"Ini ... bukan salahku. Ini gara-gara Kak Arum suruh aku menghabiskan sebaskom besar sup ikan!" Tirta terpaksa menjelaskan karena ketiga wanita ini mendesaknya."Setelah membereskan kasus Dhio, aku pinjam toilet rumahnya karena nggak tahan lagi. Aku nggak lihat Bu Yanti di dalam dan langsung pipis. Tapi, aku benaran nggak sengaja.""Pantas saja, Bu Yanti langsung kabur waktu mendengar namamu." Ketiga wanita itu akhirnya memahami apa yang terjadi. Ketika membayangkannya, mereka merasa sangat canggung."Dasar kamu ini. Biasanya matamu sangat jeli. Kenapa malah melakukan hal sekonyol ini? Cukup kita yang tahu masalah ini. Kalau nggak, nanti Bu Yanti malu!" Mereka yakin Tirta tidak serendahan itu. Hanya saja, ketika memikirkan Tirta melihat tubuh Yanti dan Yanti melihat kemaluan Tirta, hati mereka menjadi tidak nyaman."Uhuk, uhuk. Aku pasti nggak bakal beri tahu siapa pun soal ini. Kalau kalian nggak tanya, aku juga nggak bakal kasih tahu," ujar Tirta dengan tidak berdaya sambil mengangg
Kemudian, Arum berkata, "Ehem. Bi Ayu, Kak Melati, aku pergi mandi dulu. Terus, aku mau tidur.""Oke.""Kamu tidur sama Bu Susanti dulu ya. Setelah vila siap, kami buatkan kamar besar untukmu."Setelah menanggapi ucapan Arum, Ayu dan Melati pun masuk ke kamar untuk beristirahat.Setelah berdiskusi sejenak, mereka memutuskan untuk tidak meminta maaf kepada Yanti tentang masalah itu dan bersikap seolah-olah tidak tahu apa pun. Dengan begini, situasi tidak akan canggung saat mereka bertemu.....Selesai mandi, Arum mengelap tubuhnya dan membalut tubuhnya dengan handuk. Kemudian, dia berbaring di samping Susanti dengan perlahan.Hari ini, Arum sangat lelah karena mengikuti Yanti. Tidak berselang lama, dia pun tertidur. Namun, tengah malam, Arum membalikkan tubuhnya karena merasa tidak nyaman.Tiba-tiba, kakinya menimpa tubuh Susanti, lebih tepatnya di tulang kemaluan Susanti. Susanti pun mengernyit dan menjerit, "Aduh!"Keduanya sama-sama terbangun. Arum buru-buru menyingkirkan kakinya dan
"Kalau begitu, kenapa awalnya sakit? Kenapa pelan-pelan jadi enak?" Setelah termangu sesaat, Arum menggigit bibirnya dan bertanya.Faktanya, Arum sedang berpikir, apakah berhubungan badan terasa lebih nyaman dari pijatan Tirta?"A ... aku juga nggak tahu. Kamu harus merasakannya sendiri supaya tahu. Sudah dulu ya, besok aku masih harus kerja. Aku tidur dulu. Kamu juga tidur lagi." Susanti sungguh kehabisan kata-kata saat melihat Arum yang begitu penasaran. Kemudian, dia tidak menjawab pertanyaan Arum lagi tidak peduli bagaimana Arum mendesaknya.'Seperti ada mekanisme baru yang aktif ... seluruh tubuh seperti terbang ... Tirta sangat jago ... Ingin terus bersatu dengan Tirta ... harus merasakannya sendiri ....' Dengan begitu, Arum tidak bisa tidur. Kata-kata ini terus terngiang di benaknya.Makin dipikirkan, tubuhnya terasa makin panas, seolah-olah ada api yang membakar dirinya. Dia seperti harus melakukan sesuatu untuk memadamkan api itu. Tiba-tiba, sebuah pemikiran yang berani muncul
Jadi, bisa dibilang mereka adalah keluarga. Ayu dan Melati tidak mungkin mengabaikannya begitu saja."Tenang saja. Selama ada Tirta, semua bakal baik-baik saja. Dia pasti melindungiku," sahut Susanti dengan wajah memerah. Dia tahu mereka sudah tahu dirinya berhubungan badan dengan Tirta."Benar juga. Kalau begitu, cepat pulang setelah semuanya beres ya. Kalian pasti capek karena sibuk dua hari ini," pesan Ayu sambil mengangguk."Oke, kami pasti cepat pulang kalau sudah selesai." Usai mengatakan itu, Tirta menaiki mobil polisi bersama Susanti. Karena Susanti belum pulih sepenuhnya, Tirta yang berkemudi.....Setengah jam kemudian, mereka tiba di depan rumah sakit. Meskipun terlihat agak kumuh, ini satu-satunya rumah sakit umum di sini.Sejak klinik kecil tanpa izin operasional itu ditutup, penduduk di sekitar selalu datang kemari untuk berobat. Mereka tidak berani pergi ke rumah sakit kota besar karena mahal. Makanya, banyak orang yang tertipu."Susanti, kalau kita langsung masuk untuk
