Sambil berbicara, Tirta menekan kepala Lukman ke lantai dengan kakinya saat pria itu berusaha bangkit."Kamu ... kamu mau apa?" Tanpa sadar, Lukman menelan ludah dengan gugup. Meskipun dia sudah melewati banyak situasi berbahaya dalam hidupnya, entah mengapa dia merasa ketakutan saat menghadapi Tirta yang jauh lebih muda darinya. Rasa takut ini membuatnya merasa sangat malu dan marah!"Apa mauku? Aku mukul anakmu sampai terluka parah dan kamu datang untuk membunuhku. Jadi, untuk membela diri, sepertinya wajar kalau aku membuatmu menjadi idiot ... atau mungkin membunuhmu. Pak Lukman, menurutmu mana yang lebih cocok?" tanya Tirta sambil memicingkan matanya.Lukman telah membawa anak buahnya untuk membunuh Tirta secara terang-terangan. Tentu saja Tirta tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja."Anak muda, jangan gegabah! Sebenarnya, pikirkan lagi baik-baik. Bagaimanapun, kamu yang duluan melukai anakku. Wajar saja kalau aku bawa orang untuk membuat perhitungan denganmu. Kalau kamu me
Mendengar hal itu, Lukman mengira dirinya salah dengar. Mengapa Tirta bisa membunuh seseorang di depan mata kepala kepolisian tanpa ditahan? Siapa sebenarnya bocah ini? Apa dia benar-benar sehebat itu?"Pak Mauri, kamu ini polisi yang adil dan baik. Kenapa kamu malah nggak mengambil tindakan apa pun melihat orang ini melakukan tindakan kriminal di hadapanmu? Apa kamu nggak takut posisimu akan terancam kalau aku menyebarkan kejadian ini?" tanya Lukman yang merasa tidak puas."Hehe, Lukman, kamu ini benar-benar nggak tahu malu ya. Jelas-jelas kamu yang mengancam Tirta duluan. Jangankan aku, bahkan Pak Saad sekalipun nggak akan melindungimu kalau dia datang. Kalau nggak percaya, kamu suruh saja dia datang sekarang juga," ujar Mauri sambil tersenyum sinis."Apa?" Mendengar jawaban Mauri yang begitu yakin, Lukman akhirnya paham dia telah menyinggung orang yang tangguh.Lukman terpaksa memohon lagi terhadap Tirta, "Nak, aku memang bersalah untuk kejadian sebelumnya, tapi aku sudah tahu kesal
Dalam waktu singkat, tiga sampai lima orang petugas patroli langsung menahan Lukman dan membawanya pergi."Tangkap semua orang-orang ini juga dan interogasi mereka semua!" Setelah menyuruh anggotanya untuk menahan para bawahan Lukman, Mauri tidak langsung pergi dari tempat itu.Dengan merasa bersalah, dia berkata pada Tirta, "Maaf ya, Tirta, aku datang terlambat. Kalau nggak, kamu bahkan nggak perlu turun tangan sendiri untuk menangani masalah ini. Tapi kamu tenang saja, aku pasti akan tangani Lukman dengan baik, nggak akan membuatmu khawatir.""Pak Mauri terlalu sungkan. Justru aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah repot-repot datang secara khusus. Gimana kalau cari waktu kita makan bersama?" tanya Tirta sambil terkekeh-kekeh."Nggak perlu sampai begitu. Kita sudah cukup dekat, kamu nggak perlu basa-basi," jawab Mauri sambil melambaikan tangannya dengan senang."Oh ya, Tirta. Aku harus berterima kasih padamu tentang sebuah hal. Bukankah sebelumnya kamu berhasil membantu kep
"Tirta, nyalimu besar sekali. Setelah mengalami kejadian begini, kamu masih kepikiran mau beli rumah? Bagaimana kalau kita tunda dulu beli rumahnya? Kita bisa jalan-jalan dulu buat santai."Meski berkata demikian, Nabila merasa lega setelah melihat sikap Tirta yang masih tetap santai."Duh, Nak. Kuliahmu sudah mau dimulai. Kalau nggak beli rumah sekarang, bukannya kamu bakal repot waktu mulai kuliah nanti? Harus beli rumah sekarang juga, kita bisa pergi jalan-jalan setelah selesai ngurus masalah ini."Setelah Lukman dan para bawahannya dikalahkan, sikap Agus juga berubah menjadi seperti sebelumnya. Melihat Nabila menyuruh Tirta untuk menunda membeli rumah, dia langsung mengajukan protes."Iya, rumahnya harus dibeli sekarang juga. Masih ada beberapa kompleks perumahan lain di dekat sini, jadi nggak akan memakan banyak waktu. Kalian bisa beli dulu baru pergi main," kata Betari menyetujui."Baiklah, kita beli rumah dulu." Melihat sikap kedua orang tuanya, Nabila menyadari bahwa jika merek
Seketika, ekspresi Betari langsung berubah menjadi muram dan mendorong Agus dengan kesal. "Dasar nggak tahu malu! Apa aku harus minum Pil Kecantikan dulu baru kamu mau bermesraan sama aku? Kamu menganggapku sudah tua sekarang ya?""Kuberi tahu ya, kalau kamu berani menyentuhku sedikit saja mulai hari ini, aku akan mengulitimu hidup-hidup!"Setelah melontarkan ancaman tersebut, Betari langsung berbalik dan masuk ke kamar. Dia membanting pintu dengan keras dan menguncinya dari dalam, meninggalkan Agus yang masih berdiri di luar."Sayang, bukan itu maksudku. Sayang, dengarkan dulu penjelasanku ...," teriak Agus dengan malang.....Sementara itu, di tempat lain. Mauri baru saja tiba di kantor patroli dan memerintahkan untuk menahan Lukman beserta anak buahnya. Namun, sebelum dia sempat beristirahat, seorang petugas patroli masuk dengan tergesa-gesa."Gawat, Pak Mauri. Keluarga Dipo, Lukky, dan Fendi dari ibu kota mengutus orang untuk menemuimu .... Selain itu, kelihatannya mereka datang de
Mauri tahu bahwa ucapannya ini telah memicu amarah dari Joshua dan yang lainnya. Namun, dia tetap mengatakannya untuk mempertegas pendiriannya yang berpihak pada Tirta. Jika dia merasa gentar karena masalah ini dan membebaskan Dipo serta kedua orang lainnya, bagaimana dia harus menghadapi Tirta nantinya?Benar saja, setelah mendengar ucapan Mauri, Joshua dan kedua orang lainnya langsung menjadi muram. Mereka awalnya berpikir, dengan status dan pengaruh mereka, meminta Mauri untuk membebaskan ketiga orang itu seharusnya merupakan tugas yang mudah. Namun, mereka tak menyangka bahwa Mauri akan menolak permintaan mereka tanpa ragu sedikit pun!Kenyataan bahwa Dipo dan yang lainnya ditangkap oleh kepala patroli tingkat kabupaten saja sudah cukup membuat keluarga mereka merasa malu. Kini, penolakan tegas dari Mauri hanya semakin menambah amarah mereka."Hehe, kalau begitu, Pak Mauri tungu sebentar." Joshua menahan kemarahan dalam hatinya, lalu tersenyum sinis sebelum berjalan keluar."Pak Am
"Pak Mauri, kamu bahkan nggak hormati Pak Amal sama sekali?" teriak Joshua yang tidak bisa menahan amarahnya lagi."Untuk kasus ini, aku nggak akan hormati siapa pun. Kalau masih ada cara lain, silakan saja kalian gunakan semuanya!" bentak Mauri sambil memukul meja."Bagus, bagus sekali! Karena Pak Mauri punya nyali sebesar ini, kita lihat saja nanti!" Meski merasa marah dan kesal, Joshua tetap saja tidak mungkin berbuat onar di kantor patroli. Melihat sikap Mauri yang keras kepala, ketiga orang itu berbalik dan pergi dari tempat itu."Pak Joshua, si Mauri itu nggak mau bebaskan mereka. Apa kita perlu suruh orang untuk menerobos ke penjara untuk bebasin mereka?" tanya Toby setelah keluar dari kantor patroli."Nggak usah, itu cara bodoh. Aku telepon Amal lagi untuk suruh dia urus masalah ini." Amarah Joshua masih belum reda, sehingga dia melanjutkan, "Selain itu, kalian utus orang untuk selidiki bocah bernama Tirta. Alasan Dipo dipenjara berkaitan erat sama orang ini!"...."Pak Mauri,
