Hari ini adalah hari ketiga masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Namun, ini adalah awal semester terburuk yang pernah aku alami. Sebuah video tersebar di sekolah dan sosial media. Video tersesbut adalah video Alita yang tengah diperkosa oleh orang-orang brengsek itu. Hari itu, Alita langsung menjadi pusat perhatian satu sekolah. Beberapa merasa prihatin dengan apa yang sudah dilalui Alita dan mencoba membuat Alita merasa lebih baik. Namun, yang lainnya seperti tidak memiliki otak di dalam kepalanya.
Seminggu kemudian, Alita tidak pernah lagi datang ke sekolah. Mungkin karena dia tidak tahan berkali-kali dikerjai dan dicap pelacur oleh murid sekolah ini. Bahkan, dia pun menolak menemuiku dan melarangku datang kerumahnya di minggu pertama sejak ia mengurung diri.
Aku pun tidak tahan lagi. Apakah mereka tidak mengerti jika Alita adalah korban dari pemerkosaan? Kenapa mereka begitu kekanak-kanakan menganggap kasus pemerkosaan adalah hal yang lucu? Aku tidak tahan melihat Alita terus menerus mengurung diri dirumah. Guru-guru pun tidak menindak tegas para pelakunya. Hanya sebatas pemanggilan keruangan guru dan diceramahi. Tentu saja hal seperti itu tidak akan berhasil.
“Hey, Liam.”
Sebuah suara mengejutkan ku yang tengah termenung di balkon sekolah. Aku menoleh dan melihat Eric tersenyum kepadaku. Dia salah satu orang yang mengerti akan kondisi Alita sekarang.
“Bagaimana keadaanya sekarang?” tanya Eric kepadaku.
“Entahlah, aku pun belum menemuinya.”
“Apa kau bodoh? Pacar cantikmu sedang dalam masalah dan kau menurut saja saat diminta berhenti menemuinya?”
Aku terdiam. Aku memang bodoh. Setiap kali hinaan dan ejekan terdengar di telingaku, aku selalu tidak bisa menahan rasa marahku. Yang bisa menahan rasa ingin memukulku adalah Eric. Dia selalu berhasil menghentikan diriku yang hendak memukuli orang-orang yang mengejek Alita.
Hari ini, aku mencoba pergi ke rumah Alita setelah satu bulan tidak bertemu dengannya. Biasanya aku pergi kerumahnya setiap pulang sekolah. Namun, dia selalu mengusirku dan melarangku untuk kerumahnya lagi. Tapi, kali ini berbeda. Dia sedang menonton televisi sambil memakan popcorn.
“Hey, Liam!” teriak Alita yang menyadari kedatanganku.
“Wow, sepertinya nyonya sudah kembali,” ucapku seraya tersenyum.
“Aku sangat merindukanmu Liaaaaam.” Dia memelukku dengan sangat erat. Aku hanya tertawa karena tingkah konyolnya. Aku lalu bergabung dengan Alita untuk menonton televisi.
“Berita terbaru tentang pencarian pesawat Clementine Airlines di perairan Pulchra. Sebanyak 59 dari 110 korban sudah ditemukan dan juga beberapa negara ikut membantu pencarian dengan mengirimkan belasan drone pencari.” Seluruh saluran memang sedang ramai memberitakan insiden jatuhnya pesawat Clementine Airlines 3 hari yang lalu.
“Liam …”
“Ya, Alita?”
“Kau tentu mengetahui kalau aku bukanlah seorang pelacur, kan?” tanyanya dengan wajah murung.
“Pertanyaan macam apa itu? Tentu saja. Justru aku tidak mengerti kenapa korban sepertimu malah menjadi bahan ejekan orang-orang bodoh itu.”
“Kau benar, aku korbannya Liam. Tapi apa yang bisa aku lakukan? Kau tahu? Sehari setelah kau mengantarku pulang setelah kejadian itu. Orang tua ku pergi ke kantor polisi untuk mencari tahu pelakunya, aku bahkan baru mengetahuinya 2 minggu yang lalu”
“Kenapa mereka tidak memberitahumu? Bagaimana caranya mereka tahu pelakunya sedangkan kau adalah saksi sekaligus korbannya?” tanyaku.
“Mereka bilang mereka tidak ingin aku mengingat hal buruk itu. Saat itu aku memang masih sedikit shock. Untunglah kau selalu ada untuk hari-hariku. Tapi tidak ada salahnya untuk aku mengetahui hal itu lebih awal kan?”
“Well, aku rasa kau sudah cukup dewasa kan untuk mengaggap hal itu sebagai masa lalumu? Kau bisa merasa lebih baik setahun ini bukan karena aku, tapi kau lah yang melakukannya dengan menjalani hari dengan ceria, aku? Aku hanya senang berteman denganmu. Itu saja.”
“Hahaha, kau benar Liam. Orang tua ku seharusnya membiarkan aku mengetahuinya lebih awal dan tidak perlu merasa khawatir karena Liam akan mengembalikan mood ku,” ucap Alita sambil mengedipkan satu matanya kepadaku. Aku hanya tertawa. Hari-hariku bersamanya sepertinya kembali hari ini.
“Liam …”
“Ya?”
“Setelah setahun lebih kau dan aku sedekat ini, kau masih menganggap aku teman?”
“Mana mungkin aku bisa memusuhimu,” ucapku sambil mencubit pipi Alita.
“Aw, sakit bodoh,” ucapnya sambil mengusap-usap pipinya.
“Lalu aku harus menganggapmu apa?”
“Bodoh, tidak peka.”
“Kau mencintaiku, Alita?”
“Diam kau. Aku membencimu. Sangat membencimu.” ucappnya seraya melempariku dengan popcorn.
“Lalu apa yang kau mau?”
“TIDAK ADA LELAKI DI DUNIA INI YANG BERTANYA KEPADA WANITA ‘KAU MENCINTAIKU?’. APALAGI DENGAN WAJAH BODOHMU ITU MEMBUATKU MENDADAK INGIN MEMBENCIMU!.” teriak Alita di telingaku.
“Kejam sekali.”
“Tentu saja. Jika kau lengah, aku mungkin membunuhmu.”
“Ketika aku menjadi hantu, kaulah orang pertama yang aku gentayangi.”
“Aku tidak takut hantu.”
“Tapi kau takut dengan ini,” ucapku sambil mencubit pipinya.
“Aw, Liam, hentikan.” Aku melepas cubitan itu dari pipinya. Pipinya berubah menjadi berwarna merah, sepertinya itu sakit.
“Setelah seperti ini kau mau aku mencintaimu? Jangan bercanda. Kau harus mengantarku membeli es krim sekarang juga!” perintahnya.
“Kenapa aku harus melakukannya?” tanyaku.
“Kau sudah merusaknya,” ucapnya sambil menunjuk pipi kanannya yang berwarna merah.
“Omong-omong, dimana orang tuamu?” tanyaku
“Mereka harus pergi ke luar negeri karena ada ayahku ada urusan pekerjaan.”
“Dan meninggalkan anak perempuannya sendirian saat sedang tertekan?”
“Hey, tidak perlu berlebihan. Saat mereka pergi aku sudah ceria seperti ini, kok.”
“Lalu kenapa kau tidak mengabariku? Aku bisa menemuimu lebih awal kan?”
“Hehe.” Dan langsung kubalas ia dengan lemparan popcorn.
“Mereka baru saja berangkat hari ini?” tanyaku
“Tidak, mereka berang- hey, kau mengalihkan pembicaraan.” Dia lalu mengambil sweater merah mudanya dan lari keluar menuju mobilnya.
“Hey, kita hanya akan membeli eskrim, kenapa harus naik mobil?” ucapku seraya menyusul Alita yang sudah berada di dalam mobil,
“Aku mau jalan-jalan. Aku lapar. Dan… aku ingin bersamamu.”
“Huh, baiklah nyonya.”
Aku lalu duduk di kursi pengemudi dan mengendarainya menyusuri jalanan yang diterangi cahaya senja berwarna oranye. Cahaya itu menyinari wajah Alita dan itu membuatnya sangat cantik. Mata besarnya berbinar-binar, mungkin dia senang karena akhirnya dia kembali keluar rumah.
Sesampainya di supermarket dia membeli 5 es krim varian rasa dan dia menghabiskannya dalam waktu 10 menit.
“Bukannya es krim itu makanan penutup?” tanyaku.
“Baiklah, kita akan membelinya lagi setelah makan.”
“Kau bisa terkena diabetes,” kataku sambil menjilat eskrim Alita
“Kau benar, aku sudah terlalu manis,” ucapnya sambil menatap aku dengan tatapan khawatir.
Aku hanya tertawa dan menuju ke salah satu restoran cepat saji di sekitar sini dan memesan makanan untuk aku dan Alita. Dia terlihat sangat senang. Aku pun ikut merasa senang karena dia sudah kembali.
“Hey, bukannya itu adalah si pelacur? Sudah lama tidak terlihat. Apa sekarang kau memiliki semacam paket sewa untuk satu bulan? Hahaha.” Sebuah suara mengusik aku dan Alita.
Haley dan Abigail. Mereka lah yang paling sering mengejek Alita. Aku memperhatikan Alita yang tengah menahan tangisnya. Matanya berkaca-kaca. Aku lalu mengajaknya untuk pulang dan dia hanya menurut. Dia mengikuti ku masuk ke dalam mobilku.
“Boleh aku mengendarainya?” tanya Alita.
“Kau yakin? Kurasa kau sedang tidak stabil jadi biar aku saja.”
“Biarkan aku mengendarainya. Aku hanya ingin mengendarainya dan aku sudah baik-baik saja. Kenapa kau tidak memperbolehkanku melakukannya?” tanya Alita.
“Kau sedang sedih. Tidak usah berdebat. Aku akan mengantarmu pulang.”
“Ini mobilku.”
“Aku tidak peduli. Kau duduk saja.”
“Liam ….” Dia memperhatikan aku. Dia sepertinya memang ingin mengendarainya. Tapi kenapa? Biasanya jika aku dan dia pergi bersama, dia selalu memaksaku mengemudikan mobil.
“Baiklah, terserah,” ucapku sambil memberikan kunci mobil kepada Alita.
Dia menerimanya dan tersenyum kepadaku. Senyumnya manis seperti biasanya saat dia sedang ceria, jadi aku merasa lega. Mungkin dia memang sudah baik-baik saja. Dia lalu mengendarai mobil dengan kecepatan pelan berkeliling kota. Kamu lalu melewati jembatan Huntsman Bridge dan berkendara di Cliffside Road. Tempat yang tinggi karena berada di atas tebing yang berdekatan dengan laut Carbonara.
“Kota ini memang indah, atau memang dari dulu sudah indah ya?” tanya Alita seraya melihat keluar.
“Kota ini jelek. Terlebih pemerintahannya.”
“Bukan itu yang aku maksud, bodoh.”
Aku lalu melihat keluar. Jika dilihat dengan seksama, kota ini memang terlihat indah. Beberapa lampu hias dipasang di sepanjang jalan. Taman kotanya juga indah dengan lampu berkelap-kelip saat malam. Yang lebih indah tentunya sebuah monumen yang sengaja di bangun sebagai simbol kota ini. Sungguh pemandangan yang indah melihat kota dari atas sini.
“Liam …”
“Ya, Alita?”
“Mungkin jawabanku iya”
“Soal apa?”
“Apakah aku mencintaimu atau tidak.”
Aku tergugup mendengarnya. Jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku memperhatikannya dan melihat mulutnya membentuk sebuah senyuman. Aku merasa bahagia. Tentu saja aku mencintainya. Mata besarnya yang indah, wajahnya yang selalu terlihat manis, sifatnya yang terkadang kekanak-kanakan dan sok dewasa. Aku mencintainya.
Namun tiba-tiba saja Alita mempercepat laju mobilnya dan membanting stir. Mobil ini pun keluar menerobos pembatas jalan menuruni tebing. Aku berteriak dan sekilas aku melihatnya. Mulutnya tersenyum dengan manis. Aku melindungi wajahku dengan tanganku. Aku menyesal telah merasa lega. Alita tidak pernah baik-baik saja.
Mobil ini pun beberapa kali terbentur batu yang membuatnya terbalik ketika menabrak air laut. Aku melepaskan sabuk pengaman milikku dan mencoba membuka milik Alita. Namun aku hanya berhasil membuka milikku karena sangat sulit membukanya dengan kondisi sedang terbalik seperti ini. Mulutnya tersenyum kepadaku, namun senyumannya itu seperti menyimpan banyak penjelasan dari kejadian hari ini. Aku mulai kehabisan nafas dan mencoba berenang keluar dari mobil menuju permukaan.
