"Tentu saja bisa!" Mega mengangguk. "Kita bisa daftar akun di berbagai forum dan mengunggah pengumuman pencarian. Kita catat baik-baik kata sandinya, lalu sesekali login untuk cek. Mungkin, ada petunjuk yang muncul nanti."Rafa sangat senang dan segera membantu Mega mengurusnya. Setelah satu jam, mereka berhasil memposting lebih dari 10 pengumuman pencarian. Setelah itu, mereka baru keluar dari forum.Saat jarum jam menunjukkan pukul 12.30 siang, perut mereka sudah keroncongan. Mereka segera mencari restoran terdekat dan makan dengan lahap.Cuaca sangat panas. Mereka berdua masing-masing minum dua botol bir dingin. Setelah itu, tubuh mereka terasa lebih segar.Selesai makan, Rafa berniat membayar, tetapi Mega buru-buru mengeluarkan uang dulu. "Simpan uangmu untuk mengurus Bibi Diah. Makan siang kali ini aku yang traktir!"Ya sudahlah, hemat sedikit juga tidak apa-apa. Rafa tertawa dan bertanya, "Mau langsung pulang?"Mega mengusap perutnya dan tersenyum. "Cuaca panas sekali, aku mau ca
"Astaga, 2 miliar?" Rafa langsung merinding dan menggeleng. "Mending kamu saja yang nikahin aku. Aku nggak minta uang, jadi suami yang tinggal di rumah mertua juga nggak masalah!""Jangan bodoh, tidur saja dulu. Mahar, pernikahan ... jangan pikirkan itu sekarang. Aku masih punya satu tahun lagi sebelum lulus kuliah ...." Mega memeluk Rafa dan tertidur dengan nyenyak.Namun, Rafa malah sulit tidur. Bayar hotel hanya untuk tidur? Bukankah ini buang-buang uang?Pukul 3.30 sore, Mega bangun. Mereka kembali bermesraan sebentar, lalu bangkit dari tempat tidur. Setelah itu, mereka pergi ke toko obat untuk mengambil kursi roda dan obat-obatan, lalu menyewa mobil van untuk kembali dan membawa sepeda mereka pulang ke desa.Setibanya di desa, langit sudah gelap. Miko sudah menyiapkan makan malam dan sedang menunggu Rafa."Kak, aku pulang." Rafa menurunkan kursi roda dan tersenyum. "Aku belikan kursi roda untuk Ibu. Sekarang, Ibu bisa jalan-jalan di luar.""Kamu ini memang anak baik. Aku sudah lam
"Catat saja dulu." Hisyam melambaikan tangan. "Keluargamu masih punya utang 2 jutaan untuk daging sapi, potong saja dari situ.""Utang lebih dari 2 juta?" Rafa terkejut."Kamu nggak percaya?" Hisyam menghela napas. "Tanya saja ke kakak iparmu. Waktu ayahmu meninggal, dia pinjam 1,6 juta dariku. Selain itu, masih ada utang lain yang terus bertambah. Sekarang totalnya sudah 2,4 juta."Miko datang dari pintu belakang. "Benar, Rafa. Aku mencatat semuanya, kita memang utang Paman Hisyam 2,4 juta. Kalau itu orang lain, mereka nggak mungkin membiarkan kita utang sebanyak itu."Rafa tertegun dan bergumam, "Utang sebanyak itu ... berarti aku harus mengobati Paman Hisyam 60 kali biar impas?"Hisyam tertawa sambil menggeleng. "Dasar bocah, masa aku keseleo pinggang setiap hari?"Rafa hanya menyengir, lalu mengambil uang untuk melunasi hutang. "Paman, kali ini aku lunasi semua utang sekaligus. Terima kasih atas bantuannya selama ini. Kalau Kak Miko butuh daging atau barang lain, tolong kasih saja,
Rafa tidak mengerti kenapa Miko bereaksi seheboh itu.Miko menghela napas dan berkata, "Rafa, kamu nggak paham. Memelihara kerbau memang merepotkan dan menyita banyak waktu, tapi nggak rugi. Kalau kerbau sudah tua, masih bisa dijual sebagai daging dan tetap menghasilkan uang.""Kalau traktor? Kalau sudah tua, cuma jadi besi tua yang nggak ada nilainya! Lagian, kerbau makan rumput. Kita nggak perlu keluar uang. Sementara traktor butuh bahan bakar. Setiap kali digunakan butuh uang. Belum lagi perawatan dan servis, butuh ahlinya dan butuh uang ...."Rafa tidak setuju dan membantah, "Tapi, Kak, waktu itu juga uang. Kalau aku pakai waktu untuk mengobati orang, aku bisa dapat lebih banyak uang. Kenapa kita ....""Pokoknya nggak bisa!" Miko tetap bersikeras. "Kalau kamu mau beli traktor, tunggu sampai utang kita lunas. Kalau sekarang kita jual kerbau, nanti kita nggak punya kerbau buat bajak sawah. Mau makan apa kita semua?"Dengan kondisi keuangan keluarga saat ini, Miko tidak berani mengamb
Rafa menyerahkan uang 100 ribu ke Alzam sebelum pergi. "Uang ini buat kamu beli rokok dan bir sendiri."Alzam girang bukan main. Dia terkekeh-kekeh. "Rafa, kamu pasti lagi banyak uang sekarang. Kayaknya buka klinik memang menguntungkan. Sayangnya, aku nggak pintar. Kalau nggak, aku juga buka klinik sendiri!""Kalau begitu, kamu buka rumah sakit saja. Nanti kamu jadi direktur, aku jadi karyawanmu." Rafa tertawa, lalu pulang ke rumah untuk tidur.Begitu sampai di rumah, Rafa mendapati Siti dari Kelompok Empat Desa Kenanga menunggunya. "Rafa! Akhirnya ketemu juga!"Siti tampak sedikit kesal. "Aku sudah ke sini pagi tadi, siang juga datang lagi. Ini ketiga kalinya aku datang hari ini! Susah banget ketemu kamu!""Maaf, tadi aku ke kota." Rafa mengamati Siti, lalu bertanya, "Kenapa? Tanganmu masih sakit?"Siti mengangguk. "Lengan kanan masih terasa pegal. Aku takut ada efek samping, makanya aku datang lagi buat periksa."Di bawah cahaya lampu, Rafa memeriksa kondisinya. Siti hanya perlu meng
Rafa menatap bekas luka di wajah Tono dengan dingin. "Luka di wajahmu itu mengganggu banget. Aku sampai ingin potong dan tempel di pantatmu.""Kamu ...!" Tono langsung naik pitam dan mengayunkan tinjunya.Rafa tetap berdiri diam.Tono teringat bagaimana dia dipukuli habis-habisan sebelumnya. Dia tidak berani bertindak gegabah, hanya melotot dan berkata dengan geram, "Tunggu saja kamu, Bocah!"Setelah melontarkan ancaman, dia berbalik dan pergi.Rafa mengangkat bahu, lalu kembali menikmati suasana pasar. Dia tahu Tono pasti akan memanggil teman-temannya, tetapi itu bukan masalah.Cepat atau lambat, masalah ini harus diselesaikan. Daripada menghindar, lebih baik mengatasinya lebih awal!Di depan, ada sebuah klinik kecil yang cukup ramai. Beberapa pasien sedang antre untuk diinfus dan disuntik.Rafa berdiri di tengah jalan, memperhatikan dengan iri. 'Kalau klinikku bisa seramai ini, pasti enak banget ....'Ketika dia berpikir begitu, seorang pria paruh baya dengan kacamata tampak berjalan
Tono jelas orang bodoh. Dia tidak menyadari taktik Rafa, malah menggertakkan gigi dan menyuruh teman-temannya mengejar lebih cepat.Rafa menunggu mereka semakin dekat, lalu baru mempercepat langkahnya. Mereka tidak menyadari jebakan itu dan terus mengejar tanpa ragu.Namun, dari empat orang itu, termasuk Tono, hanya satu orang yang berlari lebih cepat. Pemuda kurus itu melesat ke depan, meninggalkan teman-temannya jauh di belakang.Melihat peluang, Rafa langsung melemparkan iga yang dibawanya, lalu berbalik dan menyerang pemuda kurus itu.Pemuda itu mengangkat pipa besinya dan mengayunkannya ke arah Rafa. Namun, bagi Rafa, serangan itu seperti adegan gerak lambat dalam film, tidak ada ancaman sama sekali."Dasar kurus kering! Kamu pikir bisa menguasai dunia dengan tubuh sekecil ini?" Rafa menghindar ke samping dan langsung melepaskan tendangan putar, sebuah gerakan dari Teknik Macan di Lima Teknik Pemeliharaan Tubuh yang disebut Macan Mengibaskan Ekor.Buk! Tendangan itu tepat mengenai