Setelah merasakan kenikmatan berhubungan intim, Nabila tidak bisa melepaskan diri begitu saja. Apalagi, dia dan Tirta sudah lama tidak bertemu. Nabila tentu ingin tidur bersama Tirta.Hanya saja, Nabila merasa gelisah jika harus check-in di hotel kota. Dulu, pernah ada temannya yang difoto saat check-in."Kita ke hotel bintang lima saja. Nggak bakal ada yang diam-diam mengambil foto kita. Kamu sudah kenyang? Kalau sudah, kabari ayahmu, lalu kita langsung ke hotel," ujar Tirta.Tirta tidak terpikir akan masalah itu. Namun, karena Nabila mencemaskan hal ini, Tirta memberinya cara untuk mengatasi kecemasannya.Jika dihitung-hitung, Tirta sudah lama tidak menyentuh wanita. Apalagi ketika melihat Nabila tersipu begini, gairah Tirta mulai terbangkitkan.Tirta tidak bisa menahan diri untuk merangkul pinggang ramping Nabila. Meskipun dihalangi oleh pakaian, Tirta tetap bisa merasakan kelembutannya."Tadi aku sempat ngemil. Aku belum lapar. Aku telepon ayahku dulu." Nabila mulai berhasrat karen
Jika Tirta belum menghubungi Saba, mungkin Chandra dan lainnya tidak akan memedulikan sindiran mereka. Namun, sekarang mereka tahu Tirta sudah menghubungi Saba untuk menyelesaikan masalah ini. Jadi, Chandra dan lainnya tidak akan berdiam diri lagi.Hendrik melihat Wirya dan Diego dengan dingin sambil angkat bicara, "Semuanya belum pasti. Pak Diego, Pak Wirya, kalian begitu yakin Keluarga Gumarang, Keluarga Reksa, Keluarga Wisono, dan Grup Sapari akan bangkrut. Apa kalian nggak takut kami akan melawan Keluarga Bazan dan Keluarga Liman setelah kami selamat?"Mendengar ucapan Hendrik, Diego tertawa terbahak-bahak dan menyindir, "Kalian hampir celaka, tapi masih bisa berkhayal! Apa kalian kira Pak Simon cuma bercanda saat bilang mau buat kalian bangkrut dalam waktu setengah jam? Apa kalian juga punya sokongan hebat yang bisa membuat Pak Simon takut seperti Keluarga Purnomo?"Bukan hanya Diego yang tidak percaya. Selain orang-orang yang dekat dengan Tirta, semua orang di aula merasa Chandra
Chandra dan lainnya sudah mendengar Tirta menelepon Saba. Biarpun mereka terlihat tidak peduli, sebenarnya mereka juga merasa gugup.Tirta menegaskan, "Nggak. Kita memang teman, tapi aku tetap berutang budi pada kalian. Aku bisa membedakannya dengan jelas, jadi aku akan tetap menebus kesalahanku. Kalau nggak, ke depannya aku nggak berani bertemu kalian lagi."Sebelum Chandra dan lainnya bicara, Darwan menghampiri mereka dan tertawa. Dia berkata, "Pak Chandra, Pak Argono, Pak Toby, Pak Hendrik, dan Pak Hubert, silakan duduk. Kalian sudah berikan hadiah yang mahal untuk putriku dan Tirta. Kalian itu tamu terhormat Keluarga Purnomo."Darwan meneruskan, "Mohon dimaklumi kalau pelayananku kurang memuaskan. Mulai hari ini, kalian itu rekan kerja sama Keluarga Purnomo yang paling penting. Kalau ada proyek, kalian bisa bahas denganku. Kita bisa berkembang bersama!"Sudah jelas Darwan bermaksud membantu Tirta membayar utang budinya. Bagi Keluarga Gumarang, Keluarga Reksa, Keluarga Wisono, dan H
Selesai bicara, Yahsva hendak menelepon Simon dan menegurnya. Namun, Saba menghentikan dengan ekspresi marah, "Tunggu, Yahsva. Kamu bilang dulu mau beri pelajaran apa pada Simon. Tirta sudah minta bantuanku, aku rasa Simon pasti melakukan hal yang keterlaluan! Mana mungkin Simon bisa jera kalau diberi hukuman yang ringan?"Sebelumnya Saba tidak tahu orang yang ingin dibereskan Simon adalah teman Tirta. Jadi, dia tidak ingin ikut campur dan mengabaikannya. Namun, sekarang masalah ini melibatkan adik angkatnya. Tentu saja, Saba harus menyikapinya dengan serius.Ini adalah pertama kalinya Yahsva melihat sikap Saba yang begitu serius. Dia tahu Saba menganggap Tirta sangat penting. Yahsva menimpali, "Saba ... coba aku pikirkan dulu .... Kalau nggak, aku suruh Simon minta maaf pada Tirta di depan umum dan beri Tirta kompensasi 20 triliun."Mendengar perkataan Yahsva, Saba mendengus dan mengomel, "Yahsva, tadi aku sudah bilang Tirta nggak tertarik dengan uang. Nggak ada gunanya kamu beri dia
Tiba-tiba, ponsel Saba berdering. Begitu melihat Tirta menelepon, mata Saba berbinar-binar. Saba segera memanggil Yahsva, "Yahsva, tunggu sebentar. Tirta yang telepon, aku bantu kamu tanya kapan dia punya waktu datang ke ibu kota. Nanti kamu baru bereskan urusanmu.""Kebetulan sekali! Saba, cepat bantu aku tanya Tirta punya waktu atau nggak! Urusanku nggak terlalu penting," timpal Yahsva.Tentu saja Yahsva merasa urusan memperpanjang umur lebih penting. Dia langsung menghentikan langkahnya begitu mendengar Saba mengatakan Tirta yang menelepon. Yahsva kembali ke sisi Saba dan mendengar percakapannya dengan Tirta.Melihat Yahsva yang antusias, Saba juga langsung berkata sebelum Tirta sempat bicara, "Tirta, kenapa kamu tiba-tiba meneleponku? Kebetulan aku butuh bantuanmu, entah kamu bisa menyanggupinya atau nggak."Mendengar ucapan Saba, Tirta tidak langsung mengungkapkan permintaannya. Bagaimanapun, Tirta hendak merepotkan Saba. Dia berutang budi pada Saba. Jadi, Tirta memutuskan untuk
Yahsva menegur, "Kamu buat masalah apa lagi? Aku lagi minum teh dan main catur dengan Saba! Kalau nggak ada urusan penting, aku langsung akhiri panggilan telepon!"Sepertinya, Yahsva tidak merasa puas dengan Simon. Sementara itu, Simon sangat takut kepada kakeknya. Mendengar teguran Yahsva, Simon langsung menceritakan masalah yang dialaminya di kediaman Keluarga Purnomo, "Kakek, aku juga nggak ingin mengganggumu karena masalah sepele, tapi Pak Chandra keterlaluan sekali!"Simon melanjutkan, "Pak Chandra mempermalukanku di depan umum demi seorang pria kampungan! Aku nggak bisa terima! Kakek, aku mohon ...."Simon tidak mengungkit Keluarga Purnomo. Dia berencana membalas mereka secara diam-diam. Setelah mendengar cerita Simon, Yahsva membentak, "Kamu selalu membuat masalah! Aku bantu kamu terakhir kali."Simon menambahkan, "Kalau ke depannya kamu berani bertindak semena-mena dengan mengandalkan identitasmu, kamu selesaikan masalahmu sendiri! Aku nggak bisa melindungimu seumur hidup, kamu
Saba tertawa, lalu berujar, "Sudah kuduga, kamu pasti ingin bertemu Tirta setelah aku ceritakan pengalamanku. Sebenarnya ini nggak sulit, hanya saja ...."Saba terlihat bimbang. Yahsva yang melihat Saba berhenti bicara langsung mengentakkan kakinya dan membalas dengan ekspresi cemas, "Saba, kenapa? Apa pemuda itu mau minta uang? Nggak masalah, aku rela membayar berapa pun harganya."Saba berpikir sejenak, lalu menyahut, "Bukan begitu, Tirta nggak tertarik dengan uang. Hanya saja, belakangan ini dia sibuk mengurus kebun buah di desa. Aku nggak berani jamin Tirta sempat datang ke ibu kota negara atau nggak."Saba bertanya, "Bagaimana kalau kamu tunggu Tirta punya waktu senggang dulu? Nanti aku baru suruh dia datang ke ibu kota negara."Yahsva yang merasa terpukul mengomel, "Apa? Mengurus kebun buah? Saba, kamu nggak bercanda, 'kan? Aku ini sesepuh dalam dunia pemerintahan dan berjasa untuk negara. Masa aku harus tunggu dia punya waktu senggang untuk cari dia?"Yahsva melanjutkan, "Aku bu
Sementara itu, di sebuah vila yang terletak ibu kota negara. Vila ketujuh itu berada di bagian pusat. Dua orang pria tua duduk di gazebo vila tersebut. Mereka sedang main catur sambil minum teh.Tentu saja, orang yang bisa duduk di tempat seperti ini memiliki identitas yang luar biasa. Pembicaraan mereka bisa memutuskan masalah kenegaraan.Rambut pria tua yang memainkan bidak hitam sudah memutih. Giginya ompong dan wajahnya berkerut. Hanya saja, tatapannya sangat tajam.Pria tua yang tampak heran itu memikirkan strategi sambil berbicara dengan Saba, "Saba, kenapa aku merasa wajahmu jauh lebih cerah setelah pulang liburan kali ini? Apa ... penyakitmu sudah sembuh?"Pria ini adalah kakek Simon yang bernama Yahsva. Dia adalah sesepuh dalam dunia pemerintahan. Yahsva dan Saba berteman baik.Jadi, Saba diundang Yahsva untuk berbincang seraya minum teh di vila setelah dia kembali ke ibu kota dan menemui presiden. Hanya saja, Yahsva merasa ada yang berbeda dengan Saba begitu melihatnya. Itula
Darwan menjelaskan sambil mengernyit, "Kalau begitu, kita harus memercayai Tirta. Sebenarnya Ayah juga percaya Tirta mampu menyelesaikan masalah ini. Kalau nggak, Pak Chandra dan lainnya nggak akan bersikeras berpihak pada Tirta. Padahal mereka tahu status Simon dan orang lain sudah berusaha menghentikan mereka.""Ayah, aku paham," sahut Bella. Kegundahannya langsung hilang. Dia memandang para junior Keluarga Purnomo, lalu berkata dengan tegas, "Aku berani taruhan dengan kalian, kalau Tirta nggak bisa membereskan Pak Simon, aku akan meninggalkan Keluarga Purnomo bersama Tirta."Bella melanjutkan, "Apa pun yang dilakukan aku dan Tirta ke depannya, juga nggak akan memengaruhi masa depan Keluarga Purnomo. Kalau Tirta bisa membereskan Simon, kalian harus minta maaf kepadanya."Mendengar ucapan Bella, para junior Keluarga Purnomo merasa Bella pasti sudah diperdaya Tirta. Kalau tidak, Bella tidak mungkin setuju bertaruh. Sudah jelas Bella tidak akan memenangkan pertaruhan ini.Namun, mereka
Melihat Tirta berjalan ke sudut serta mengatakan dirinya bisa menyelamatkan Chandra dan lainnya, junior Keluarga Purnomo berkomentar dengan ekspresi sinis."Bahkan dia mengandalkan Keluarga Purnomo untuk menyelamatkan diri, tapi dia masih berani bilang bisa melindungi Pak Chandra dan lainnya.""Apa dia nggak takut ditertawakan?""Benar. Dia lahir di desa, mana mungkin dia kenal tokoh hebat?""Kalau dia bisa membereskan Pak Simon, apa mungkin dia masih mengandalkan kepala keluarga kita untuk bernegosiasi dengan Pak Simon?""Orang seperti ini nggak kompeten dan suka berpura-pura!""Aku benar-benar nggak paham. Kenapa kepala keluarga kita menyinggung tokoh hebat seperti Pak Simon demi orang nggak penting seperti ini?""Biarpun Pak Simon melepaskan Keluarga Purnomo karena orang itu, masa depan Keluarga Purnomo pasti tetap terpengaruh."Setelah mendengar sindiran anggota Keluarga Purnomo yang lain, sebenarnya Bella juga tidak yakin Tirta bisa membereskan Simon dengan mengandalkan koneksinya