Aku memperhatikan mayat Alita dengan tatapan kosong. Aku tidak percaya apa yang sudah terjadi. Polisi sudah memenuhi lokasi tempat mobil Alita terjun ke air dan sudah mengangkat mayat Alita dari air. Dia tenggelam dan aku tidak memiliki tenaga untuk menyelamatkan orang yang aku cintai.
Aku meminta polisi untuk menghubungi keluarganya. Namun ada hal lain yang membuatku terkejut. Ternyata orang tua Alita adalah penumpang pesawat Clementine Airlines. Aku terduduk lemas. Orang tua Alita memang pergi keluar negeri. Tapi mereka tidak kembali lagi karena kecelakaan itu. Alita, kenapa kau tidak mengabari aku? Kenapa kau justru melarangku? Apa jangan-jangan, kau sudah mengetahuinya? Bahwa orang tuamu sudah meninggal karena kecelakaan itu? Bodohnya aku.
Esoknya aku pergi kesekolah dengan rasa lemas. Dan ketika aku di sekolah, sudah tersebar rumor beredar tentang aku membunuh Alita karena aku benci memiliki pacar seorang pelacur. Seluruh sekolah menjaga jarak denganku. Hanya Eric yang masih menemaniku. Orang-orang yang dulu tidak percaya bahwa Alita adalah seorang pelacur mulai mempercayai itu karena rumor meninggalnya Alita yang disebabkan olehku.
Selama satu bulan sejak Alita meninggal, aku dikerjai habis-habisan. Tas ku diisi sampah. Mejaku dilumuri darah binatang. Dan berita buruknya, rumor itu tidak sepenuhnya salah. Aku memang membunuhnya. Aku membiarkannya mengemudi. Aku tidak datang menemuinya lebih awal. Aku gagal lagi, Alita.
Aku lalu mengambil pecahan beling yang aku dapatkan ketika aku menghancurkan kaca kamar mandi sekolah dan menggunakannya untuk menyayat pergelangan tanganku. Akan menyenangkan bertemu lagi denganmu Alita. Banyak yang belum aku sampaikan kepadamu, lebih banyak dari darah yang mengucur keluar dari pergelangan tanganku. Aku terduduk lemas di lantai kamar mandi dan semuanya menjadi gelap.
Dia mencoba menyembunyikan air matanya. Namun aku masih bisa melihatnya. Dia lalu tersenyum kepadaku, namun aku bisa melihat kalau itu adalah senyuman yang dipaksakan. Aku merasa kesal dengannya, namun tidak sampai membencinya. Dia memberiku peringatan sebelum menceritakan cerita itu. Namun, aku pun merasa kasihan dengannya yang sudah kehilangan orang yang ia cintai. Dia memang tidak peka, sikap bodohnya membuatnya ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi tidak semuanya salah Liam. Tentu saja dia akan merasa bersalah atas kematian Alita karena dia mencintainya.“Bagaimana? Kau membenciku?” tanya Liam kepadaku.“Tidak.”“Syukurlah.”“Lalu, bagaimana kau bisa tetap hidup?”“Sepertinya seseorang menemukan diriku dan pihak sekolah membawaku kerumah sakit. Aku tidak pernah tau siapa dia karena satu sekolah menjaga jarak denganku.”“Eric?”“Dia baru mengetahuinya dari
Ayah menghampiriku dan menampar aku dengan keras hingga aku terjatuh. Kepala ku yang terasa sangat pusing kemudian ditendang oleh ayahku yang sepertinya belum puas menamparku. Ibuku hanya melihat dari sofa dengan tatapan yang memang kesal.“KAU ANAK SIALAN. KENAPA KAU MEMPERMALUKAN AKU?” tanya ayahku dengan berteriak di telingaku. Aku tidak bisa menjawab karena kepalaku terasa sakit sekali.“Ayah, sakit,” kataku dengan lemas.Namun, ayah menginjak jari-jariku dan menendang tubuhku. Rasanya benar-benar sakit. Aku berteriak namun ayahku menutup mulutku menggunakan sepatunya.“KAU BENAR-BENAR BODOH. NAMA BAIK AYAHMU SEKARNG TERCEMAR. DAN ITU SEMUA SALAHMU ANAK SIALAN.”Aku meronta-ronta meminta ayahku melepaskan sepatunya dari mulutku. Namun dia semakin menjejalkan sepatu mahalnya itu di mulut anak perempuannya yang membuat salah satu gigiku ada yang patah Kau kejam sekali, ayah.Ayahku kemudian melepas
Hari senin yang cerah. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku mengambil kunci mobil dan berangkat ke sekolah. Ayah sedang sarapan dan dia terlihat tidak senang melihatku, dia lalu melempar gelas yang ia pegang ke arahku. Aku buru-buru berlari mengambil kunci mobil dan pergi keluar menuju mobil. Ibuku yang sedang berada di luar rumah berpura-oura tidak melihatku dan lanjut memainkan ponselnya.Saat aku sampai sekolah, aku sudah menduga bahwa orang-orang akan memperhatikan aku dengan tatapan seolah-olah aku binatang yang menjijikan. Sekolah tempatku belajar adalah sekolah elite berisikan murid-murid dengan orang tua yang kaya.Saat aku masuk kelas seluruh murid di kelas menjaga jarak denganku. Semuanya berbisik-bisik soal kasus itu dan juga memar di wajahku. Aku rasa mereka pun paham bagaimana cara orang-orang kaya menyelesaikan masalah, namun mereka tidak tahu bagaimana ayahku menyelesaikan masalahnya denganku. Aku tidak peduli bagaimana mereka memperlakukank
Aku mencoba untuk fokus ke jalan, namun aku tidak mampu melakukannya. Mataku terus tertuju pada pria di sebelahku ini. Jika ini terus berlanjut, kita berdua akan berakhir di rumah sakit karena keteledoranku.“Liam, gantikan aku menyetir,” kataku seraya berhenti di tepi jalan.“Memangnya ada apa denganmu?” tanya Liam yang kemudian turun dari mobilku.“Aku tidak bisa fokus pada jalan, aku sedang banyak pikiran,” ujarku beralasan.Kami lalu bertukar posisi dan kami pun melanjutkan perjalanan kami yang tidak bertujuan. Namun, sebagian besar alasan aku bertukar dengannya adalah karena dengan begini aku bisa memperhatikannya tanpa harus khawatir akan terjadi kecelakaan.“Kita mau kemana, nyonya?” tanya Liam yang membuatku tersadar dari lamunanku.“Aku lapar,” jawabku asal.“Kalau begitu kita pulang.”“Kenapa tidak makan diluar?” tanyaku.&ldquo
Aku rasa aku tidak pernah mencintai seseorang, atau mungkin aku pernah mencintai kedua orang tuaku. Tapi sekarang aku hanya mencintai harta mereka. Tapi kali ini berbeda, aku mencintai Liam, sungguh.“Hey, kau masih akan terdiam disana dan memperhatikan aku dengan mata seram itu?” tanya Liam yang membuatku tersadar. Tidak aku sangka aku sudah terlalu lama memikirkannya.“Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur disini,” kata Liam sambil menunjuk kearah kamarnya. Aku hanya mengangguk dan melangkahkan kakiku menuju kamar itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh. Aku lalu berbaring diatas ranjang Liam dan mencoba untuk tidur. Namun, semua pikiran tentang Liam datang dan membuatku tidak mengantuk. Aku bangun dari tempat tidur dan mengintip Liam dari balik pintu. Liam yang merasa kalau sedang diperhatikan lalu melihatku dan mengacungkan jari tengahnya kepadaku. Aku hanya tertawa ringan dan kembali ke tempat tidur. Selamat malam.Sinar matahar
Aku terkejut melihat ayah Ava di tempat ini dan Ava pun sama terkejutnya dengan aku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku khawatir akan pekerjaanku. Ruby sudah menuju ke lorong tempat ruang interogasi berada dan aku bisa melihat Ava yang tidak bisa bergerak karena tangannya di cengkram dengan sangat kuat oleh ayahnya, ayah kejam Ava sekaligus bos tempat aku bekerja.Aku segera menyusul Ruby menuju ruang interogasi dan meninggalkan Ava berdua dengan ayahnya di lobby kantor polisi. Beruntung ayahnya tidak menyadari aku yang berada di sampingnya. Aku lalu melihat orang berjas hitam dan 3 orang polisi yang mengawal Ruby masuk ke sebuah ruangan. Jendela ruangan itu sangat bersih sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam.Di dalam ruangan itu ada seorang pria berbadan kekar yang menggunakan jaket kulit hitam. Pria itu lalu mengeluarkan sebuah koper hitam dan meletakkan koper itu sesaat setelah polisi dan juga Ruby masuk ke dalam ruangan itu. Pria dengan jas hi
