"Eee ... aku bukan dokter baru. Aku pasien. Aku cuma memahami sedikit keterampilan medis. Kebetulan, aku tahu masalahmu. Penyakitmu cuma penyakit ringan. Nggak perlu menghamburkan banyak uang kok. Datang saja ke tempatku malam ini. Aku masih punya urusan." Tirta memberi Nia kartu namanya sambil tersenyum."Terima kasih banyak. Aku pasti ke tempatmu malam ini." Nia menatap Tirta dengan penuh rasa syukur. Kemudian, dia melemparkan hasil pemeriksaan di tangannya ke wajah Suwanto."Dasar dokter nggak berhati nurani! Kalau aku nggak bertemu dokter ini, aku pasti sudah tertipu! Lain kali aku nggak mau kemari lagi! Cepat atau lambat, rumah sakit ini bakal bangkrut kalau kalian terus menipu orang!" Nia baru lulus kuliah sehingga belum terlalu pintar memaki orang. Setelah melampiaskan emosinya, dia mengucapkan terima kasih kepada Tirta dan pergi."Anak Muda, sebenarnya kamu mau berobat atau bukan? Kalaupun kamu tertarik padanya, kamu nggak perlu memutarbalikkan fakta, 'kan? Gara-gara kamu, seor
Berdasarkan apa yang Tirta katakan sebelumnya, Suwanto berpura-pura memasang wajah serius setelah menganalisis situasinya. Dia mengernyit seolah-olah situasinya sangat mendesak, lalu berujar demikian dengan nada menakut-nakuti."Aduh ...." Mendengar ucapan itu, Tirta pun menghela napas kecewa. Awalnya, dia berniat menguji kemampuan Suwanto. Setelah mendengar diagnosisnya, dia akan membongkar kebohongan itu satu per satu.Namun setelah mendengar omong kosongnya sekarang, Tirta kehilangan minat untuk melanjutkan ujiannya. Dia sangat yakin akan kondisi tubuhnya sendiri, termasuk betapa kuat ginjalnya.Tirta tidak lagi berpura-pura. Dia menatap tajam ke arah Suwanto, lalu berbicara dengan nada dingin dan penuh tekanan, "Pak Suwanto, sebenarnya kamu sama sekali nggak paham ilmu kedokteran, 'kan?""Aku benaran nggak habis pikir. Orang sepertimu yang bahkan nggak punya sedikit pun pengetahuan dasar, kenapa bisa berani menipu orang? Katakan, berapa banyak orang di rumah sakit ini yang bekerja
"Oke. Selama kamu jujur dan mengakuinya, mungkin hukumanmu bisa diringankan beberapa tahun. Tapi, itu cuma berarti kamu akan menghabiskan lebih sedikit waktu di penjara," jelas Tirta.Tirta tertawa sinis sebelum melanjutkan, "Jangan harap bisa lolos begitu saja. Pasien-pasien yang sudah kamu tipu nggak akan membiarkan itu terjadi!"Suwanto menimpali, "Ya, aku ngaku. Aku akan mengungkapkan semuanya ...." Kini, raut wajahnya sudah berubah suram.Dengan suara gemetar dan penuh ketakutan, Suwanto mulai berbicara, "Aku memang nggak punya keahlian medis. Dulunya, aku cuma seorang pemalas yang nggak guna dan menghabiskan waktu tanpa tujuan. Sampai adikku, Hera, menikah dengan Direktur Rumah Sakit Kecamatan, Leonel ...."Suwanto menambahkan, "Leonel itu orang yang serakah. Adikku bilang, setiap bulan dia bisa mendapatkan setidaknya 20 miliar dari rumah sakit ini. Karena lihat aku nganggur, dia bujuk Leonel untuk kasih aku jabatan sebagai kepala departemen di sini."Suwanto melanjutkan, "Awaln
"Begitu waktunya tiba, aku pasti segera mempromosikanmu jadi kepala departemen," janji Leonel sambil mengelus kepala dokter wanita itu dengan senyum di wajahnya."Um ... Pak Leonel, maksudmu mau main-main sama aku lebih lama lagi, 'kan? Ya sudah, aku nurut saja," balas Joan dengan nada menggoda. Dia langsung memahami maksud tersembunyi Leonel.Namun, Joan sendiri sebenarnya telah mendapatkan banyak keuntungan dari hubungannya dengan Leonel. Tanpa banyak berpikir, dia langsung menyetujui permintaan itu.Berdasarkan pemahaman wanita modern saat ini, apa yang dilakukan Joan hanyalah memanfaatkan kemampuan sendiri untuk bertukar keuntungan yang setara agar bisa mandiri secara finansial."Ah ... ini baru namanya menikmati hidup," ucap Leonel sambil menunjukkan ekspresi puas. Dia menekan kepala Joan dengan gerakan kasar.Sejak berhasil meraih posisi direktur rumah sakit dengan segala tipu daya, entah sudah berapa banyak dokter wanita dan suster yang Leonel jadikan pelampiasan nafsunya.Tok,
Tirta menatap Leonel sambil bertepuk tangan dengan sinis. Dia berujar, "Hebat! Padahal anakmu menyediakan senjata ilegal dan suruh orang lain berburu satwa liar yang dilindungi. Masa cuma perlu beberapa hari untuk keluar dari penjara?"Tirta lanjut menyindir, "Pak Leonel memang luar biasa. Kamu benar-benar nggak tahu aturan!"Leonel jelas kesal dengan ejekan Tirta yang terlihat masih begitu muda. Dia mendengus dingin sebelum bertanya, "Siapa kamu? Beraninya datang ke kantorku untuk bikin keributan!"Namun saat matanya menangkap sosok Susanti di samping Tirta, ekspresi Leonel langsung berubah. Dia berseru dengan nada terkejut dan panik, "Polisi? Suwanto, kenapa kamu bawa polisi ke sini?"Ekspresi Hera yang berdiri di sampingnya juga tidak kalah muram. Dia langsung menanyai Suwanto dengan nada tajam, "Suwanto, kenapa kamu nggak kasih tahu Leonel dulu kalau mau bawa polisi ke sini? Apa sebenarnya yang kamu rencanakan?"Sebagai pasangan yang menyimpan banyak rahasia kelam, mereka jelas ket
Susanti segera maju dengan ekspresi serius, lalu berujar sambil tersenyum dingin, "Kalian berdua nggak perlu terus berpura-pura. Cuma dari laporan pasien yang ditipu oleh rumah sakit kalian, aku sudah menemukan dua orang korban.""Tunggu sampai kami menemukan bukti uang hasil korupsi itu, kalian bakal punya banyak waktu untuk bicara." Setelah berucap demikian, Susanti duduk di sebuah kursi dan bersiap menunggu dengan sabar."Minggir, jangan menghalangi jalanku," ujar Tirta dengan nada dingin. Tanpa basa-basi dia mendorong tubuh Leonel ke samping, lalu duduk di kursi direktur yang biasa digunakan Leonel. Dengan santainya, Tirta menyilangkan kakinya dan terlihat tak peduli.Leonel diam saja, tetapi raut wajahnya sangat muram. Dia menatap Tirta dengan tatapan tajam, tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukannya.Tubuh Hera bergetar karena ketakutan. Dia menarik suaminya ke sudut ruangan dan bertanya dengan cemas, "Sayang ... sekarang apa yang harus kita lakukan?"Leonel menahan amara
"Eh, mungkin kamu nggak punya gambaran soal uang. Uang 600 miliar itu jumlah yang sangat besar," ujar Leonel dengan nada persuasif, meski raut wajahnya sempat menegang.Leonel memicingkan mata dan mencoba membujuk lebih lanjut, "Bayangkan, kalau kamu dan polisi wanita ini masing-masing mendapat separuh, itu sudah cukup untuk memastikan hidup kalian nyaman selamanya.""Mobil mewah, rumah megah, semuanya bisa kamu miliki. Bahkan, kamu akan dikelilingi wanita-wanita cantik yang akan bersimpuh di kakimu sambil memanjakanmu," tambah Leonel.Leonel melanjutkan, "Sebaliknya kalau kamu bersikeras menjebloskan aku dan istriku ke penjara, apa untungnya bagimu? Nggak ada! Paling-paling kamu cuma dapat sedikit pengakuan palsu sebagai pahlawan. Coba kamu pertimbangkan lagi.""Ya, benar banget. Nggak ada salahnya kamu berpikir lebih matang. Lagian, di sini nggak ada orang lain. Nggak akan ada yang tahu soal kesepakatan kita," tambah Hera dengan nada mendukung. Dia jelas juga berusaha membujuk.Tirta
Menurut prosedur normal, segala urusan besar maupun kecil di rumah sakit, termasuk pelanggaran hukum dan kasus korupsi, seharusnya berada di bawah pengawasan langsung Dinas Kesehatan.Oleh karena itu, Baron sama sekali tidak gentar terhadap Susanti. Bahkan setelah Baron tiba di lokasi, dia yakin 100% bisa langsung mengusir polisi wanita itu tanpa ampun."Oke. Pak Baron, kalau begitu aku akan menunggu kedatanganmu. Setelah masalah ini selesai, aku akan kasih kamu hadiah besar sebagai ucapan terima kasih!" ujar Leonel sambil menghela napas lega.Baron tidak memberikan tanggapan lebih lanjut dan langsung menutup telepon. Dia segera bersiap dan bergegas menuju Rumah Sakit Kecamatan.Sementara itu, Susanti mendengar seluruh percakapan tadi. Dia mendekat dengan wajah penuh amarah, lalu berujar, "Dengan terang-terangan cari bantuan di hadapan polisi dan berusaha kabur dari jerat hukum?""Pak Leonel, kamu sama sekali nggak menganggap hukum penting. Hari ini, aku tetap akan menangkapmu nggak pe
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka
Tirta memang kuat. Kalau tidak, dia juga tidak bisa mengancam Agatha. Melihat Agatha sudah setuju, Tirta langsung mengangguk dan berujar, "Kak Agatha, kamu tenang saja. Aku pasti akan membereskan Susanti dan nggak akan membuatmu merasa nggak nyaman."Agatha mendengus, lalu membalas sembari memelototi Tirta, "Cuma kali ini, ya. Ke depannya aku nggak mau melakukannya bersama Susanti."Agatha melepaskan dirinya dari pelukan Tirta, lalu berjalan ke mobil terlebih dahulu. Tirta yang merasa puas segera mengikuti Agatha kembali ke mobil.Nia bertanya, "Agatha, apa perutmu masih sakit?"Agatha berusaha tenang saat menjawab, "Nggak, Kak Nia. Setelah kita kembali, suruh Tirta lakukan akupunktur padamu untuk menyembuhkan sesak napasmu."Nia menyahut seraya mengangguk, "Oke."....Setengah jam kemudian, mereka kembali ke klinik. Kala ini, Ayu, Melati, dan Arum sedang sibuk di dapur. Ayu penasaran ketika melihat Nia juga turun dari mobil dan membawa banyak keperluan sehari-hari.Ayu menarik Tirta k
Tirta langsung berbicara terus terang. Sebelum dia melanjutkan perkataannya, Agatha mencebik dan berujar, "Tirta, kamu memang berengsek! Kamu nggak pernah tiduri aku di klinik. Kamu lebih suka tiduri Susanti atau aku?"Tirta menyahut, "Tentu saja aku lebih suka tiduri kamu. Dadamu lebih besar, bokongmu lebih montok, kakimu ramping, kulitmu mulus, sifatmu juga baik ...."Dalam situasi seperti ini, tentu saja Tirta tahu siapa yang lebih baik. Dia terus memuji Agatha.Agatha memutar bola matanya, tetapi dia tidak terlalu marah lagi. Agatha menyela, "Cukup, kamu itu munafik. Jelas-jelas punya Susanti hampir sama denganku, kamu terlalu berlebihan."Agatha bertanya, "Jadi, apa semua ini ada hubungannya dengan keinginanmu?"Tirta mengusap tangannya seraya menjawab, "Tentu saja ada. Bukannya malam ini Kak Agatha mau tinggal di klinik? Susanti juga pulang ke klinik, kalian ....""Tunggu!" sergah Agatha. Dia merasa ada yang tidak beres. Agatha menegaskan, "Malam ini aku nggak mau tinggal di klin
Tirta menegaskan, "Bu, sudah kubilang kamu nggak usah sungkan. Kebetulan aku ada di sini, jadi aku bisa menyelamatkan anakmu. Untuk urusan bisnis, semuanya tetap harus diperhitungkan dengan jelas. Kalau aku kurang bayar 1 miliar, takutnya kamu nggak dapat keuntungan. Kalau kamu nggak mau terima, aku nggak beli lagi."Bos toko bersikeras berkata, "Jangan begitu. Aku juga nggak marah biarpun kamu nggak beli. Aku cuma punya 1 anak, dia lebih berharga dari nyawaku. Kamu menyelamatkan anakku dan memesan begitu banyak bibit pohon buah dariku. Aku sangat berterima kasih padamu, mana mungkin aku membiarkan kamu menghabiskan begitu banyak uang?"Bos toko menambahkan, "Lagi pula, setelah kamu bayar 3 miliar, aku sudah bisa dapatkan keuntungan 1 miliar lebih. Aku nggak rugi."Tirta terpaksa menanyakan pendapat Agatha dan Nia, "Kak Agatha, Kak Nia, bagaimana menurut kalian?"Agatha bertatapan dengan Nia, lalu menyahut sembari tersenyum, "Tirta, bos mau berterima kasih padamu dan kita memang kekura
Tirta berpikir sejenak, lalu tersenyum licik dan berucap, "Kalau kamu benar-benar merasa bersalah, kamu kabulkan satu keinginanku saja. Anggap sebagai kompensasi."Agatha segera mengangguk seraya menyahut, "Apa keinginanmu? Kamu bilang saja. Asalkan aku bisa melakukannya, aku pasti kabulkan keinginanmu."Tirta mengedipkan matanya, lalu menimpali, "Nanti kita baru bicarakan di mobil. Sekarang kita bicarakan masalah bibit pohon buah dengan bos toko dulu.""Oh. Kalau begitu, nanti kita baru bicarakan di mobil," balas Agatha. Dia merasa Tirta berniat jahat, tetapi dia tidak keberatan.Anak bos toko sudah tertidur setelah minum susu. Bos toko keluar dari kamar. Dia membawa sepiring buah yang sudah dicuci.Bos toko berujar, "Kalian sudah menunggu lama. Istirahat dulu dan makan buah.""Terima kasih, Bu," sahut Tirta. Dia tidak sungkan lagi dan langsung duduk di bangku. Tirta mengambil buah pir dan memakannya.Agatha dan Nia juga mengambil buah, lalu duduk di samping Tirta sambil memakan buahn