Rafa menghela napas, lalu pergi menggendong Alice sebelum berkata, "Lepaskan saja talinya, pengobatan sudah selesai dan hasilnya sangat baik."Mega akhirnya sadar dan buru-buru merapikan pakaian Siti sambil tersenyum. "Selesai, Siti! Tangan kananmu sudah sembuh, sekarang bisa bergerak lagi!"Brawa pun bereaksi, wajahnya berubah penuh kegembiraan. "Hahaha! Siti sudah sembuh! Ini luar biasa!"Mega segera melepaskan tali yang mengikat Siti, lalu membawanya kembali ke dalam rumah.Brawa mengajak Rafa masuk untuk minum teh dan bertanya, "Rafa, gimana bisa tiba-tiba tangan Siti sembuh begitu saja?""Maaf ya, Paman. Tadi aku melakukan itu bukan bermaksud melecehkan Siti." Rafa mengangguk dan menjelaskan, "Siti mengalami kondisi yang disebut neurosis reaktif, semacam saraf yang tertidur. Ibarat mesin yang mati mendadak, tapi mesinnya sebenarnya nggak rusak dan hanya perlu dinyalakan kembali.""Tapi, kasus Siti cukup parah, akupunktur dan obat pun nggak akan berpengaruh. Jadi, aku terpaksa memb
"Terima saja! Kalau kamu menolak, berarti kamu meremehkanku!" Tanpa memberi Rafa kesempatan menolak, Brawa langsung menyelipkan uang 6 juta itu ke dalam sakunya.Tidak ada gunanya menolak. Akhirnya, Rafa menerima uang itu dan mengangguk. "Baiklah. Paman, aku pamit dulu. Kalau masih ada masalah dengan tangan Siti, suruh dia datang menemuiku saja."Satu tamparan, untung 6 juta. Lumayan juga.Brawa mengangguk, mengantar Rafa keluar.Mega tiba-tiba menambahkan, "Paman, kamu kenal banyak pengusaha besar. Kalau ada kesempatan, kenalkan Rafa ke mereka ya. Rafa ini dokter hebat, spesialis penyakit yang sulit disembuhkan!"Brawa mengangguk berkali-kali. "Tentu saja! Aku akan bantu promosikan dokter sakti dari desa kita!"Rafa mengucapkan terima kasih. Sambil menggendong Alice, dia berjalan pulang bersama Mega.Enam juta dari satu pasien, jantung Rafa sampai berdebar kencang karena terlalu gembira.Mega meliriknya sambil menyeringai. "Rafa! Hari ini aku yang bantu dapat pasien. Kamu mau kasih ak
Rafa berkata jujur, "Kak, dia cuma minta aku menemaninya ke warnet, bukan bilang mau pacaran denganku.""Ke warnet bukannya sama saja dengan pacaran? Lama-lama juga bakal nyambung ...." Miko tertawa, mendorong Rafa. "Pokoknya aku nggak peduli. Aku sudah cocok sama Mega, jadi kamu harus bisa mendapatkannya!"Rafa merasa pusing. "Kak, kamu kira ini kayak beli ayam di pasar? Tinggal nawar harga terus bisa dibawa pulang? Hal kayak begini itu butuh yang namanya jodoh.""Anak kecil tahu apa soal jodoh? Yang penting cewek, bisa punya anak, sudah cukup!" Miko tertawa, lalu pergi memandikan Diah.Rafa hanya bisa mengangkat bahu dan melanjutkan pekerjaannya sendiri. Sebenarnya, Rafa juga ingin pergi ke kota.Sekarang dia punya uang, jadi bisa membelikan kursi roda untuk Diah, juga membeli beberapa buku medis modern untuk menambah wawasannya.Meskipun sudah memiliki ilmu medis turun-temurun, Rafa tetap ingin belajar ilmu medis modern. Selain itu, dia juga ingin membeli beberapa bahan obat dasar d
Rafa merangkul bahu Mega. "Ya sudah, kita coba saja!"Kali ini, Rafa bisa memenuhi keinginan Miko. Miko menyuruhnya mendapatkan Mega dan ternyata benar-benar berhasil.Namun, kalau dipikir-pikir, seharusnya bukan dia yang mendapatkan Mega, melainkan Mega yang berhasil mendapatkan dirinya.Mereka terus bermesraan hingga tiba di kota. Sayangnya, penumpang di dalam bus semakin banyak, membuat mereka merasa tidak leluasa. Jadi, mereka hanya bisa menahan diri.Begitu tiba, Mega langsung membawa Rafa ke satu-satunya warnet di kota untuk menyelesaikan tugas online-nya.Rafa berkata, "Aku mau ke toko obat dulu. Mega, kamu selesaikan tugasmu dulu. Nanti aku ke sini lagi setelah selesai belanja.""Oke, aku tunggu kamu buat makan bareng." Mega mengangguk.Di toko obat, wanita yang dulu sering meremehkannya kini malah bersikap antusias. "Dik! Lama nggak ketemu, senang bisa melihatmu lagi!""Halo!" Rafa yang merasa senang pun mengeluarkan uang dan berkata, "Aku datang hari ini untuk bayar utang. Ke
Malik terkejut dan mengangguk. "Dik, kamu benar sekali. Aku sendiri adalah seorang dokter, obat itu memang kuracik sendiri ....""Obat yang dulu dikonsumsi oleh Kak Mega juga kamu yang buat, 'kan?" tanya Rafa."Benar, aku minta maaf." Malik tersenyum canggung.Rafa tersenyum tipis. "Tadi saat aku memeriksa nadimu, aku lihat telapak tanganmu panas, lidahmu berwarna merah gelap, dan nadimu sangat lemah. Jelas, kamu kekurangan energi yin. Sebelum kamu kena strok, apa kamu sering mengalami insomnia dan telinga berdenging?""Astaga, kamu luar biasa! Benar sekali!" Malik sangat gembira. Dia langsung menggenggam tangan Rafa. "Aku sudah menjadi dokter seumur hidup, tapi baru kali ini bertemu ahli sepertimu. Ini benar-benar takdir!""Pujianmu berlebihan." Rafa mengeluarkan kertas dan pena, lalu menulis resep dengan cepat. "Kamu perlu perawatan untuk menyeimbangkan energi yin dan meredakan gangguan angin. Minum obat ini. Sesuai perkembangan kondisi, dosisnya bisa disesuaikan.""Selain itu, aku a
Rafa berpikir sejenak, lalu bertanya, "Apa bisa suruh dia keluar? Biar kuperiksa dulu."Malik langsung mengangguk dan masuk ke kamar untuk berbicara dengan Zafia.Tak lama kemudian, Zafia keluar dengan kepala tertunduk dan menyapa, "Halo, Dokter Rafa."Rafa mengangguk dan meminta Zafia duduk. Dia mengamati tanda lahir di wajah gadis itu dengan saksama.Tanda lahirnya sebesar kotak rokok, membentang dari pipi kanan hingga ke dahi kanan. Warnanya sangat gelap dengan sedikit rona merah kehitaman.Malik yang berdiri di sampingnya menjelaskan, "Sudah beberapa kali dilakukan perawatan dengan laser, tapi nggak ada hasil. Dokter bilang ini karena peningkatan pigmen yang menembus hingga ke lapisan kulit terdalam, makanya sangat sulit diobati. Zafia juga jadi murung karena hal ini. Dia sampai nggak mau keluar dari rumah."Dalam dunia medis modern, laser memang bisa menghilangkan tanda lahir dengan area kecil. Akan tetapi, jika tanda lahirnya sedalam dan sebesar ini, pengobatan masih terbatas.Ra
"Tentu saja bisa!" Mega mengangguk. "Kita bisa daftar akun di berbagai forum dan mengunggah pengumuman pencarian. Kita catat baik-baik kata sandinya, lalu sesekali login untuk cek. Mungkin, ada petunjuk yang muncul nanti."Rafa sangat senang dan segera membantu Mega mengurusnya. Setelah satu jam, mereka berhasil memposting lebih dari 10 pengumuman pencarian. Setelah itu, mereka baru keluar dari forum.Saat jarum jam menunjukkan pukul 12.30 siang, perut mereka sudah keroncongan. Mereka segera mencari restoran terdekat dan makan dengan lahap.Cuaca sangat panas. Mereka berdua masing-masing minum dua botol bir dingin. Setelah itu, tubuh mereka terasa lebih segar.Selesai makan, Rafa berniat membayar, tetapi Mega buru-buru mengeluarkan uang dulu. "Simpan uangmu untuk mengurus Bibi Diah. Makan siang kali ini aku yang traktir!"Ya sudahlah, hemat sedikit juga tidak apa-apa. Rafa tertawa dan bertanya, "Mau langsung pulang?"Mega mengusap perutnya dan tersenyum. "Cuaca panas sekali, aku mau ca
