"Huhu .... Kenapa memangnya kalau kecil?" Shinta memegang kepalanya yang diketuk oleh Tirta, lalu melirik dadanya yang rata. Hatinya seolah-olah terluka karena ucapan Tirta."Bukannya lucu kalau kecil? Kalaupun kecil, nanti bisa tumbuh besar! Kak Tirta, kamu picik sekali! Aku membencimu!" Shinta menangis. Usai berbicara, dia hendak berbalik dan pergi."Jangan bicara omong kosong! Kamu dengar ucapanku tadi nggak? Kamu nggak boleh kasih tahu Kak Irene apa-apa!" ancam Tirta sambil memelotot dan menarik Shinta."Nggak mau! Kamu mengejekku! Aku bakal kasih tahu semua orang! Aku mau seluruh dunia tahu kamu ini playboy! Aku mau kamu menderita untuk seumur hidup!" timpal Shinta dengan kesal sambil membusungkan dadanya.Suara Shinta cukup kuat. Tirta pun ketakutan hingga buru-buru menutup mulutnya dan mengalah. "Sstt! Tutup mulutmu! Kalau kamu teriak lagi, semua orang benaran bakal tahu!""Ya sudah, aku yang salah. Aku minta maaf. Aku nggak seharusnya bicara begitu. Kumohon, jangan sampai ada y
Saat ini, Agatha masih tertidur lelap. Setelah mendengar suara Tirta, dia membuka matanya yang masih mengantuk."Loh ... Tirta, di mana Bu Naura dan lainnya? Kapan mereka keluar? Kenapa kamu nggak membangunkanku?" Agatha memandang ke sekeliling, lalu bangkit dari sofa."Eee ... kulihat kamu tidur sangat nyenyak tadi. Aku nggak tega membangunkanmu," timpal Tirta yang merasa agak bersalah."Hehe. Aku tahu kamu paling menyayangiku. Ayo, kita ke tempat Bu Naura dan lainnya!" Karena merasa senang, Agatha pun mengecup pipi Tirta, lalu menggandeng tangannya.'Cih ....' Shinta menghina Tirta dalam hatinya. Benar-benar tidak tahu malu. Bagaimana bisa Tirta mengelabui para wanita cantik? Dasar pria berengsek!"Loh, siapa adik kecil ini, Tirta?" Setelah mendengar suara, Agatha baru memperhatikan Shinta yang berdiri di depan pintu."Huh! Aku bukan adik kecil! Namaku Shinta! Aku teman Tirta! Aku mau ambil Pil Kecantikan!" jawab Shinta sebelum Tirta bersuara. Kini, dia paling tidak suka mendengar ka
"Hahaha! Sebentar lagi aku bisa pamer!" Shinta tidak bisa menutup mulutnya saat membayangkan dirinya memiliki payudara besar yang bisa berguncang waktu berjalan."Eee ... Tirta, Shinta cuma makan Pil Kecantikan. Kenapa sampai sesenang ini?" Agatha merasa bingung. Dia tidak memahami sikap Shinta yang terlihat berlebihan."Entahlah, mungkin dia nggak pernah melihat benda sehebat itu. Makanya, dia seheboh ini." Tirta menggeleng dan merasa lucu."Huh! Kalian nggak ngerti apa-apa! Cepat, kita pergi makan!" Shinta tersadar dari lamunannya, tetapi tetap tidak bisa menahan senyuman. Kedua tangannya diletakkan di belakang punggung. Dia melompat-lompat dengan girang."Ayo, kita juga pergi makan. Biarkan saja dia." Tirta menggeleng, lalu menggandeng tangan Agatha....."Tirta, kalian tiba tepat waktu. Aku baru mau pergi panggil kalian tadi," ucap Naura sambil bangkit dan tersenyum saat melihat Tirta. Kebetulan, setelah Tirta dan lainnya kembali, semua tamu telah datang dan hidangan sedang disajik
"Jangan sembarangan bicara, Naura. Tirta, nanti malam aku pulang ke ibu kota provinsi. Aku nggak bakal lupa janjiku kok. Nanti kamu cari aku di ibu kota provinsi saja!" Setelah menegur Naura, Aiko berkata dengan serius kepada Tirta."Tenang saja, Kak Aiko. Nggak usah mencemaskan masalah uang. Aku bakal atur semuanya nanti." Tirta mengangguk sambil tersenyum. Kemudian, Naura mengemudikan mobilnya untuk membawa Saad dan Mauri pulang."Kak Agatha, Kak Irene, aku antar kalian pulang ya. Aku juga sudah harus pulang." Tirta berniat membawa kedua wanita itu pulang. Kemudian, dia akan diam-diam pergi ke rumah Irene tanpa sepengetahuan Agatha.Saat ini, Chandra dan Budi tiba-tiba menghampiri. Di dekat mereka, Ada Tabir dan Aaris yang hendak menghadiahkan Tirta kaligrafi. Namun, ketika melihat Chandra menghampiri Tirta, mereka tidak berani mengganggu."Tirta, maaf sudah menyinggungmu waktu itu. Aku benaran nggak tahu kejadiannya. Kalau nggak, aku nggak mungkin mengutus orang untuk menangkapmu."
