Target pertama Tirta tidak lain adalah Susanti. Ini karena Susanti yang selalu menunjukkan kekesalannya setiap kali Tirta bertemu Agatha.Di situasi seperti ini, Susanti tentu melawan sekuat tenaga. Namun, tidak peduli bagaimana dia melawan, dia tentu bukan tandingan Tirta.Setelah diberi pelajaran oleh Tirta selama belasan menit, Susanti akhirnya menangis sambil memohon ampun.Kemudian, Tirta segera menyerang Agatha. Hanya dalam belasan menit, Agatha juga menyerah. Bagaimanapun, Tirta tidak menahan tenaganya sedikit pun. Tujuannya memang supaya kedua wanita ini tidak bertengkar setiap kali bertemu."Sekarang sudah ingat ucapanku tadi? Lain kali ketemu Kak Agatha masih berani berdebat?" tanya Tirta yang memandang Susanti dari atas dengan penuh wibawa."Ya, aku nggak akan berani lagi. Maafkan aku .... Kelak Agatha adalah sahabatku. Jangan serang aku lagi ...," pinta Susanti sambil meringkuk di tepi ranjang dengan tubuh bergetar."Huh! Bagus kalau sudah tahu kesalahanmu! Kak Agatha, gima
Ayu mengantar Arum dan Yanti ke luar klinik. Saat ini, hanya tersisa Ayu, Melati, dan Nia di klinik. Jadi, Nia pun punya tempat untuk tidur."Arum, kulihat kamu agak murung. Apa ada masalah?" tanya Yanti dengan curiga."Nggak kok, aku cuma capek siang tadi. Nggak ada masalah," sahut Arum yang menghela napas.Awalnya, Arum hanya ingin mencoba dengan Tirta. Dia tidak berniat untuk merebut Tirta atau bersaing dengan Ayu dan lainnya.Namun, setelah mereka benar-benar bersama, Ayu malah tidak bisa menahan kecemburuannya melihat Tirta bersama wanita lain."Masa? Aku rasa kamu agak aneh hari ini. Aku pikir kamu ditindas orang. Baguslah kalau nggak ada. Kalau ada yang berani menindasmu, bilang saja padaku. Aku suruh Zoro dan Kuro gigit mereka!" ucapYanti sambil menepuk dadanya. Namun, dia tidak begitu percaya pada ucapan Arum."Terima kasih, Bu Yanti. Oh ya, kamu datang malam-malam untuk cari Tirta karena masalah perban di dada?" Arum langsung mengalihkan topik."Kamu tahu Tirta yang membalut
"Bu Yanti, jangan ...." Arum ingin menghentikan, tetapi sudah terlambat. Dia hanya bisa mengikuti Yanti masuk ke vila."Tirta ini kaya sekali ya. Dia bukan cuma mengontrak seluruh lahan di desa untuk menanam bibit pohon buah, tapi juga membangun vila semegah ini.""Dekorasi di dalamnya mewah banget, bahkan rumahku ... ehem, bahkan rumah di kota pun kalah," ucap Yanti yang mengelilingi vila sambil mengagumi isinya."Bu Yanti, sepertinya sudah cukup, 'kan? Aku agak ngantuk, ayo kita pulang." Arum terpaksa menemani Yanti mengelilingi lantai pertama. Dia menarik ujung baju Yanti dengan erat.Untungnya, di lantai pertama tidak terdengar suara aneh. Kalau tidak, Arum benar-benar bingung harus bagaimana menjelaskan kepada Yanti."Arum, ini pertama kalinya aku datang ke sini. Kasih aku keliling sebentar. Kita belum lihat lantai dua dan tiga. Setelah itu, kita langsung pulang." Yanti tampak sangat bersemangat dan sama sekali tidak terlihat ingin pulang."Lagi pula, aku lihat lampu di lantai tig
"Aku akan menghajar pria berengsek itu untukmu! Setelah berhubungan denganmu, dia malah bermain dengan wanita lain? Benar-benar sampah masyarakat!" Mendengar itu, Yanti langsung merasa tidak adil untuk Arum. Dia pun mengomel dengan marah."Bu Yanti, nggak usah. Semua ini kehendakku. Aku sudah tahu Tirta dikelilingi banyak wanita. Aku nggak menyalahkannya dan cuma merasa agak sedih. Setelah istirahat, aku akan baik-baik saja. Jangan marah pada Tirta ya?" Arum buru-buru menghalangi di depan Yanti."Eee ... Arum, apa bagusnya pemuda seperti Tirta? Apa dia pantas untuk kamu bela seperti ini?" Yanti mengernyit dan tampak bingung. "Jangan-jangan dia kasih kamu uang? Kamu simpanannya?""Bukan begitu, aku cuma merasa Tirta orang yang sangat baik. Aku tanpa sadar tertarik padanya," sahut Arum menghela napas."Apa? Kamu nggak diberi uang, tapi sudah berhubungan intim dengannya? Sebenarnya kamu menginginkan apa dari dia? Jangan-jangan cuma karena punya dia besar?" Saat teringat pada adegan Tirta
"Serius, Ayah? Kamu nggak bercanda, 'kan?" Mendengar itu, ekspresi Bella langsung berubah dari khawatir menjadi senang. Dia bertanya dengan tidak percaya.Selama berada di rumah sakit, Bella sangat merindukan Tirta. Sejak berpisah dengan Tirta, dia merasa seperti ada sesuatu yang penting hilang dalam hidupnya.Sayangnya, Darwan menyuruh orang untuk menyita ponsel Bella agar dia fokus dengan pemulihan. Jika tidak, Bella pasti sudah menelepon Tirta."Tentu saja. Kamu putriku, kapan Ayah pernah menipumu?" Darwan tersenyum tulus."Hore! Besok pagi, Ayah datang ya. Temani aku untuk urus prosedur keluar rumah sakit! Oh ya, jangan lupa bawa ponselku!" ucap Bella dengan ceria seperti gadis kecil."Haha. Oke, kamu istirahat dulu malam ini. Ayah akan kembali ke kantor untuk menyelesaikan beberapa urusan dulu. Besok pagi Ayah datang lagi.""Omong-omong, ada satu hal yang harus Ayah beri tahu lebih dulu. Nanti kamu harus minta Tirta bantu satu hal ...."....Tengah malam, bulan bersinar terang. Di
Tirta menggendong Agatha dan membawanya kembali ke klinik. Saat ini, Arum sudah kembali dari rumah Yanti dan sedang menyiapkan sarapan."Tirta, Agatha, kalian pulang tepat waktu. Cepat cuci tangan, kita makan bersama." Arum membawa sarapan dari dapur dan tersenyum kepada mereka berdua."Agatha nggak enak badan, biarkan dia istirahat sebentar. Kita makan dulu. Omong-omong, Bibi Ayu dan Kak Nia di mana?" tanya Tirta setelah melihat ke dalam klinik."Mereka pergi ke waduk untuk memeriksa bibit pohon buah, mungkin sebentar lagi kembali. Atau kalau kamu mau, aku bisa panggil Bibi Ayu pulang?" sahut Arum."Oh, nggak perlu. Kita tunggu sebentar sampai mereka kembali," ujar Tirta sambil mengangguk.Saat berikutnya, terdengar suara mesin mobil dari luar klinik. Itu adalah beberapa pemegang saham dari Farmasi Santika. Sesuai dengan instruksi Agatha, mereka mengantarkan uang 20 miliar serta bibit tanaman obat yang dibutuhkan Tirta.Tirta meminta orang untuk menurunkan bibit tanaman obat di depan
Mendengar suara ceria itu, Tirta langsung bisa menebak siapa wanita itu. Mereka sudah lama tidak bertemu. Sebenarnya Tirta juga merindukan Bella. Namun, ucapan Bella membuatnya merasa agak cemas."Bu Bella, aku agak sibuk belakangan ini. Aku baru mengontrak 2000 hektar tanah di desa untuk menanam pohon buah dan tanaman obat.""Apa kamu bisa tunggu sampai kerjaanku selesai? Setelah itu, aku dan bibiku akan pergi ke ibu kota provinsi." sahut Tirta."Pohon buah dan tanaman obat? Tirta, bukannya ayahku kasih kamu cek senilai 40 triliun waktu itu? Kamu nggak perlu repot-repot bekerja lagi, 'kan?""Lagi pula, dengan kemampuanmu, kamu bisa melakukan sesuatu yang lebih baik daripada menanam pohon buah dan tanaman obat.""Kita sudah lama nggak ketemu. Kamu bahkan nggak pernah meneleponku. Jangan-jangan ini cuma alasanmu untuk menghindar dariku?" tanya Bella dengan agak kesal."Bu Bella, mana mungkin aku nggak mau bertemu denganmu. Aku memimpikanmu setiap malam. Aku ganti ponsel setelah pulang,
Ayu tentu tidak berharap Tirta pergi. Namun, Tirta telah berhubungan intim dengan Bella. Dia tidak mungkin menyuruh Tirta mencampakkan Bella begitu saja."Besok saja. Aku akan membantu kalian mengurus bibit pohon buah dan tanaman obat hari ini. Tenang saja, kita nggak akan lama-lama di sana. Kita akan pulang secepatnya," sahut Tirta setelah merenung sejenak."Tirta, gimana aku harus menasihatimu? Sebenarnya kamu butuh berapa banyak wanita baru bisa puas?" Ayu menghela napas dengan tidak berdaya."Bibi, aku ... aku janji nggak akan sembarangan mendekati wanita lagi. Jangan marah ya. Sekalipun ada banyak wanita di sekitarku, aku paling peduli padamu," sahut Tirta sambil menepuk tangan Ayu yang lembut."Ya sudah, bukannya kamu mau mencari Kak Farida? Pergi sana. Setelah selesai, aku temani kamu beli bahan makanan." Ayu mengelus kepala Tirta dengan lembut."Bibi, bukannya kamu bilang akan tunggu sampai Agatha dan Susanti pergi?" tanya Tirta dengan kaget."Dasar kamu ini, isi otakmu cuma it
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka