Liam’s POV
Aku mencoba untuk tetap sadar setelah orang-orang brengsek ini memukuliku. Mereka memukuli ku karena aku meninju salah satu dari ke empat orang ini karena mereka tertangkap basah olehku hendak memperkosa seorang wanita di depan ku. Namun aku tidak berdaya menghadapi mereka. Hal terakhir yang aku ingat adalah salah satu dari mereka menendang wajahku dan semuanya menjadi gelap.
Saat aku bangun seluruh badanku terasa sakit dan sepertinya wanita tadi pada akhirnya bernasib buruk, karena aku menemukan dirinya tergeletak dengan pakaian yang sudah terkoyak-koyak dan darah di kepala dan disekitar pahanya beberapa meter dari tempat aku pingsan. Aku menghampirinya dan memeriksa apakah dia masih bernapas atau tidak. Dia bernapas.
Aku lalu menutupi badannya dengan jaket yang aku pakai dan menggendongnya ke mobil pick-up usang ku. Aku tidak mungkin membawanya ke rumah sakit karena aku tidak mungkin memiliki uang untuk membayarnya. Jadi, mungkin aku bisa merawatnya untuk sementara di rumahku.
Seluruh badanku terasa sakit di setiap sudutnya. Aku juga merasa bersalah karena gagal melindungi wanita ini. Semoga saja dia baik-baik saja. Aku memandangi wanita itu. Beberapa bagian di sekitar wajahnya membiru dan bibir serta dahinya mengeluarkan darah. Entah kenapa aku merasa ini adalah kesalahanku. Aku gagal.
Aku lalu sampai kerumahku dan menggendong tubuh wanita ini ke lantai dimana apartemen tempat aku dan nenekku tinggal. Aku membuka pintu dan membaringkan tubuhnya diatas sofa lalu membangunkan nenekku yang sedang tidur dan memberitahu kondisi wanita ini. Nenekku beranjak dari tempat tidurnya dan segera memeriksa wanita itu. Semoga saja dia tidak apa-apa.
Aku menunggu wanita ini bangun sambil mengobati luka-luka di wajahnya dibantu oleh nenekku. Orang-orang brengsek itu benar-benar mengacaukan segalanya. Aku lalu melihat ponsel ku yang retak di beberapa bagian karena perkelahian tadi. Pukul 11 malam dan besok adalah hari pertama aku masuk sekolah menengah atas.
Beberapa saat kemudian wanita ini membuka matanya dan aku langsung membantunya untuk duduk. Dia menatapku dan nenekku selama beberapa saat dan mengalihakn pandangannya ke tembok kosong. Tak lama kemudian air mata membasahi matanya dan mengalir menuju pipinya dan jatuh ke jaket yang aku berikan untuk menutupi tubuhnya.
Aku menyentuh bahu wanita itu dan dia mencengkram tanganku dengan sangat kuat. Dia lalu kembali menatapku kemudian menangis sejadi-jadinya. Aku panik dan mencoba untuk menenangkannya.
“Hey, sudahlah, sebaiknya kau minum dulu,” ucapku seraya memberikan segelas air kepada wanita itu dan dia meminumnya dengan perlahan-lahan.
“Siapa namamu?” tanyaku mencoba membuka pembicaraaan.
“Alita.”
“Kau mengalami malam yang buruk. Maafkan aku gagal menyelamatkanmu.”
“Tak apa.”
“Kau sudah makan?” tanyaku dan dia hanya mengangguk. Dia lalu berdiri dan berjalan tertatih-tatih menuju pintu keluar.
“Hey, kau mau kemana?”
“Pulang.”
“Beristirahatlah dulu Alita, setidaknya aku akan mengobati luka-lukamu dulu. Maafkan aku tidak bisa membawamu ke rumah sakit karena aku tidak mungkin bisa membayarnya.”
“Kau mau mencoba menyelamatkanku lagi? Kau yakin tidak akan gagal lagi?,” tanya Alita.
Aku terdiam. Apa yang dikatakannya tidak salah. Aku memang gagal menyelamatkannya. Dia menatapku dengan tatapan kosongnya lagi dan membuka pintu. Aku masih terdiam dan tidak bisa bergerak. Nenekku lalu menghampiri Alita, mencengkram bahu Alita dan menunjukkan salah satu halaman di sebuah buku tulis yang sering nenekku bawa kemana-mana untuk berkomunikasi.
Alita terdiam beberapa saat memperhatikan halaman tersebut. Tiba-tiba saja dia menangis lagi dan memeluk nenek. Nenek lalu memapahnya menuju sofa lagi.
“Terima kasih, Liam.”
Aku lalu melihat ke sofa dan melihat Alita yang sedang duduk sambil meminum air. Matanya memperhatikan aku dan bibirnya terlihat membentuk sebuah senyuman. Apa yang ditulis nenekku di buku itu sudah membuatnya merasa lebih baik. Aku lalu menghampirinya dan melanjutkan mengobati luka-lukanya bersama nenekku.
“Kau dan nenekmu adalah orang yang sangat baik, aku bersyukur bertemu kalian.”
“Terima kasih, Alita. Maafkan aku karena gagal menyelamatkanmu.”
“Aku yang minta maaf. Aku sudah mengatakan hal buruk kepadamu. Seharusnya aku berterima kasih kepadamu sejak tadi.”
“Mungkin kau hanya shock. Tidak apa.”
Alita lalu meminta izin untuk menggunakan kamar mandi dan aku memberikannya pakaian bersih milikku untuknya. Dia lalu keluar dari kamar mandi dan terlihat jauh lebih baik dari sebelumnya.
“Liam, bisa kau mengantarku pulang?” tanya Alita kepadaku.
“Kau sudah tidak apa-apa?”
“Aku sudah merasa lebih baik, ini berkatmu dan nenekmu," jawab Alita sambil tersenyum.
“Baiklah.”
Aku dan Alita lalu berpamitan dengan nenekku dan pergi menuju Beverly Hills. Tempat Alita dan orang tuanya tinggal.
“Apa yang nenekku tulis di bukunya?” tanyaku kepadanya.
“Kau lebih beruntung karena tidak perlu kehilangan lidahmu dan bertemu dengan Liam. Aku tahu rasanya memang menyakitkan, memalukan, dan menjijkan. Tapi hidupmu belum berakhir, nyonya muda. Berterimakasih lah kepada Liam. Aku tidak seberuntung dirimu,” jelas Alita dengan mata berkaca-kaca. Mendengarnya membuatku merasa sedikit lega.
“Kau orang yang baik, Liam. Bagaimana aku membalas kebaikanmu ini?” tanya Alita.
“Bagaimana ya? Tetaplah hidup dan bersemangatlah. Dengan begitu pertolonganku tidak akan terasa sia-sia,” jawabku dengan tersenyum.
Tidak lama kemudian kami sampai di rumah Alita. Rumah minimalis dengan nuansa putih dihiasi beberapa bunga di pekarangannya. Aku bisa melihat orang tuanya diluar rumah memasang wajah khawatir. Alita dan aku lalu turun dan menghampiri orang tua Alita.
“Darimana saja kau? Sudah lewat tengah malam dan kau tidak mengabari sama sekali. Apa yang terjadi dengan pakaian mu? Kenapa berbeda dengan tadi sore saat kau keluar? Dan siapa yang bersamamu ini? Ayah tidak melarangmu memiliki pacar tapi kau harus mengabari kami jika akan pulang terlambat. Ayah takut hal buruk terjadi dengan putriku,” ayah Alita langsung memberikan kami kuis sebagai hadiah keterlambatan pulang putrinya.
“Hal buruk sudah terjadi ayah, bisakah kita masuk dulu kedalam?” kata Alita seraya masuk kedalam rumahnya.
“A-apa maksudmu?” tanya ayah Alita seraya mengikuti anaknya masuk ke dalam.
Aku lalu mengikutinya dan duduk di salah satu kursi dengan perasaan gugup dan takut. Ayah Alita mempehatikan aku dengan tajam dan meminum kopinya.
“Aku diperkosa, ayah.”
Ayah Alita lalu mejatuhkan gelas kopinya ke lantai dan pecahannya terlempar kemana-mana. Ibu Alita yang sama terkejutnya pun reflek mencengkram bahu suaminya.
“B-bagaimana bisa?” tanya ibu Alita.
“Entahlah, bu. Saat itu aku sedang berjalan menuju halte. Aku memotong jalan karena hari sudah malam dan aku ingin cepat-cepat. Tapi aku tidak menyadari beberapa orang-orang brengsek itu sedang bersembunyi di balik tempat sampah dan langsung mencoba menelanjangiku,” cerita Alita
“Brengsek,” umpat ayah Alita.
“Aku tidak berdaya, ayah ada 4 orang dari mereka. Saat mereka hendak melakukan hal buruk itu kepadaku, Liam datang dan mencoba menghentikan mereka. Namun Liam pun tidak bisa berbuat banyak,” lanjut Alita
“Maafkan aku, pak,” uajrku dengan lemah. Aku meminta maaf karena sudah gagal melindungi putrinya. Ayahnya hanya diam dan memperhatikan aku sejenak kemudian menitikkan air mata. Hari ini sudah banyak sekali tangisan.
“Orang-orang brengsek itu melakukannya ayah, mereka memperkosaku dan mengambil barang-barangku. Itulah kenapa aku tidak bisa mengabarimu,” jelas Alita yang ikut menitikkan air mata.
“Tapi Liam menolongku dan membawa aku kerumhanya untuk merawat luka-lukaku dan memberikan pakaian ini karena pakaianku rusak dan robek dimana-dimana. Dia orang yang baik ayah, dia sudah menolongku,” cerita Alita seraya memegeng lenganku.
“Aku tidak bisa berbuat banyak, pak. Aku tidak bisa membawanya kerumah sakit karena aku tidak mungkin bisa membayarnya. Hanya itu yang setidaknya bisa aku lakukan,” aku mencoba ikut menjelaskan.
“Tidak perlu meminta maaf. Justru aku harus berterima kasih atas apa yang sudah kau lakukan. Kami akan membalas kebaikanmu,” kata ayah Alita
“Tidak perlu, aku senang bisa membantunya. Aku juga merasa jika itu memang sebuah keharusan untuk menolongnya," ucapku seraya tersenyum.
Ayah Alita lalu memelukku dan meminta istrinya untuk membuatkan aku minuman hangat karena malam ini memang dingin, tapi aku menolaknya karena sudah terlalu malam dan aku harus sekolah di pagi hari.
“Kau baru masuk sekolah besok? Dimana kau bersekolah, Liam?” tanya Alita
“Georgina Luxemburg High School.”
“Kebetulan sekali. Akan aku jemput kau besok. Kita akan berangkat bersama. Hari ini juga hari pertamaku bersekolah disana,” kata Alita lalu tersenyum kepadaku.
“Oh ya? Baiklah jika kau tidak keberatan,” ucapku sambil tersenyum,
“Sepertinya kau dan aku akan menjadi teman yang baik.” Alita tersenyum sangat manis. Mata besarnya terlihat indah dengan senyuman manisnya. Aku baru menyadarinya. Dia terlihat cantik saat tersenum.
Aku lalu berpamitan dengan kedua orang tua Alita dan juga Alita lalu pergi menyusuri jalan yang sudah sepi dengan mobil pick-up ku. Aku merasa lelah dan mengantuk. Saat aku sampai di apartemenku aku langsung menjatuhkan diriku diatas sofa dan tidur. Selamat malam.
Paginya Alita benar-benar menjemputku, bahkan dia sudah sampai duluan sebelum aku bangun. Aku yang melihatnya langsung pergi ke kamar mandi dan bersiap secepat kilat agar dia tidak menunggu lama. Dia hanya tertawa melihat aku yang sedang terburu-buru. Ini masih terlalu pagi, Alita. Aku lalu berpamitan dengan nenekku dan pergi ke sekolah bersama Alita.
Hari pertamaku di sekolah tidak lah buruk. Aku dan Alita berada di kelas yang berbeda dan aku mendapatkan beberapa teman baru di kelas ku dan mereka semua orang yang baik. Saat pulang sekolah aku harus bekerja di sebagai pengawas gudang di salah satu perusahaan minyak ternama di negeri ini.
Setelah hari dimana aku menyelamtakan Alita, aku sering sekali menghabiskan waktu dengannya. Kami berbelanja bersama dan menonton film bersama. Hari-hari ku tidak terasa bosan karenanya. Ternyata dia orang yang menyenangkan. Namun hal-hal menyenangakan itu hanya berlangsung selama setahun, karena tiba-tiba saja, satu sekolah mengetahui, apa yang sudah terjadi dengannya tahun lalu.
Hari ini adalah hari ketiga masuk sekolah setelah libur kenaikan kelas. Namun, ini adalah awal semester terburuk yang pernah aku alami. Sebuah video tersebar di sekolah dan sosial media. Video tersesbut adalah video Alita yang tengah diperkosa oleh orang-orang brengsek itu. Hari itu, Alita langsung menjadi pusat perhatian satu sekolah. Beberapa merasa prihatin dengan apa yang sudah dilalui Alita dan mencoba membuat Alita merasa lebih baik. Namun, yang lainnya seperti tidak memiliki otak di dalam kepalanya.Seminggu kemudian, Alita tidak pernah lagi datang ke sekolah. Mungkin karena dia tidak tahan berkali-kali dikerjai dan dicap pelacur oleh murid sekolah ini. Bahkan, dia pun menolak menemuiku dan melarangku datang kerumahnya di minggu pertama sejak ia mengurung diri.Aku pun tidak tahan lagi. Apakah mereka tidak mengerti jika Alita adalah korban dari pemerkosaan? Kenapa mereka begitu kekanak-kanakan menganggap kasus pemerkosaan adalah hal yang lucu? Aku tidak tahan me
Dia mencoba menyembunyikan air matanya. Namun aku masih bisa melihatnya. Dia lalu tersenyum kepadaku, namun aku bisa melihat kalau itu adalah senyuman yang dipaksakan. Aku merasa kesal dengannya, namun tidak sampai membencinya. Dia memberiku peringatan sebelum menceritakan cerita itu. Namun, aku pun merasa kasihan dengannya yang sudah kehilangan orang yang ia cintai. Dia memang tidak peka, sikap bodohnya membuatnya ingin membunuh dirinya sendiri. Tapi tidak semuanya salah Liam. Tentu saja dia akan merasa bersalah atas kematian Alita karena dia mencintainya.“Bagaimana? Kau membenciku?” tanya Liam kepadaku.“Tidak.”“Syukurlah.”“Lalu, bagaimana kau bisa tetap hidup?”“Sepertinya seseorang menemukan diriku dan pihak sekolah membawaku kerumah sakit. Aku tidak pernah tau siapa dia karena satu sekolah menjaga jarak denganku.”“Eric?”“Dia baru mengetahuinya dari
Ayah menghampiriku dan menampar aku dengan keras hingga aku terjatuh. Kepala ku yang terasa sangat pusing kemudian ditendang oleh ayahku yang sepertinya belum puas menamparku. Ibuku hanya melihat dari sofa dengan tatapan yang memang kesal.“KAU ANAK SIALAN. KENAPA KAU MEMPERMALUKAN AKU?” tanya ayahku dengan berteriak di telingaku. Aku tidak bisa menjawab karena kepalaku terasa sakit sekali.“Ayah, sakit,” kataku dengan lemas.Namun, ayah menginjak jari-jariku dan menendang tubuhku. Rasanya benar-benar sakit. Aku berteriak namun ayahku menutup mulutku menggunakan sepatunya.“KAU BENAR-BENAR BODOH. NAMA BAIK AYAHMU SEKARNG TERCEMAR. DAN ITU SEMUA SALAHMU ANAK SIALAN.”Aku meronta-ronta meminta ayahku melepaskan sepatunya dari mulutku. Namun dia semakin menjejalkan sepatu mahalnya itu di mulut anak perempuannya yang membuat salah satu gigiku ada yang patah Kau kejam sekali, ayah.Ayahku kemudian melepas
