Setelah berseru beberapa kali di depan rumah, Arumi menoleh menatap Miko dan Rafa sambil tersenyum. "Miko, aku bukan datang buat makan gratis, tapi untuk bantu kalian. Coba pikir, Rafa buka klinik. Kalau nggak ada promosi, gimana orang-orang bakal tahu?""Sekarang setelah aku buat heboh begini, seluruh penduduk Desa Kenanga bakal tahu. Nanti usaha Rafa bakal lebih ramai."Miko tersenyum pahit. "Aku tahu niatmu baik, Kak. Tapi aku ...."Koki paling pintar sekalipun tidak bisa memasak tanpa bahan. Keluarganya miskin, tidak punya uang sepeser pun. Miko benar-benar tidak tahu bagaimana mengatur jamuan makan untuk warga siang ini!"Aku tahu kamu nggak punya uang." Arumi tersenyum, lalu mengeluarkan uang 600 ribu dan menyelipkannya ke tangan Miko. "Aku pinjamkan 600 ribu dulu. Pakai buat beli bahan masak, minuman, dan rokok. Pasti cukup."Miko akhirnya bisa bernapas lega, dia tersenyum. "Terima kasih, Kak. Nanti kita lihat berapa banyak warga yang datang."Dengan uang 600 ribu itu, keluarga
Miko berkali-kali mengucapkan terima kasih, lalu menuangkan minuman untuk Hansen.Sekitar pukul 1 siang, warga desa akhirnya membubarkan diri dengan puas.Miko minum cukup banyak siang itu, tetapi tetap bersikeras membereskan peralatan makan.Rafa melihat Miko yang mabuk berjalan dengan langkah terhuyung, jadi langsung menahannya. "Kak, istirahat dulu. Piring-piring ini bisa ditinggal dulu, nanti sore saja."Wajah Miko memerah karena alkohol. Rafa pun memapahnya ke kamar. Kebetulan, Alice terbangun dari tidur siangnya dan mulai merengek minta susu.Miko mengangkat bajunya untuk menyusui Alice, lalu tersenyum. "Rafa, sekarang seluruh warga sudah tahu kamu nggak bodoh lagi dan buka klinik. Mulai sekarang, aku serahkan urusan mencari uang kepadamu.""Jangan khawatir, Kak. Aku yakin dengan keahlian medisku." Rafa mengangguk dan meneruskan, "Biar aku yang urus Alice, kamu istirahat saja."Miko yang mabuk malah semakin bersemangat. Sambil mengganti posisi Alice menyusu, dia berkata lagi, "Na
Lengan Rafa sakit akibat gigitan Miko, tetapi hatinya lebih sakit. Saat ini, dia baru tahu Miko hanya berpura-pura tegar. Semua penderitaan dan keluh kesah dipendam di dalam hati selama ini. Di depan orang lain, Miko selalu tampak ceria, lembut, dan sabar.Namun, tidak ada yang tahu berapa kali Miko menangis diam-diam di tengah malam selama lebih dari setahun ini!"Kak ...." Rafa merasa hatinya pedih, bahkan matanya ikut memanas. "Kalau kamu benar-benar marah pada kakakku, gigit saja aku. Aku nggak apa-apa. Aku janji, kalau sudah punya uang, aku pasti akan mencarinya dan membawanya pulang!"Alice yang berada di samping pun ketakutan dan mulai menangis keras."Alice ...." Miko terkejut dan buru-buru melepaskan Rafa untuk melihat putrinya.Rafa segera menggendong Alice. "Kak, kamu sedang mabuk, jangan sampai anakmu jatuh. Cepat tiduran dulu, aku akan ambilkan obat pereda mabuk."Setelah berkata demikian, Rafa keluar dan mencampurkan larutan glukosa dengan air hangat, lalu kembali untuk m
Setelah menikah, Belinda tinggal di Desa Belukar yang jaraknya 5 kilometer dari sini. Suaminya adalah seorang tukang batu.Rafa berdiri di ambang pintu sambil menggendong Alice. Dia melirik Belinda dengan tatapan dingin, tanpa sedikit pun berniat menyingkir untuk memberi jalan."Rafa, dengar-dengar kamu buka klinik?" Belinda memasang senyuman manis, lalu bertanya, "Kamu sekarang sudah nggak bodoh? Dari mana kamu dapat uang buat buka klinik? Memangnya kamu bisa mengobati orang?"Rafa tetap diam."Kayaknya kamu masih tolol ya? Dari tadi aku bicara panjang lebar, tapi kamu diam saja. Heh!" Belinda memelotot, lalu meneruskan, "Dulu Ayah pernah bilang di rumah ini ada pusaka turun-temurun, semacam lesung untuk menumbuk obat, katanya barang antik. Jangan-jangan kamu dan Miko jual itu buat modal buka klinik?"Rafa tertawa sinis. "Apa urusannya denganmu?"Mata Belinda membelalak semakin besar. "Kenapa bukan urusanku? Aku ini kakak sulungmu, anak perempuan dari keluarga ini! Kalau harta keluarg
Ada pepatah yang bilang "tidak takut penagih utang galak, tapi takut si pengutang miskin sampai tidak punya sepeser pun"!Belinda senang bermain bunga-bunga utang. Biarkan dia terus menghitung bunga itu sendirian, toh Rafa tidak punya sepeser pun untuk bayar!Warga desa yang menonton tak bisa menahan tawa. Belinda terdiam sesaat, lalu mulai meratap seperti kehilangan orang tua, "Semuanya, kalian harus tahu Rafa ini utang, tapi nggak mau bayar. Masih bisa disebut laki-laki nggak?"Rafa langsung naik darah. Dia masuk ke rumah untuk mengambil golok kayu bakar, lalu mendekati Belinda dengan langkah besar. Sambil menggertakkan gigi, dia menyergah, "Belinda, kalau sampai Ibu kenapa-napa gara-gara kamu, aku bakal habisi kamu! Dasar serigala tak tahu balas budi!"Bagaimanapun, Belinda hanya wanita dengan nyali kecil. Dia buru-buru bangkit, lalu menepuk-nepuk debu di pantatnya. Sambil mengomel, dia pergi begitu saja. Dia pun tahu, sekalipun membunuh Rafa, dia tetap tidak bisa mendapat sepeser p
"Ayo!" Rafa berpamitan pada ibunya, lalu membuka payung untuk melindungi Alice dari terik matahari. Bersama Mega, mereka melangkah keluar dari rumah.Karena kakak iparnya sedang tidur, Rafa tidak punya pilihan selain membawa Alice bersamanya. Begitu keluar, Rafa mengunci pintu rumah. Sebelum berjalan jauh, mereka bertemu dengan Alzam, kakak Kanaya."Rafa, kalian mau ke mana?" tanya Alzam dengan tatapan tajam."Oh, aku dan Mega bawa anak jalan-jalan." Rafa melirik Mega sekilas, sengaja menjawab seperti itu.Mega langsung melayangkan pukulan kepada Rafa. "Dasar bajingan, bisa nggak ngomong yang benar sedikit?"Mereka cuma keluar bareng, tetapi Rafa malah bicara seolah-olah mereka ini adalah pasangan suami istri.Namun, Alzam tidak menangkap maksud Rafa. Dia hanya terkekeh-kekeh dan mengejek, "Dasar aneh, panas-panas begini malah keluyuran!"Kelompok Empat Desa Kenanga berjarak sekitar 500 meter dari rumah Rafa. Di tengah desa, ada rumah tiga lantai yang menjulang tinggi dengan dekorasi m
Mata Brawa langsung berbinar, tetapi tetap curiga. "Jadi ... kamu bisa menyembuhkannya?""Tentu saja bisa, ini cuma masalah sepele." Rafa mengangguk santai, lalu meminta Siti pergi sebentar.Siti sendiri juga tidak terlalu percaya pada kemampuan Rafa, tetapi tetap melangkah pergi dengan ragu.Begitu Siti menjauh, Rafa merendahkan suaranya dan berkata, "Aku bisa menyembuhkan Siti, tapi metodenya cukup unik. Aku harap kalian bisa menerimanya.""Metode seperti apa?""Jangan tanya dulu. Kalau percaya padaku, ikuti saja instruksiku." Rafa menjamin dengan nada misterius, "Aku jamin, dalam hitungan menit, Siti akan sembuh total."Brawa berpikir sejenak, lalu mengangguk. "Baiklah, aku akan menurutimu." Setelah beberapa saat, dia menambahkan, "Tapi yang paling penting, pastikan Siti tetap aman!"Rafa tertawa. "Tenang saja, aku ini dokter. Tugasku menyembuhkan orang, bukan malah memperburuk keadaan."Setelah melihat-lihat halaman belakang, Rafa mengambil seutas tali dan memanggil Siti ke sana, m
Rafa menghela napas, lalu pergi menggendong Alice sebelum berkata, "Lepaskan saja talinya, pengobatan sudah selesai dan hasilnya sangat baik."Mega akhirnya sadar dan buru-buru merapikan pakaian Siti sambil tersenyum. "Selesai, Siti! Tangan kananmu sudah sembuh, sekarang bisa bergerak lagi!"Brawa pun bereaksi, wajahnya berubah penuh kegembiraan. "Hahaha! Siti sudah sembuh! Ini luar biasa!"Mega segera melepaskan tali yang mengikat Siti, lalu membawanya kembali ke dalam rumah.Brawa mengajak Rafa masuk untuk minum teh dan bertanya, "Rafa, gimana bisa tiba-tiba tangan Siti sembuh begitu saja?""Maaf ya, Paman. Tadi aku melakukan itu bukan bermaksud melecehkan Siti." Rafa mengangguk dan menjelaskan, "Siti mengalami kondisi yang disebut neurosis reaktif, semacam saraf yang tertidur. Ibarat mesin yang mati mendadak, tapi mesinnya sebenarnya nggak rusak dan hanya perlu dinyalakan kembali.""Tapi, kasus Siti cukup parah, akupunktur dan obat pun nggak akan berpengaruh. Jadi, aku terpaksa memb
Kanaya menghela napas. "Ayahku tadi sedang mengangkut kotoran ternak untuk menyuburkan jagung.""Benar-benar lebih memilih uang daripada nyawa." Rafa menggeleng. "Di cuaca sepanas ini, jalan tanpa beban saja sudah tersiksa, apalagi harus mengangkut kotoran!""Itu semua salahmu, Kak." Kanaya meliriknya dengan tatapan penuh keluhan. "Kamu memberikan lima kepala sapi kepada Kak Alzam, supaya dia menggembalakan sapi-sapimu. Karena itu, dia nggak sempat membantu Ayah di ladang, jadi Ayah harus bekerja lebih keras hingga akhirnya dehidrasi.""Uh ...." Wajah Rafa memanas. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Untung saja Rahman tidak sampai kehilangan nyawa. Kalau tidak, Rafa akan merasa berutang budi seumur hidup!Namun, Kanaya tiba-tiba tersenyum jahil dan berbisik, "Aku cuma bercanda. Kamu sendiri tahu, Kak Alzam pemalas. Sekalipun dia nggak menggembalakan sapimu, dia tetap nggak akan membantu Ayah di ladang.""Ya juga sih." Rafa merasa lega. Memang benar, Alzam terkenal malas. Di rumah
Ternyata penyakit wanita, pantas saja wajahnya memerah!"Tentu saja aku bisa mengobatinya. Aku ini dokter umum, semua penyakit bisa kutangani," ujar Rafa sambil mengangguk.Kemudian, dia mengerutkan kening. "Siti, tadi aku sudah periksa denyut nadimu. Sepertinya kamu nggak mengalami masalah kesehatan wanita."Bukan hanya tadi, sebelumnya pun dia sudah memeriksa nadi Siti, tetapi tidak menemukan tanda-tanda penyakit."Oh, bukan aku ... tapi temanku ...." Wajah Siti semakin merah."Bukan kamu? Lalu, kenapa wajahmu jadi merah begitu?" Rafa tertawa kecil. "Penyakit apa yang diderita temanmu? Coba ceritakan. Kalau bisa, bawa saja dia ke sini. Kalau nggak bisa, aku bisa memberi saran.""Lebih baik ... lupakan saja." Siti terlihat panik dan berusaha menghindar. "Lain kali kita bicarakan lagi."Rafa mengernyit, tidak bisa memahami jalan pikiran Siti. Benar kata orang, hati wanita itu sulit ditebak!Saat hendak pergi, Siti tiba-tiba menoleh dan berbisik, "Oh ya, Rafa ... soal penyakit wanita ta
Galih kemari dengan berkemudi. Dia sudah minum banyak arak dan dua botol bir sebelum akhirnya pamit dan pergi dengan mobilnya. Di desa tidak ada pemeriksaan, jadi Galih pun tidak khawatir.Setelah Galih pergi, Hansen masih bersemangat. Dia merangkul bahu Rafa dengan gembira. "Rafa, kamu pintar menjilat juga sampai bisa menjalin hubungan dengan Galih. Orang ini benar-benar licik. Dulu aku minta pinjaman darinya, dia sama sekali nggak mau setuju. Hari ini berkat namamu, aku langsung dapat 40 juta!"Tadi Hansen bilang Galih adalah orang terkaya, tetapi sekarang mengatainya licik."Aku nggak menjilatnya!" Rafa menepis tangan Hansen dan bertanya, "Paman, kamu nggak kekurangan uang. Kenapa perlu pinjaman?"Miko juga ikut bingung, menatap Hansen dengan dahi berkerut. Secara logika, keluarga Hansen adalah keluarga berkecukupan, jadi seharusnya tidak perlu pinjaman.Hansen terkekeh-kekeh. "Anak muda seperti kalian nggak paham. Uang itu bisa bertambah kalau diputar!"Rafa langsung menyadari sesu
Galih tersenyum tipis. "Pak Hansen, aku ini cuma rakyat biasa, tapi malah mengundang orang penting sepertimu untuk minum. Sepertinya sangat nggak pantas."Wajah Hansen langsung memerah. Sikapnya mendadak seperti pelayan yang melayani kaisar. "Pak Galih, jangan bercanda begini! Kamu ini orang terkaya di Kota Muara, mana bisa dibandingkan denganku!"Rafa dan Miko sangat terkejut. Ternyata Galih bukan orang sembarangan! Bahkan kepala desa pun harus merendahkan diri di hadapannya.Hansen menatap Rafa dan membentak, "Rafa, dasar berengsek! Sejak kapan kamu kenal Pak Galih? Kenapa nggak bilang padaku?""Paman, aku dan Kak Galih sebenarnya ....""Kami juga baru kenal." Galih memotong dengan santai, lalu tersenyum. "Karena Pak Hansen sudah datang, ayo kita minum."Rafa segera mempersilakan Hansen duduk dan mulai menuangkan minuman.Galih yang perhatian tiba-tiba berkata, "Oh ya, Rafa, kamu ambil beberapa lauk dulu untuk ibumu."Rafa mengangguk, memilih beberapa lauk terbaik untuk ibunya, lalu
Rafa tersenyum, lalu merobek kertas itu. "Nggak apa-apa, Kak Hana. Aku sangat beruntung, aku nggak bakal mati."Miko sangat khawatir dan berkata, "Kudengar Bilham itu penguasa di Kota Muara. Rafa, seharusnya kamu simpan kertas itu dan melapor ke polisi."Rafa hendak menenangkan kakak iparnya, tetapi tiba-tiba terdengar suara seseorang di depan pintu. "Permisi, apa Rafa ada di rumah?"Suaranya terdengar agak familier. Rafa mendongak dan melihat yang datang adalah Galih, pria paruh baya yang dirampok tasnya di kota dua hari lalu.Galih tampaknya datang dengan mobil. Sebuah mobil van baru terparkir di depan pintu."Kamu?" Rafa agak terkejut."Haha, Sobat, aku datang untuk minum bersamamu!" Galih tertawa, berbalik membuka pintu mobil. Dia mengeluarkan sebungkus rokok, dua botol arak, dan banyak lauk yang sudah dimasak. Dia juga menurunkan sekotak bir."Saat dalam perjalanan, aku khawatir kamu nggak ada di rumah. Ternyata kita berjodoh, aku nggak datang sia-sia."Rafa merasa orang ini terla
"Kak, hati-hati ...!" Rafa buru-buru mengulurkan tangan untuk menahan. Karena panik, dia justru menyentuh bagian yang tak seharusnya."Rafa, apa yang kamu lakukan?" Miko terkejut dan langsung mendorongnya."Maaf, Kak. Aku cuma ingin memeriksa denyut nadimu tadi." Rafa buru-buru melepaskan tangannya dan menjelaskan, "Aku khawatir penyakitmu belum sembuh total. Dengan memeriksa nadi, aku bisa lebih memahami kondisi tubuhmu.""Oh, oh .... Kalau begitu ... besok saja ya!" Miko masih gugup, lalu buru-buru masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Entah kenapa, pikirannya mendadak kacau. Dia bahkan tidak berani menatap Rafa.Memang benar ipar perempuan itu seperti ibu, tetapi Miko hanya tiga tahun lebih tua dari Rafa. Kini, Rafa sudah dewasa sehingga Miko merasa mereka harus menjaga jarak.Namun, bagaimana bisa menjaga jarak jika mereka hidup di bawah atap yang sama? Apa dia harus pindah rumah? Tidak! Miko tidak akan tega meninggalkan Rafa sendirian!Pikirannya berkecamuk hingga larut malam. Sete
Rafa masih enggan berpisah, tetapi tetap harus mengantar Mega keluar. Setelah melihat Mega pergi semakin jauh, barulah Rafa kembali ke dalam rumah.Miko tiba-tiba muncul dari balik pintu, menjewer telinga Rafa dengan dua jari rampingnya. "Dasar bocah nakal, kali ini ketahuan juga, 'kan?""Kak, lepaskan ...!" Rafa meringis kesakitan, mencoba mengelak. "Apa maksudmu? Mega datang ... cuma untuk pinjam buku!""Pinjam buku? Sampai ke atas ranjang?" Miko menutup mulutnya sambil tertawa. "Kalian berdua berbuat hal nggak baik di dalam kamar, aku mendengar semuanya dari luar."Rafa mengusap telinganya. "Jangan asal bicara. Kami nggak melakukan apa-apa!""Dasar tukang bohong!" Wajah Miko merah. Dia meneruskan, "Tempat tidur kayumu itu berderit lama sekali, kamu pikir aku nggak dengar?""Ya sudah, jangan dibahas lagi. Aku mengaku." Wajah Rafa panas. Dia pun tergagap. "Aku dan Mega memang pacaran, tapi dia bilang ... untuk sementara jangan sampai orang lain tahu.""Nggak perlu malu, aku ngerti." M
Hansen terkekeh-kekeh, lalu melambaikan tangan dan berpamitan, "Fokus saja bertani, jangan pikir yang aneh-aneh!"Rafa merasa kesal dan langsung membanting pintu.Miko yang mendengar suara itu, keluar dari halaman belakang dan bertanya, "Rafa, tadi aku sedang mandiin Ibu. Kudengar kamu mau ajuin pinjaman? Kenapa mau pinjam uang? Pak Hansen ada benarnya, kalau kita pinjam, gimana cara membayarnya?"Rafa menghela napas. "Itu saran dari Mega. Dia bilang aku bisa pinjam 10 juta untuk memperbaiki rumah kecil di timur, lalu menjadikannya ruang praktik medis.""Mega yang bilang begitu?" Miko berpikir sejenak, lalu tiba-tiba wajahnya berseri-seri. "Rafa, jangan-jangan Mega bersedia menikah denganmu dan ingin kamu menyiapkan kamar pengantin?"Rafa tidak tahu harus tertawa atau menangis. "Kak, kamu ini berpikir terlalu jauh.""Nggak kok!" Miko malah semakin bersemangat. "Rafa, kasih tahu Mega, kalau dia bersedia menikah denganmu, aku rela memberikan rumah besar ini untuk kalian. Aku dan Alice bi
Semua orang yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. Terutama Mina, dia sampai tertawa terpingkal-pingkal dan tubuhnya ikut berguncang.Sebenarnya, Mina baru menikah tahun lalu, masih tergolong pengantin baru. Awalnya, dia cukup pemalu dan pendiam. Namun, setelah sering berteman dengan Arumi dan para ibu-ibu, dia mulai lebih terbuka.Arumi menegur, "Rafa dan Mina, kalian ini pasangan aneh! Kompak sekali mengerjaiku ya?"Mina langsung tersipu dan menahan diri untuk tidak bercanda lagi. Dia sadar dirinya bukan tandingan Arumi.Rafa baru sadar bahwa dirinya dijebak. Dia hanya bisa tersenyum kaku. "Kak, aku cuma bicara jujur. Aku ini orangnya polos ... nggak ada maksud apa-apa."Vina yang juga sedang bermain kartu ikut menimpali, "Rafa, kamu tahu nggak? Arumi memang suka pria polos sepertimu!"Rafa tetap berpura-pura lugu dan mengangguk cepat. "Tahu, tahu!"Semua orang kembali tertawa keras.Arumi melirik Vina dengan wajah sebal. "Vina, hati-hati kamu ya! Kalau kamu menyinggung