Dari seberang telepon, terdengar suara yang kebingungan, "Ada masalah, Pak Lukman?""Aku mengerti. Segera kirim orang untuk kepung mereka. Jangan biarkan mereka kabur sebelum aku tiba!" ujar Lukman tegas, lalu langsung menutup telepon.Di kantor penjualan, meskipun merasa bingung, mereka tetap tidak berani melanggar perintah Lukman."Pak Lukman, apa kami butuh mengirimkan orang untuk membantu Bapak?" Melihat Lukman bangkit dari tempat duduknya, petugas patroli paruh baya itu mencoba menawarkan bantuan dengan nada menjilat."Nggak perlu, biar aku sendiri yang tangani masalah ini. Apa pun yang terjadi, anggap saja kalian nggak pernah tahu," jawab Lukman dengan nada tegas, lalu meninggalkan kantor patroli dengan cepat."Kelihatannya, anak muda yang bernama Tirta itu benar-benar dalam masalah besar. Terserah dia mau cari masalah sama siapa saja, tapi kenapa harus dengan anaknya Lukman? Lukman dulu orang dari dunia mafia!"Petugas patroli paruh baya itu menghela napas karena merasa simpati
Sementara semua ini terjadi, Tirta masih belum mengetahui apa yang sedang berlangsung di luar. Saat ini, dia bersama Nabila dan keluarganya sedang melihat-lihat sebuah rumah yang sudah direnovasi dengan dipandu oleh Herlina.Rumah tersebut memiliki tiga kamar tidur, satu ruang tamu, satu dapur, dan satu kamar mandi. Luasnya sekitar 140 meter persegi, dengan balkon besar di ujung ruang tamu yang memberikan pemandangan indah.Hal yang paling menarik perhatian adalah rumah ini sudah dilengkapi dengan perabotan dan peralatan elektronik, sehingga pembeli tidak perlu membeli apa pun lagi.Bahkan, Nabila yang awalnya enggan membiarkan Tirta membeli rumah, akhirnya merasa kagum dengan tempat ini."Wah, lihat TV besar ini! Lebih besar dari meja di rumah kami!""Lihat sofa dan ranjang besar ini, nyaman sekali! Bak mandi ini juga bisa masuk dua orang!""Rumah ini benar-benar cantik dan mewah!"Betari dan Agus terus-menerus melontarkan pujian sambil berjalan ke sana kemari mengagumi setiap sudutny
Mendengar hal itu, Tirta langsung mengingat kembali apa yang dikatakan Nabila sebelumnya. Dia bertanya kepada kepala petugas keamanan, "Bos kalian namanya Lukman dan anaknya Mahanta, ya?""Betul, kamu kenal bos kami?" tanya kepala keamanan dengan sedikit bingung."Nggak kenal dan nggak perlu kenal. Kalau aku mau pergi, kalian nggak akan bisa menghentikanku. Tapi, kalau bos kalian mau selesaikan urusan ini, suruh dia cepat datang. Jangan buang waktuku."Tirta sudah bisa menebak bahwa dia pasti tidak sengaja membeli rumah di bawah kepemilikan ayah Mahanta. Berhubung hal ini melibatkan Lukman, Tirta langsung memutuskan untuk tidak melanjutkan pembelian, meskipun rumah itu memang sangat bagus. Setelah urusan dengan Lukman selesai, dia berniat membawa Nabila dan keluarganya untuk mencari rumah di tempat lain."Kamu ini sombong sekali! Bos kami sedang dalam perjalanan, sebentar lagi dia sampai. Tunggu saja!" jawab kepala keamanan dengan nada meremehkan sambil menatap Tirta dari atas ke bawah
Anak buah Lukman yang setia dan patuh, tidak ragu-ragu sedikit pun saat mendengar perintah dari bos mereka. Dalam sekejap, salah satu dari mereka telah maju dan hendak mendorong Agus ke samping."Paman, sebaiknya Paman, Nabila, dan Bibi masuk ke kamar untuk berlindung dulu. Nanti akan kupanggil kalian kalau sudah beres," kata Tirta sambil menarik Agus kembali."Oke, Tirta, hati-hati. Kami sembunyi dulu," jawab Agus dengan ketakutan. Dia tidak ingin mengambil risiko lagi dan buru-buru membawa Nabila serta Betari ke dalam ruangan untuk bersembunyi.Kini, belasan anak buah Lukman telah mengepung Tirta. Setengah dari mereka bahkan membawa pisau yang tajam dan berkilauan, membuat siapa pun yang melihatnya merasa gentar."Herlina, cepat keluar, ini bukan urusanmu!" Satu-satunya orang yang tidak ada kaitannya di sana adalah Herlina. Kepala keamanan lantas menariknya keluar dari ruangan."Hei, bocah! Berani-beraninya kamu mukul anak bos kami sampai jadi idiot. Sudah siap mati?" tanya salah sat
Sambil berbicara, Tirta menekan kepala Lukman ke lantai dengan kakinya saat pria itu berusaha bangkit."Kamu ... kamu mau apa?" Tanpa sadar, Lukman menelan ludah dengan gugup. Meskipun dia sudah melewati banyak situasi berbahaya dalam hidupnya, entah mengapa dia merasa ketakutan saat menghadapi Tirta yang jauh lebih muda darinya. Rasa takut ini membuatnya merasa sangat malu dan marah!"Apa mauku? Aku mukul anakmu sampai terluka parah dan kamu datang untuk membunuhku. Jadi, untuk membela diri, sepertinya wajar kalau aku membuatmu menjadi idiot ... atau mungkin membunuhmu. Pak Lukman, menurutmu mana yang lebih cocok?" tanya Tirta sambil memicingkan matanya.Lukman telah membawa anak buahnya untuk membunuh Tirta secara terang-terangan. Tentu saja Tirta tidak berniat membiarkannya pergi begitu saja."Anak muda, jangan gegabah! Sebenarnya, pikirkan lagi baik-baik. Bagaimanapun, kamu yang duluan melukai anakku. Wajar saja kalau aku bawa orang untuk membuat perhitungan denganmu. Kalau kamu me
Mendengar hal itu, Lukman mengira dirinya salah dengar. Mengapa Tirta bisa membunuh seseorang di depan mata kepala kepolisian tanpa ditahan? Siapa sebenarnya bocah ini? Apa dia benar-benar sehebat itu?"Pak Mauri, kamu ini polisi yang adil dan baik. Kenapa kamu malah nggak mengambil tindakan apa pun melihat orang ini melakukan tindakan kriminal di hadapanmu? Apa kamu nggak takut posisimu akan terancam kalau aku menyebarkan kejadian ini?" tanya Lukman yang merasa tidak puas."Hehe, Lukman, kamu ini benar-benar nggak tahu malu ya. Jelas-jelas kamu yang mengancam Tirta duluan. Jangankan aku, bahkan Pak Saad sekalipun nggak akan melindungimu kalau dia datang. Kalau nggak percaya, kamu suruh saja dia datang sekarang juga," ujar Mauri sambil tersenyum sinis."Apa?" Mendengar jawaban Mauri yang begitu yakin, Lukman akhirnya paham dia telah menyinggung orang yang tangguh.Lukman terpaksa memohon lagi terhadap Tirta, "Nak, aku memang bersalah untuk kejadian sebelumnya, tapi aku sudah tahu kesal
Dalam waktu singkat, tiga sampai lima orang petugas patroli langsung menahan Lukman dan membawanya pergi."Tangkap semua orang-orang ini juga dan interogasi mereka semua!" Setelah menyuruh anggotanya untuk menahan para bawahan Lukman, Mauri tidak langsung pergi dari tempat itu.Dengan merasa bersalah, dia berkata pada Tirta, "Maaf ya, Tirta, aku datang terlambat. Kalau nggak, kamu bahkan nggak perlu turun tangan sendiri untuk menangani masalah ini. Tapi kamu tenang saja, aku pasti akan tangani Lukman dengan baik, nggak akan membuatmu khawatir.""Pak Mauri terlalu sungkan. Justru aku yang harus berterima kasih karena kamu sudah repot-repot datang secara khusus. Gimana kalau cari waktu kita makan bersama?" tanya Tirta sambil terkekeh-kekeh."Nggak perlu sampai begitu. Kita sudah cukup dekat, kamu nggak perlu basa-basi," jawab Mauri sambil melambaikan tangannya dengan senang."Oh ya, Tirta. Aku harus berterima kasih padamu tentang sebuah hal. Bukankah sebelumnya kamu berhasil membantu kep
