Aku membuka mataku dan menemukan diriku sedang terbaring di atas kasur. Badanku terasa sakit di beberapa titik. Tanganku yang sebelumnya berdarah sekarang sudah diperban. Terasa nyeri sekali. Aku mengambil dompet dan ponsel ku lalu melangkah keluar dari ruangan ini dengan tertatih-tatih. Aku bisa melihat Liam sedang tertidur diatas sofa.
“Liam, bangun.” Aku mencoba membangunkan Liam dan mengguncang-guncangkan tubuhnya. Dia terbangun lalu mengucek matanya dan duduk diatas sofa. Dia kemudian memperhatikan aku, sepertinya dia cemas sekaligus kesal dengan apa yang sudah terjadi hari ini.
“Apa yang sudah kau lakukan? Kenapa kau menyakiti dirimu sendiri?” tanya Liam.
“Aku tidak tahu, Liam. Rasanya tanganku bergerak sendiri. Bukan aku yang menggerakkannya.”
“Jadi menurutmu sesuatu yang tak terlihat menggerakan tanganmu? Menurutmu apartemen ku berhantu? Jika itu alasanmu menyakiti dirimu kau sungguh sudah gila.”
“Ya. Mungkin hantu dari pria yang sudah aku bunuh kembali dan mencoba membunuhku, yang mana itu jauh lebih baik daripada beban yang harus aku tanggung sekarang ini.” Aku merasa kesal mendengar apa yang dia katakan. Mana mungkin alasan ku adalah karena hantu.
“Sudah ku bilang, kau tidak membunuhnya. Ava.”
“Baiklah, aku tidak membunuhnya. Aku membiarkan dia mati.”
“Ava…”
“Sudahlah, Liam. Aku ingin pulang. Sekarang sudah malam dan aku ingin pulang,” ucapku sambil melepaskan perban yang membalut tangan ku.
“Hey, itu belum sembuh. Kau tidak boleh membukanya dulu.”
“Diam lah Liam. Aku sedang tidak ingin mendengar seseorang bicara. Dimana nenek? Aku ingin berpamitan dengannya.”
“Dia sedang tidur di kamarnya.”
“Baiklah, sampaikan saja salam ku untuknya. Selamat tinggal. Terima kasih atas kebaikan mu,” kataku sambil melangkah ke pintu keluar.
“Hey, tunggu!” teriak Liam.
Aku tidak menggubrisnya dan menuruni tangga. Namun sepertinya dia tidak menyerah. Dia ikut menuruni tangga dan pada akhirnya aku sampai diluar bersama dirinya.
“Aku akan mengatarmu. Ikutlah dengan ku. Ada yang ingin ku bicarakan.” Kata Liam dengan nada memelas.
“Aku tidak mau Liam. Aku bisa pulang sendiri dengan menelpon taksi.”
“Aku mohon. Aku ingin membicarakan sesuatu”
Aku menghela napas dan menganggukkan kepalaku sambil berjalan menuju mobil pick-up Liam. Dia langsung menyusulku dan duduk di kursi pengemudi. Dia lalu menaikkan lengan kiri bajunya dan menunjukkan pergelangan tangan kirinya kepada ku. Aku terkejut merlihat bekas sayatan seperti yang aku lihat di pria yang melompat pagi ini.
“I-itu, apa yang sudah terjadi dengan tanganmu?” tanyaku dengan sedikit terbata-bata
“Ini bagian dari masa lalu ku. Sudah satu tahun sejak aku mendapatkannya.”
“Kau mencoba mengakhiri hidupmu?” tanya ku yang masih syok karena luka itu.”
“Sayangnya aku tidak seberuntung pria itu yang berhasil mengakhiri hidupnya. Aku malah berhasil bertahan dan masih hidup sampai sekarang.”
“Kenapa kau menyayangkan hal itu, bodoh. Kau sangat beruntung masih bisa hidup.”
“Bagaimana mungkin aku merasa itu sebuah keberuntungan ketika aku sendiri tidak sanggup lagi menanggung semua penderitaan yang aku rasakan.”
Aku terdiam. Suasana di dalam mobil ini menjadi begitu tenang. Liam lalu menyalakan mobilnya dan mengendarainya menuju jalan utama. Beberapa menit berlalu tanpa ada satu pun dari kami yang bicara.
“Liam …”
“Ya, ada apa?”
“Bisa kah kita mampir sebentar ke Wendy’s? Aku lapar,” ucapku. Sebenarnya aku tidak lapar. Aku hanya ingin agar aku bisa sedikit berlama-lama dengannya. Aku penasaran dengan apa yang sudah dia lalui sebelum bertemu aku.
“Tentu saja.”
Liam pun mengendarai mobilnya menuju Wendy’s dan memarkirkan mobilnya. Kami berdua turun dari mobil dan masuk ke dalam. Suasana di dalam sangatlah tenang, hanya ada 7 orang pelanggan termasuk aku dan Liam. Aku menuju kasir untuk memesan makanan ku namun aku tidak melihat Liam yang sebelumnya berada di belakang ku. Ternyata dia sudah duduk di salah satu meja yang berada di dekat jendela. Aku terpaksa kembali untuk menghampirinya.
“Kau tidak ingin makan?” tanyaku kepada Liam.
“Aku tidak punya uang. Aku hanya berniat bicara denganmu sambil mengantarmu pulang,” jawab Liam
“Kau hanya ingin menunjukkan luka di tanganmu itu?”
“Sebenarnya tidak, tapi karena suasana di mobil terasa aneh, aku jadi bingung bagaimana aku memulainya.”
“Pesan lah sesuatu. Aku akan mentraktirmu, hitung-hitung balas budi, karena kau sudah baik kepadaku. Aku juga ingin mendengar ceritamu tentang luka itu,” ucapku sambil memainkan rambutku.
“Tak perlu repot-repot membalas kebaikan ku. Itu sudah seharusnya di lakukan. Kenapa kau ingin mengetahuinya?” tanya Liam.
“Sudahlah pesan saja.” Aku kemudian menarik lengan baju Liam menuju kasir.
“H-hey, baiklah.”
“Satu Premium Burgers, satu Spicy Cheese Burgers, satu Beef Spaghetti, Large French Fries, satu Crispy Chick-“
“Hey, kau yakin bisa menghabiskan semuanya?” tanya Liam memotong pembicaraan ku dengan kasir.
“Hmm, entahlah.”
“Lalu kenapa kau membeli sebanyak itu?”
“Kenapa ya? Karena aku kaya?”
“Anak bos minyak memang beda.”
Aku hanya tertawa mendengarnya. Biarlah, sepertinya aku jadi merasa lapar setelah pergi ke tempat ini.
“Apakah anda sudah selesai dengan pesanan anda?” tanya kasir yang sedang mencatat pesanan ku.
“Belum, hmm, satu Crispy Chicken Burgers, satu Baked Potato dan minumnya air mineral saja. Oh iya, akum au Volcano Frosty juga. Bagaimana denganmu, Liam?” tanyaku kepada Liam sambil tersenyum menyebalkan.
“Wanita gila. Aku pesan Beef Burgers dan Lemon Tea saja,” kata Liam sambil memebrikan tatapan kesal kepada ku.
“Hanya itu yang kau makan? Apakah kau ini benar-benar pria?”
“Sebaliknya, dengan makan sebanyak itu, apakah kau benar-benar wanita? Biasanya wanita sangat menjaga makannya. Karena takut dirinya akan menjadi gendut.”
“Persetan dengan menjadi gendut. Lagipula apa aku memang terlihat gendut, Liam?” tanyaku kepada Liam.
“Entahlah. Kau terlihat normal.”
“Memang yang tidak normal itu seperti apa?” tanyaku kesal.
“M-maksudku, sudahlah lupakan, kita sedang berada di depan kasir.”
“Huh menyebalkan,” kataku sambil mengeluarkan uang dari dompetku.
“Baiklah, karena pesanan anda lumayan banyak, kami akan mengantarkannya. Silahkan tunggu di meja. Terima kasih.”
Liam lalu melihatku dengan tatapan ‘lihat kan apa yang sudah kau lakukan sehingga makanannya menjadi lama untuk datang’. Namun aku pura-pura tidak melihatnya lalu pergi menuju meja dan menunggu makanan. Aku memperhatikan bekas luka di tangan Liam.
“Apa yang sudah ia lalui ya,” batinku.
Aku lalu mengalihkan pandanganku menuju wajahnya. Cukup lama aku memperhatikannya. Alisnya tebal dan hidungnya mancung. Matanya yang berwarna biru terang sedang melihat keluar jendela. Sepertinya dia merasa kalau dia sedang diperhatikan.
“Apa?” tanya Liam yang membuatku terkejut.
“T-tidak,” jawabku gugup.
“Ada apa dengan wajahku?”
“Tidak ada, hanya wajahmu terlihat… normal.”
“Memang yang tidak normal itu seperti apa?” tanya Liam dengan nada kesal.
“Hidung ada 2 dan mata ada 3, lalu mulutmu terletak di dahi. Itu tidak normal.”
Liam menghela nafas mendegarnya. Aku tertawa melihatnya. Padahal sebelumnya mood ku sedang buruk karena aku masih memikirkan pria yang melompat itu. Mungkin mood ku kembali karena membayangkan pesanan ku yang sekarang sedang di bawakan oleh pelayan.
“Silahkan,” kata pelayan itu seraya meletakan makanan di meja ku.
Aku langsung mengambil burger menggunakan tangan kanan ku dan kentang dengan tangan kiri ku dan melahap keduanya. Sepertinya, mood ku memang kembali karena aku memang ingin makan. Padahal, sebelumnya aku minta Liam untuk mampir ke Wendy’s hanya karena aku ingin bicara dengannya. Persetan dengan alasan ku. Aku lapar.
Liam memperhatikan aku makan dengan sedikit tidak percaya. Dia lalu tersenyum dan mengetawai aku serta meledekku yang akan menjadi gendut. Aku tidak peduli, aku lapar.
“Burpp,” aku bersendawa setelah menghabiskan semua yang aku pesan. Tinggal Volcano Frosty yang belum aku eksekusi.
“Aku tidak percaya kau bisa menghabiskan semuanya,” kata Liam
“Yah aku juga tidak percaya. Well, karena aku sudah kenyang. Ceritakan lah soal luka di tangan mu itu.”
“Kau benar-benar ingin mendengarnya?” tanyanya sambil meletakkan gelas Lemon Tea nya di atas meja.
“Tentu saja.”
“Kau tidak akan membenci ku?”
“Kenapa aku harus membenci mu?”
“Kau mungkin akan membenci ku setelah aku menceritakan ini.”
Apa yang dia katakan membuatku ragu untuk mendengarkan ceritanya. Tapi di sisi lain, aku penasaran dan ingin tahu apa yang sudah ia lalui. Aku lalu memperhatikannya dengan seksama. Mata birunya mengeluarkan air mata. Sial, cerita macam apa yang akan aku dengar.
Liam’s POVAku mencoba untuk tetap sadar setelah orang-orang brengsek ini memukuliku. Mereka memukuli ku karena aku meninju salah satu dari ke empat orang ini karena mereka tertangkap basah olehku hendak memperkosa seorang wanita di depan ku. Namun aku tidak berdaya menghadapi mereka. Hal terakhir yang aku ingat adalah salah satu dari mereka menendang wajahku dan semuanya menjadi gelap.Saat aku bangun seluruh badanku terasa sakit dan sepertinya wanita tadi pada akhirnya bernasib buruk, karena aku menemukan dirinya tergeletak dengan pakaian yang sudah terkoyak-koyak dan darah di kepala dan disekitar pahanya beberapa meter dari tempat aku pingsan. Aku menghampirinya dan memeriksa apakah dia masih bernapas atau tidak. Dia bernapas.Aku lalu menutupi badannya dengan jaket yang aku pakai dan menggendongnya ke mobil pick-up usang ku. Aku tidak mungkin membawanya ke rumah sakit karena aku tidak mungkin memiliki uang untuk membayarnya. Jadi
Hari ini adalah hari ketiga masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Namun, ini adalah awal semester terburuk yang pernah aku alami. Sebuah video tersebar di sekolah dan sosial media. Video tersesbut adalah video Alita yang tengah diperkosa oleh orang-orang brengsek itu. Hari itu, Alita langsung menjadi pusat perhatian satu sekolah. Beberapa merasa prihatin dengan apa yang sudah dilalui Alita dan mencoba membuat Alita merasa lebih baik. Namun, yang lainnya seperti tidak memiliki otak di dalam kepalanya.Seminggu kemudian, Alita tidak pernah lagi datang ke sekolah. Mungkin karena dia tidak tahan berkali-kali dikerjai dan dicap pelacur oleh murid sekolah ini. Bahkan, dia pun menolak menemuiku dan melarangku datang kerumahnya di minggu pertama sejak ia mengurung diri.Aku pun tidak tahan lagi. Apakah mereka tidak mengerti jika Alita adalah korban dari pemerkosaan? Kenapa mereka begitu kekanak-kanakan menganggap kasus pemerkosaan adalah hal yang lucu? Aku tidak tahan me
