagi Danish menyusulnya. Tidak akan semudah itu menghindari seorang Danish. Ia kembali menjejeri langkah Zanna, untuk beberapa saat, keduanya sama-sama terdiam.
Namun, Zanna yang akhirnya merasa tidak tahan. Dia ingin segera pulang ke rumah dan tidak mungkin membiarkan Danish terus melangkah di sampingnya, "Bisakah kita pulang ke rumah masing-masing?" tanya Zanna dengan tatapan memohon.
"Ya, aku juga mau pulang, sayangnya ... aku akan berbelok setelah menemukan rumahmu." jawab Danish dengan santai.
"Danish! Untuk apa kamu ingin tahu rumahku?" tanya Zanna setengah menghardik, mulai terpancing emosi.
Danish tergugu di tempatnya, satu sisi ia masih ingin berlama-lama bersama Zanna, sisi lain, ia juga tidak tega telah membuat gadis itu merasa tidak nyaman olehnya, "Ok, ma'afkan aku udah bikin kamu merasa tidak nyaman."
Tangan Danish meraih tangan Zanna, lalu dia berlutut di hadapannya, membuat sang Gadis terbelalak kebingungan, mulutnya terbuka. Sadar akan hal itu, ia menutup mulutnya dengan satu tangan yang bebas.
"Aku tidak tahu alasan apa yang membuatmu membenciku, tapi tolong ingat satu hal, aku akan terus mengejarmu, sampai kapanpun. Entah bagaimana caranya. Permisi," ucap Danish dengan tatapan sendu.
Danish berdiri kembali lalu membalikkan badannya dan berlalu dari hadapan Zanna yang masih berdiri terpaku, merasa terkejut sekaligus heran. Ia berusaha mencerna semua perkataan dan sikap Danish kepadanya yang sangat tidak biasa itu.
"Tuh anak, kesamber apa sih? Apa salah makan ya?" batin Zanna sekaligus merasa prihatin kepada Danish.
Siang itu Zanna Zovanka berjalan kaki dengan langkah ringan. Dia memiliki kabar baik untuk ibunya dan berharap bisa melihat rona bahagia juga bangga dari wajah lelah Leta Letisia untuknya.
Perjalanan dari tempat tinggal Zanna ke sekolahnya berjarak tiga kilo meter, ia menempuhnya dengan berjalan kaki pulang dan pergi. Sang ibu tidak sanggup memberinya ongkos untuk menumpang kendaraan umum, sekalipun dengan harga pelajar.
Namun bagi Zanna, hal itu sama sekali bukan masalah, justru dia menyukai menempuh perjalanan dengan berjalan kaki, selain membuat dirinya lebih sehat juga ia punya waktu banyak untuk berpikir dan berkomunikasi dengan diri sendiri.
Tiba-tiba, Zanna teringat kembali kalimat terakhir dari mulut Danish. Pertama, lelaki jangkung itu menuduh ia membencinya, kedua, Danish akan mengejar Zanna sampai kapanpun.
"Kalimat yang sangat aneh ... mana ada orang bisa nenyukaiku? Yang ada mereka justru merasa jijik padaku. Wah, sakit juga si Danish." Zanna bersungut-sungut di dalam hatinya.
◇◇◇Halo, Readers, sebelumnya mohon maaf jika ada kesalahan typo dll yang membuat tidak nyaman, saya akan memperbaiki untuk kedepannya. Semoga suka dan terhibur dengan 'Perjalanan hidup Zanna' yang dikemas dalam bentuk dongeng. MOHON REVIEW POSITIF YANG TIDAK MENJATUHKAN, KRISAR YANG MEMBANGUN SECARA SANTUN. TERIMA KASIH ALL ....
Sesampainya di rumah, Zanna terbiasa langsung meneguk air putih yang telah tersedia di meja, setelah melepaskan sepatunya di depan pintu masuk.Leta Letisia menghampiri meja makan, di tangannya ada sepiring nasi serta dua potong tempe goreng. Ia meletakkan piring nasi itu di depan Zanna.“Makanlah.” Leta menyuruh Zanna tanpa melihat ke arahnya.“Tidak ada sambal ya?” tanya Zanna yang sudah merasa lapar.“Mama sudah taburi garam, cepat makan saja. Mama sudah harus ke warung Bu Tomo," sahut Leta sambil berlalu.“Eh, Ma ....“ Zanna menghentikan langkah Leta. Lalu ia mengeluarkan laporan sementara dari sekolahnya, menyodorkannya kepada Leta.“Apa ini? Tagihan lagi? Mama kan sudah bilang belum bisa bayar sekarang,” sahut Leta, mengambil kertas laporannya dengan gerak malas.Leta membaca laporan sementara itu, predikat mur
Hari tanpa sekolah adalah hari paling menyedihkan bagi Zanna. Dia merasa bosan dan muak atas hidupnya yang selalu kesepian. Dulu sewaktu masih kecil, Leta selalu ada di samping Zanna. Pelukan itu, kecupan itu adalah sarapan setiap paginya.Perlahan semuanya memudar, Leta bagaikan orang asing yang enggan mengulurkan tangannya. Bahkan berbicara dengan saling menatap mata pun, sudah tidak dilakukannya lagi.“Ada apa dengan orang-orang yang beranjak dewasa itu? Apakah karena kami tidak selucu waktu masih kecil? Tidak menggemaskan atau kenapa sih?” gumam Zanna dengan frustasi.Lamunannya buyar ketika suara Leta terdengar,“Zanna, kamu sudah tidak ada kelas hari ini?” tanya Leta dengan nada heran.“Sudah santai Ma, tinggal tunggu acara perpisahan. Mama kan harus datang, ada yang perlu mama tanda tangani,” sahut Zanna.“Kalau mama hadir, apa kamu gak malu? Apa kamu gak akan dit
Kedua Ibu dan anak itu terpekur, tenggelam dalam pikirannya masing-masing. Kehadiran Bagas setelah sekian tahun berlalu, benar-benar mengagetkan Leta.Sudah jelas terbaca maksud dan tujuan Bagas terhadap putrinya, Zanna Zo. Hal itu sangat mengiris hati Leta di tengah ketidak berdayaannya."Mungkin, inilah saatnya kita harus membuka lembaran baru di tempat lain?" Leta bergumam lirih, seolah berkata pada dirinya sendiri.Zanna mendengar jelas gumaman Leta, jarak mereka begitu dekat. "Ma, kalau kita pergi dari sini, akan percuma juga mama masih bekerja di sini. Jadi, kita bertahan dan bersama-sama menghadapi lelaki itu?" ujar Zanna penuh keraguan.Lidahnya begitu berat untuk menyebut 'Papa' kepada Bagas. Ia selalu menyebutnya dengan kata 'Lelaki itu'. Perasaan bencinya sudah sampai ke ubun-ubun dan tidak pernah terpikirkan untuk memaafkan Bagas Zo.
Leta membuka pintu dengan jantung berdebar-debar. Di sepanjang hidupnya, baru kali ini dirinya kedatangan polisi.Dua orang polisi berseragam menyapanya dengan ramah. Mereka menatap Leta dan menampilkan sorot terkejut sekaligus iba. Leta mempersilakan kedua tamunya untuk masuk, menahan diri agar gemetar yang dirasakannya tidak terlihat oleh tamu berseragam itu. "Silakan masuk," ajak Leta dengan hormat.Keduanya memasuki rumah dan duduk di kursi usang, Leta ikut duduk dengan jantung masih berdebar, "Ada apa ya, Pak?" tanya Leta seraya berusaha menghilangkan rasa gugupnya."Mohon ma'af sebelumnya, Bu. Kami ketitipan warga seorang lelaki bernama Bagas Zo yang dituduh melakukan upaya pemerkosaan terhadap putri ibu," jawab salah seorang tamunya yang terlihat lebih tua dari rekannya.Leta masih bergeming untuk mendengarkan lebih lanjut
Zanna berjalan kaki menempuh jarak sepanjang lima kilo meter, dengan beban berat yang berada pada tas ranselnya. Setelah sampai di jalan raya, ia menunggu angkutan nomor nol dua sesuai arahan Leta, hanya saja, angkutan kota yang ditunggunya tidak kunjung tiba.Dalam kebingungan, Zanna celingukan, matanya nanar melihat apapun yang berada di kiri dan kanannya, menyapu bersih semua hal dengan rakus, pengalaman yang jarang ditemukannya. Ia menuju tempat antrian yang biasa dipakai oleh para pengguna angkutan umum, mencari tempat duduk karena kakinya terasa pegal telah berdiri lama di pinggir jalan.Samar-samar Zanna mendengar suara orang menegurnya. Suara yang sangat ia kenal dan mendadak membuatnya merasa kesal. "Zanna? Mau kemana kamu?" pertanyaan orang tersebut mengandung rasa heran.Zanna tidak ingin mempedulikannya, jangankan menoleh ke asal suara, bahkan sekedar melirik pun, tidak."Huh, orgil lagi deh, gak di seko
Danish mengirimkan pesan kepada pemilik warung soto,"Bro, gue datang ma temen nih, kasih tagihan dua puluh ribu ya, sisanya ntar gue bayar di belakang temen gue."Mereka telah duduk di dalam warung soto yang cukup ramai. Zanna tampak tidak nyaman melihat banyak orang dengan penampilan rapi tidak seperti dirinya yang lusuh memakai kaus belel. Ia merasa tidak pantas berada di situ, tapi tidak berani mengatakannya pada Danish.Zanna terus menundukkan wajahnya, Danish merasa iba melihat gadis yang sangat cerdas itu. Desas-desus di sekolah yang pernah didengarnya adalah kondisi Zanna yang tinggal di rumah sekolahan dengan ibunya yang cacat dan sangat miskin.Danish cukup terkejut dengan label kemiskinan yang tersemat pada Zanna, tidak membuat gadis itu menanggalkan harga dirinya, bahkan dia menolak untuk ditraktir makan olehnya.Demi menjaga harga diri Zanna dan menghormati prinsip hidupnya, Danis
"Zanna, Ibumu ada?" tanya Pak RT kepada Zanna sambil melongok ke dalam rumah. Matanya bersirobok dengan Danish yang langsung berdiri dan menganggukkan kepala."Iya, ada apa, Pak?" tanya Leta yang tiba-tiba saja telah berada di belakang Zanna, menampilkan sorot mata ingin tahu."Bu, Bagas Zo, keluar dari kantor polisi, sepertinya bukan orang sembarangan ya, soalnya dijemput aparat juga," papar Pak RT bersuara pelan, di wajahnya tersirat ada kekhawatiran.Zanna dan Leta seketika pucat pasi, mereka saling pandang dan tampak jelas sekali kalau Leta ketakutan hingga membuat badannya gemetar, Zanna menggandeng Leta dan mendudukkannya di kursi."Tenang, Maa ...," bisik Zanna di telinga Leta.Pak RT mengkhawatirkan kondisi Leta, salah satu warga berbisik-bisik kepada Pak RT, lalu ke-empatnya berunding di teras. Tidak lama kemudian, Pak RT kembali masuk ke ruang tamu, dia berjongkok di depan Leta
Keputusan telah diambil, Zanna akan memasuki kuliah di kota Jakarta. Setidaknya, kota itu berjarak tempuh sekitar delapan jam perjalanan menggunakan bis. Tempat yang cukup jauh dari kediaman Bagas Zo. Ia berharap tidak akan ditemukan oleh ayahnya yang jelas-jelas telah melakukan kesepakatan dengan seseorang untuk menculik dan menjual dirinya.Mengingat akan hal itu, membuat Zanna merinding. Kebencian terhadap Bagas semakin tebal dan kokoh. Bahkan ia menjerit dalam hatinya saat menanyakan permasalahan itu kepada Tuhan, apa maksud di balik semua ini? Lambat laun, kebencian yang ia pupuk kepada ayahnya, telah merubah sudut pandang gadis itu bahwa semua lelaki hampir bisa dipastikan memiliki sifat primitif seperti Bagas Zo.Gadis cantik berpenampilan lusuh itu bergerak-gerak gelisah di tempat duduknya yang sempit. Ia berada di dalam sebuah bis ekonomi yang panas dan tercium aroma apek, sebagai salah satu penumpang yang akan turun di terminal
Dalam keadaan kebingungan, Marcel berpikir keras. Ia menoleh ke arah lemari pakaian yang besar. "Lo, masuk sana dan jangan bersuara, jangan keluar sebelum gua suruh, ok?!" titah Marcel dengan sungguh-sungguh.Gadis mungil itu hendak membantah, hatinya tidak terima diperlakukan demikian, tapi, mengingat bayaran yang akan diterimanya pasti lebih besar dari biasa, dengan berat hati, ia pun beranjak dari atas kasur dalam keadaan telanjang bulat.Setelah melihat Grace masuk ke dalam lemari pakaian, Marcel melihat ke sekeliling. Ia mulai memunguti pakaian mereka berdua yang berceceran sampai ruang tamu. Kemudian, tanpa menghiraukan panggilan dan gedoran pintu, Marcel memasukkan pakaian mereka ke dalam lemari sambil meraih baju tidur piyama dan segera memakainya dalam langkahnya menuju pintu utama.
Gadis itu tersentak, tubuhnya mendadak kaku. Kini matanya membelalak dan seketika wajah cantiknya pucat pasi. Orang yang sedang memandangi kegiatan mereka, terus menatap tidak peduli kalau dirinya telah diketahui, seperti sengaja ingin mereka tahu bahwa apa yang dilakukan adalah hal menjijikkan.Zanna membuang muka ke samping dengan napas memburu dan jantung yang bertalu-talu. Rasa terkejutnya sangat kuat. Sementara, Marcel menoleh dengan cepat mengikuti arah mata kekasih wanitanya. Ia pun terkejut tapi keterkejutannya menghasilkan kemarahan. Marcel turun dari mobil dan meraih kerah kemeja lelaki yang memergoki mereka."Siapa kamu? Hah?!" teriak Marcel sambil mendorong lelaki itu ke belakang.Seorang lelaki muda seusia mereka, sangat tampan dan penampilannya jelas terlihat bukan dari kalangan biasa. Lelaki itu menatap lekat kedua bola mata Marcel yang menyala-nyala oleh kobaran amarah. Tapi ia bergeming.Perlahan, kedua tangannya m
Melihat kondisi Leta yang sudah membaik dan boleh pulang setelah hasil labolatorium terakhir keluar, Zanna mencoba bicara pada ibunya mengenai keinginannya membawa Leta ke Jakarta."Ma, Za akan mengontrak rumah kecil, Mama bisa buka warung atau terserah mau jualan apa, yang penting Mama ikut Zanna ya? Di sini gak enak kan Mama sendirian kalau ada apa-apa yang repot orang lain, Ma ...," tutur Zanna."Dari mana kamu dapat uang untuk kontrak rumah?" tanya Leta bingung. Setahunya rumah-rumah di kota besar itu mahal-mahal."Za kan kerja, Ma. Bisa juga pinjam ke tempat kerja potong gaji. Mama gak usah pusing mikirin hal itu, Ma." Gadis muda tersebut berusaha meyakinkan ibunya.Leta terdiam beberapa saat, ia memang terlalu banyak merepotkan orang. Satu-satunya keluarga hanya Zanna, putrinya. "Baiklah, mama ikut kamu," sahut Leta yang membuat Zanna merasa lega.Keesokan harinya, Marcelia yang mengantar Leta ke rumah pak RT di mana L
Perjalanan naik pesawat adalah perjalanan yang pertama kalinya baik Zanna ataupun Lidya. Perasaan takut ketinggian menyergap keduanya. Lidya mampu menguasai diri hingga ketakutan itu tidak terlalu tampak, lain dengan Zanna yang masih polos itu. Namun, justru penglihatan satu-satunya wanita dewasa itu semakin jelas bahwa ada sesuatu antara kedua anak gadis tersebut.Adalah sikap Marcel kepada Zanna jelas terlihat seperti orang pada umumnya yang sedang mengalami kasmaran. Hati kecilnya meyakini hal itu. Selama dalam perjalanan, pengawasannya tidak pernah terlewat sedikitpun. Hatinya begitu miris memikirkan masa depan gadis putri dari salah satu sahabatnya itu."A-aku takut ...." Berulang kali Zanna mengatakannya. "Ssstt ... tenang saja, Hon." Marcel selalu memeluk gadis itu setiap kali ia merasa ketakutan."Minum ya." Marcel mengangsurkan botol minuman kepada Zanna seraya satu tangan mengelus-ngelus paha yang terbalut celana jeans."