"Tirta, nyalimu besar sekali. Setelah mengalami kejadian begini, kamu masih kepikiran mau beli rumah? Bagaimana kalau kita tunda dulu beli rumahnya? Kita bisa jalan-jalan dulu buat santai."Meski berkata demikian, Nabila merasa lega setelah melihat sikap Tirta yang masih tetap santai."Duh, Nak. Kuliahmu sudah mau dimulai. Kalau nggak beli rumah sekarang, bukannya kamu bakal repot waktu mulai kuliah nanti? Harus beli rumah sekarang juga, kita bisa pergi jalan-jalan setelah selesai ngurus masalah ini."Setelah Lukman dan para bawahannya dikalahkan, sikap Agus juga berubah menjadi seperti sebelumnya. Melihat Nabila menyuruh Tirta untuk menunda membeli rumah, dia langsung mengajukan protes."Iya, rumahnya harus dibeli sekarang juga. Masih ada beberapa kompleks perumahan lain di dekat sini, jadi nggak akan memakan banyak waktu. Kalian bisa beli dulu baru pergi main," kata Betari menyetujui."Baiklah, kita beli rumah dulu." Melihat sikap kedua orang tuanya, Nabila menyadari bahwa jika merek
"Kenapa Anda nggak biarkan aku mati saja!" Yudha merosot lemas, bersandar pada tiang kayu dengan air mata bercucuran dan penuh penyesalan."Dasar bodoh .... Tentu saja aku ingin membunuhmu seribu kali, bahkan sepuluh ribu kali kalau bisa! Kamu memang pantas mati, tapi sekarang belum waktunya untukmu mati ....""Pergilah .... Segera kumpulkan 500 anak laki-laki dan perempuan yang berusia di bawah enam tahun! Aku butuh darah mereka untuk memulihkan kekuatan!"Kesadaran ular berkepala delapan yang lemah, berkata dengan terbata-bata."Baik .... Aku akan segera kumpulkan 500 anak untuk dikorbankan kepada Dewa Ular!"Mendengar perintah tersebut, Yudha langsung bangkit dari tanah. Dengan tubuh gemetar, dia segera berlari menuruni gunung dengan tergesa-gesa untuk mengatur semuanya."Tunggu sebentar ...." Tiba-tiba, suara serak ular berkepala delapan kembali terdengar dari belakangnya."Dewa Ular .... Apakah masih ada perintah lain?" Yudha langsung berhenti melangkah dan berlutut di tempat."Ma
Ketika masih kecil, Yudha pernah dibawa ayahnya masuk ke pondok kecil ini. Saat itu, dia baru berusia lima tahun. Dia masih polos dan belum mengerti apa-apa.Namun, hingga kini, dia tidak pernah melupakan bagaimana ayahnya, Khairul Gomies, kepala Keluarga Gomies generasi sebelumnya, menatap patung Dewa Ular dengan tatapan yang hormat dan antusias."Yudha, Dewa Ular adalah dewa sejati yang telah melindungi dan menjaga kejayaan Keluarga Gomies agar tidak pudar selama dua ribu tahun!""Dewa Ular maha kuasa, dia adalah leluhur semua pendeta spiritual! Dia adalah dewa yang paling hebat di dunia ini!""Suatu hari nanti, kamu akan menjadi pelayan Dewa Ular. Jangan marah atau bersedih karenanya, kamu seharusnya merasa bahagia! Karena di dunia ini, tidak ada satu pun hal yang tidak bisa dilakukan oleh Dewa Ular!""Menjadi pelayan Dewa Ular adalah kehormatan tertinggi dalam hidupmu!"Kata-kata itu terukir dalam-dalam di lubuk hati Yudha. Seiring waktu, dia pun tumbuh dan menjadi seorang pendeta