"Hais, kalau tahu Tirta sehebat ini, aku nggak bakal menyinggungnya hari itu. Kalau aku lebih dewasa hari itu, kita pasti berteman dengan Tirta sekarang."Setelah mendengar penjelasan Tabir, Aaris pun menyadari betapa besarnya kesenjangan di antaranya dengan Tirta. Dia tak kuasa merasa frustrasi. Ketika melihat mobil Tirta menghilang dari pandangan mereka, Aaris dan Tabir hanya bisa meninggalkan hotel dengan kecewa.....Di perjalanan pulang, Agatha tidak bisa menahan rasa penasarannya saat teringat pada semua hal yang terjadi di hotel. Dia bertanya, "Tirta, sebenarnya apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu bisa jadi saudara angkat Pak Saba?""Hehe. Pak Saba sakit dan aku menyembuhkannya. Karena dia senang, dia pun mengangkatku jadi saudaranya." Tirta menceritakan apa yang terjadi secara singkat."Rupanya begitu. Kamu hebat sekali. Pak Saba bisa hidup tujuh hingga delapan tahun lagi berkat kamu. Pantas saja, Pak Saba begitu menghargaimu." Irene tak kuasa berdecak kagum."Tentu saja. Di ma
Ketika menyadari perubahan pada ekspresi Tirta, Irene jelas merasa cemburu."Ya, aku menyesal sekali. Aku seharusnya membawamu ke rumah Kak Agatha supaya kita bertiga bisa bersenang-senang. Lain kali kalau ingin ketemu, aku juga nggak perlu sembunyi-sembunyi lagi," timpal Tirta yang menghela napas sambil menggeleng."Cih, jangan mimpi! Kamu mau bersenang-senang dengan kami berdua sekaligus? Memangnya aku sendiri nggak cukup untuk memuaskanmu?" Irene tahu seperti apa karakter Tirta sehingga dia sama sekali tidak marah. Dia mencondongkan tubuhnya ke depan, lalu merangkul leher Tirta. Bibir ranum melumat telinga Tirta."Ah ... geli sekali. Hentikan, Kak. Aku lagi nyetir lho. Nanti kita bisa nabrak!" Tirta tak kuasa merinding saat napas hangat Irene mengenai telinganya. Dia hampir tidak bisa memegang setirnya."Hehe. Aku tahu kamu lagi nyetir. Tapi, kamu lambat sekali. Gimana kalau kamu tukar mobil saja? Nanti harus nyetir lebih cepat ya!" Irene tersenyum manis sambil menjulurkan tangannya
"Dasar nakal! Kamu kasar sekali! Pintu rumahku sampai rusak lho ...." Ketika melihat Tirta begitu tidak sabar, Irene seketika agak panik."Aku cuma bercanda tadi. Nanti kamu harus lebih lembut ya .... Kalau nggak, aku bakal kesakitan ...." Nada bicara Irene pun terdengar memohon."Sekarang kamu sudah takut? Hehe. Sudah terlambat! Kalau hari ini aku nggak membuatmu kapok, bisa-bisa aku yang ditindas lain kali!" Tirta tertawa nakal. Mereka melewati halaman, lalu langsung masuk ke ruang tamu."Kak, kemarikan kunci kamarmu. Kita bakal bersenang-senang sekarang!" Tirta mengambil kunci dari Irene, lalu langsung membuka pintu. Kemudian, dia tidak lupa untuk mengunci pintu.Tirta menggendong Irene ke kamar mandi. Tanpa memberi Irene kesempatan untuk bereaksi, Tirta langsung merobek terusannya. Seketika, pemandangan indah terpampang di hadapan Tirta! Sungguh menggoda!"Dasar berengsek! Tenagamu besar sekali ...." Entah mengapa, Irene justru tidak marah diperlakukan seperti ini oleh Tirta. Dia j
Ternyata dugaan Irene salah besar! Sebelumnya ketika dia mengajari Tirta berkemudi, Tirta belum mengerahkan seluruh kekuatannya. Kini, Tirta pun membuatnya terbang ke awang-awang.Namun, Tirta sama sekali tidak punya niat untuk berhenti. Dia terus menabrak dengan kuat. Irene merasa hidupnya tidak sia-sia!Masalahnya adalah sekarang Irene sudah kewalahan. Dia sampai punya pemikiran untuk memanggil Agatha lain kali. Jika tidak, takutnya dia yang tidak bisa tahan!Kring, kring, kring! Ketika Irene hampir kehilangan kesadarannya, tiba-tiba ponsel Tirta berdering.Saat melihat nama penelepon, Tirta buru-buru menutup mulut Irene supaya tidak ada suara. Dia menjawab panggilan."Tirta, sekarang sudah jam 8 lewat. Kenapa belum pulang?" Yang menelepon tidak lain adalah Ayu. Nada bicaranya terdengar agak kesal.Faktanya, Ayu telah menunggu sejak pukul 6 malam. Saat ini, dia merasa cemas sehingga menelepon Tirta."Bibi, aku lagi siap-siap untuk pulang. Aku baru saja mau meneleponmu. Kamu malah men
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka