"Bakal berbekas kalau infeksi? Serius? Jangan-jangan kamu cuma mau ambil keuntungan dariku? Kamu bicara begitu untuk menakutiku, 'kan?" tanya Yanti yang masih belum berbalik. Namun, dia merasa yang dikatakan Tirta masuk akal.Yanti terluka dan pakaiannya rusak. Dia pasti tidak bisa mengejar harimau lagi untuk sekarang. Dia terpaksa mengesampingkan masalah ini dulu."Kalau aku ingin ambil untung darimu, ngapain aku repot-repot ngarang kebohongan? Di sini nggak ada siapa-siapa. Aku bisa langsung menidurimu kalau memang mau!" sahut Tirta dengan pasrah."Terserah kamu saja. Pokoknya aku sudah mengingatkanmu. Mau diobati atau nggak, terserah kamu," lanjut Tirta."Kamu benaran bukan ingin ambil untung, 'kan? Kalau begitu, kamu mau gimana? Aku bakal turuti ucapanmu." Setelah ragu-ragu sejenak, Yanti akhirnya membuat keputusan. Payudara wanita sangat penting, hampir sama dengan kemaluan pria. Dia tentu tidak ingin payudaranya berbekas."Kita cari sungai yang bersih dulu untuk bersihkan lukamu.
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa
"Uhuk, uhuk. Nggak usah begitu gugup, Bu. Mungkin agak perih waktu dioleskan obat nanti. Kamu harus tahan ya," ucap Tirta untuk menenangkan Yanti. Ketika memeriksa luka itu, Tirta tak kuasa merasa takjub dengan ukuran payudara Yanti. Besar sekali!"Tirta, gimana kalau aku oles sendiri? Kalau kamu yang oles, aku ... aku malu ...." Suara Yanti terdengar lirih. Dia masih tidak berani membuka matanya. Wajah dan lehernya sampai memerah."Boleh saja. Tapi, kamu nggak bisa membalut lukamu sendiri. Aku tetap harus membantumu. Sebaiknya serahkan saja kepadaku. Kalau cepat beres, kita juga cepat turun. Langit sudah mau gelap lho," sahut Tirta sambil membersihkan tanaman obat dengan air sungai."Ya sudah, kamu saja yang bantu aku." Yanti mengiakan. Lagi pula, Tirta sudah pernah melihatnya. Jika terus menolak, dia hanya akan terkesan terlalu manja. Makanya, Yanti akhirnya membulatkan tekadnya.Setelah membersihkan tanaman obat, Tirta mencari dua buah batu bulat yang agak bersih. Setelah mencucinya
"Tirta, apa lukaku sudah bisa dibalut sekarang?" tanya Yanti. Dia akhirnya menyadari bahwa sikapnya tadi kurang wajar. Matanya menghindar, bahkan tak berani menatap Tirta secara langsung.Tirta menjawab, "Bisa, Bu Yanti. Lagian, bajumu sudah rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lebih baik dilepaskan saja. Aku akan cuci bajumu ini, lalu pakai kainnya untuk membalut lukamu.""Setelah selesai, kamu bisa pakai bajuku untuk sementara kalau nggak keberatan," ujar Tirta sambil mencuci tangannya di aliran sungai kecil."Oke, terserah kamu. Lagian, bajuku memang sudah nggak bisa dipakai lagi," jawab Yanti sambil mengangguk pelan. Dia berusaha mengatasi rasa malunya dan perlahan melepaskan pakaian tipis yang dikenakannya.Meski berat badan Yanti sekitar 55 kilogram, pinggangnya tetap terlihat ramping dan memberikan kontras tajam dengan bagian atas tubuhnya yang montok.Bahkan Tirta yang sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi, tak kuasa meliriknya sejenak sebelum akhirnya tersadar kembali.Sete
Setelah berpikir sejenak, Melati membalas, "Aku juga nggak tahu di mana Bu Yanti tinggal .... Di gunung ini nggak ada sinyal. Gimana kalau nanti setelah kita turun gunung, aku telepon Arum? Dia pasti tahu di mana Bu Yanti tinggal.""Ya sudah, kita langsung turun gunung sekarang saja. Jangan pikirkan dua harimau itu lagi, seharusnya nggak akan ada masalah," jawab Tirta sambil menempatkan Yanti di kursi belakang mobil. Melati pun membantu menjaga Yanti selama perjalanan.Setelah mobil turun gunung dan mendapatkan sinyal, Melati segera menghubungi Arum melalui telepon. Suara Arum segera terdengar."Apa? Bu Yanti mau lapor ke polisi biar dua harimau itu ditangkap?""Biarkan saja kalau sudah lupa. Bu Yanti tinggal di ujung barat desa, di rumah yang ....""Oh ya, di klinik datang seorang wanita muda. Katanya, dia mau cari Tirta untuk berobat. Kak Melati, tolong sampaikan ke Tirta ya ...."Setelah mendapatkan alamat rumah Yanti dari Arum, Tirta langsung mengarahkan mobil menuju rumah tersebut
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami
Tirta bertanya dengan nada terkejut, "Waktu kecil aku menepuk pantatmu? Serius? Kok aku nggak ingat sama sekali?"Nia membalas, "Tentu saja kamu nggak ingat. Waktu itu, kamu baru 3 atau 4 tahun. Kamu masih pakai celana berlubang pula. Aku lebih tua sedikit darimu, jadi masih ingat kejadian itu.""Kalau dipikir-pikir, kita ini sebenarnya sudah kenal dari lama, 'kan?" jelas Nia yang menutup mulutnya sambil tertawa geli. Dada putihnya sedikit bergetar."Uhuk, uhuk ...." Tirta berdeham, lalu menggaruk kepalanya dengan sedikit canggung.Tirta melanjutkan, "Sepertinya memang ada kejadian seperti itu. Waktu kecil, aku suka nggak tahu aturan. Hampir semua anak perempuan yang datang ke klinik untuk suntik, pasti pernah aku tepuk pantatnya. Gara-gara kebiasaan buruk itu, aku sering kena marah dan dipukul orang tuaku.""Wajar saja kamu kena pukul. Oh ya, orang tuamu di mana sekarang? Kok aku nggak melihat mereka?" tanya Nia. Dia menghentikan tawanya dan terlihat sedikit serius."Orang tuaku menin
Pada akhirnya, Nia hanya bisa tersenyum pahit tanpa daya. Setelah berpikir sejenak, Tirta berucap, "Masalahnya cuma ini? Ayahmu terlalu pilih kasih pada anak laki-laki.""Kak Nia, kalau kamu benaran yakin bisa mengelola kebun buah dengan baik, aku bisa keluarkan uangnya untuk modal. Kita kerja sama saja. Di Desa Persik, masih banyak tanah kosong. Untuk menyewanya juga nggak terlalu mahal," lanjut Tirta.Sebenarnya, Tirta punya pemikiran praktis. Jika ada kebun buah di dekat Desa Persik, nanti Ayu dan yang lainnya tidak perlu repot-repot pergi ke kota kecil untuk membeli buah. Ini bisa sangat memudahkan.Nia ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Ide itu sih bagus. Masalahnya kalau untung nanti, gimana kita bagi hasilnya?""Aku cuma mau jadi investor yang lepas tangan. Kalau ada untung, kamu ambil bagian terbesar. Aku cuma minta sedikit saja. Selain itu kalau nggak ada kesibukan, aku mau bawa bibiku dan yang lainnya ke kebun untuk makan buah segar. Itu saja sudah cukup," jawab Tirta d
Tirta melirik sekilas ke arah dada wanita itu yang terlihat begitu indah dan menonjol, lalu menyeringai dengan senyum jahil.Wanita itu langsung terpaku di tempat dan wajahnya memerah seketika. Dia menggigit bibirnya dengan gugup dan merasa sangat malu.Kemudian, wanita itu menoleh ke arah Edwan dengan ekspresi penuh dilema seolah meminta petunjuk. Dia berucap, "Aaaargh .... Pak Edwan! Dia ... dia mau aku menciumnya!" Edwan menghela napas panjang, lalu berkata dengan lembut kepada wanita itu, "Tina, sebelum bawa kalian keluar, aku sudah berjanji kepada gurumu bahwa aku akan memastikan kalian pulang tanpa kekurangan apa pun. Jadi, cium saja anak muda ini. Dia bukan orang jahat kok. Dia adalah penyelamatmu."Dalam pikiran Edwan, kalau Tina tidak mau mencium Tirta, mungkin dia tidak akan menyelamatkannya."Aku ...." Tina ragu-ragu cukup lama. Pada akhirnya, dia menarik kembali liontin gioknya, lalu mengumpulkan seluruh keberaniannya dan memejamkan mata.Kemudian, Tina maju selangkah dan