Akhir-akhir ini, Genta semakin sering berbicara dengan Tirta. Kepribadiannya juga tampak semakin mirip dengan manusia.Saat ini, dia bahkan mulai mempertimbangkan keadaan Tirta. Mungkin saja ini terjadi karena Tirta telah membantunya menyerap energi dari 80 pesilat kuno. Sebagai bentuk hadiah, mungkin itulah alasan dia memiliki pemikiran seperti ini."Ah, Kak, bisa nggak aku nggak menggunakan artefak sihir yang menjijikkan ini? Nanti, setelah aku mencapai tahap pembentukan fondasi, aku mau buat artefakku sendiri. Boleh nggak?"Dalam ingatan yang ditanamkan Genta pada Tirta, ada berbagai informasi mengenai artefak sihir. Tirta memahami betapa luar biasanya benda tersebut, tetapi dia benar-benar tidak menginginkan kipas lipat dengan shikigami itu."Dasar nggak tahu terima kasih. Kalau kamu nggak mau, aku akan serap energi spiritualnya untuk diriku sendiri." Nada Genta sangat tegas, bahkan terdengar sedikit kesal. Melihat Tirta begitu menolak, dia pun tidak berbicara lebih lanjut dan lang
"Sebelum berangkat, Yara sempat minta izin dariku untuk pergi ke Darsia. Tujuannya adalah menyelidiki keberadaan dunia misterius para pesilat kuno di sana.""Dia ingin menemukan lokasi dunia misterius dan mendapatkan ramuan spiritual serta batu energi untuk mempercepat pemulihan kekuatan Dewa Ular! Dan sekarang ... seseorang telah membunuh Yara!""Siapa pelakunya? Sebelum pergi, aku sudah memberinya kipas lipat yang berisi Shikigami! Itu bukan benda biasa, melainkan artefak spiritual yang diberikan langsung oleh Dewa Ular!""Selain itu, Yara juga membawa Air Mayat serta berbagai teknik rahasia pendeta spiritual untuk melindungi dirinya sendiri. Bahkan kalau para pesilat kuno Negara Darsia mengadangnya, seharusnya mereka nggak bisa membunuhnya.""Kalaupun Yara nggak bisa menang, paling nggak, dia seharusnya bisa melarikan diri dengan selamat! Siapa yang sebenarnya membunuh Yara…?"Setelah amarahnya sedikit mereda, Yudha mulai menganalisis secara mendalam siapa yang bisa menjadi pelaku p
Tirta benar-benar tidak menyangka bahwa mereka akan menyetujui syarat yang dia ajukan semudah itu. Hal itu membuat suasana hatinya membaik secara drastis.Sebelum pergi, Tirta kembali melirik Kurnia, seakan ingin mengatakan sesuatu. "Pak Tirta, kalau ada perintah, silakan katakan saja," kata Kurnia dengan hormat sambil mengepalkan tangan sebagai tanda penghormatan."Kurnia, bagaimanapun juga, akulah yang membuat lenganmu patah. Aku punya resep obat yang bisa membuat lenganmu tumbuh kembali.""Tapi, mencari bahan-bahannya mungkin akan memakan waktu yang cukup lama. Kalau kamu bersedia menunggu, aku bisa membantumu memulihkan lenganmu sepenuhnya."Tirta mengingat teknik pengobatan ajaib yang diwariskan oleh Genta di dalam ingatannya, lalu menawarkan solusi itu kepada Kurnia."Aku bersedia! Tentu saja aku bersedia! Terima kasih atas kebaikanmu, Pak Tirta!"Mendengar hal itu, Kurnia begitu terkejut dan terharu hingga langsung berlutut di depan Tirta untuk mengungkapkan rasa terima kasihnya
"Sudahlah, Laras. Tindakan nggak senonoh apa pun yang pernah kubuat padamu sebelumnya, setidaknya sekarang aku nggak pernah begitu lagi sama kamu, 'kan?""Kamu nggak boleh panggil aku bajingan mesum lagi. Kamu boleh panggil aku Tirta saja, atau Kak Tirta juga boleh. Kalau kamu nggak bisa lakukan itu, sebaiknya kamu kembali saja ke dunia misterius," kata Tirta sambil menarik napas dalam-dalam, berusaha menjaga reputasinya."Huh, kalau begitu aku panggil Tirta saja. Sepertinya kita juga sebaya!" jawab Laras sambil menoleh ke arah lain setelah berpikir sejenak."Kak Tirta, aku nggak akan panggil kamu bajingan mesum. Karena kamu adalah orang baik."Tina merasa ekspresi serius Tirta saat membela diri tadi cukup menggelikan. Dengan sedikit keberanian, dia menepuk lengan Tirta dan berkata demikian."Hehe, bagus! Tina memang paling penurut."Suasana hati Tirta menjadi semakin bagus. Dia mengusap rambut panjang Tina dengan lembut sebelum mengalihkan pandangannya ke Tina, Laras, serta Kimmy yang
"Nak, jangan persulit kami!"Para pesilat kuno yang berhasil selamat dan beberapa ketua sekte berusaha untuk bernegosiasi dengan Tirta."Persulit kalian? Hehe .... Kamu kira aku nggak tahu apa yang ada di pikiran kalian? Kalian cuma merasa batu alami terlalu berharga dan nggak mau memberikannya padaku, bukan?""Sejujurnya saja, semua sumber daya dunia fana ini sama sekali nggak menarik bagiku. Aku cuma menginginkan batu alami! Aku bisa menyelamatkan kalian, tapi aku juga bisa membunuh kalian!""Siapa pun yang nggak setuju, jangan salahkan aku kalau aku berubah menjadi musuh kalian!"Tirta menyeringai dingin sambil menatap para ahli seni bela diri kuno yang tersisa di sekelilingnya.Saat mengucapkan kata-kata itu, aura dingin dan niat membunuh yang mengerikan terpancar dari tubuhnya!"Cecunguk ini ternyata punya sedikit keberanian juga."Di dalam lautan kesadarannya, Genta berkomentar dengan nada santai. Jika dia yang berada di posisi Tirta sekarang, para pesilat kuno ini tidak akan sel
"Yang penting jangan lupakan kamu ...," gumam Tirta. Permintaan Tina sangat sederhana. Dia benar-benar wanita yang polos.Tirta mendesah, lalu menyetujui permintaan Tina, "Oke, namamu Tina, 'kan? Kalau begitu, kamu ikut aku saja. Aku ... ada sesuatu yang nggak bisa kukatakan padamu sekarang. Nanti aku baru beri tahu kamu setelah pulang."Tina langsung berhenti menangis setelah Tirta menyetujui permintaannya. Dia menyeka air matanya, lalu berujar kepada Edwan dengan antusias, "Pak Edwan, Kakak setuju aku ikut dia. Aku ... nggak ikut kalian pulang lagi."Tina berpesan, "Pak Edwan, tolong sampaikan pada guruku. Kalau ada kesempatan, aku dan Kakak akan pergi ke dunia misterius untuk mengunjungi guruku.""Oke. Kalian berdua jaga diri baik-baik. Kami pamitan dulu," balas Edwan sambil tersenyum. Dia memberi hormat kepada Tirta, lalu membawa membawa murid Sekte Kebebasan meninggalkan puncak gunung.Setelah Edwan dan lainnya pergi, Tina berdiri di belakang Tirta. Dia mengamati wajah Tirta, lalu
Di puncak gunung, semua pesilat kuno yang diselamatkan Tirta memberi hormat kepadanya. Salah satu pesilat kuno berkata, "Sobat, kamu sudah menyelamatkan kami, tapi kami nggak tahu namamu. Apa kamu bisa beri tahu kami? Ke depannya, kami pasti akan mengunjungimu setelah beristirahat di dunia misterius."Tirta berpikir sejenak, lalu menanggapi, "Sebenarnya aku nggak perlu beri tahu kalian namaku. Kalau kalian mau membalasku, bantu aku cari batu spiritual setelah kalian kembali ke dunia misterius. Eh, salah. Maksudku cari batu alami."Tirta menambahkan, "Nantinya aku akan ambil batu alami itu waktu aku pergi ke dunia misterius."Tirta sudah merebut energi internal mereka. Biarpun sedikit keterlaluan, Tirta sudah menyelamatkan mereka. Tindakan Tirta sama seperti dokter yang mengangkat salah satu organ dalam pasien untuk menyelamatkannya.Pasien tidak akan menyalahkan dokter. Sebaliknya, pasien akan membayar biaya pengobatan setelah selamat. Jadi, batu alami yang diminta Tirta bisa dianggap