Rafa tersenyum percaya diri dan berkata dengan bangga, "Kak, kamu nggak tahu ya? Sekarang aku bukan cuma bisa menyembuhkan penyakit, tapi juga menyembuhkan hati. Kalau aku mau, aku bisa membuat Angga bertobat dan menjadi orang paling baik di Desa Kenanga."Miko mencebik dan menghela napas. "Dasar tukang bual! Kebiasaan sulit diubah. Kalau Angga bisa jadi orang baik, berarti matahari terbit dari barat!"Rafa tertawa, lalu mendorong bahu kakak iparnya untuk membawanya ke dapur. "Kak, kamu santai saja dan masak sup iga. Tunggu aku pulang makan. Aku sudah jadi pria sejati. Mulai sekarang, aku nggak akan membiarkan siapa pun menindasmu lagi!"Miko menoleh dan tersenyum. "Kamu baru jadi pria kalau sudah menikah! Sebelum itu, kamu masih bocah ingusan. Kalau memang pria sejati, cepat bawa Mega ke rumah!"Mega? Rafa terdiam sejenak. Dia benar-benar merindukan Mega. Benar juga, sebagai seorang pria, seharusnya dia lebih berinisiatif dalam hubungan mereka. Kalau tidak, Mega bisa merajuk padanya.
Kanaya menghela napas. "Ayahku tadi sedang mengangkut kotoran ternak untuk menyuburkan jagung.""Benar-benar lebih memilih uang daripada nyawa." Rafa menggeleng. "Di cuaca sepanas ini, jalan tanpa beban saja sudah tersiksa, apalagi harus mengangkut kotoran!""Itu semua salahmu, Kak." Kanaya meliriknya dengan tatapan penuh keluhan. "Kamu memberikan lima kepala sapi kepada Kak Alzam, supaya dia menggembalakan sapi-sapimu. Karena itu, dia nggak sempat membantu Ayah di ladang, jadi Ayah harus bekerja lebih keras hingga akhirnya dehidrasi.""Uh ...." Wajah Rafa memanas. Kalau dipikir-pikir, ada benarnya juga. Untung saja Rahman tidak sampai kehilangan nyawa. Kalau tidak, Rafa akan merasa berutang budi seumur hidup!Namun, Kanaya tiba-tiba tersenyum jahil dan berbisik, "Aku cuma bercanda. Kamu sendiri tahu, Kak Alzam pemalas. Sekalipun dia nggak menggembalakan sapimu, dia tetap nggak akan membantu Ayah di ladang.""Ya juga sih." Rafa merasa lega. Memang benar, Alzam terkenal malas. Di rumah
Ternyata penyakit wanita, pantas saja wajahnya memerah!"Tentu saja aku bisa mengobatinya. Aku ini dokter umum, semua penyakit bisa kutangani," ujar Rafa sambil mengangguk.Kemudian, dia mengerutkan kening. "Siti, tadi aku sudah periksa denyut nadimu. Sepertinya kamu nggak mengalami masalah kesehatan wanita."Bukan hanya tadi, sebelumnya pun dia sudah memeriksa nadi Siti, tetapi tidak menemukan tanda-tanda penyakit."Oh, bukan aku ... tapi temanku ...." Wajah Siti semakin merah."Bukan kamu? Lalu, kenapa wajahmu jadi merah begitu?" Rafa tertawa kecil. "Penyakit apa yang diderita temanmu? Coba ceritakan. Kalau bisa, bawa saja dia ke sini. Kalau nggak bisa, aku bisa memberi saran.""Lebih baik ... lupakan saja." Siti terlihat panik dan berusaha menghindar. "Lain kali kita bicarakan lagi."Rafa mengernyit, tidak bisa memahami jalan pikiran Siti. Benar kata orang, hati wanita itu sulit ditebak!Saat hendak pergi, Siti tiba-tiba menoleh dan berbisik, "Oh ya, Rafa ... soal penyakit wanita ta
Galih kemari dengan berkemudi. Dia sudah minum banyak arak dan dua botol bir sebelum akhirnya pamit dan pergi dengan mobilnya. Di desa tidak ada pemeriksaan, jadi Galih pun tidak khawatir.Setelah Galih pergi, Hansen masih bersemangat. Dia merangkul bahu Rafa dengan gembira. "Rafa, kamu pintar menjilat juga sampai bisa menjalin hubungan dengan Galih. Orang ini benar-benar licik. Dulu aku minta pinjaman darinya, dia sama sekali nggak mau setuju. Hari ini berkat namamu, aku langsung dapat 40 juta!"Tadi Hansen bilang Galih adalah orang terkaya, tetapi sekarang mengatainya licik."Aku nggak menjilatnya!" Rafa menepis tangan Hansen dan bertanya, "Paman, kamu nggak kekurangan uang. Kenapa perlu pinjaman?"Miko juga ikut bingung, menatap Hansen dengan dahi berkerut. Secara logika, keluarga Hansen adalah keluarga berkecukupan, jadi seharusnya tidak perlu pinjaman.Hansen terkekeh-kekeh. "Anak muda seperti kalian nggak paham. Uang itu bisa bertambah kalau diputar!"Rafa langsung menyadari sesu
Galih tersenyum tipis. "Pak Hansen, aku ini cuma rakyat biasa, tapi malah mengundang orang penting sepertimu untuk minum. Sepertinya sangat nggak pantas."Wajah Hansen langsung memerah. Sikapnya mendadak seperti pelayan yang melayani kaisar. "Pak Galih, jangan bercanda begini! Kamu ini orang terkaya di Kota Muara, mana bisa dibandingkan denganku!"Rafa dan Miko sangat terkejut. Ternyata Galih bukan orang sembarangan! Bahkan kepala desa pun harus merendahkan diri di hadapannya.Hansen menatap Rafa dan membentak, "Rafa, dasar berengsek! Sejak kapan kamu kenal Pak Galih? Kenapa nggak bilang padaku?""Paman, aku dan Kak Galih sebenarnya ....""Kami juga baru kenal." Galih memotong dengan santai, lalu tersenyum. "Karena Pak Hansen sudah datang, ayo kita minum."Rafa segera mempersilakan Hansen duduk dan mulai menuangkan minuman.Galih yang perhatian tiba-tiba berkata, "Oh ya, Rafa, kamu ambil beberapa lauk dulu untuk ibumu."Rafa mengangguk, memilih beberapa lauk terbaik untuk ibunya, lalu
Rafa tersenyum, lalu merobek kertas itu. "Nggak apa-apa, Kak Hana. Aku sangat beruntung, aku nggak bakal mati."Miko sangat khawatir dan berkata, "Kudengar Bilham itu penguasa di Kota Muara. Rafa, seharusnya kamu simpan kertas itu dan melapor ke polisi."Rafa hendak menenangkan kakak iparnya, tetapi tiba-tiba terdengar suara seseorang di depan pintu. "Permisi, apa Rafa ada di rumah?"Suaranya terdengar agak familier. Rafa mendongak dan melihat yang datang adalah Galih, pria paruh baya yang dirampok tasnya di kota dua hari lalu.Galih tampaknya datang dengan mobil. Sebuah mobil van baru terparkir di depan pintu."Kamu?" Rafa agak terkejut."Haha, Sobat, aku datang untuk minum bersamamu!" Galih tertawa, berbalik membuka pintu mobil. Dia mengeluarkan sebungkus rokok, dua botol arak, dan banyak lauk yang sudah dimasak. Dia juga menurunkan sekotak bir."Saat dalam perjalanan, aku khawatir kamu nggak ada di rumah. Ternyata kita berjodoh, aku nggak datang sia-sia."Rafa merasa orang ini terla
"Kak, hati-hati ...!" Rafa buru-buru mengulurkan tangan untuk menahan. Karena panik, dia justru menyentuh bagian yang tak seharusnya."Rafa, apa yang kamu lakukan?" Miko terkejut dan langsung mendorongnya."Maaf, Kak. Aku cuma ingin memeriksa denyut nadimu tadi." Rafa buru-buru melepaskan tangannya dan menjelaskan, "Aku khawatir penyakitmu belum sembuh total. Dengan memeriksa nadi, aku bisa lebih memahami kondisi tubuhmu.""Oh, oh .... Kalau begitu ... besok saja ya!" Miko masih gugup, lalu buru-buru masuk ke kamarnya dan menutup pintu. Entah kenapa, pikirannya mendadak kacau. Dia bahkan tidak berani menatap Rafa.Memang benar ipar perempuan itu seperti ibu, tetapi Miko hanya tiga tahun lebih tua dari Rafa. Kini, Rafa sudah dewasa sehingga Miko merasa mereka harus menjaga jarak.Namun, bagaimana bisa menjaga jarak jika mereka hidup di bawah atap yang sama? Apa dia harus pindah rumah? Tidak! Miko tidak akan tega meninggalkan Rafa sendirian!Pikirannya berkecamuk hingga larut malam. Sete