Tirta sudah menjelaskan sebelumnya bahwa dia bisa menetralisasi racun, tetapi hanya sebatas menyelamatkan nyawa para korban. Dia tidak bisa mempertahankan energi internal mereka.Meskipun begitu, mereka tetap memilih untuk menerima bantuan Tirta. Sebab, yang paling penting adalah tetap hidup.Tirta melihat beberapa pesilat kuno pria yang tadi ikut mengepungnya. Mereka terlihat canggung, ingin berbicara tetapi ragu-ragu. Wajah mereka dipenuhi rasa malu dan kesulitan.Tirta pun tersenyum, tetapi di balik senyuman itu ada sedikit ejekan. Dia bertanya, "Kalian juga mau aku bantu mengeluarkan racun dari tubuh kalian?""Ya. Tadi, memang kami yang bertindak gegabah dan terburu-buru sehingga melakukan tindakan nggak sopan terhadapmu.""Sekarang, kami sudah sadar akan kesalahan kami.""Bajingan Mesum ... eh, bukan! Saudara, Penyelamat, mohon tolong kami!""Kami masih muda. Kami belum ingin mati!"Meskipun belasan pesilat kuno pria itu merasa malu, mereka tetap maju ke depan dan menangkupkan tan
"Kamu sudah menyelamatkan nyawaku. Aku akan cari cara untuk membalas budi ini." Elisa mengalihkan pandangannya dan menghindari tatapan Tirta. Di balik sikapnya yang dingin, terdengar helaan napas yang nyaris tak terdengar.Setelah mengatakan itu, Elisa segera berjalan melewati Tirta dan turun dari gunung tanpa menunggu tanggapannya.Tirta berujar, "Huft .... Barusan masih baik-baik saja, kenapa dia tiba-tiba berubah seperti orang lain?"Menghadapi perubahan sikap Elisa yang begitu drastis, Tirta benar-benar dibuat bingung. Meskipun sangat ingin mengejar dan menahannya, dia hanya bisa menahan diri dan beralih ke Kurnia serta Kimmy yang masih lemah. Bagaimanapun, mereka berdua telah mengikat Janji Darah dengannya.Saat Genta memberikan pengobatan, dia juga tidak menyerap energi internal Kurnia. Sementara itu, energi internal Kimmy sudah lama habis.Setelah menyelamatkan Kurnia dan Kimmy, Tirta menoleh dan melihat seorang murid perempuan dari Sekte Aswad yang tergeletak tak jauh darinya.
Tirta tahu bahwa wanita misterius itu akhirnya menyadari bahwa dia benar-benar sedang menolongnya. Melihat ekspresi bersalah yang muncul di wajahnya, Tirta pun tersenyum lebar dan berkata dengan santai, "Kak, kulitku tebal dan tubuhku kuat. Tamparanmu ini sama sekali nggak terasa. Jadi nggak masalah, kamu nggak perlu memikirkannya."Wanita misterius itu membalas, "Bocah, maaf. Aku sudah salah menuduhmu ...."Namun, rasa bersalah di wajah si wanita misterius justru makin dalam. Tatapannya penuh dengan perasaan yang sulit diungkapkan saat menatap Tirta. Dia bertanya, "Semua yang kamu katakan tadi ... apakah benar?"Wanita misterius itu kini benar-benar bisa merasakan kepedulian tulus Tirta terhadapnya. Teringat akan kata-kata pemuda itu sebelumnya, dia tak kuasa bertanya lagi, "Kamu bilang, aku dan bibimu punya wajah yang persis sama. Kamu benar-benar nggak bohong?"Rasa gembira memenuhi hati Tirta. Dia menjawab dengan penuh keyakinan, "Tentu saja benar! Kak, kalau kamu nggak percaya, i
Itu sebabnya, wanita misterius itu merasa sangat marah pada Tirta. Bahkan, sedikit rasa simpatinya terhadap pemuda itu pun langsung lenyap.Tirta berusaha menjelaskan dengan putus asa, "Kak, kamu salah paham! Aku nggak berniat mengambil keuntungan darimu .... Tolong percayalah padaku sekali ini saja. Aku benaran bisa menyelamatkanmu!"Melihat kondisi wanita misterius itu makin lemah, Tirta mulai mempertimbangkan untuk langsung memaksanya menerima pengobatan.Tepat saat Tirta hendak bertindak, tiba-tiba terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dari belakangnya."Bajingan Mesum! Wanita Negara Yumai tadi bilang kamu mencuri semacam energi dari dalam tubuhnya. Makanya, dia nggak bisa membantu kami menghilangkan racun.""Kamu yang bikin kami semua harus menunggu mati! Kamu harus mati lebih dulu untuk menebus kesalahanmu!"Tirta menoleh dan melihat sekelompok pesilat kuno pria yang tak bisa menerima kenyataan bahwa mereka akan mati. Mereka berkumpul dan berlari ke arahnya dengan niat b