Dia mencoba menyembunyikan air matanya. Namun aku masih bisa melihatnya. Dia lalu tersenyum kepadaku, namun aku bisa melihat kalau itu adalah senyuman yang dipaksakan. Aku merasa kesal dengannya, namun tidak sampai membencinya. Dia memberiku peringatan sebelum menceritakan cerita itu. Namun, aku pun merasa kasihan dengannya yang sudah kehilangan orang yang ia cintai. Dia memang tidak peka, sikap bodohnya membuatnya ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi tidak semuanya salah Liam. Tentu saja dia akan merasa bersalah atas kematian Alita karena dia mencintainya.“Bagaimana? Kau membenciku?” tanya Liam kepadaku.“Tidak.”“Syukurlah.”“Lalu, bagaimana kau bisa tetap hidup?”“Sepertinya seseorang menemukan diriku dan pihak sekolah membawaku kerumah sakit. Aku tidak pernah tau siapa dia karena satu sekolah menjaga jarak denganku.”“Eric?”“Dia baru mengetahuinya dari
Ayah menghampiriku dan menampar aku dengan keras hingga aku terjatuh. Kepala ku yang terasa sangat pusing kemudian ditendang oleh ayahku yang sepertinya belum puas menamparku. Ibuku hanya melihat dari sofa dengan tatapan yang memang kesal.“KAU ANAK SIALAN. KENAPA KAU MEMPERMALUKAN AKU?” tanya ayahku dengan berteriak di telingaku. Aku tidak bisa menjawab karena kepalaku terasa sakit sekali.“Ayah, sakit,” kataku dengan lemas.Namun, ayah menginjak jari-jariku dan menendang tubuhku. Rasanya benar-benar sakit. Aku berteriak namun ayahku menutup mulutku menggunakan sepatunya.“KAU BENAR-BENAR BODOH. NAMA BAIK AYAHMU SEKARNG TERCEMAR. DAN ITU SEMUA SALAHMU ANAK SIALAN.”Aku meronta-ronta meminta ayahku melepaskan sepatunya dari mulutku. Namun dia semakin menjejalkan sepatu mahalnya itu di mulut anak perempuannya yang membuat salah satu gigiku ada yang patah Kau kejam sekali, ayah.Ayahku kemudian melepas
Hari senin yang cerah. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku mengambil kunci mobil dan berangkat ke sekolah. Ayah sedang sarapan dan dia terlihat tidak senang melihatku, dia lalu melempar gelas yang ia pegang ke arahku. Aku buru-buru berlari mengambil kunci mobil dan pergi keluar menuju mobil. Ibuku yang sedang berada di luar rumah berpura-oura tidak melihatku dan lanjut memainkan ponselnya.Saat aku sampai sekolah, aku sudah menduga bahwa orang-orang akan memperhatikan aku dengan tatapan seolah-olah aku binatang yang menjijikan. Sekolah tempatku belajar adalah sekolah elite berisikan murid-murid dengan orang tua yang kaya.Saat aku masuk kelas seluruh murid di kelas menjaga jarak denganku. Semuanya berbisik-bisik soal kasus itu dan juga memar di wajahku. Aku rasa mereka pun paham bagaimana cara orang-orang kaya menyelesaikan masalah, namun mereka tidak tahu bagaimana ayahku menyelesaikan masalahnya denganku. Aku tidak peduli bagaimana mereka memperlakukank
Aku mencoba untuk fokus ke jalan, namun aku tidak mampu melakukannya. Mataku terus tertuju pada pria di sebelahku ini. Jika ini terus berlanjut, kita berdua akan berakhir di rumah sakit karena keteledoranku.“Liam, gantikan aku menyetir,” kataku seraya berhenti di tepi jalan.“Memangnya ada apa denganmu?” tanya Liam yang kemudian turun dari mobilku.“Aku tidak bisa fokus pada jalan, aku sedang banyak pikiran,” ujarku beralasan.Kami lalu bertukar posisi dan kami pun melanjutkan perjalanan kami yang tidak bertujuan. Namun, sebagian besar alasan aku bertukar dengannya adalah karena dengan begini aku bisa memperhatikannya tanpa harus khawatir akan terjadi kecelakaan.“Kita mau kemana, nyonya?” tanya Liam yang membuatku tersadar dari lamunanku.“Aku lapar,” jawabku asal.“Kalau begitu kita pulang.”“Kenapa tidak makan diluar?” tanyaku.&ldquo
Aku rasa aku tidak pernah mencintai seseorang, atau mungkin aku pernah mencintai kedua orang tuaku. Tapi sekarang aku hanya mencintai harta mereka. Tapi kali ini berbeda, aku mencintai Liam, sungguh.“Hey, kau masih akan terdiam disana dan memperhatikan aku dengan mata seram itu?” tanya Liam yang membuatku tersadar. Tidak aku sangka aku sudah terlalu lama memikirkannya.“Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur disini,” kata Liam sambil menunjuk kearah kamarnya. Aku hanya mengangguk dan melangkahkan kakiku menuju kamar itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh. Aku lalu berbaring diatas ranjang Liam dan mencoba untuk tidur. Namun, semua pikiran tentang Liam datang dan membuatku tidak mengantuk. Aku bangun dari tempat tidur dan mengintip Liam dari balik pintu. Liam yang merasa kalau sedang diperhatikan lalu melihatku dan mengacungkan jari tengahnya kepadaku. Aku hanya tertawa ringan dan kembali ke tempat tidur. Selamat malam.Sinar matahar
Aku terkejut melihat ayah Ava di tempat ini dan Ava pun sama terkejutnya dengan aku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku khawatir akan pekerjaanku. Ruby sudah menuju ke lorong tempat ruang interogasi berada dan aku bisa melihat Ava yang tidak bisa bergerak karena tangannya di cengkram dengan sangat kuat oleh ayahnya, ayah kejam Ava sekaligus bos tempat aku bekerja.Aku segera menyusul Ruby menuju ruang interogasi dan meninggalkan Ava berdua dengan ayahnya di lobby kantor polisi. Beruntung ayahnya tidak menyadari aku yang berada di sampingnya. Aku lalu melihat orang berjas hitam dan 3 orang polisi yang mengawal Ruby masuk ke sebuah ruangan. Jendela ruangan itu sangat bersih sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam.Di dalam ruangan itu ada seorang pria berbadan kekar yang menggunakan jaket kulit hitam. Pria itu lalu mengeluarkan sebuah koper hitam dan meletakkan koper itu sesaat setelah polisi dan juga Ruby masuk ke dalam ruangan itu. Pria dengan jas hi
Aku bangun pagi ini dengan perasaaan segar dan bersemangat karena aku memiliki hal penting untuk dilakukan hari ini. Aku bergegas menuju ke kamar mandi dan mandi untuk membuat tubuhku semakin segar.Setelah mandi, aku pergi menuju ke ruang tamu dan mendapati ibuku yang tengah memasak sarapan. Dia tampak heran melihat aku yang masih pagi begini sudah mandi.“Mau kemana pagi-pagi sekali?” tanya ibuku.“Tidak kemana-mana, sedang ingin saja,” jawabku seraya tersenyum dan menunjukkan gigiku.Ibuku hanya menggelengkan kepala dan memasang ekspresi yang mengisyaratkan “terserah kau saja” di wajahnya.“Dimana ayah?” tanyaku.“Sepertinya di taman, bersama Finn,” jawab ibuku seraya membalik telur goreng.Semenjak Finn datang, ayahku selalu bangun sangat pagi dan menghabiskan waktu bersama Finn sampai waktu sarapan. Entah itu jalan-jalan pagi mengelilingi lingkungan rumah kami, atau hany
Malam menyapa. Kegiatan bakti sosial itu berlangsung sampai sore dan kami semua melewatkan jam makan siang sehingga kami memutuskan untuk makan bersama di restoran. Aku melihat unggahan akun sosial media yayasan kami yang dikelola oleh Yura sebagai bagian dokumentasi.Semua komentar positif dilontarkan oleh para pengguna sosial media di tiap unggahan serta semua hati dan ibu jari yang berjumlah ribuan berada disana. Aku tersenyum bahagia, dan aku ingin sedikit berteriak mengetahui rasa senangku, tapi aku tidak ingin terlihat memalukan di restoran ini.“Haruskah kita melakukan rapat sekarang? Nyonya ketua?” tanya Mason seraya menyeruput es tehnya.“Entahlah, aku rasa kita bisa melakukannya di pertemuan berikutnya, aku memiliki semua hal yang perlu kita evaluasi, aku bisa melakukan pertemuan kapan saja, tergantung kepada kalian, mungkin ada yang sibuk? Atau tidak bisa datang? Karena itu, untuk menghindari hal tersebut, aku ingin agar kita menyesu
“Ada satu tempat lagi yang harus kita datangi, ini sangat penting, jadi kau tidak boleh menolak, ajak saja Finn, mereka tidak melarang anjing untuk datang,” ucap Carla seraya menyeruput minumannya.“Kemana?” tanyaku ingin tahu.Carla tidak menjawab dan Finn mengonggong dari belakang. Dia tampak senang berada di dalam mobil, dan aku mengelus kepalanya.Kami lalu masuk ke sebuah komplek perumahan elit dimana banyak sekali rumah-rumah berukuran besar. Aku tidak pernah pergi kesini sebelumnya, jadi ini semua terasa asing untukku.“Ini mau kemana? Aku tidak pernah kesini,” ucapku kebingungan.Carla masih tidak menjawab, namun dia tersenyum riang dan kami kemudian berhenti di sebuah rumah mewah dengan banyak mobil terparkir di depannya. Carla lalu mengajak kami masuk ke dalam dan aku membukakan pintu untuk Finn. Ketika aku sampai di depan pintu, terdengar suara berisik dari dalam.“Hai Ava!” teriak s
“SELAMAT DATANG DI PET CONVENTION TAHUNAN!!”Seorang wanita menyambut kami yang tengah berjalan memasuki sebuah tanah lapang yang dipenuhi tenda-tenda dan balon-balon. Carla yang terlihat sangat bersemangat menarik tanganku menuju ke salah satu dari tenda-tenda itu.Aku melihat ke sekelilingku dan memang benar, ada banyak sekali binatang-binatang unik dan lucu disini. Aku menghampiri sebuah tenda yang memiliki beberapa ekor landak berwarna putih dan aku mengelus duri-duri di punggungnya dengan lembut. Landak itu terlihat menyukai perlakuanku kepadanya. Entahlah, dia memejamkan matanya dan terlihat santai, jadi aku berasumsi kalau dia menyukaiku.“Ava Ava!! Lihat ini, dia sangat lucu!” teriak Carla dari tenda disebelahku. Dia menggendong seekor anak monyet berwarna putih.“Ah kau benar, dia sangat lucu!” ucapku seraya mengelus rambut putihnya. Dia juga terlihat mneyukainya.“Dia spesies yang langka, negara t
Sesampainya dirumah, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk di kamarku dan memandangi langit-langit kamarku. Aku memperhatikan lenganku yang terlihat sedikit berisi dibandingkan beberapa bulan yang lalu.“Aku rasa aku sedikit gendut, sepertinya memang benar,” gumamku seraya meremas lengan kiriku dengan tanganku.Aku lalu berdiri menghadap cermin dan memandangi cermin. Memandangi tubuhku dan beralih menatap mataku sendiri yang juga menatapku di sisi lain cermin.Asap. Dimana-mana ada asap, dan cerminku mulai retak. Luka di wajahku yang sudah mengering, terkelupas. Kakiku bergemetar hebat. Aku sudah mengalami ini berkali-kali, namun, aku masih merasa takut. Di dalam hati, aku berteriak. Ketika aku mengalihkan pandangan ke tempat tidurku, disana terbaring tubuh Carla dengan darah berlumuran dimana-dimana.“AVA!!”Aku menoleh, mencari asal suara yang ternyata datang dari ibuku yang tengah memperhatikan aku dari pintu kam
Makanan yang kami pesan datang dan aku masih belum menyentuh steak yang aku pesan. Aku masih memikirkan semua yang Liam katakan seraya melihat ke arah ayah dan ibuku yang tengah bercanda bersama Ruby dan juga nenek Liam.“Beberapa jam sebelum makan malam, menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku yang menyenangkan ini,” ucapku dalam hati.Sejak awal bertemu dengannya, dia merubah hidupku. Dan aku rasa aku sudah mengatakannya ratusan kali. Gadis bergelimang harta namun sarat akan kasih sayang, gadis yang memiliki sebuah istana namun tidak bisa dianggap rumah, gadis yang bisa mendapatkan semua yang dia inginkan kecuali cinta yang tulus, semuanya berubah hanya dalam satu hari dimana aku memutuskan untuk mencari sarapan di pagi yang cerah dalam kondisi mengantuk.“Ava, sayang, kenapa kau tidak makan?” tanya ayahku yang tengah mengobrol dengan Liam. Dia melihatku dengan wajah khawatir.“Ah iya, aku hanya sedang memikir
Kakiku tidak bisa berhenti bergemetar karena makan malam bersama Liam yang akan dilangsungkan beberapa jam lagi. Ayah dan ibuku sudah siap, begitu juga dengan aku. Tapi, aku benar-benar merasa takut yang tidak wajar, padahal aku hanya akan pergi makan malam di luar bersama keluargaku.“Sayang, apa kau benar-benar se-takut itu?” tanya ibuku yang sepertinya melihat kegelisahan di wajahku.“Entahlah, tapi, aku tidak bisa selamanya menghindar bukan?”“Kau benar, tapi kau tidak perlu buru-buru,” ujar ibuku lagi.“Tidak apa-apa, ini hanya makan malam, lagipula, aku tidak tahu kenapa aku harus merasakan ini, padahal aku sempat mencintai orang lain setelah aku dan dia tidak lagi saling menghubungi, jadi, aku berkesimpulan kalau rasa takut ini hanya rasa takut untuk sementara waktu, setelah beberapa saat aku di meja makan, tentu saja aku akan baik-baik saja,” jelasku.Ibuku hanya tersenyum dan kami meninggalka
Aku membuka mataku setelah semalaman tertidur di depan televisi. Semalam, aku memutar film Titanic untuk membantuku tidur, karena itu film yang sangat membosankan dan benar saja, aku bisa bangun pagi ini karena aku berhasil tidur semalam.“Selamat pagi, sayang,” ucap ibuku seraya membuka gorden dan mematikan lampu yang masih menyala.“Pagi, bu, apa ayah belum bangun?”“Belum, dia masih tidur sekarang, apa kau mau sarapan duluan?” tanya ibuku.“Boleh, aku ingin sereal milik ayah, sepertinya enak,” pintaku kepada ibuku.“Beberapa hari yang lalu kau meledek ayah karena makan sereal itu, tapi sekarang kau menginginkannya,” komentar ibuku seraya menahan tawa.“Ah sudahlah, semalam ada iklan tentang sereal itu dan itu benar-benar menggugah selera,” ucapku seraya memanyunkan bibir.“Kalau begitu kau cuci dulu wajahmu, agar terlihat lebih segar,” ucap ibuku de
Pertemuanku dengan orang tua Michael Pattertson kemarin, sejujurnya masih membuatku bingung. Sudah ada beberapa orang di dalam hidupku yang menganggap kalau uang akan memberiku kebahagiaan, padahal, tidak seperti itu.Jika aku ceritakan ulang, aku baru merasa bahagia ketika seseorang mau mengerti akan diriku, ketika aku merasa di cintai meskipun pada akhirnya itu hanya kebohongan dan juga kegagalan, ketika aku bisa bersama keluargaku, bersenda gurau bersama mereka, ketika aku bisa menceritakan berbagai masalah kepada teman baikku, aku sudah cukup bahagia.Aku rasa, kebahagiaanku tidak melulu soal uang, karena sebelum aku bertemu dengan Liam, aku juga belum paham bagaimana bahagia menurut orang-orang, dan ternyata, mereka hanya berpikiran kalau ada uang, maka akan bahagia.Liam dan Sam, membuatku merasa bahagia. Mereka membuatku merasa di cintai, namun, keduanya berakhir dalam kegagalan, dan yang kedua membuat semuanya menjadi runyam. Kebohongan, ancaman, dan ras