Rafa masih enggan berpisah, tetapi tetap harus mengantar Mega keluar. Setelah melihat Mega pergi semakin jauh, barulah Rafa kembali ke dalam rumah.Miko tiba-tiba muncul dari balik pintu, menjewer telinga Rafa dengan dua jari rampingnya. "Dasar bocah nakal, kali ini ketahuan juga, 'kan?""Kak, lepaskan ...!" Rafa meringis kesakitan, mencoba mengelak. "Apa maksudmu? Mega datang ... cuma untuk pinjam buku!""Pinjam buku? Sampai ke atas ranjang?" Miko menutup mulutnya sambil tertawa. "Kalian berdua berbuat hal nggak baik di dalam kamar, aku mendengar semuanya dari luar."Rafa mengusap telinganya. "Jangan asal bicara. Kami nggak melakukan apa-apa!""Dasar tukang bohong!" Wajah Miko merah. Dia meneruskan, "Tempat tidur kayumu itu berderit lama sekali, kamu pikir aku nggak dengar?""Ya sudah, jangan dibahas lagi. Aku mengaku." Wajah Rafa panas. Dia pun tergagap. "Aku dan Mega memang pacaran, tapi dia bilang ... untuk sementara jangan sampai orang lain tahu.""Nggak perlu malu, aku ngerti." M
Hansen terkekeh-kekeh, lalu melambaikan tangan dan berpamitan, "Fokus saja bertani, jangan pikir yang aneh-aneh!"Rafa merasa kesal dan langsung membanting pintu.Miko yang mendengar suara itu, keluar dari halaman belakang dan bertanya, "Rafa, tadi aku sedang mandiin Ibu. Kudengar kamu mau ajuin pinjaman? Kenapa mau pinjam uang? Pak Hansen ada benarnya, kalau kita pinjam, gimana cara membayarnya?"Rafa menghela napas. "Itu saran dari Mega. Dia bilang aku bisa pinjam 10 juta untuk memperbaiki rumah kecil di timur, lalu menjadikannya ruang praktik medis.""Mega yang bilang begitu?" Miko berpikir sejenak, lalu tiba-tiba wajahnya berseri-seri. "Rafa, jangan-jangan Mega bersedia menikah denganmu dan ingin kamu menyiapkan kamar pengantin?"Rafa tidak tahu harus tertawa atau menangis. "Kak, kamu ini berpikir terlalu jauh.""Nggak kok!" Miko malah semakin bersemangat. "Rafa, kasih tahu Mega, kalau dia bersedia menikah denganmu, aku rela memberikan rumah besar ini untuk kalian. Aku dan Alice bi
Semua orang yang mendengar itu langsung tertawa terbahak-bahak. Terutama Mina, dia sampai tertawa terpingkal-pingkal dan tubuhnya ikut berguncang.Sebenarnya, Mina baru menikah tahun lalu, masih tergolong pengantin baru. Awalnya, dia cukup pemalu dan pendiam. Namun, setelah sering berteman dengan Arumi dan para ibu-ibu, dia mulai lebih terbuka.Arumi menegur, "Rafa dan Mina, kalian ini pasangan aneh! Kompak sekali mengerjaiku ya?"Mina langsung tersipu dan menahan diri untuk tidak bercanda lagi. Dia sadar dirinya bukan tandingan Arumi.Rafa baru sadar bahwa dirinya dijebak. Dia hanya bisa tersenyum kaku. "Kak, aku cuma bicara jujur. Aku ini orangnya polos ... nggak ada maksud apa-apa."Vina yang juga sedang bermain kartu ikut menimpali, "Rafa, kamu tahu nggak? Arumi memang suka pria polos sepertimu!"Rafa tetap berpura-pura lugu dan mengangguk cepat. "Tahu, tahu!"Semua orang kembali tertawa keras.Arumi melirik Vina dengan wajah sebal. "Vina, hati-hati kamu ya! Kalau kamu menyinggung