Rahang Berry Ansley mengeras. Dia menggenggam kuat pistol di tangannya seolah tidak rela jika harus melepaskannya."Jadi, kamu tidak menyayangi anakmu, Tuan Ansley?" Jack menjaga kewaspadaannya. Dia tidak melonggarkan sedikit pun cengkeramannya dari sandera sambil sesekali mengawasi anak buah Berry di belakangnya.Berry tersenyum miring. "Apa yang akan kamu lakukan jika aku tidak mau membuang senjataku?"Tangan Jack yang melintang di leher lawan bisa merasakan jika pria dalam penguasaannya itu baru saja menelan ludah. Dia pasti merasa terancam karena sang tuan justru menanyakan hal yang berlainan dari perintah Jack."Tidak masalah. Keputusan ada di tanganmu, Tuan. Lagipula, kamu memiliki banyak anak. Jadi, kehilangan satu nyawa, bukanlah masalah besar. Benar?"Ucapan Jack berhasil membuat anak buah Berry, baik yang menjadi sanderanya maupun tidak, merasa was-was. "Apa menurutmu dia benar-benar akan menembak Christoper jika Tuan Ansley tidak mendengarkan peringatannya?""Aku tidak tah
Belum sampai Jack menyelesaikan hitungannya, suatu tembakan mengejutkan semua orang. Jack sempat mendengar pria dalam cengkeramannya melenguh kesakitan atas timah panas yang mengenainya. Pria malang itu juga sempat menyebut nama sang tuan dengan suara parau. Tapi itu bukan ulah Jack! Telunjuk Jack masih diam, meski telah siaga melingkari pelatuk sejak tadi. Jadi, siapa yang menembak anak buah Berry? "Pengabdianmu aku terima, cukup sampai di sini saja. Selamat jalan, Christopher." Benar, orang yang menembak anak buah Berry, tidak lain adalah Berry sendiri. Tindakannya itu sangat tidak terduga. Bahkan para anak buahnya yang sudah lama mengenal dirinya pun tidak berpikir Berry akan melakukannya. Mereka hanya mengira kalau hal paling buruk yang mungkin terjadi adalah sang tuan membiarkan Jack menembak Christoper. Tapi ternyata ... 'Hanya Tuan Pasmod yang bisa menekanku!' desis Berry dalam hati puas. Dia tersenyum miring atas keangkuhan yang tidak berkurang sedikit pun. Dia merasa
Berry bangkit dari duduknya dengan kerutan di dahinya. “Ada apa?!” “Tu-tuan, bukan rombongan Tuan Pasmod yang datang, tetapi ...”Kalimat itu masih menggantung, dan tidak sempat terselesaikan karena tersela oleh sebuah teriakan keras, “Angkat tangan!”Teriakan mengintimidasi dari seorang pria dengan setelan hitam itu diikuti oleh banyaknya pria dengan pakaian yang sama, memasuki rumah Berry Ansley. Mereka semua merapat dengan sebuah revolver tergenggam di tangan masing-masing.Mata Berry terbelalak melihat kedatangan tamu mengejutkan itu. Oh, mereka bukan tamu, melainkan penyusup!“Si-siapa kalian?” Berry tergagap seketika sambil mengangkat kedua tangannya. Pistol yang sejak tadi dia genggam erat, pada akhirnya dia lepaskan juga.Para penyusup itu kemudian membuat Berry dan para anak buahnya berkumpul untuk berlutut bersama. Semuanya mengangkat tangan untuk keselamatan masing-masing.Wajah Berry menjadi seputih kertas karena syok sekaligus takut. Dia sulit mempercayai ini. Semua terj
Jack keluar dari kediaman Berry dengan wajah santai seolah tidak pernah terjadi hal buruk padanya. Dia bahkan menghentikan laju sepedanya lagi ketika melihat satpam tergeletak tak sadarkan diri di dekat gerbang sambil memegang tengkuknya. Jack tersenyum sebelum membawa si satpam ke dalam pos jaganya. Dia membuat satpam itu duduk di kursi."Sayang sekali kamu bekerja pada orang yang keji."Jack meninggalkan satpam itu dan keluar dari halaman rumah Berry Ansley. "Claire akan menanyakan banyak hal karena aku tidak lekas kembali."Baru saja dia membicarakan Claire dengan dirinya sendiri, sebuah telepon dari teman sekaligus manajernya itu masuk."Dia pasti mau mengomeliku sekarang," kata Jack sebelum mengangkat panggilan dari Claire."Halo.""Halo Jack, di mana kamu?"Kening Jack berkerut mendengar suara Claire seperti orang yang sedang menangis. "Claire, apa terjadi sesuatu?""Ayahku, Jack. Paman Louis meneleponku, katanya, ayahku ditemukan tidak sadarkan diri di kamarnya." Claire semaki