Hari senin yang cerah. Aku sudah bersiap untuk berangkat ke sekolah. Aku mengambil kunci mobil dan berangkat ke sekolah. Ayah sedang sarapan dan dia terlihat tidak senang melihatku, dia lalu melempar gelas yang ia pegang ke arahku. Aku buru-buru berlari mengambil kunci mobil dan pergi keluar menuju mobil. Ibuku yang sedang berada di luar rumah berpura-oura tidak melihatku dan lanjut memainkan ponselnya.Saat aku sampai sekolah, aku sudah menduga bahwa orang-orang akan memperhatikan aku dengan tatapan seolah-olah aku binatang yang menjijikan. Sekolah tempatku belajar adalah sekolah elite berisikan murid-murid dengan orang tua yang kaya.Saat aku masuk kelas seluruh murid di kelas menjaga jarak denganku. Semuanya berbisik-bisik soal kasus itu dan juga memar di wajahku. Aku rasa mereka pun paham bagaimana cara orang-orang kaya menyelesaikan masalah, namun mereka tidak tahu bagaimana ayahku menyelesaikan masalahnya denganku. Aku tidak peduli bagaimana mereka memperlakukank
Aku mencoba untuk fokus ke jalan, namun aku tidak mampu melakukannya. Mataku terus tertuju pada pria di sebelahku ini. Jika ini terus berlanjut, kita berdua akan berakhir di rumah sakit karena keteledoranku.“Liam, gantikan aku menyetir,” kataku seraya berhenti di tepi jalan.“Memangnya ada apa denganmu?” tanya Liam yang kemudian turun dari mobilku.“Aku tidak bisa fokus pada jalan, aku sedang banyak pikiran,” ujarku beralasan.Kami lalu bertukar posisi dan kami pun melanjutkan perjalanan kami yang tidak bertujuan. Namun, sebagian besar alasan aku bertukar dengannya adalah karena dengan begini aku bisa memperhatikannya tanpa harus khawatir akan terjadi kecelakaan.“Kita mau kemana, nyonya?” tanya Liam yang membuatku tersadar dari lamunanku.“Aku lapar,” jawabku asal.“Kalau begitu kita pulang.”“Kenapa tidak makan diluar?” tanyaku.&ldquo
Aku rasa aku tidak pernah mencintai seseorang, atau mungkin aku pernah mencintai kedua orang tuaku. Tapi sekarang aku hanya mencintai harta mereka. Tapi kali ini berbeda, aku mencintai Liam, sungguh.“Hey, kau masih akan terdiam disana dan memperhatikan aku dengan mata seram itu?” tanya Liam yang membuatku tersadar. Tidak aku sangka aku sudah terlalu lama memikirkannya.“Kau bisa tidur di kamarku, aku akan tidur disini,” kata Liam sambil menunjuk kearah kamarnya. Aku hanya mengangguk dan melangkahkan kakiku menuju kamar itu. Aku benar-benar seperti orang bodoh. Aku lalu berbaring diatas ranjang Liam dan mencoba untuk tidur. Namun, semua pikiran tentang Liam datang dan membuatku tidak mengantuk. Aku bangun dari tempat tidur dan mengintip Liam dari balik pintu. Liam yang merasa kalau sedang diperhatikan lalu melihatku dan mengacungkan jari tengahnya kepadaku. Aku hanya tertawa ringan dan kembali ke tempat tidur. Selamat malam.Sinar matahar
Aku terkejut melihat ayah Ava di tempat ini dan Ava pun sama terkejutnya dengan aku. Aku tidak bisa berkata apa-apa karena aku khawatir akan pekerjaanku. Ruby sudah menuju ke lorong tempat ruang interogasi berada dan aku bisa melihat Ava yang tidak bisa bergerak karena tangannya di cengkram dengan sangat kuat oleh ayahnya, ayah kejam Ava sekaligus bos tempat aku bekerja.Aku segera menyusul Ruby menuju ruang interogasi dan meninggalkan Ava berdua dengan ayahnya di lobby kantor polisi. Beruntung ayahnya tidak menyadari aku yang berada di sampingnya. Aku lalu melihat orang berjas hitam dan 3 orang polisi yang mengawal Ruby masuk ke sebuah ruangan. Jendela ruangan itu sangat bersih sehingga aku bisa melihat apa yang terjadi di dalam.Di dalam ruangan itu ada seorang pria berbadan kekar yang menggunakan jaket kulit hitam. Pria itu lalu mengeluarkan sebuah koper hitam dan meletakkan koper itu sesaat setelah polisi dan juga Ruby masuk ke dalam ruangan itu. Pria dengan jas hi
Hari sudah malam dan aku bisa mendengar ayahku yang sudah datang dan membanting pintu dengan keras. Aku berjalan tertatih-tatih menuju pintu kamarku dan menguncinya karena takut ayahku masuk kesini. Aku lalu kembali menuju tempat tidur, mencoba untuk tenang dan menahan rasa sakitku. Aku ingin pergi dari rumah ini, sungguh.Aku berpikir untuk pergi ke apartemen Liam, mungkin saja dia ada disana dan aku bisa bertemu dengan Ruby. Tapi, saat aku melihat ponselku, aku melihat pesan singkat yang Liam kirim untukku. Dia tidak ada di apartemennya dan sedang berada di kota tetangga karena membawa kabur Ruby dan juga uang ayahku. Kepalaku terasa seperti akan meledak mengetahui itu, sungguh. Bagaimana mereka berdua bisa bersama? Bukankah Martin bersama Ruby ketika di kantor polisi?Jika Liam berada di luar kota sekarang, maka nenek sekarang sendirian. Aku harus menemuinya. Sayang sekali itu tidak mudah dengan kondisiku yang sekarang, seluruh tubuhku terasa sakit dan yang lebih pa
Aku bangun pagi ini dengan perasaaan segar dan bersemangat karena aku memiliki hal penting untuk dilakukan hari ini. Aku bergegas menuju ke kamar mandi dan mandi untuk membuat tubuhku semakin segar.Setelah mandi, aku pergi menuju ke ruang tamu dan mendapati ibuku yang tengah memasak sarapan. Dia tampak heran melihat aku yang masih pagi begini sudah mandi.“Mau kemana pagi-pagi sekali?” tanya ibuku.“Tidak kemana-mana, sedang ingin saja,” jawabku seraya tersenyum dan menunjukkan gigiku.Ibuku hanya menggelengkan kepala dan memasang ekspresi yang mengisyaratkan “terserah kau saja” di wajahnya.“Dimana ayah?” tanyaku.“Sepertinya di taman, bersama Finn,” jawab ibuku seraya membalik telur goreng.Semenjak Finn datang, ayahku selalu bangun sangat pagi dan menghabiskan waktu bersama Finn sampai waktu sarapan. Entah itu jalan-jalan pagi mengelilingi lingkungan rumah kami, atau hany
Malam menyapa. Kegiatan bakti sosial itu berlangsung sampai sore dan kami semua melewatkan jam makan siang sehingga kami memutuskan untuk makan bersama di restoran. Aku melihat unggahan akun sosial media yayasan kami yang dikelola oleh Yura sebagai bagian dokumentasi.Semua komentar positif dilontarkan oleh para pengguna sosial media di tiap unggahan serta semua hati dan ibu jari yang berjumlah ribuan berada disana. Aku tersenyum bahagia, dan aku ingin sedikit berteriak mengetahui rasa senangku, tapi aku tidak ingin terlihat memalukan di restoran ini.“Haruskah kita melakukan rapat sekarang? Nyonya ketua?” tanya Mason seraya menyeruput es tehnya.“Entahlah, aku rasa kita bisa melakukannya di pertemuan berikutnya, aku memiliki semua hal yang perlu kita evaluasi, aku bisa melakukan pertemuan kapan saja, tergantung kepada kalian, mungkin ada yang sibuk? Atau tidak bisa datang? Karena itu, untuk menghindari hal tersebut, aku ingin agar kita menyesu