Ketika Tirta mendekat dengan senyum cerianya, wanita misterius itu justru menghela napas pelan dan bergumam rendah, "Racun seperti ini belum pernah kutemui sebelumnya. Bahkan, Obat Serbaguna dari Sekte Mujarab yang mampu menetralkan segala racun di dunia pun nggak bisa mengatasinya. Kamu sebaiknya nggak perlu buang-buang tenaga."Wanita misterius itu melanjutkan, "Nggak kusangka, padahal ini pertama kalinya aku keluar untuk berlatih di dunia luar. Sebelum menyelesaikan tugas yang diberikan guruku, aku malah harus kehilangan nyawa di sini."Tatapan wanita misterius yang indah seperti lukisan, kini dipenuhi kesedihan yang membuat orang merasa iba."Praktisi ilmu mistis dari Negara Yumai ....""Sepuluh tahun yang lalu, seorang praktisi ilmu mistis dari Negara Yumai juga pernah menimbulkan kekacauan di turnamen bela diri.""Namanya Yudha. Sepertinya, wanita Negara Yumai itu adalah anaknya. Kalau begitu, racun ini memang nggak ada penawar.""Dulu saat turnamen bela diri itu, hampir 100 pesi
Wanita misterius itu sedikit terkejut saat melihat Tirta tetap utuh tanpa luka dan bahkan bisa menyelesaikan pertarungan dalam waktu singkat.Tirta menepuk dadanya, lalu berucap sambil tersenyum lebar, "Kak, sudah kubilang mereka cuma orang payah. Mereka sama sekali nggak bisa menyakitiku."Wanita misterius itu langsung membuang muka. Dia tidak mau lagi melihat Tirta, tetapi masih mengingatkannya dengan suara pelan, "Bocah, jangan terlalu bangga dulu. Cepat cari baju dan kenakan sesuatu! Kamu ini nggak tahu malu banget, masa jalan-jalan tanpa baju seperti ini?""Hehe. Baiklah, Kak!" ucap Tirta. Dia sendiri bukanlah orang yang suka mempertontonkan tubuhnya. Sekarang setelah pertarungan selesai, dia pun berjalan beberapa langkah, mengumpulkan baju robeknya, dan mengikatnya sedemikian rupa agar bisa menutupi tubuhnya.Melihat hal ini, banyak pesilat kuno wanita yang ada di sekitar langsung kehilangan semangat, seolah-olah ada sesuatu yang hilang dari pandangan mereka.Sementara itu saat T
Saat beberapa orang Negara Yumai melancarkan serangan diam-diam ke punggung Tirta, wanita misterius berkerudung itu memperingatkan, "Bocah, hati-hati ...."Tirta mengangkat kakinya dari tubuh Yara, lalu bersiap menghadapi para penyerang. Pada saat yang sama, dia menoleh ke arah wanita misterius itu dan membalas sambil menyeringai lebar, "Hehe. Tenang saja, Kak! Cuma beberapa orang payah seperti mereka, mana bisa melukaiku?"Pipi wanita misterius yang tadinya sudah merah karena malu, kini makin panas. Dia mengalihkan pandangan dan mengingatkan Tirta dengan suara pelan, "Bocah, jangan terlalu percaya diri. Lebih baik kamu berbalik dan tetap waspada.""Tenang saja, Kak! Lihat saja nanti, aku bakal bikin mereka babak belur!" ucap Tirta. Dia mulai menyadari kenapa wajah wanita ini memerah. Entah kenapa, hatinya terasa lebih bersemangat dan suasana hatinya pun membaik. Dia bahkan tersenyum lebih lebar ke arahnya.Wanita misterius itu awalnya enggan meladeni Tirta, tetapi pada saat yang sama,
Tirta langsung mencengkeram leher Yara, lalu mengancam, "Jalang, cepat serahkan penawarnya! Kalau nggak, jangan salahkan aku yang bertindak kasar!"Yara membalas, "Bocah Darsia, memangnya apa yang akan kamu lakukan padaku? Ini bukan tempat untuk berbicara. Ikutlah aku ke suatu tempat dan penuhi satu syaratku, lalu aku akan menyerahkan penawarnya padamu."Sebenarnya setelah melihat Tirta secara langsung, Yara sudah tak lagi berusaha menghindar. Dia membiarkan Tirta menangkapnya tanpa perlawanan, bahkan menatapnya dengan penuh gairah.Yara menjilat bibirnya, lalu mengulurkan tangan dan berusaha untuk membelai dada Tirta. Setiap gerak-geriknya penuh dengan isyarat menggoda."Astaga .... Kenapa Master Yara picik begini?""Bocah Darsia itu sama sekali nggak pantas menyentuhmu, Master Yara!"Beberapa orang dari Negara Yumai yang datang bersama Yara langsung merasa sakit hati melihat ini, seolah hati mereka tercabik-cabik.Namun, sebenarnya Tirta hanya merasa jijik. Dia sama sekali tidak ada