Jack dan Claire saling menatap sesaat. Mereka terkejut mendengar ucapan penjaga. "Apa katamu tadi? Apa kamu tidak mendengar kami? Ayahku dalam keadaan gawat darurat. Daripada mencemaskan biaya pengobatan, semestinya kamu mencemaskan keselamatan ayahku!" Claire berusaha keras untuk tidak memukul penjaga itu. Suaranya yang lantang membuat orang-orang yang duduk mengantre di depan resepsionis menoleh padanya. "Jangan berteriak padaku! Ayahmu hanya akan menjadi masalah untuk rumah sakit ini, jika kalian tidak sanggup membayar biaya pengobatannya. Jadi, cepatlah pergi sekarang dan jangan membuat keributan. Sebenarnya kalian harus membayar juga karena telah menggunakan ranjang dorong itu. Tapi aku akan mengabaikannya sebagai bentuk simpatiku." Penjaga itu berbalik. Dia tersenyum ramah pada para pengunjung rumah sakit yang melihatnya. Lantas, dia berjalan menuju tempatnya semula. Claire yang sudah sangat marah berjalan menyusulnya untuk memberikan sebuah pukulan keras. "Argh!" Penjaga
Keringat mulai memenuhi kening si penjaga. Dia benar-benar tidak tahu jawaban yang benar untuk petanyaan Martha. Dia tidak merasa melakukan kesalahan. Orang-orang di lobi rumah sakit bahkan mendukung tindakan yang dia lakukan. Oleh sebab itu, si penjaga menggeleng.“Apa salah saya, Nona?” tanyanya lagi ragu-ragu.Untuk pertanyaan yang sama itu, Martha berteriak memakinya. “BODOH! Kamu benar-benar idiot! Kamu baru saja menahan pasien gawat darurat untuk mendapat penanganan dan masih tidak tahu apa kesalahanmu?!”Kedua mata Claire membesar. Kehadiran Martha yang mengejutkannya sampai membuatnya lupa jika sampai detik ini dia masih belum tahu di mana ayahnya dan Jack berada.“Nona, apa yang anda maksud adalah pria tua yang datang bersama kurir pizza dan wanita bar-bar ini?” Penjaga itu memberanikan diri untuk bertanya lagi. Tidak peduli meski Martha akan emmukulnya lagi, dia harus tahu pasti, apa kesalahannya dan siapa pasien yang dimaksud oleh Martha.“Apa katamu?! Berani sekali kamu m
Belum sampai Martha merespons pertanyaan mendalam Claire, sebuah teriakan terdengar."Nona Martha!" Seorang perawat wanita berjalan cepat menghampiri Martha. Ekspresi wajahnya tampak kesulitan."Ada apa?""Apa Nona sudah bertemu dengan Nona Claire?" Perawat itu menggeser pandangan ke arah wanita yang duduk di samping Martha. "Apa dia-""Ya, aku Claire. Apa terjadi sesuatu pada ayahku?" Claire mulai was-was lagi.Perawat mengangguk pelan. "Ayah anda perlu mendapat penanganan yang lebih serius. Dokter ingin bertemu anda untuk membicarakan hal itu."Martha mengangguk ketika Claire menoleh padanya. Mereka berdiri dan mengikuti sang perawat.Sepanjang perjalanan menegangkan itu, Claire berpikir keras, apa hal serius yang dimaksud sang perawat. Ketika itu, di depan ruang gawat darurat, dia melihat Jack berdiri sambil menutup mata dan memegangi kepalanya."Jack!" Claire berteriak. Dia berlari menghampiri Jack dan memeluknya erat.Jack masih mengatakan hal yang sama. "Tenang, semua akan baik-
Sebuah taksi berhenti di halaman King Pizza. Jack keluar dari dalam taksi setelah memberikan sejumlah uang. "Simpan kembaliannya."Jack kembali ke King Pizza untuk melihat keadaan setelah memastikan operasi Paman Bob berhasil. Claire memintanya untuk memastikan semua baik-baik saja selama wanita itu berada di rumah sakit.Jack tersenyum lega melihat keadaan kedai yang aman terkendali. Petang hari seperti ini adalah saat-saat yang sangat sibuk di kedai. Banyak pelanggan datang sepulang dari bekerja."Bagaimana keadaan ayahnya Claire?" Victor si juru masak pizza bertanya saat Jack memasuki dapur."Paman Bob baru selesai menjalani operasi transplantasi ginjal." Jack menghela napas lega. Jika mengingat apa yang menimpa ayah dari temannya itu, dia merasa jantungnya berdetak lebih cepat. Jack tidak bisa membayangkan bagaimana dengan Claire jika Paman Bob tidak bisa diselamatkan."Apa?! Itu penyakit yang sangat serius. Apa tidak ada cara lain untuk mengobatinya?" Catherine menimpali. Dialah