“Ada satu tempat lagi yang harus kita datangi, ini sangat penting, jadi kau tidak boleh menolak, ajak saja Finn, mereka tidak melarang anjing untuk datang,” ucap Carla seraya menyeruput minumannya.“Kemana?” tanyaku ingin tahu.Carla tidak menjawab dan Finn mengonggong dari belakang. Dia tampak senang berada di dalam mobil, dan aku mengelus kepalanya.Kami lalu masuk ke sebuah komplek perumahan elit dimana banyak sekali rumah-rumah berukuran besar. Aku tidak pernah pergi kesini sebelumnya, jadi ini semua terasa asing untukku.“Ini mau kemana? Aku tidak pernah kesini,” ucapku kebingungan.Carla masih tidak menjawab, namun dia tersenyum riang dan kami kemudian berhenti di sebuah rumah mewah dengan banyak mobil terparkir di depannya. Carla lalu mengajak kami masuk ke dalam dan aku membukakan pintu untuk Finn. Ketika aku sampai di depan pintu, terdengar suara berisik dari dalam.“Hai Ava!” teriak s
“SELAMAT DATANG DI PET CONVENTION TAHUNAN!!”Seorang wanita menyambut kami yang tengah berjalan memasuki sebuah tanah lapang yang dipenuhi tenda-tenda dan balon-balon. Carla yang terlihat sangat bersemangat menarik tanganku menuju ke salah satu dari tenda-tenda itu.Aku melihat ke sekelilingku dan memang benar, ada banyak sekali binatang-binatang unik dan lucu disini. Aku menghampiri sebuah tenda yang memiliki beberapa ekor landak berwarna putih dan aku mengelus duri-duri di punggungnya dengan lembut. Landak itu terlihat menyukai perlakuanku kepadanya. Entahlah, dia memejamkan matanya dan terlihat santai, jadi aku berasumsi kalau dia menyukaiku.“Ava Ava!! Lihat ini, dia sangat lucu!” teriak Carla dari tenda disebelahku. Dia menggendong seekor anak monyet berwarna putih.“Ah kau benar, dia sangat lucu!” ucapku seraya mengelus rambut putihnya. Dia juga terlihat mneyukainya.“Dia spesies yang langka, negara t
Sesampainya dirumah, aku membaringkan tubuhku di atas ranjang empuk di kamarku dan memandangi langit-langit kamarku. Aku memperhatikan lenganku yang terlihat sedikit berisi dibandingkan beberapa bulan yang lalu.“Aku rasa aku sedikit gendut, sepertinya memang benar,” gumamku seraya meremas lengan kiriku dengan tanganku.Aku lalu berdiri menghadap cermin dan memandangi cermin. Memandangi tubuhku dan beralih menatap mataku sendiri yang juga menatapku di sisi lain cermin.Asap. Dimana-mana ada asap, dan cerminku mulai retak. Luka di wajahku yang sudah mengering, terkelupas. Kakiku bergemetar hebat. Aku sudah mengalami ini berkali-kali, namun, aku masih merasa takut. Di dalam hati, aku berteriak. Ketika aku mengalihkan pandangan ke tempat tidurku, disana terbaring tubuh Carla dengan darah berlumuran dimana-dimana.“AVA!!”Aku menoleh, mencari asal suara yang ternyata datang dari ibuku yang tengah memperhatikan aku dari pintu kam
Makanan yang kami pesan datang dan aku masih belum menyentuh steak yang aku pesan. Aku masih memikirkan semua yang Liam katakan seraya melihat ke arah ayah dan ibuku yang tengah bercanda bersama Ruby dan juga nenek Liam.“Beberapa jam sebelum makan malam, menghabiskan waktu bersama kedua orang tuaku yang menyenangkan ini,” ucapku dalam hati.Sejak awal bertemu dengannya, dia merubah hidupku. Dan aku rasa aku sudah mengatakannya ratusan kali. Gadis bergelimang harta namun sarat akan kasih sayang, gadis yang memiliki sebuah istana namun tidak bisa dianggap rumah, gadis yang bisa mendapatkan semua yang dia inginkan kecuali cinta yang tulus, semuanya berubah hanya dalam satu hari dimana aku memutuskan untuk mencari sarapan di pagi yang cerah dalam kondisi mengantuk.“Ava, sayang, kenapa kau tidak makan?” tanya ayahku yang tengah mengobrol dengan Liam. Dia melihatku dengan wajah khawatir.“Ah iya, aku hanya sedang memikir
Kakiku tidak bisa berhenti bergemetar karena makan malam bersama Liam yang akan dilangsungkan beberapa jam lagi. Ayah dan ibuku sudah siap, begitu juga dengan aku. Tapi, aku benar-benar merasa takut yang tidak wajar, padahal aku hanya akan pergi makan malam di luar bersama keluargaku.“Sayang, apa kau benar-benar se-takut itu?” tanya ibuku yang sepertinya melihat kegelisahan di wajahku.“Entahlah, tapi, aku tidak bisa selamanya menghindar bukan?”“Kau benar, tapi kau tidak perlu buru-buru,” ujar ibuku lagi.“Tidak apa-apa, ini hanya makan malam, lagipula, aku tidak tahu kenapa aku harus merasakan ini, padahal aku sempat mencintai orang lain setelah aku dan dia tidak lagi saling menghubungi, jadi, aku berkesimpulan kalau rasa takut ini hanya rasa takut untuk sementara waktu, setelah beberapa saat aku di meja makan, tentu saja aku akan baik-baik saja,” jelasku.Ibuku hanya tersenyum dan kami meninggalka
Aku membuka mataku setelah semalaman tertidur di depan televisi. Semalam, aku memutar film Titanic untuk membantuku tidur, karena itu film yang sangat membosankan dan benar saja, aku bisa bangun pagi ini karena aku berhasil tidur semalam.“Selamat pagi, sayang,” ucap ibuku seraya membuka gorden dan mematikan lampu yang masih menyala.“Pagi, bu, apa ayah belum bangun?”“Belum, dia masih tidur sekarang, apa kau mau sarapan duluan?” tanya ibuku.“Boleh, aku ingin sereal milik ayah, sepertinya enak,” pintaku kepada ibuku.“Beberapa hari yang lalu kau meledek ayah karena makan sereal itu, tapi sekarang kau menginginkannya,” komentar ibuku seraya menahan tawa.“Ah sudahlah, semalam ada iklan tentang sereal itu dan itu benar-benar menggugah selera,” ucapku seraya memanyunkan bibir.“Kalau begitu kau cuci dulu wajahmu, agar terlihat lebih segar,” ucap ibuku de
Pertemuanku dengan orang tua Michael Pattertson kemarin, sejujurnya masih membuatku bingung. Sudah ada beberapa orang di dalam hidupku yang menganggap kalau uang akan memberiku kebahagiaan, padahal, tidak seperti itu.Jika aku ceritakan ulang, aku baru merasa bahagia ketika seseorang mau mengerti akan diriku, ketika aku merasa di cintai meskipun pada akhirnya itu hanya kebohongan dan juga kegagalan, ketika aku bisa bersama keluargaku, bersenda gurau bersama mereka, ketika aku bisa menceritakan berbagai masalah kepada teman baikku, aku sudah cukup bahagia.Aku rasa, kebahagiaanku tidak melulu soal uang, karena sebelum aku bertemu dengan Liam, aku juga belum paham bagaimana bahagia menurut orang-orang, dan ternyata, mereka hanya berpikiran kalau ada uang, maka akan bahagia.Liam dan Sam, membuatku merasa bahagia. Mereka membuatku merasa di cintai, namun, keduanya berakhir dalam kegagalan, dan yang kedua membuat semuanya menjadi runyam. Kebohongan, ancaman, dan ras