Setelah selesai berdiskusi, Joshua langsung menelepon Chandra. Chandra adalah seorang gubernur. Bisa dilihat bahwa Joshua bukan orang sembarangan karena Chandra menerima panggilannya."Joshua, kenapa mencariku?" Setelah panggilan tersambung, nada bicara Chandra terdengar agak tidak acuh."Pak Chandra, aku punya informasi penting tentang putramu. Kalau nggak memberitahumu, aku nggak bisa tidur dengan tenang." Joshua terdengar melebih-lebihkan, seolah-olah Resnu sudah sekarat.Chandra tak kuasa mengernyit dan bertanya, "Ada apa? Katakan saja.""Hais .... Kamu mungkin belum tahu putramu menyinggung seseorang bernama Tirta. Satu tangannya sampai putus karena Tirta. Dia bahkan mengancam putramu akan membunuhnya kalau berani balas dendam. Makanya, putramu nggak berani memberitahumu."Demi membuat Chandra marah, Joshua sengaja membesar-besarkan situasi. Namun, Joshua tidak akan menyangka bahwa Tirta memang berani melakukannya dan Resnu memang tidak memberi tahu Chandra tentang hal ini. Ini ka
Selain marah pada Resnu, hati Chandra juga diliputi kebencian pada Tirta. Bagaimanapun, Chandra adalah seorang gubernur. Di bawahnya ada lebih dari 70 juta penduduk. Dia jelas adalah pejabat tinggi.Apalagi, kinerja Chandra sangat bagus selama beberapa tahun ini. Perkembangan ekonomi dari wilayah yang berada di bawah yurisdiksinya sangat pesat. Banyak perusahaan bermunculan. Rakyat hidup dengan damai.Jelas, hasil ini menarik perhatian orang-orang di pemerintahan pusat. Jika Chandra terus bekerja keras, dia mungkin akan mendapat promosi besar dan menjadi tokoh teratas.Lantas, bagaimana mungkin ada seseorang yang begitu tidak tahu diri dengan melukai putranya dan mengancam nyawa putranya? Jika tidak diberi pelajaran, bukankah orang-orang akan mengira dirinya mudah ditindas?Setelah memutuskan untuk memberi Tirta pelajaran, Chandra menelepon Joshua. Joshua bertanya, "Pak Chandra, apa ada yang bisa kubantu? Kami pasti akan membantumu sebisa mungkin."Joshua dan lainnya sangat yakin bahwa
Ketika Joshua dan lainnya sedang menunggu kedatangan Budi dan Amal, Tirta telah membawa Saba ke rumah barunya untuk beristirahat. Mereka tinggal menunggu obat dari Naura untuk mengobati Saba dan Bima.Banyak pengawal Saba yang ikut, tetapi mereka hanya menunggu di luar. Tirta mempersilakan mereka masuk, tetapi mereka menolak."Aku nggak nyangka. Kamu masih muda tapi keterampilan medismu jauh lebih hebat dari banyak orang. Bahkan, ilmu bela dirimu juga luar biasa. Panji dan Karta bukan lawanmu. Generasi muda jaman sekarang memang keren," puji Saba yang duduk di sofa sambil menatap Tirta dengan tersenyum.Saba memang sudah tua dan rambutnya beruban, tetapi matanya masih dipenuhi antusiasme. Semangatnya tidak pernah padam."Pujian Pak Saba sudah berlebihan. Ilmu medis ini diwariskan keluargaku. Aku belajar ilmu medis dari ayahku. Ngga bisa dibilang hebat. Kalau soal ilmu bela diri, sebenarnya aku nggak pernah belajar. Cuma kekuatanku saja yang besar," sahut Tirta sambil tersenyum.Kapan p
"Haha. Kelak aku bakal menjadi murid ahli bela diri terhebat!" seru Bima. Dia merasa bangga dan terhormat mendengar orang-orang memuji Tirta."Kamu benar. Sekarang Tirta cuma perlu mempelajari teknik." Lutfi tertawa, lalu meneruskan, "Aku ingin tanya, apa kamu berniat mempelajari ilmu bela diri?""Aku punya buku yang mencatat banyak teknik bela diri dan pengalaman pribadi. Kalau tertarik, aku bisa memberikannya kepadamu. Kamu juga boleh tanya aku kalau ada yang nggak dipahami.""Tentu saja mau. Belajar ilmu bela diri bukan hal yang buruk. Aku bisa menambah wawasan. Terima kasih banyak." Tirta langsung menyetujui saat melihat Lutfi begitu murah hati padanya.Bagaimanapun, Tirta yang sekarang hanya menguasai teknik menekan titik akupunktur. Sisanya dia tidak bisa. Kelak kalau ada kesempatan, dia akan membalas kebaikan Lutfi."Oke, oke. Aku akan suruh orang ambilkan nanti," ucap Lutfi sambil tersenyum. Buku itu ada di ibu kota. Dia tidak membawanya bersamanya."Nggak ada kata terlambat un
Agus dan Betari tentu tidak berani membantah. Mereka hanya bisa mengangguk dan menuruti pesan dokter. Untungnya, dokter tidak merepet panjang lebar."Sayang, lain kali jangan merayuku lagi. Dokter bilang kemaluanku bisa rusak kalau melakukannya berkali-kali ...," ucap Agus kepada Betari dengan wajah sedih."Sembarangan! Kapan aku merayumu? Kamu sendiri yang nggak bisa tahan dan terus minta lanjut. Sekarang kamu menyalahkanku? Dasar nggak tahu malu!" timpal Betari dengan kesal.Sekalipun pasangan ini tidak tahu malu, mereka tidak mungkin berani menyuruh Tirta mengobati. Makanya, Betari berbohong saat Nabila meneleponnya tadi.Agus merasa kesal. Dalam hatinya, dia bertekad akan mencari Tirta, menyuruhnya mengembangkan obat kuat yang bisa membuatnya sangat perkasa! Dia akan membuat Betari tidak bisa turun dari ranjang! Jika tidak, dia akan merasa dirinya sangat gagal!...."Tadi Bibi Betari bilang Paman Agus jatuh? Kenapa nggak suruh aku obati saja?" tanya Tirta sambil mengernyit setelah
Ketika melihat Saba tidak keberatan, Tirta meneruskan, "Ini Pak Saba, ini Nona Shinta."Naura sontak terbelalak kaget. Dia bertanya dengan tidak percaya, "Apa? Ini Pak Saba, pahlawan pendiri negara? Astaga! A ... aku nggak nyangka punya kehormatan bertemu Pak Saba di sini! Aku telepon ayahku suruh dia kemari!"Karena terlalu bersemangat, Naura sampai terbata-bata. Sebagai wali kota, ayahnya tentu harus menyambut kedatangan Saba. Jika tidak, ayahnya bisa dinilai lalai dalam bertugas.Pada saat yang sama, Naura benar-benar terkejut melihat Tirta hendak mengobati Saba. Bukankah artinya Tirta punya hubungan dengan Saba? Ini adalah peluang besar yang tidak bisa didapat orang biasa!Ketika melihat Naura panik, Saba melambaikan tangannya sambil terkekeh-kekeh. "Hehe. Sekarang aku bukan siapa-siapa lagi. Aku cuma orang tua biasa. Nggak usah suruh ayahmu datang.""Oh ... baik, Pak." Naura tentu tidak berani membantah perkataan Saba. Dia menenangkan diri dan mengiakan."Bu Naura, duduklah. Angga
Ketika mendengar Saba ingin mengangkat Tirta menjadi saudaranya, semua orang tercengang. Jika Saba serius dengan perkataannya, itu artinya status Tirta akan meningkat pesat!Lagi pula, di seluruh negeri, siapa yang pantas membuat Saba berbicara demikian? Kalaupun ada, orang itu tidak mungkin semuda Tirta.Bagaimanapun, selisih usia Saba dan Tirta setidaknya ada 80 tahun! Bukankah hal seperti ini sangat sulit untuk dipercaya?Namun, jika dipikir-pikir, sebenarnya tidak ada yang salah. Tirta telah memperjelas bahwa dirinya bukan hanya bisa memulihkan Saba, tetapi juga membuatnya hidup tujuh sampai delapan tahun lagi.Kekayaan dan kemuliaan sekalipun tidak bisa memberikan Saba waktu selama itu. Saba bisa memilikinya karena bertemu Tirta."Pak Saba, jangan bercanda. Aku cuma pemuda biasa. Mana pantas menjadi saudara angkatmu," timpal Tirta sambil mengangkat alis. Dia sendiri tidak percaya dengan ucapan Saba.Saat ini, Tirta sudah selesai menancapkan semua jarum peraknya. Dia sedang menggun