Hari sudah malam dan aku bisa mendengar ayahku yang sudah datang dan membanting pintu dengan keras. Aku berjalan tertatih-tatih menuju pintu kamarku dan menguncinya karena takut ayahku masuk kesini. Aku lalu kembali menuju tempat tidur, mencoba untuk tenang dan menahan rasa sakitku. Aku ingin pergi dari rumah ini, sungguh.Aku berpikir untuk pergi ke apartemen Liam, mungkin saja dia ada disana dan aku bisa bertemu dengan Ruby. Tapi, saat aku melihat ponselku, aku melihat pesan singkat yang Liam kirim untukku. Dia tidak ada di apartemennya dan sedang berada di kota tetangga karena membawa kabur Ruby dan juga uang ayahku. Kepalaku terasa seperti akan meledak mengetahui itu, sungguh. Bagaimana mereka berdua bisa bersama? Bukankah Martin bersama Ruby ketika di kantor polisi?Jika Liam berada di luar kota sekarang, maka nenek sekarang sendirian. Aku harus menemuinya. Sayang sekali itu tidak mudah dengan kondisiku yang sekarang, seluruh tubuhku terasa sakit dan yang lebih pa
Liam’s PoVKami berhenti di sebuah stasiun pengisian bahan bakar karena bensin mobil sudah menipis. Aku bisa melihat Ruby yang tengah tertidur dengan pulas, mungkin dia memang kelelahan. Setelah selesai aku pergi ke minimarket yang terletak tidak jauh dari tempat pengisian bahan bakar untuk membeli beberapa makanan ringan dan minuman karena hari sudah malam dan aku lapar. Sial, isi dompetku juga ikut menipis. Saat aku kembali ke mobil aku melihat Ruby sudah terbangun.“Darimana kau? Kenapa kau tidak membangunkanku?” tanya Ruby saat aku kembali.“Minimarket, aku lapar,” ucapku seraya memberikan belanjaanku kepadanya. Dia lalu melihat isinya dan mengambil roti dan juga minuman dingin.“Kita harus beristirahat, aku lelah sekali,” ucapku.Aku lalu menyusuri jalan kota ini dan melihat sebuah hotel yang tidak terlalu besar. Aku lalu memarkirkan mobil dan turun.“Kenapa kita pergi ke
Aku bangun pagi ini dengan perasaaan segar dan bersemangat karena aku memiliki hal penting untuk dilakukan hari ini. Aku bergegas menuju ke kamar mandi dan mandi untuk membuat tubuhku semakin segar.Setelah mandi, aku pergi menuju ke ruang tamu dan mendapati ibuku yang tengah memasak sarapan. Dia tampak heran melihat aku yang masih pagi begini sudah mandi.“Mau kemana pagi-pagi sekali?” tanya ibuku.“Tidak kemana-mana, sedang ingin saja,” jawabku seraya tersenyum dan menunjukkan gigiku.Ibuku hanya menggelengkan kepala dan memasang ekspresi yang mengisyaratkan “terserah kau saja” di wajahnya.“Dimana ayah?” tanyaku.“Sepertinya di taman, bersama Finn,” jawab ibuku seraya membalik telur goreng.Semenjak Finn datang, ayahku selalu bangun sangat pagi dan menghabiskan waktu bersama Finn sampai waktu sarapan. Entah itu jalan-jalan pagi mengelilingi lingkungan rumah kami, atau hany
Malam menyapa. Kegiatan bakti sosial itu berlangsung sampai sore dan kami semua melewatkan jam makan siang sehingga kami memutuskan untuk makan bersama di restoran. Aku melihat unggahan akun sosial media yayasan kami yang dikelola oleh Yura sebagai bagian dokumentasi.Semua komentar positif dilontarkan oleh para pengguna sosial media di tiap unggahan serta semua hati dan ibu jari yang berjumlah ribuan berada disana. Aku tersenyum bahagia, dan aku ingin sedikit berteriak mengetahui rasa senangku, tapi aku tidak ingin terlihat memalukan di restoran ini.“Haruskah kita melakukan rapat sekarang? Nyonya ketua?” tanya Mason seraya menyeruput es tehnya.“Entahlah, aku rasa kita bisa melakukannya di pertemuan berikutnya, aku memiliki semua hal yang perlu kita evaluasi, aku bisa melakukan pertemuan kapan saja, tergantung kepada kalian, mungkin ada yang sibuk? Atau tidak bisa datang? Karena itu, untuk menghindari hal tersebut, aku ingin agar kita menyesu
“Ada satu tempat lagi yang harus kita datangi, ini sangat penting, jadi kau tidak boleh menolak, ajak saja Finn, mereka tidak melarang anjing untuk datang,” ucap Carla seraya menyeruput minumannya.“Kemana?” tanyaku ingin tahu.Carla tidak menjawab dan Finn mengonggong dari belakang. Dia tampak senang berada di dalam mobil, dan aku mengelus kepalanya.Kami lalu masuk ke sebuah komplek perumahan elit dimana banyak sekali rumah-rumah berukuran besar. Aku tidak pernah pergi kesini sebelumnya, jadi ini semua terasa asing untukku.“Ini mau kemana? Aku tidak pernah kesini,” ucapku kebingungan.Carla masih tidak menjawab, namun dia tersenyum riang dan kami kemudian berhenti di sebuah rumah mewah dengan banyak mobil terparkir di depannya. Carla lalu mengajak kami masuk ke dalam dan aku membukakan pintu untuk Finn. Ketika aku sampai di depan pintu, terdengar suara berisik dari dalam.“Hai Ava!” teriak s
“SELAMAT DATANG DI PET CONVENTION TAHUNAN!!”Seorang wanita menyambut kami yang tengah berjalan memasuki sebuah tanah lapang yang dipenuhi tenda-tenda dan balon-balon. Carla yang terlihat sangat bersemangat menarik tanganku menuju ke salah satu dari tenda-tenda itu.Aku melihat ke sekelilingku dan memang benar, ada banyak sekali binatang-binatang unik dan lucu disini. Aku menghampiri sebuah tenda yang memiliki beberapa ekor landak berwarna putih dan aku mengelus duri-duri di punggungnya dengan lembut. Landak itu terlihat menyukai perlakuanku kepadanya. Entahlah, dia memejamkan matanya dan terlihat santai, jadi aku berasumsi kalau dia menyukaiku.“Ava Ava!! Lihat ini, dia sangat lucu!” teriak Carla dari tenda disebelahku. Dia menggendong seekor anak monyet berwarna putih.“Ah kau benar, dia sangat lucu!” ucapku seraya mengelus rambut putihnya. Dia juga terlihat mneyukainya.“Dia spesies yang langka, negara t
Sesampainya dirumah, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk di kamarku dan memandangi langit-langit kamarku. Aku memperhatikan lenganku yang terlihat sedikit berisi dibandingkan beberapa bulan yang lalu.“Aku rasa aku sedikit gendut, sepertinya memang benar,” gumamku seraya meremas lengan kiriku dengan tanganku.Aku lalu berdiri menghadap cermin dan memandangi cermin. Memandangi tubuhku dan beralih menatap mataku sendiri yang juga menatapku di sisi lain cermin.Asap. Dimana-mana ada asap, dan cerminku mulai retak. Luka di wajahku yang sudah mengering, terkelupas. Kakiku bergemetar hebat. Aku sudah mengalami ini berkali-kali, namun, aku masih merasa takut. Di dalam hati, aku berteriak. Ketika aku mengalihkan pandangan ke tempat tidurku, disana terbaring tubuh Carla dengan darah berlumuran dimana-dimana.“AVA!!”Aku menoleh, mencari asal suara yang ternyata datang dari ibuku yang tengah memperhatikan aku dari pintu kam
Makanan yang kami pesan datang dan aku masih belum menyentuh steak yang aku pesan. Aku masih memikirkan semua yang Liam katakan seraya melihat ke arah ayah dan ibuku yang tengah bercanda bersama Ruby dan juga nenek Liam.“Beberapa jam sebelum makan malam, menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku yang menyenangkan ini,” ucapku dalam hati.Sejak awal bertemu dengannya, dia merubah hidupku. Dan aku rasa aku sudah mengatakannya ratusan kali. Gadis bergelimang harta namun sarat akan kasih sayang, gadis yang memiliki sebuah istana namun tidak bisa dianggap rumah, gadis yang bisa mendapatkan semua yang dia inginkan kecuali cinta yang tulus, semuanya berubah hanya dalam satu hari dimana aku memutuskan untuk mencari sarapan di pagi yang cerah dalam kondisi mengantuk.“Ava, sayang, kenapa kau tidak makan?” tanya ayahku yang tengah mengobrol dengan Liam. Dia melihatku dengan wajah khawatir.“Ah iya, aku hanya sedang memikir
Kakiku tidak bisa berhenti bergemetar karena makan malam bersama Liam yang akan dilangsungkan beberapa jam lagi. Ayah dan ibuku sudah siap, begitu juga dengan aku. Tapi, aku benar-benar merasa takut yang tidak wajar, padahal aku hanya akan pergi makan malam di luar bersama keluargaku.“Sayang, apa kau benar-benar se-takut itu?” tanya ibuku yang sepertinya melihat kegelisahan di wajahku.“Entahlah, tapi, aku tidak bisa selamanya menghindar bukan?”“Kau benar, tapi kau tidak perlu buru-buru,” ujar ibuku lagi.“Tidak apa-apa, ini hanya makan malam, lagipula, aku tidak tahu kenapa aku harus merasakan ini, padahal aku sempat mencintai orang lain setelah aku dan dia tidak lagi saling menghubungi, jadi, aku berkesimpulan kalau rasa takut ini hanya rasa takut untuk sementara waktu, setelah beberapa saat aku di meja makan, tentu saja aku akan baik-baik saja,” jelasku.Ibuku hanya tersenyum dan kami meninggalka
Aku membuka mataku setelah semalaman tertidur di depan televisi. Semalam, aku memutar film Titanic untuk membantuku tidur, karena itu film yang sangat membosankan dan benar saja, aku bisa bangun pagi ini karena aku berhasil tidur semalam.“Selamat pagi, sayang,” ucap ibuku seraya membuka gorden dan mematikan lampu yang masih menyala.“Pagi, bu, apa ayah belum bangun?”“Belum, dia masih tidur sekarang, apa kau mau sarapan duluan?” tanya ibuku.“Boleh, aku ingin sereal milik ayah, sepertinya enak,” pintaku kepada ibuku.“Beberapa hari yang lalu kau meledek ayah karena makan sereal itu, tapi sekarang kau menginginkannya,” komentar ibuku seraya menahan tawa.“Ah sudahlah, semalam ada iklan tentang sereal itu dan itu benar-benar menggugah selera,” ucapku seraya memanyunkan bibir.“Kalau begitu kau cuci dulu wajahmu, agar terlihat lebih segar,” ucap ibuku de
Pertemuanku dengan orang tua Michael Pattertson kemarin, sejujurnya masih membuatku bingung. Sudah ada beberapa orang di dalam hidupku yang menganggap kalau uang akan memberiku kebahagiaan, padahal, tidak seperti itu.Jika aku ceritakan ulang, aku baru merasa bahagia ketika seseorang mau mengerti akan diriku, ketika aku merasa di cintai meskipun pada akhirnya itu hanya kebohongan dan juga kegagalan, ketika aku bisa bersama keluargaku, bersenda gurau bersama mereka, ketika aku bisa menceritakan berbagai masalah kepada teman baikku, aku sudah cukup bahagia.Aku rasa, kebahagiaanku tidak melulu soal uang, karena sebelum aku bertemu dengan Liam, aku juga belum paham bagaimana bahagia menurut orang-orang, dan ternyata, mereka hanya berpikiran kalau ada uang, maka akan bahagia.Liam dan Sam, membuatku merasa bahagia. Mereka membuatku merasa di cintai, namun, keduanya berakhir dalam kegagalan, dan yang kedua membuat semuanya menjadi runyam. Kebohongan, ancaman, dan ras