Lelah? Ya. Jenuh? Iya juga.Terkadang aku perlu mempertanyakan kembali alasan awal memilih profesi yang memerlukan waktuku lebih banyak dari orang biasanya untuk menumbuhkan lagi semangat. Kalau sudah berada di posisi ini, sulit untuk berhenti.Mau mundur, berapa banyak yang sudah kukorbankan untuk sampai di titik ini. Kuliah mahal dengan banyak waktu tergadaikan. Mau maju terus, aku memerlukan jeda. Mungkin itu juga sebabnya ada kata 'cuti'. Aku perlu pertimbangkan mengambilnya kalau perlu suatu saat.Ketika menekan sakelar lampu setelah melalui pintu masuk kamar, kulihat Aya yang tengah tertidur dalam keadaan resah. Seprai di permukaan kasur telah berantakan dalam tarikan. Aya menggeleng hingga perlu kupegangi. Permukaan kulitnya dingin disertai keringat berbulir-bulir.Kutepuk pelan pipinya beberapa kali. "Aya?"Belum lagi membuka mata, peganganku pada kedua tangannya dihadiahi pelukan yang mengerat diiringi teriakan histeris. "Abra! Abra!""Ada apa? Aku di sini." Kuusap punggungnya
"As your pleasure. Sesuai janji."Kuraih kemeja dan celana panjang dari gantungan yang baru diserahkan layanan kamar tanpa melepaskan pelukan Caca dari belakangku. Sepertinya setiap wanita yang merasakan tidur denganku senang melekat di punggungku."Aku tetap bisa kerja dan megang perusahaan meski di bawah namamu.""Kamu kira kapan aku berambisi memegang perusahaan?"Aku jelas sudah mempertimbangkan lamaaa sekali mengenai masalah perusahaan. Lima bulan kehamilan Aya dengan perubahan Ayah yang lebih memperhatikan kami sepertinya cukup mengetuk empati.Bukankah belakangan aku juga seperti Ayah?Aku menghujatnya, tapi menjalani hidup sepertinya. Apa kata anakku nanti?"Terus? Kenapa terima pernikahan ini setelah menghindar sekian lama?""Kamu sendiri? Kita sudah pernah bicarakan ini, Ca." Kubalikkan pertanyaan ke Caca sambil mengenakan celana panjang untuk melapisi dalaman. Namun, Caca lebih dulu meraih ketegangan yang masih kuat beberapa kali lagi kalau enggak ingat waktu."Aku perlu pel
"Pak Abra ngehindarin aku karena sudah punya yang lain?" Nanda menembakku dengan pertanyaan yang belakangan sangat kuhindari.Aku bukan enggak tahu tatapan penasarannya mengenai cincin lain yang kumiliki, ikatan baru dengan seseorang karena perjanjian lain. Kalau dengan Aya terikat karena agama, pernikahanku bersama Caca hanya sekadar tanda tangan di atas kertas.Mengenai pelayanan fisik itu, tentu saja ada keuntungan yang kudapatkan selain urusan ranjang. Aku bisa menyimpan kebiasaan buruk Caca mengenai dominasi permainannya di ranjang, dan urusan cicilanku bisa diselesaikan lebih cepat.Jahat?Aku enggak pernah ngeklaim diri sebagai orang baik. Ya, aku punya rasa bersalah besar ke Aya karena membuatnya terpuruk. Namun, bersamanya jauh lebih menentramkan hati.Kalau lihat Nanda yang menahan lenganku di area parkir, sekali lagi aku merasa selangkah lebih jahat dari sebelumnya. Banyak yang bilang kalau momen pertama perempuan di ranjang bisa mengikatnya dalam hubungan yang sangat tidak
"Pak .... Pak Abra berdarah ...."Nyeri menggores lenganku baru terasa ketika kaca yang dipegang Nanda telah lepas dari tangannya, jatuh berdenting di dekat sepatu kami. Perawat yang beberapa bulan terakhir menjalin hubungan denganku ini memegangi tepi luka, menekan pinggirannya sambil terisak. "Maafin aku, Pak ....""Kamu enggak apa-apa? Ada yang luka?" Tanganku yang bebas masih merengkuh punggung Nanda, mengusap perlahan dan berusaha tenggelamkan kepala Nanda di bahuku."Pak ..., ini diobatin dulu," protesnya, menolak perlakuanku dengan menjaga jarak dan melotot lebar bersama aliran air mata yang terus meleleh di pipinya.Aku terkekeh, mengingat kalau baru aja dia mengancamku, menodongkan pecahan kaca yang jelas-jelas membahayakan bagi kami berdua. Namun setelah aku menangkap Nanda dan memperoleh luka, ternyata dia bisa sangat mengkhawatirkanku."Malah ketawa Pak Abra, ih." Kalimat manjanya kali ini terdengar jauh lebih menyenangkan dibanding ancaman. "Ini harus cepat diobatin."Kuso
Gini ... aku udah mastiin selalu pakai pengaman dan kalau emang Nanda enggak mau, aku bakal nanya masa subur dia. Minim sekali kemungkinan penyatuan kami membuahkan hasil. Kalau sampai Nanda hamil juga, "Kamu enggak lagi menjebak aku, kan?"Kuabaikan nyeri di lengan meski telah dibalut kain kasa secara asal ketika memukul dasbor. Aku merasa kesepakatan yang kami buat telah dikhianati. "Nanda! Aku sudah bilang di awal tentang kita! Tidak akan ada pernikahan! Tidak akan ada kehamilan apalagi anak!"Teriakan lolos dari mulutku. Kedua tangan sudah naik meremas rambut yang melingkupi sakit di kepala. "Anj*ng!" Berbagai umpatan keluar seperti presensi acak. Entah binatang atau segala kata kasar yang aku ingat."Pak ...." Bisa kulihat tangan Nanda menggantung di udara, hendak meraihku.Enggak. Aku menepisnya. Enggak cuma dia yang bisa melakukan itu padaku. Tidak peduli dengan isakannya yang menguat karena terus memanggil namaku dan mengacak rambutnya sendiri hingga berantakan."Kenapa? Kamu b
"What the fuck are you doing? Stop it, Dumb!" Teriakan yang kudengar mengiringi suara klakson. Tampak pelakunya berada dalam mobil yang menyejajari kendaraanku di jalur satu arah ini."Get outta my way!" Aku membalasnya tak kalah nyaring. Sengaja kuinjak pedal gas dalam-dalam dan menyalip kendaraan di depan, berharap mereka tidak mengikuti.Sepertinya harapanku tidak terkabulkan. Pada jalan datar cenderung lurus ke depan, mobil yang mengikutiku berhasil mendahului dan memotong pergerakan. Aku terpaksa menghentikan laju kendaraan daripada harus mengalami kerugian berat.Dua pemuda brengsek yang kukenal turun dari mobil murahan di depan. Jelas lebih mahal milikku, masih stabil dan bersuara mulus di sepanjang perjalanan."Jalan nenek lo?" Randy lebih dulu menyapa ketika kaca mobil kuturunkan. Dia tetap berdiri tegak di luaran seraya membakar batang tembakau di selipan bibirnya.Elzar yang membuka pintu di sampingku. "Cari mati?" Dia memaksaku keluar dengan menarik lengan atasku, memastika
"Abra?"Pertanyaan berintonasi tinggi itu rasanya menarik jiwa sampai ke ubun-ubun. Tubuhku seketika sakit saat harus menyapa kenyataan di balik kelopak mata. Melirik pada penghuni ranjang di samping, Caca tampak menggulung tubuhnya di balik seprai dengan susah payah."Hai, Aya," sapa Caca sambil melambaikan tangan dalam mode lambat ke arah pemilik teriakan. Caca berusaha duduk dan bersandar pada kepala ranjang.Aku sendiri berhasil mengambil celana panjang di ujung ranjang, mengenakan tanpa dalaman sambil menyesuaikan guncangan di kepala. Serangan lelah pasca pergumulan menyisakan pegal luar biasa di kedua tungkaiku."Aku bisa jelasin ini." Memaksa berdiri, mengejar Aya, aku hampir oleng di anak tangga.Namun, keberadaan Randy yang menghalangi Aya di ujung anak tangga menyematkan curiga. Dia terus melangkah mengikuti pergerakan Aya yang terus merangsek, mendesak pertahanan temanku satu itu.Tidak cukup, Aya terlihat menyerang Randy dengan tinju yang mampu dihindari. Enggak mungkin aku
Penegasan penggunaan masker di kalangan tenaga medis masih belum diikuti secara menyeluruh. Beberapa instansi tampak berinteraksi langsung tanpa perlindungan dengan pasien yang datang meski sebenarnya sejak menempuh pendidikan sudah berkali-kali diingatkan untuk tetap steril di tempat kerja.Hand sanitizer pun tersedia di setiap dekat pintu masuk ruangan bukan hanya sebagai hiasan, loh. Aku sendiri mulai membiasakan penggunaan sarung tangan steril semenjak merebaknya info di antara para petugas medis mengenai penyebaran penyakit dari wilayah utara."Isunya bener, Mbak?" tanyaku, sekadar ngobrol waktu ketemu Mbak Dara yang mengisi presensi.Bukan hanya soal penyakitnya, tapi juga kemungkinan persiapan daerah buat menghadapi penyebaran. Apalagi kabarnya terakhir kali ada pertemuan besar di ibukota yang melibatkan tamu dari berbagai negara. Who knows?"APD tambahan udah datang dari pusat, Mas. Itu juga terbatas." Info terbaru darinya.Mbak Dara mengambil cairan sanitasi dari botol di deka