Ketika mengatakan ini, Tirta tidak menyadari hubungan mereka akan bertambah rumit."Oke, sesuai yang dikatakan Kak Tirta saja. Kamu panggil Kakek kakak, aku juga panggil kamu kakak!" Tanpa memberi Saba kesempatan untuk menolak, Shinta langsung menyetujuinya. Hasil ini sesuai dengan keinginan Shinta."Hm ...." Saba merenung sejenak, lalu menggeleng dan menyahut, "Nggak bisa. Kalau begini, berarti kamu dan Kakek jadi segenerasi. Kamu harus panggil Tirta kakek!""Nggak mau! Aku nggak mau dengar omongan Kakek!" Shinta menjulurkan lidahnya dengan nakal."Tirta benaran menjadi adik angkat Pak Saba," gumam Nabila yang belum tersadar dari keterkejutan. Dia merasa senang untuk Tirta.Naura menatap Tirta dengan terkesima. Pemuda ini benar-benar tak tertandingi!"Kalian ngobrol dulu. Aku mau masak obat. Setelah minum obat, kondisimu bakal makin baik," ujar Tirta tersenyum. Kemudian, dia mengambil bahan obat di meja dan menuju ke dapur."Guru, tunggu. Aku punya permintaan. Apa kamu bisa mengajarik
"Nggak bisa, aku nggak boleh terus mengintip .... Ini nggak bermoral. Aku harus berpura-pura nggak tahu apa-apa dan tidur. Kalau nggak bisa tidur, tetap harus coba!" ucap Farida. Dia merasakan detak jantungnya makin cepat.Farida memaksakan diri untuk menarik pandangan dari vila. Tubuhnya terasa kaku saat dia berbaring di kursi mobil yang sudah disandarkan sepenuhnya.Farida mencoba memejamkan mata dan berharap bisa tertidur. Namun sayangnya, mobilnya diparkir tepat di dekat gerbang vila. Itu hanya sekitar 20 meter dari tempat Tirta dan Susanti bersenang-senang.Di malam yang sunyi senyap, suara apa pun terdengar makin jelas. Saat mereka makin intens, Farida tak lagi mampu menenangkan pikirannya. Dia terus berganti posisi di tempat duduknya, tapi justru makin merasa gelisah.Farida tidak tahu dari mana kegelisahan ini berasal atau kapan perasaan ini akan mereda. Bahkan setelah Tirta dan Susanti meninggalkan vila untuk kembali ke klinik, kegelisahan itu tetap ada.Hingga sekitar pukul 3
Di dalam mobil, Farida memandang dengan tatapan penuh arti. Dia berkomentar, "Tirta baru saja satu lawan dua. Sekarang tengah malam begini, masih saja nggak berhenti? Sebenarnya seberapa suka dia melakukan itu dengan wanita?"Saat melihat Tirta dan wanita itu masuk ke vila, napasnya sedikit tidak beraturan. Kemudian dengan sedikit kebingungan, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Tapi ... wanita yang dia gendong kali ini, kenapa aku nggak pernah lihat ya sebelumnya?"Meskipun ini adalah kedua kalinya Farida memergoki Tirta malam itu, kali ini karena dia tidak menyalakan mobil dan Tirta sepenuhnya fokus pada Susanti, dia tidak menyadari keberadaan Farida.Saat memasuki vila, Tirta menyadari bahwa bagian dalam vila masih dalam proses renovasi. Barang-barang berantakan di mana-mana sehingga dia langsung mengurungkan niat untuk melanjutkan rencana awalnya di dalam vila."Susanti, tempat ini belum beres. Nggak ada tempat yang nyaman untuk duduk atau tiduran. Lagian, sekarang sudah hampir ten
"Susanti, kalau benar-benar nggak sanggup lagi, kenapa nggak berhenti jadi polisi saja? Aku punya begitu banyak uang. Sebagian saja sudah cukup untuk kamu hidup dengan nyaman," ucap Tirta sambil menghela napas."Uangmu ya uangmu. Kalau kamu kasih ke aku, aku juga nggak bakal menerimanya. Lagian masa cuma karena punya uang, aku jadi nggak melakukan apa-apa? Aku nggak bisa diam saja. Selain itu, aku cukup suka pekerjaan sebagai polisi," jawab Susanti tegas tanpa ragu.Susanti melanjutkan, "Kalau nanti aku sudah nggak mau jadi polisi lagi, barulah aku pertimbangkan untuk jadi pajangan di rumah seperti yang kamu bilang.""Aku cuma nggak mau melihat kamu terlalu lelah. Tapi kalau memang kamu ingin terus jadi polisi, ya lanjutkan dulu," ucap Tirta.Sambil mengemudi, Tirta terus mengobrol dengan Susanti. Tak sampai setengah jam kemudian, dia sampai di depan kantor polisi. Pada jam seperti ini, kebanyakan polisi sudah pulang. Hanya tersisa beberapa orang yang bertugas untuk jaga malam.Susanti
"Jangan cuma bilang kami nggak kuat. Kamu nggak sadar apa penyebabnya? Kamu terus berkembang, siapa pun juga nggak bakal tahan menghadapi kamu!" Suara Melati terdengar dari dalam kamar mandi, entah sedang mengeluh atau merasa puas.Tirta membalas, "Hehe. Aku sendiri juga nggak ngerti kenapa bisa begini. Bibi, Kak Melati, kalau kalian benar-benar sudah nggak kuat lagi ya sudah. Kita lanjutkan lain kali kalau kalian sudah pulih.""Aku mau ganti baju dulu. Bajuku sudah basah. Setelah itu, aku langsung pergi ke kantor polisi buat jemput Susanti. Kalian istirahat saja, nggak perlu tunggu aku pulang," tambah Tirta. Kemudian, Tirta membuka pintu kamar mandi dengan cepat, menutupnya lagi dari luar, dan berlari ke dalam ruangan klinik. Dia sama sekali tidak menyangka ada seseorang yang sedang mengintipnya dari luar. Kalau tahu, dia pasti tidak akan keluar seenaknya."Astaga ... apa aku nggak salah lihat? Mana mungkin ...," ucap Farida. Sebelum Tirta keluar, dia buru-buru bersembunyi di balik d
Ayu mengingatkan dengan suara lemah tapi tegas, "Satu jam saja ya. Setelah itu apa pun kondisimu, kamu nggak boleh ganggu kami lagi!"Tirta membalas, "Hehehe. Tenang saja, Bibi. Apa pun kondisiku, aku pasti akan bikin kalian puas kok!"Dengan sekali gerakan, Tirta memelesat masuk ke dalam kamar mandi dan menutup pintu kayu itu rapat-rapat. Bagaimanapun, malam ini dia masih punya janji dengan Susanti. Namun sebelumnya, dia memutuskan untuk bersenang-senang bersama Ayu dan Melati dulu.....Tirta sedang asyik bersenang-senang di kamar mandi bersama Ayu dan Melati. Tubuh mereka makin erat dan begitu intens hingga sulit dipisahkan.Dalam kegelapan malam di luar, sesosok tubuh ramping terlihat mendekati klinik dengan bantuan cahaya redup dari layar ponsel. Namun saat melewati kamar mandi, suara-suara aneh terdengar dari dalam. Suara itu membuat langkahnya terhenti."Itu suara Ayu, Melati ... dan Tirta? Astaga ...." Orang itu ternyata adalah Farida. Dia baru saja lembur untuk mempercepat pro
Mendengar suara Tirta yang tidak sabar, Ayu merasa kesal sekaligus lucu. Dia membalas, "Dasar bocah nakal, kenapa sih pikiranmu selalu tentang hal itu? Hari ini, Bibi lagi nggak enak badan. Jadi, jangan harap ya. Lain kali saja.""Lain kali kapan? Nggak bisa, harus malam ini. Aku sudah dua hari nggak sentuh Bibi, rasanya nggak tahan lagi!" seru Tirta. Dia segera mengaktifkan mata tembus pandangnya.Melihat dua tubuh indah yang bersinar putih bersih di balik pintu kamar mandi, Tirta hampir tidak bisa mengalihkan pandangannya. Bahkan, air liurnya hampir menetes."Hmph! Kalau gitu, kamu teruskan saja berandai-andai. Malam ini, Bibi benar-benar nggak tertarik!" ucap Ayu sambil tertawa. Dia sebenarnya sengaja meledek Tirta.Makin Ayu menolak, Tirta makin merasa tergoda. Dia pun beralih coba membujuk Melati, "Kak Melati, tolong buka pintu. Aku juga kangen sama kamu. Aku ingin memelukmu baik-baik!"Melati yang sedang di dalam kamar mandi mengikuti isyarat Ayu untuk terus meledek Tirta. Dia me
Setelah melepaskan sepatu, kaus kaki, dan pakaian luar, Arum naik ke ranjang dan bersiap untuk istirahat."Baiklah, kita langsung tidur saja. Ranjangnya nggak terlalu besar, kita berdua harus agak berdesakan. Maaf ya kalau ini merepotkanmu," ucap Yanti sambil mematikan lampu dan berbaring di samping Arum.....Sementara itu, Tirta sudah mengantar Nia kembali ke Desa Kosali dan kini sedang dalam perjalanan kembali ke kliniknya.Hanya dalam beberapa menit, Tirta sudah sampai di klinik. Saat turun dari mobil, dia membawa beberapa buku rahasia seni bela diri yang diberikan Lutfi dan berniat mempelajarinya saat ada waktu luang.Di klinik, Ayu dan Melati sedang mencoba menenangkan beberapa anak harimau yang terus saja menangis keras. Namun, kedua harimau besar tidak terlihat di sekitar.Meski Ayu dan Melati sudah mencoba berbagai cara, mereka tetap tidak bisa membuat anak-anak harimau itu tenang."Bibi, Kak Melati, kalian pergi mandi saja. Biarkan aku yang urus anak-anak harimau ini," ucap T
Arum merasa sangat canggung. Dia berucap, "Aduh ... Bu Yanti, mana mungkin aku bisa membantumu memeriksa hal seperti ini ...."Arum baru saja hendak menyarankan bahwa jika memang ada sesuatu yang aneh, biasanya akan terasa atau terlihat jelas. Namun, Yanti tidak memberinya kesempatan untuk melanjutkan bicara. Segera, Yanti melepas semua pakaiannya.Pemandangan itu membuat wajah Arum memerah. Dia segera memalingkan pandangannya karena merasa tidak nyaman.Yanti memberi tahu, "Arum, kita ini sama-sama wanita. Jadi, kamu nggak perlu merasa canggung. Kalau kamu nggak membantuku periksa, aku benar-benar nggak tahu harus minta tolong pada siapa lagi.""Kalau nggak bisa memastikan apa yang terjadi, malam ini aku nggak akan bisa tidur dengan tenang," ucap Yanti sambil memegang tangan Arum dengan penuh harap.Mendengar kata-kata tersebut, Arum tidak punya alasan lagi untuk menolak. Selain itu, dia juga ingin memastikan apakah Tirta benar-benar melakukan sesuatu yang tidak pantas kepada Yanti. K
Tirta menyalakan mobil dan mengantar Nia meninggalkan klinik."Wah, ini mobil Mercedes Maybach ya? Aku dengar harganya bisa sampai beberapa miliar. Tirta, aku benar-benar nggak sangka, ternyata kamu ini orang kaya yang diam-diam menyembunyikan kekayaanmu!" seru Nia dengan kagum sambil duduk di kursi belakang.Tirta membalas sambil tersenyum, "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan. Tapi kalau kamu bekerja dengan baik dan nanti kebun buah kita berkembang besar, kamu juga bisa beli mobil seperti ini."Nia menjulurkan lidahnya sambil membalas, "Benarkah? Kamu ini benar-benar jago bercanda. Bisa duduk di mobil seperti ini saja, aku sudah merasa cukup puas. Sepertinya, seumur hidupku aku nggak akan mampu membeli mobil seperti ini.""Jangan terlalu pesimis. Apa pun bisa terjadi kalau kita berusaha," jawab Tirta santai, lalu tidak melanjutkan pembicaraan.....Sementara itu, Arum baru saja tiba di rumah Yanti. Sebelum sempat mengucapkan apa pun, Yanti langsung menariknya ke kamar da