"Astaga, 2 miliar?" Rafa langsung merinding dan menggeleng. "Mending kamu saja yang nikahin aku. Aku nggak minta uang, jadi suami yang tinggal di rumah mertua juga nggak masalah!""Jangan bodoh, tidur saja dulu. Mahar, pernikahan ... jangan pikirkan itu sekarang. Aku masih punya satu tahun lagi sebelum lulus kuliah ...." Mega memeluk Rafa dan tertidur dengan nyenyak.Namun, Rafa malah sulit tidur. Bayar hotel hanya untuk tidur? Bukankah ini buang-buang uang?Pukul 3.30 sore, Mega bangun. Mereka kembali bermesraan sebentar, lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah itu, mereka pergi ke toko obat untuk mengambil kursi roda dan obat-obatan, lalu menyewa mobil van untuk kembali dan membawa sepeda mereka pulang ke desa.Setibanya di desa, langit sudah gelap. Miko sudah menyiapkan makan malam dan sedang menunggu Rafa."Kak, aku pulang." Rafa menurunkan kursi roda dan tersenyum. "Aku belikan kursi roda untuk Ibu. Sekarang, Ibu bisa jalan-jalan di luar.""Kamu ini memang anak baik. Aku sudah lam
Wanita itu mengira Rafa tidak puas, jadi berkata dengan nada menyesal, "Aku tahu kamu mungkin kurang puas, tapi aku cuma bisa kasih segitu. Tapi, aku bisa menambahkan 20 juta sebagai tanda terima kasih karena sudah membantuku tadi.""Nggak, nggak ... aku sangat puas." Rafa berbicara jujur. Dia tersenyum dan meneruskan, "Dalam bisnis, memang harus begitu, harus adil. Soal uang terima kasih, aku nggak bisa terima. Aku bantu bukan karena uang.""Jarang sekali ada orang baik sepertimu." Wanita itu tersenyum. "Baiklah, aku antar kamu ke pasar, biar aku langsung kasih uangnya."Mobil pun melaju menuju pasar obat tradisional."Namaku Karina. Kamu bisa panggil aku Kak Karina." Sambil menyetir, wanita itu bertanya, "Siapa namamu? Dari mana asalmu?""Aku Rafa, dari Desa Kenanga.""Oh, oh ...." Karina mengambil sebuah kartu nama dan tersenyum. "Kalau nanti kamu datang ke kota ini lagi, hubungi saja aku kalau butuh bantuan. Mau jual atau beli obat, aku bisa bantu. Aku jamin kamu bisa jual dengan h
Perampok yang satunya marah besar! Dia mengayunkan kunci inggrisnya ke arah kepala Rafa!"Matilah!" Rafa dengan sigap mengayunkan ranselnya, memukul kunci inggris itu hingga terlempar. Kemudian, dia menyusul dengan satu tendangan tepat ke perut perampok itu!"Aaaarrgh ... ughhh ...." Perampok kedua langsung jatuh berlutut, wajahnya pucat pasi, keringat bercucuran."Berani-beraninya kalian menindas wanita!" Rafa masih dipenuhi amarah. Dia kembali melayangkan tendangan bertubi-tubi, membuat wajah kedua perampok itu penuh luka lebam.Wanita yang memakai rok pendek itu ketakutan. Dia bergegas bangkit dan berteriak cemas, "Dik, cukup! Kalau terus dipukul, mereka bisa mati!"Rafa baru menghentikan aksinya. Dua perampok itu merangkak ke mobil mereka dengan tubuh penuh darah. Dengan sempoyongan, mereka masuk ke mobil, menyalakan mesin, lalu kabur."Fiuh ...." Wanita itu menghela napas lega. Dia merapikan rambut dan pakaiannya, lalu mengangguk ke arah Rafa. "Terima kasih banyak ya.""Sama-sama.
"Ke pemandian ... bisa lihat apa?" Rafa bingung."Lihat apa? Lihat burung! Di pemandian banyak burung, silakan lihat sepuasnya!" sahut pria tua itu dengan ketus."Buset! Begini caramu berdagang?" Rafa murka, menatap tajam pria itu. "Ya sudah! Aku nggak akan pergi ke pemandian hari ini. Aku akan tetap di sini, melihat burung tuamu!"Tiga pegawai wanita di toko itu saling melirik dan menahan tawa. Mereka memberi isyarat agar Rafa segera pergi."Sial, pagi-pagi sudah bertemu iblis. Sial sekali!" Rafa memelototi pria tua itu, menggerutu sambil berjalan pergi.Awalnya, Rafa masih merasa ada kedekatan dengan tanah leluhurnya. Namun, hari ini dia bukan hanya diincar pencuri, tetapi juga bertemu dengan kakek menyebalkan ini. Perasaan hangat itu lenyap seketika.Dia bahkan mulai berpikir, mungkin nenek moyangnya yang pindah ke Desa Kenanga dulu telah mengambil keputusan yang tepat! Tempat ini benar-benar buruk!Rafa masuk ke toko di seberang. Karena telah belajar dari pengalaman, kali ini dia l
Mata Rafa juga sedikit panas, tetapi dia menahan air matanya. Dia menghapus air mata Miko dan berucap, "Kak, tenang saja. Aku tahu tanggung jawabku, aku nggak akan mengecewakanmu."Miko mengangguk, lalu perlahan melepaskan pelukannya. Dia melihat Rafa pergi semakin jauh.Di timur, langit mulai memancarkan sinar fajar. Rafa berjalan cepat melewati jalan setapak menuju Kota Muara. Sesampainya di sana, dia menyewa sebuah mobil van dan langsung menuju stasiun kereta api kota kabupaten.Lima jam perjalanan dengan kereta api. Akhirnya sebelum tengah hari, Rafa tiba di Kota Obat, pusat perdagangan herbal terbesar!Di kota kecil biasa, paling-paling hanya ada satu atau dua toko obat. Di kota besar, mungkin hanya ada satu pasar obat. Namun di sini, bukan sekadar pasar, melainkan kota khusus untuk obat!Dari namanya saja, sudah terasa perbedaan skala yang luar biasa. Sebagai keturunan langsung dari tabib legendaris, Rafa merasa bersemangat.Dia berjalan sambil mengamati suasana hingga akhirnya t
Rafa sungguh kehabisan kata-kata. Dia mengayunkan tangannya, lalu jarum peraknya langsung menusuk punggung tangan Arumi."Aaaahhh ...!" Arumi menjerit kesakitan.Sebelum Arumi pergi, beberapa warga desa mulai berdatangan. Sorenya, semakin banyak yang datang berobat. Ini karena makan daging kerbau, lalu mengalami panas dalam.Rafa akhirnya menjual habis semua ramuan herbalnya untuk meredakan panas dalam, juga semua persediaan pil.Inilah yang disebut efek domino. Kerbau tua milik Rahman mati, membuat seluruh desa menderita panas dalam, tetapi justru memberi Rafa keuntungan kecil.Satu pasien bisa menghasilkan 20 ribu, jadi totalnya dia berhasil mendapatkan 400 ribu. Uang receh tetap uang!Saat makan malam, Rafa berdiskusi dengan Miko. "Kak, besok aku harus pergi jauh. Aku mau ke Kota Obat, kampung halamanku, untuk beli beberapa bahan obat."Dia harus menjual batu empedu kerbau itu, menukarnya dengan uang, lalu membeli obat untuk menyembuhkan Diah."Kampung halaman?" Miko tidak mengerti,
"Kak, ini klinik. Kita ... bicarakan soal pengobatan." Rafa mulai berkeringat. Matanya menghindar, tidak berani menatap wajah Hana. "Sebenarnya ... apa yang sakit?"Baru saat itu, Hana melepaskan tangannya dari pipi dan mendekatkan wajahnya. "Gigiku sakit."Rafa mengangguk, mengambil senter untuk memeriksa mulut Hana, lalu meraba nadinya. "Nggak apa-apa, Kak. Kamu cuma kepanasan ....""Kepanasan?" Hana tersenyum. "Ya, aku memang kepanasan. Bisa nggak kamu bantu meredakan?""Ten ... tentu bisa ...." Rafa langsung gugup dan terbata-bata. "Kak, kamu makan apa dua hari ini?""Apa lagi? Ya daging kerbau yang kamu kasih 1,5 kilo kemarin, karena kamu kasihan padaku," sahut Hana dengan nada penuh keluhan."Daging kerbau?" Rafa langsung paham.Di cuaca panas seperti ini, makan daging kerbau berlebihan memang bisa menyebabkan panas dalam. Niat baiknya justru membawa masalah untuk diri sendiri."Nggak apa-apa. Aku akan bantu kamu redain panasnya .... Eh, maksudku, aku akan racik obat untukmu." Ka
Setelah mendengar analisis Rafa yang begitu logis dan masuk akal, Miko akhirnya merasa tenang. Namun, dia masih bertanya, "Rafa, apa Pak Dika ... benar-benar akan mati?""Kak, coba ingat-ingat. Aku sudah menangani pasien selama setengah bulan ini, apa pernah aku salah mendiagnosis?" tanya Rafa balik."Memang benar yang kamu katakan ...." Miko mengangguk, lalu menghela napas. "Sayangnya, Pak Dika nggak mau mendengarkanmu. Satu nyawa hilang begitu saja."Rafa hanya mengangkat bahunya. Kalau orang memang ingin mati, apa yang bisa dia lakukan?Setelah kembali ke kamar, Rafa mengambil batu empedu yang didapatkannya. Di mana dia bisa menjual barang berharga ini?Di kota kecil? Tidak mungkin. Tempat kecil seperti itu tidak akan ada orang yang bisa menilai harganya. Selain itu, jika kabar ini bocor dan Rahman tahu, pasti akan muncul masalah lagi.Ke Kota Obat saja! Tanah kelahiran leluhur mereka, sang tabib legendaris, pusat perdagangan obat tradisional terbesar di negara ini!Namun, bukan sek
"Baik, baik." Dika mengangguk dan melambaikan tangan ke sekeliling. "Hari ini, dengan kesaksian warga desa, Pak Galih, serta Pak Hansen, aku bertaruh dengan Rafa. Hari ini aku biarkan dia lolos, tapi 3 hari kemudian, aku akan datang lagi. Jangan sampai ada yang bilang aku menindasnya!"Galih, Hansen, dan warga desa terdiam menatap Rafa. Taruhan ini terlalu besar!Rafa juga melambaikan tangan dan berseru dengan lantang, "Hari ini aku bertaruh dengan Pak Dika! Tiga hari kemudian, kalau beliau masih bisa muncul dengan sehat di depan rumahku, aku sendiri yang akan membakar klinikku dan menyerahkannya kepadanya!"Kerumunan mulai berbisik-bisik.Rafa menatap Dika dan berkata, "Pak Dika, aku sarankan kamu jangan mempertaruhkan nyawa dalam taruhan ini. Aku akan memberimu resep. Pergilah ke rumah sakit di ibu kota provinsi, jalani operasi. Gunakan ramuan herbal coptis chinensis dan houpoea officinalis, seduh dengan teh, dan minum setiap hari. Itu bisa menyelamatkan nyawamu.""Terima kasih! Tiga
"Aku beli untuk dimakan sendiri, boleh 'kan? Badanku kurang sehat, jadi aku memang suka makan obat."Rafa tersenyum, lalu meneruskan, "Kamu menuduhku membuka klinik, mengobati pasien, mencari uang secara ilegal. Silakan tunjukkan buktinya. Siapa yang kuobati? Aku menerima uang dari siapa? Tolong tunjukkan bukti itu."Kemudian, Rafa menoleh ke arah warga desa yang berkumpul di depan pintu dan melambaikan tangan. "Saudara-saudara sekalian, apa ada di antara kalian yang pernah sakit dan mencariku untuk berobat?"Orang-orang tertawa serempak. "Semua penduduk Desa Kenanga sehat walafiat!""Kamu ...!" Dika terdiam, tidak bisa membalas. Dia menoleh ke Hansen dan membentak, "Pak Hansen! Kemari dan bersaksi! Ini urusan desa kalian!"Hansen menggaruk kepalanya dan mendekat. "Bersaksi gimana?""Bersaksi kalau Rafa menghasilkan uang dengan mengobati orang!""Oh, oh ...." Hansen berpikir sejenak, lalu menghela napas. "Kalau soal mengobati orang, memang ada. Ayahnya dulu seorang tabib, jadi meningga