"Pak Abra ngehindarin aku karena sudah punya yang lain?" Nanda menembakku dengan pertanyaan yang belakangan sangat kuhindari.Aku bukan enggak tahu tatapan penasarannya mengenai cincin lain yang kumiliki, ikatan baru dengan seseorang karena perjanjian lain. Kalau dengan Aya terikat karena agama, pernikahanku bersama Caca hanya sekadar tanda tangan di atas kertas.Mengenai pelayanan fisik itu, tentu saja ada keuntungan yang kudapatkan selain urusan ranjang. Aku bisa menyimpan kebiasaan buruk Caca mengenai dominasi permainannya di ranjang, dan urusan cicilanku bisa diselesaikan lebih cepat.Jahat?Aku enggak pernah ngeklaim diri sebagai orang baik. Ya, aku punya rasa bersalah besar ke Aya karena membuatnya terpuruk. Namun, bersamanya jauh lebih menentramkan hati.Kalau lihat Nanda yang menahan lenganku di area parkir, sekali lagi aku merasa selangkah lebih jahat dari sebelumnya. Banyak yang bilang kalau momen pertama perempuan di ranjang bisa mengikatnya dalam hubungan yang sangat tidak
"Pak .... Pak Abra berdarah ...."Nyeri menggores lenganku baru terasa ketika kaca yang dipegang Nanda telah lepas dari tangannya, jatuh berdenting di dekat sepatu kami. Perawat yang beberapa bulan terakhir menjalin hubungan denganku ini memegangi tepi luka, menekan pinggirannya sambil terisak. "Maafin aku, Pak ....""Kamu enggak apa-apa? Ada yang luka?" Tanganku yang bebas masih merengkuh punggung Nanda, mengusap perlahan dan berusaha tenggelamkan kepala Nanda di bahuku."Pak ..., ini diobatin dulu," protesnya, menolak perlakuanku dengan menjaga jarak dan melotot lebar bersama aliran air mata yang terus meleleh di pipinya.Aku terkekeh, mengingat kalau baru aja dia mengancamku, menodongkan pecahan kaca yang jelas-jelas membahayakan bagi kami berdua. Namun setelah aku menangkap Nanda dan memperoleh luka, ternyata dia bisa sangat mengkhawatirkanku."Malah ketawa Pak Abra, ih." Kalimat manjanya kali ini terdengar jauh lebih menyenangkan dibanding ancaman. "Ini harus cepat diobatin."Kuso
Gini ... aku udah mastiin selalu pakai pengaman dan kalau emang Nanda enggak mau, aku bakal nanya masa subur dia. Minim sekali kemungkinan penyatuan kami membuahkan hasil. Kalau sampai Nanda hamil juga, "Kamu enggak lagi menjebak aku, kan?"Kuabaikan nyeri di lengan meski telah dibalut kain kasa secara asal ketika memukul dasbor. Aku merasa kesepakatan yang kami buat telah dikhianati. "Nanda! Aku sudah bilang di awal tentang kita! Tidak akan ada pernikahan! Tidak akan ada kehamilan apalagi anak!"Teriakan lolos dari mulutku. Kedua tangan sudah naik meremas rambut yang melingkupi sakit di kepala. "Anj*ng!" Berbagai umpatan keluar seperti presensi acak. Entah binatang atau segala kata kasar yang aku ingat."Pak ...." Bisa kulihat tangan Nanda menggantung di udara, hendak meraihku.Enggak. Aku menepisnya. Enggak cuma dia yang bisa melakukan itu padaku. Tidak peduli dengan isakannya yang menguat karena terus memanggil namaku dan mengacak rambutnya sendiri hingga berantakan."Kenapa? Kamu b
"What the fuck are you doing? Stop it, Dumb!" Teriakan yang kudengar mengiringi suara klakson. Tampak pelakunya berada dalam mobil yang menyejajari kendaraanku di jalur satu arah ini."Get outta my way!" Aku membalasnya tak kalah nyaring. Sengaja kuinjak pedal gas dalam-dalam dan menyalip kendaraan di depan, berharap mereka tidak mengikuti.Sepertinya harapanku tidak terkabulkan. Pada jalan datar cenderung lurus ke depan, mobil yang mengikutiku berhasil mendahului dan memotong pergerakan. Aku terpaksa menghentikan laju kendaraan daripada harus mengalami kerugian berat.Dua pemuda brengsek yang kukenal turun dari mobil murahan di depan. Jelas lebih mahal milikku, masih stabil dan bersuara mulus di sepanjang perjalanan."Jalan nenek lo?" Randy lebih dulu menyapa ketika kaca mobil kuturunkan. Dia tetap berdiri tegak di luaran seraya membakar batang tembakau di selipan bibirnya.Elzar yang membuka pintu di sampingku. "Cari mati?" Dia memaksaku keluar dengan menarik lengan atasku, memastika
"Abra?"Pertanyaan berintonasi tinggi itu rasanya menarik jiwa sampai ke ubun-ubun. Tubuhku seketika sakit saat harus menyapa kenyataan di balik kelopak mata. Melirik pada penghuni ranjang di samping, Caca tampak menggulung tubuhnya di balik seprai dengan susah payah."Hai, Aya," sapa Caca sambil melambaikan tangan dalam mode lambat ke arah pemilik teriakan. Caca berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang.Aku sendiri berhasil mengambil celana panjang di ujung ranjang, mengenakan tanpa dalaman sambil menyesuaikan guncangan di kepala. Serangan lelah pasca pergumulan menyisakan pegal luar biasa di kedua tungkaiku."Aku bisa jelasin ini." Memaksa berdiri, mengejar Aya, aku hampir oleng di anak tangga.Namun, keberadaan Randy yang menghalangi Aya di ujung anak tangga menyematkan curiga. Dia terus melangkah mengikuti pergerakan Aya yang terus merangsek, mendesak pertahanan temanku satu itu.Tidak cukup, Aya terlihat menyerang Randy dengan tinju yang mampu dihindari. Enggak mungkin aku
Penegasan penggunaan masker di kalangan tenaga medis masih belum diikuti secara menyeluruh. Beberapa instansi tampak berinteraksi langsung tanpa perlindungan dengan pasien yang datang meski sebenarnya sejak menempuh pendidikan sudah berkali-kali diingatkan untuk tetap steril di tempat kerja.Hand sanitizer pun tersedia di setiap dekat pintu masuk ruangan bukan hanya sebagai hiasan, loh. Aku sendiri mulai membiasakan penggunaan sarung tangan steril semenjak merebaknya info di antara para petugas medis mengenai penyebaran penyakit dari wilayah utara."Isunya bener, Mbak?" tanyaku, sekadar ngobrol waktu ketemu Mbak Dara yang mengisi presensi.Bukan hanya soal penyakitnya, tapi juga kemungkinan persiapan daerah buat menghadapi penyebaran. Apalagi kabarnya terakhir kali ada pertemuan besar di ibukota yang melibatkan tamu dari berbagai negara. Who knows?"APD tambahan udah datang dari pusat, Mas. Itu juga terbatas." Info terbaru darinya.Mbak Dara mengambil cairan sanitasi dari botol di deka
Mbak Dara mampir ke ruanganku dan memberi beberapa amplop cokelat hasil rontgen. Isinya? Cakram yang hanya bisa dibuka melalui perangkat lunak khusus untuk memperlihatkan tampilan abu-abu dari organ dalam."Gimana hasil toraksnya?" tanya Mbak Dara setelah duduk pada kursi di hadapanku, turut memperhatikan tampilan yang terlihat dari layar laptopku."Positif pneumonia." Kuembuskan napas perlahan setelah memperhatikan banyaknya cairan yang mendominasi organ pernapasan dalam. "Tadi sudah ambil sampel lendir nasofaring, sama dokter paru yang bertugas diminta kirim ke pusat."Jariku bergerak bergantian mengetuk papan sentuh laptop. Bukan hal khusus, lebih seperti mempertimbangkan langkah berikutnya kalau ingat, "Di rumah sakit sebelah juga ternyata banyak kasus," berdasarkan informasi yang kuterima barusan melalui saluran telepon. "Enggak bisa digabung ke ICCU kan kalau belum tahu hasil sampelnya?""Inkubasi virusnya bisa sampai dua minggu, Mas. Mungkin kita bisa tempatkan pasien ke ruang i
"Belum pasti hasilnya kan, Pak?" Nanda ngotot menyarangkan cakarnya di pergelangan tanganku. "Bilang aja ini alasan Pak Abra hindarin aku mulu. Apa karena aku bilang aku hamil?""Tolong, menjauh." Kulepas setiap jarinya dari permukaan kulit seraya mengamati sekitar. Suaraku menekankan, "Ini bukan hal yang perlu dibahas di tempat umum, Nanda."Beberapa pengunjung tampak memperhatikan, tetapi aku lebih waswas jika rekan sejawat kami melintas dan mulai bertanya-tanya. Pertengkaran seperti ini bisa jadi bahasan yang tidak nyaman."Kapan lagi aku bisa nemuin Bapak?" rengek Nanda. Bola matanya tampak berkaca meski tidak terlihat cairan luruh di pipinya. "Telepon enggak boleh, kirim pesan enggak dibales. Aku harus gimana?"Gimana? "Sakit jiwa kamu!" Aku menggeleng, hempaskan usahanya yang terus menahanku tetap dekat.Langkahku bergegas menjauh meski Nanda berusaha mengejar. Langkahnya terdengar mengikuti di belakang."Bapak yang buat aku kayak gini!” teriak Nanda.Spontan jejak kakiku memuta