Tirta merasa tidak nyaman mendengar nada bicaranya yang begitu menyudutkan. Memangnya orang miskin bukan manusia? Memangnya orang miskin hanya bisa menunggu ajal kalau sakit? Bagaimana bisa biaya pendaftaran semahal itu? Tidak masuk akal sekali!Jelas, rumah sakit ini tak tertolong lagi. Tirta harus mengambil tindakan untuk membereskan semuanya!"Nggak mengobati orang miskin ya? Kak, dari sudut pandang mana kamu merasa aku miskin? Asal kamu tahu, aku punya ratusan kerbau. Aku nggak kekurangan uang. Aku cuma nggak yakin dengan dokter di sini. Kalau dokternya nggak tahu apa penyakitku, bukankah uangku bakal sia-sia?"Sebelum datang ke rumah sakit, Tirta sempat singgah ke bank untuk menarik uang sebesar puluhan juta. Saat ini, Tirta pun meletakkan uangnya di atas konter dan bersikap seolah-olah dirinya adalah anak juragan sapi yang bodoh."Apa? Kamu punya ratusan ekor sapi? Ya ampun, dokter kami sudah yang terhebat di dunia. Kamu nggak salah pilih tempat. Begini saja, aku atur supaya dire
Wanita itu sedang memegang hasil pemeriksaan. Dia bertanya dengan terkejut, "Pak Suwanto, dadaku cuma agak sakit dan sesak. Selain itu, aku nggak merasakan apa pun lagi. Mana mungkin aku mengidap kanker payudara? Apa ada kesalahan?"Mungkin karena terlalu terkejut dengan hasil pemeriksaan, wanita itu sama sekali tidak menyadari kehadiran Tirta."Dik, manusia bisa berbohong, tapi data yang terdeteksi peralatan medis nggak mungkin berbohong. Hasil seperti itu nggak mungkin bisa dipalsukan." Suwanto tentu menyadari kedatangan Tirta. Untuk sekarang, fokusnya hanya pada Tirta, makanya dia menyahut wanita itu dengan tidak acuh."Kamu memang mengidap kanker payudara. Hanya saja, baru stadium awal, jadi gejalanya belum terlalu jelas. Kalau gejalanya sudah parah, itu sudah terlambat! Kusarankan kamu ke Rumah Sakit Seroja di kota besar untuk melakukan operasi. Kalau ditunda, kamu yang bakal rugi."Entah sudah berapa kali Suwanto mengatakan hal ini. Setelah mendengarnya, kebencian dalam hati Tirt
"Eee ... aku bukan dokter baru. Aku pasien. Aku cuma memahami sedikit keterampilan medis. Kebetulan, aku tahu masalahmu. Penyakitmu cuma penyakit ringan. Nggak perlu menghamburkan banyak uang kok. Datang saja ke tempatku malam ini. Aku masih punya urusan." Tirta memberi Nia kartu namanya sambil tersenyum."Terima kasih banyak. Aku pasti ke tempatmu malam ini." Nia menatap Tirta dengan penuh rasa syukur. Kemudian, dia melemparkan hasil pemeriksaan di tangannya ke wajah Suwanto."Dasar dokter nggak berhati nurani! Kalau aku nggak bertemu dokter ini, aku pasti sudah tertipu! Lain kali aku nggak mau kemari lagi! Cepat atau lambat, rumah sakit ini bakal bangkrut kalau kalian terus menipu orang!" Nia baru lulus kuliah sehingga belum terlalu pintar memaki orang. Setelah melampiaskan emosinya, dia mengucapkan terima kasih kepada Tirta dan pergi."Anak Muda, sebenarnya kamu mau berobat atau bukan? Kalaupun kamu tertarik padanya, kamu nggak perlu memutarbalikkan fakta, 'kan? Gara-gara kamu, seor
Berdasarkan apa yang Tirta katakan sebelumnya, Suwanto berpura-pura memasang wajah serius setelah menganalisis situasinya. Dia mengernyit seolah-olah situasinya sangat mendesak, lalu berujar demikian dengan nada menakut-nakuti."Aduh ...." Mendengar ucapan itu, Tirta pun menghela napas kecewa. Awalnya, dia berniat menguji kemampuan Suwanto. Setelah mendengar diagnosisnya, dia akan membongkar kebohongan itu satu per satu.Namun setelah mendengar omong kosongnya sekarang, Tirta kehilangan minat untuk melanjutkan ujiannya. Dia sangat yakin akan kondisi tubuhnya sendiri, termasuk betapa kuat ginjalnya.Tirta tidak lagi berpura-pura. Dia menatap tajam ke arah Suwanto, lalu berbicara dengan nada dingin dan penuh tekanan, "Pak Suwanto, sebenarnya kamu sama sekali nggak paham ilmu kedokteran, 'kan?""Aku benaran nggak habis pikir. Orang sepertimu yang bahkan nggak punya sedikit pun pengetahuan dasar, kenapa bisa berani menipu orang? Katakan, berapa banyak orang di rumah sakit ini yang bekerja
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn