"Bu Yanti, kedua harimau itu nggak melukai siapa pun. Untuk apa kamu lapor polisi?"Begitu mendengarnya, Tirta menghentikan mobilnya. Kemudian, dia turun, tetapi tidak berniat membawa Yanti mencari harimau.Sepertinya, Yanti melihat kedua harimau itu waktu mereka kabur. Makanya, dia mengejar kedua harimau itu bersama Melati."Harimau sangat ganas. Mereka bisa memangsa orang. Aku melihat mereka di desa tadi! Mereka pasti mencari mangsa di bawah gunung karena nggak ada yang bisa dimakan di pegunungan!""Aku tentu harus lapor polisi supaya mereka menangkap kedua harimau itu. Kemudian, mereka akan dibawa ke pusat perlindungan satwa! Kalau ditunda, takutnya akan ada yang terluka!" jelas Yanti dengan ekspresi cemas dan napas terengah-engah.Bisa dilihat bahwa kepala desa ini sangat baik hati. Namun, dia tidak tahu bahwa kedua harimau itu adalah milik Tirta. Mereka ditugaskan untuk menjaga rumah."Kamu berpikir terlalu jauh. Mungkin mereka cuma mau jalan-jalan. Kalau tujuan mereka adalah mema
"Tirta, aku perlu ikut nggak?" tanya Melati dengan agak panik."Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Nanti aku bawa Bu Yanti balik. Kamu tenang saja," sahut Tirta sambil mengeluarkan jarum perak di sakunya dan menunjukkannya kepada Melati."Kamu ingin membuat Bu Yanti lupa kejadian hari ini ya? Ya sudah, kamu kejar dia. Aku nggak bakal ikut supaya kamu nggak repot." Melati memahami maksud Tirta. Dia pun hanya menunggu di mobil.Tirta turun dari mobil, lalu berteriak kepada Yanti yang berlari di depan, "Bu Yanti, tunggu aku! Aku salah makan siang ini. Perutku terus mulas. Aku jadi nggak kuat lari. Jangan terlalu cepat, aku nggak bisa menyusulmu!""Kamu masih begitu muda. Seharusnya tubuhmu kuat. Kenapa malah lemas sekali? Cepat sedikit! Aku nggak lihat harimaunya lagi!" Yanti sama sekali tidak berhenti dan terus berlari. Payudaranya yang besar itu pun terus berguncang dibuatnya."Hais ...." Tirta menghela napas dengan tidak berdaya. Ketika dia memutuskan untuk tidak berpura-pura lagi dan
"Bakal berbekas kalau infeksi? Serius? Jangan-jangan kamu cuma mau ambil keuntungan dariku? Kamu bicara begitu untuk menakutiku, 'kan?" tanya Yanti yang masih belum berbalik. Namun, dia merasa yang dikatakan Tirta masuk akal.Yanti terluka dan pakaiannya rusak. Dia pasti tidak bisa mengejar harimau lagi untuk sekarang. Dia terpaksa mengesampingkan masalah ini dulu."Kalau aku ingin ambil untung darimu, ngapain aku repot-repot ngarang kebohongan? Di sini nggak ada siapa-siapa. Aku bisa langsung menidurimu kalau memang mau!" sahut Tirta dengan pasrah."Terserah kamu saja. Pokoknya aku sudah mengingatkanmu. Mau diobati atau nggak, terserah kamu," lanjut Tirta."Kamu benaran bukan ingin ambil untung, 'kan? Kalau begitu, kamu mau gimana? Aku bakal turuti ucapanmu." Setelah ragu-ragu sejenak, Yanti akhirnya membuat keputusan. Payudara wanita sangat penting, hampir sama dengan kemaluan pria. Dia tentu tidak ingin payudaranya berbekas."Kita cari sungai yang bersih dulu untuk bersihkan lukamu.
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa
"Uhuk, uhuk. Nggak usah begitu gugup, Bu. Mungkin agak perih waktu dioleskan obat nanti. Kamu harus tahan ya," ucap Tirta untuk menenangkan Yanti. Ketika memeriksa luka itu, Tirta tak kuasa merasa takjub dengan ukuran payudara Yanti. Besar sekali!"Tirta, gimana kalau aku oles sendiri? Kalau kamu yang oles, aku ... aku malu ...." Suara Yanti terdengar lirih. Dia masih tidak berani membuka matanya. Wajah dan lehernya sampai memerah."Boleh saja. Tapi, kamu nggak bisa membalut lukamu sendiri. Aku tetap harus membantumu. Sebaiknya serahkan saja kepadaku. Kalau cepat beres, kita juga cepat turun. Langit sudah mau gelap lho," sahut Tirta sambil membersihkan tanaman obat dengan air sungai."Ya sudah, kamu saja yang bantu aku." Yanti mengiakan. Lagi pula, Tirta sudah pernah melihatnya. Jika terus menolak, dia hanya akan terkesan terlalu manja. Makanya, Yanti akhirnya membulatkan tekadnya.Setelah membersihkan tanaman obat, Tirta mencari dua buah batu bulat yang agak bersih. Setelah mencucinya
"Tirta, apa lukaku sudah bisa dibalut sekarang?" tanya Yanti. Dia akhirnya menyadari bahwa sikapnya tadi kurang wajar. Matanya menghindar, bahkan tak berani menatap Tirta secara langsung.Tirta menjawab, "Bisa, Bu Yanti. Lagian, bajumu sudah rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lebih baik dilepaskan saja. Aku akan cuci bajumu ini, lalu pakai kainnya untuk membalut lukamu.""Setelah selesai, kamu bisa pakai bajuku untuk sementara kalau nggak keberatan," ujar Tirta sambil mencuci tangannya di aliran sungai kecil."Oke, terserah kamu. Lagian, bajuku memang sudah nggak bisa dipakai lagi," jawab Yanti sambil mengangguk pelan. Dia berusaha mengatasi rasa malunya dan perlahan melepaskan pakaian tipis yang dikenakannya.Meski berat badan Yanti sekitar 55 kilogram, pinggangnya tetap terlihat ramping dan memberikan kontras tajam dengan bagian atas tubuhnya yang montok.Bahkan Tirta yang sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi, tak kuasa meliriknya sejenak sebelum akhirnya tersadar kembali.Sete
Setelah berpikir sejenak, Melati membalas, "Aku juga nggak tahu di mana Bu Yanti tinggal .... Di gunung ini nggak ada sinyal. Gimana kalau nanti setelah kita turun gunung, aku telepon Arum? Dia pasti tahu di mana Bu Yanti tinggal.""Ya sudah, kita langsung turun gunung sekarang saja. Jangan pikirkan dua harimau itu lagi, seharusnya nggak akan ada masalah," jawab Tirta sambil menempatkan Yanti di kursi belakang mobil. Melati pun membantu menjaga Yanti selama perjalanan.Setelah mobil turun gunung dan mendapatkan sinyal, Melati segera menghubungi Arum melalui telepon. Suara Arum segera terdengar."Apa? Bu Yanti mau lapor ke polisi biar dua harimau itu ditangkap?""Biarkan saja kalau sudah lupa. Bu Yanti tinggal di ujung barat desa, di rumah yang ....""Oh ya, di klinik datang seorang wanita muda. Katanya, dia mau cari Tirta untuk berobat. Kak Melati, tolong sampaikan ke Tirta ya ...."Setelah mendapatkan alamat rumah Yanti dari Arum, Tirta langsung mengarahkan mobil menuju rumah tersebut
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami
Tirta menyeringai, lalu segera mengambil sepotong abalone yang sudah dikupas dan memberikannya kepada Ayu.Saat Ayu masih ragu-ragu apakah dia harus meniru cara Tirta menyedot jus abalone, Tirta sudah mengambil potongan lain dan memberikannya kepada Bella."Bella, kamu juga coba. Abalone ini bisa menyeimbangkan energi tubuh, mempercantik kulit, dan sangat baik untuk kesehatan. Makan yang banyak ya!""A ... aku coba sedikit dulu ...." Bella menatap abalone yang gemuk dan berair itu, wajahnya sontak memerah. Setelah mengumpulkan keberanian, dia meniru cara Tirta dan mendekatkan bibirnya ke celah tengah abalone dan mulai menyedot."Ya, begitu caranya, Bella! Sedot yang kuat. Kalau nggak, jusnya nggak akan habis! Aduh, jusnya terlalu banyak! Cepat, Bella, sedot lagi, jangan sampai terbuang sia-sia!" Tirta memberi arahan dengan penuh semangat. Entah kenapa, melihat Bella menyedot abalone dengan begitu serius, darahnya langsung bergejolak dan tenggorokannya terasa kering."Hmm ... rasanya be
"Jadi, ini yang disebut abalone? Kenapa orang-orang di dunia fana ini makan sesuatu yang aneh seperti ini? Aku nggak bisa memakannya. Lebih baik kita cari tempat lain saja."Elisa hanya melirik sebentar, lalu menampilkan ekspresi aneh dan menggeleng untuk menolak. Ini adalah pertama kalinya dia melihat makanan seperti abalone. Entah kenapa ... sama sekali tidak membangkitkan selera makannya."Meskipun terlihat aneh, abalone ini sebenarnya sangat lezat! Dagingnya lembut, kenyal, dan sangat berair. Kalau nggak percaya, coba satu! Aku nggak bohong!"Tirta sebenarnya sudah cukup lama merindukan rasa abalone, terutama yang pernah dimasak oleh Farida. Rasanya sangat lezat dan penuh dengan jus segar.Selain itu, dia ingin melihat ekspresi Bella, Ayu, dan Elisa saat makan abalone. Pasti sangat menarik!"Kalau Tirta ingin kamu mencobanya, kenapa nggak mencoba sedikit? Kalau kamu nggak suka, kita masih bisa pesan makanan lain." Melihat mulut Tirta yang hampir meneteskan air liur, Ayu pun ikut me
Bella belum menjawab pertanyaan Tirta. Namun, Elisa sudah lebih dulu menatapnya dengan heran dan mengungkapkan kebingungannya. Bella tersenyum lembut sambil menggandeng lengan Tirta, lalu menyahut, "Karena aku menyukainya. Dia telah menyelamatkan hidupku dan memberiku kesempatan kedua untuk hidup.""Kalau bukan karena Tirta, aku mungkin nggak bisa berdiri di sini dan berbicara dengan kalian. Selain itu, aku bisa merasakan Tirta tulus mencintaiku.""Selama kami saling mencintai, aku nggak peduli berapa banyak wanita yang pernah ada dalam hidupnya. Yang penting, sekarang dia hanya milikku.""Hehe, Bella, kamu benar-benar baik." Tirta tertawa canggung, merasa agak tidak enak hati.Namun, tiba-tiba Elisa melontarkan pertanyaan yang membuat Tirta sontak terdiam dan membeku di tempat, "Kalau begitu, apa kamu keberatan kalau dia masih punya banyak wanita sekarang?"Bahkan, Ayu yang berada di sampingnya langsung panik. Jantungnya berdebar kencang, seolah-olah sudah mau copot!'Gawat! Aku lupa
"Nggak kok! Saat kalian mandi, aku di kamarku. Mana mungkin aku melakukan hal yang lebih buruk dari binatang itu!"Jantung Tirta sontak berdetak kencang. Dia tidak berani menunjukkan ekspresi mencurigakan dan segera memasang wajah polos seolah-olah tidak bersalah.Padahal, kenyataannya dia telah diam-diam mengintip mereka mandi selama hampir satu jam. Dia bahkan bisa mengingat dengan jelas bagaimana bentuk tubuh Ayu dan Elisa!"Oh ya?" Ayu tampak tidak begitu percaya. Namun, dia ingat bahwa saat membuka pintu waktu itu, dia memang tidak melihat Tirta di dalam kamar."Bocah! Kalau kamu nggak mengintip kami mandi atau ganti baju, gimana kamu tahu aku memakai pakaian dalam kakakku?" Elisa bahkan lebih curiga, wajahnya langsung memerah karena malu dan marah. Begitu terpikir bahwa Tirta mungkin telah melihat seluruh tubuhnya tanpa sehelai benang, dia merasa ingin mati saja!"Tirta, sebenarnya apa yang terjadi? Jangan-jangan kamu benaran ...." Bella mengernyit, jelas sangat ingin mendengar j
Apa yang membuat Bella begitu memihak dan melindungi Tirta?"Permintaan kalian memang sederhana, tapi itu tergantung pada siapa orangnya. Tirta adalah tunanganku. Kalian nggak berhak menyuruhnya meminta maaf, ngerti?""Membuat kalian bangkrut itu hanya pelajaran kecil. Kalau kalian berdua masih terus mengganggu, aku nggak akan ragu untuk membuat kalian lenyap dari dunia ini!" Mendengar ini, wajah Bella tampak dingin dan matanya menyiratkan ancaman yang menusuk tulang."Apa?""Di ... dia tunangan Bu Bella? Dia yang membuat Gubernur dan para keluarga besar mengeluarkan 100 triliun, juga yang membuat tokoh besar minta maaf? Tirta?"Begitu mengetahui identitas Tirta dari mulut Bella, semua orang di tempat itu langsung terkejut. Mereka secara naluriah mundur beberapa langkah untuk menciptakan jarak. Itu adalah bentuk ketakutan dan kehormatan yang mereka tunjukkan kepada Tirta!"Ayah, kita harus segera pergi! Dia tunangan Nona Bella, kita nggak bisa menang melawannya ...." Doddy biasanya han
Salman datang ke mal untuk melakukan inspeksi seperti biasa. Tak disangka, begitu tiba, dia langsung mendengar kabar bahwa putranya telah dipukuli. Dia bergegas kemari untuk melihat apa yang terjadi.Di perjalanan, kebetulan dia bertemu dengan Bella yang sedang mencari Tirta. Seluruh bangunan mal ini adalah properti milik Keluarga Purnomo. Jadi, begitu ada masalah, Bella pun ikut datang untuk memeriksa keadaan.Begitu tiba di depan toko perhiasan emas, wajah Salman langsung memerah karena marah melihat keadaan mengenaskan Doddy! Jadi, meskipun melihat Bella cukup akrab dengan Tirta, dia tetap tidak peduli dan ingin menuntut pertanggungjawaban Tirta!"Pertanggungjawaban? Pertanggungjawaban seperti apa yang kamu inginkan?" tanya Bella yang disela. Wajahnya langsung menunjukkan ekspresi dingin. Dia menatap Salman dengan senyuman tipis penuh ejekan.Jika Tirta tidak menjelaskan apa yang terjadi, Bella pasti sudah murka sejak tadi. Dia dan Tirta memilih untuk tidak mempermasalahkan tindakan
"Bibi Elisa, biar aku saja yang menghajar sampah ini. Kamu nggak perlu turun tangan. Nanti tanganmu kotor kalau sampai menyentuhnya." Saat Elisa hendak maju untuk menghajar Doddy lagi, Tirta langsung melangkah lebih dulu. Dia berdiri tepat di depan Doddy."Ka ... kamu ... mau apa? Pergi! Aaahhhh!" Di bawah tatapan ketakutan Doddy, Tirta mengangkat kakinya dan menendang langsung ke selangkangan Doddy dengan marah.Terdengar suara retakan yang mengerikan. Bukan lagi suara sesuatu yang pecah, tetapi suara tulang yang remuk. Tulang panggul Doddy hancur dan terdorong masuk hampir 10 sentimeter!Kini, dia benar-benar bukan pria lagi. Namun, jika mau menjadi wanita, mungkin akan lebih mudah."Sepertinya tendangan Bibi Elisa tadi belum cukup untuk memberimu pelajaran. Dengan wajahmu itu, anjing pun nggak mau dekat-dekat sama kamu!""Masih berani menargetkan kedua bibiku? Rumahmu nggak punya cermin ya? Becermin dulu lain kali! Memangnya kamu pantas?"Sebelum Doddy bisa menjerit kesakitan, Tirta
"Gila .... Wanita ini kelihatannya cantik, tapi kejam banget!""Aku bahkan bisa mendengar suara sesuatu pecah tadi. Untung tadi aku nggak coba mendekatinya!""Cuma kejam nggak cukup. Yang dia pukul itu Doddy.""Ayahnya punya saham di semua toko emas lantai ini. Dia kaya dan punya pengaruh besar!""Aku ingat, sebulan yang lalu ada gadis cantik datang ke sini untuk beli emas. Dia menolak Doddy, lalu menamparnya sekali. Tapi, akhirnya Doddy tetap menodainya.""Sekarang wanita ini malah menyerang Doddy. Aku rasa mereka bertiga nggak bakal bisa keluar dari mal ini dengan selamat!"Jeritan Doddy segera menarik perhatian banyak orang untuk melihat keributan. Banyak dari mereka mengenali Doddy sehingga mulai merasa kasihan pada Ayu dan Elisa."Benar-benar sampah. Bibi Elisa, kamu melakukan hal yang benar!" Mendengar perbincangan itu, Tirta tetap tenang. Dia menatap Doddy dengan senyuman penuh ejekan."Yang menodai kehormatan wanita pantas mati!" Begitu mendengar tentang apa yang telah dilakuka
Saat berjalan melewati toko perhiasan emas, mata Elisa tertuju pada etalase yang dipenuhi dengan berbagai perhiasan emas yang berkilauan, dengan desain yang beragam dan memikat.Tanpa perlu isyarat dari Ayu, Tirta langsung maju dan berkata dengan santai, "Bibi, suka perhiasan yang mana? Pilih saja sesukamu, aku akan membelikannya untukmu.""Nggak perlu, perhiasan emas itu mahal ...." Elisa refleks menolak. "Aku cuma ingin lihat-lihat. Kalaupun mau, aku bisa membelinya sendiri."Di dunia misterius, perhiasan emas biasanya dianggap sebagai simbol cinta. Itu sebabnya, Elisa enggan menerima emas dari Tirta."Mana bisa begitu? Tirta saja yang belikan. Lagian, emas bukan barang mahal untuknya. Asalkan kamu suka, aku bisa suruh Tirta membeli seluruh lantai ini untukmu!"Ayu tentu tidak memahami hal itu. Setelah sekian lama, akhirnya dia bisa bertemu dengan adik kandungnya. Dia tentu ingin memberikan hadiah yang disukai adiknya."Benar, apa yang dikatakan Bi Ayu itu benar. Kalau kamu suka, aku