Zanna mengajak Lidya ke area taman hidroponik di belakang fakultas hukum. Taman yang instagramable itu terasa sejuk. Ia menempati tempat duduk dari besi yang mengarah ke arah tanaman hijau itu."Ada kabar apa, Tante. Apakah dari mama?" tanya Zanna sudah tidak sabar. Dugaannya kedatangan Lidya pasti berkaitan dengan Leta. Darahnya berdesir dengan kekhawatiran yang tinggi."Ya, tentang mamamu. Sudah satu minggu di rawat di rumah sakit. Awalnya jatuh, ternyata kena serangan stroke. Kami, tante dan beberapa teman, telah berusaha untuk membiayai pengobatan, tapi saat ini, kami menyerah. Tante gak mau bikin kamu bingung, tapi sebagai putrinya, kamu berhak tahu keadaan mamamu. Karena kamu tidak bisa dihubungi melalui telepon, maka tante kesini menemuimu," papar Lidya panjang lebar.Pandangan Zanna berkunang-kunang, ia berusaha menyadarkan dirinya agar tidak pingsan di tempat. Penyesalan yang dalam seakan menghantamnya dengan sangat keras. Sejak pertama mene
Di dalam mobil, menuju pulang ke Jakarta, Zanna dan Marcel terlihat ceria, mereka tertawa bersama saling melempar lelucon. Perasaan Zanna lebih baik dari sebelumnya, ada kelegaan dengan berpikir bahwa Danish pastinya tidak terlibat dengan Bagas. Dalam hati kecilnya ia berjanji tidak akan menghindari Danish jika mereka bertemu lagi, tapi ia akan meminta penjelasan dari lelaki itu, kenapa Bagas bisa bertandang ke rumahnya.Perasaan Marcel semakin lekat dan yakin bahwa ia telah jatuh hati kepada gadis cantik itu. Perlahan sikap protektifnya tumbuh dan kecemburuan dalam segala hal mulai timbul."Aku gak suka ya kamu dipelototin orang terus, rasanya ingin kujotos aja tuh mata mereka satu-satu," gerutu Marcel."Orang ya suka-suka merekalah. Lagian itu hak mereka mau dipake melototin apa tuh mata. Emangnya kamu terima jika ada orang yang mengkritik tatapan matamu?" tanya Zanna merasa heran terhadap Marcel."Masalahnya aku gak rela, Za. yang bol
Keesokan paginya, Zanna telah berpakaian siap untuk kembali ke Jakarta. Ia ingin segera pergi dari sana karena perasaannya tidak tenang, Tapi Marcel belum bangun. 'Tidur jam berapa sih, Dia?' batin Zanna tanpa keberanian untuk membangunkan gadis itu, sebab ia tidak tahu pasti jam tidurnya hingga takut kalau masa tidurnya belum tercukupi.Ia berinisiatif untuk ke dapur membantu Bibik menyiapkan sarapan pagi sekalian menurunkan tas travel yang berisi barang-barang pemberian Marcel untuknya."Pagi, Bik. Masak apa pagi ini?" Zanna melongokkan kepalanya ke dapur.Penjaga vila yang sedang menghadapi kompor panas itu menoleh. "Eh, Non. Nyenyak tidurnya semalam?" tanya Bibik dengan ramah."Lumayan, Bik. Makasih ... apa yang bisa kubantu, Bik?" tanya Zanna serius."Eh, jangan, Non. Gak boleh ada yang ke dapur, Nona tunggu di dalam saja, teh panas sudah ada di meja, Non." Bibik tampak ketakutan mèndengar tamu majikannya hendak
Gadis itu mengetuk pintu villa beberapa lama, tidak ada yang membukakan pintu. Ia berinisiatif untuk memutari vila menuju halaman belakang, mencari pintu masuk lain dan ia menemukan pintu yang setengah terbuka. Ia melongokkan kepalanya ke dalam sambil mengetuk pintu. Namun, tidak ada jawaban.Zanna memberanikan diri masuk ke dalam yang merupakan dapur kotor dari vila tersebut. Menoleh ke kiri dan kanan, masih tidak menemukan suami istri penjaga vila. Ia terus masuk ke dalam, melewati ruang makan dan ruang keluarga lalu menaiki tangga menuju kamar yang tadi ia tempati bersama Marcel.Untungnya, pintu tidak terkunci, tapi kamar itu telah bersih dan rapi. Zanna menatap ke sekeliling ruangan, mencari tas di mana ada dompet dan sedikit uang untuk dipakai sebagai ongkos kembali ke Jakarta. Namun, ia tidak menemukannya setelah mencari-cari di dalam lemari dan laci-laci.Merasa putus asa, ia terduduk di lantai dan menangis sambil memeluk kedua lututnya
"Dan? ... Danish?!" seru salah seorang pemuda tatkala melihat temannya berwajah murung dan melamun.Danish menoleh kepada kedua orang yang mengajaknya menghabiskan akhir pekan di puncak. Tak dinyana ia justru melihat Zanna, gadis pujaan hatinya yang menyimpan salah paham kepadanya.Mengingat ia yang kelabakan mencari gadis itu selama ini dan harus menderita karena kesalah pahaman, membuatnya merasa tidak sepadan jika tidak mencari Zanna dan menghampirinya.Lelaki tampan itu beranjak dari tempat duduknya. "Bentar ya, mau ke belakang." Danish segera berlalu dari hadapan kedua temannya itu. Matanya jelalatan mencari Zanna.Ia melihatnya, Gadis itu tengah tertawa lepas, seperti bukan Zanna yang ia kenal. Sejenak ia ragu, "haruskah menghampiri mereka atau berlalu saja?" batinnya bimbang. "Bagaimana kalau ternyata bukan Zanna?" Kebimbangan itu bicara. "Justru untuk tahu kebenarannya, seharusnya mendatangi mereka," ujar hatinya.