"Dengar nggak? Nggak ada kamar lagi di sini, sana kembali saja ke kota!" Sebelum Ayu mendapat alasan, Susanti telah berteriak dengan senang terhadap Agatha."Nggak apa-apa, Bibi. Aku bisa tidur di lantai. Lagian waktu kecil, aku juga tidur begini di desa. Aku sudah terbiasa," balas Agatha setelah melirik sekilas ke arah Susanti."Ini ... Agatha, sekarang ini kamu Direktur Farmasi Santika. Kamu sendiri punya rumah mewah, kenapa nggak tinggal di sana, malah tidur di lantai di rumah kami? Apa maksudmu?" tanya Melati dengan frustrasi."Aku cuma mau tidur di lantai, nggak berniat apa pun," jawab Agatha sambil melirik ke Tirta.Melihat pandangannya, Ayu dan Melati langsung tersadar. Sepertinya Susanti dan Agatha sedang berebutan menginap di klinik karena ingin memperebutkan Tirta!"Tirta, kamu ke sini dulu. Ada yang mau Bibi bicarakan," panggil Ayu sambil membawa Tirta masuk ke kamar dengan alis yang berkerut."Itu ... Kak Melati, tolong bantu aku jamu mereka. Aku ke sana sebentar." Tirta ya
"Bibi, bukan aku yang ingin menggodanya. Aku juga nggak berdaya ...," keluh Tirta. Kemudian, dia menceritakan tentang semua kejadian di antara Bella dengannya. Mendengar bahwa Tirta yang telah menyelamatkan Bella berulang kali dari bahaya, hati Ayu terasa sakit.Dia sangat mengkhawatirkan keselamatan Tirta. Untungnya, Tirta tampak baik-baik saja saat ini. Pada akhirnya, Ayu menghela napas berat dan bertanya, "Ternyata ada begitu banyak hal yang sudah terjadi. Wajar saja kalau dia sampai jatuh cinta padamu. Masalahnya sekarang, apa dia tahu kamu punya wanita sebanyak ini di sisimu?""Nggak tahu, aku nggak bilang sama dia," jawab Tirta dengan terus terang."Waktu ketemu nanti, tolong Bibi rahasiakan darinya," timpal Tirta."Sepertinya Bibi memang berutang budi padamu di kehidupan lalu!" Setelah mempertimbangkan sejenak, pada akhirnya Ayu menyetujuinya.Meskipun dia marah karena Tirta tidak bisa menjaga dirinya sendiri, Ayu tetap harus membantunya. Bagaimanapun juga, dia benar-benar sanga
Setelah itu, dia mengalihkan pembicaraan terhadap Susanti, "Oh ya, Bu Susanti. Bisa diskusikan satu hal denganmu?""Ada apa? Katakan saja," jawab Susanti dengan ragu-ragu."Aku sering nggak berada di rumah. Boleh nggak kamu atur beberapa bawahan untuk sering berpatroli di Desa Persik, supaya Bibi dan yang lainnya nggak ditindas lagi selama aku nggak ada?" tanya Tirta."Memangnya masih perlu kamu ingatkan? Aku sudah perintahkan orang tadi. Selain itu, aku juga akan datang patroli sendiri kalau ada waktu. Kamu tenang saja," jawab Susanti sambil memutar bola matanya terhadap Tirta."Tanpa kamu urus masalah ini sekalipun, Pak Saad pasti akan mengaturnya. Apa kamu nggak bisa bicara baik-baik sama Tirta? Nggak usah melotot begitu!" sela Agatha sebelum Tirta sempat meresponsnya."Terserah aku, dong! Kalau nggak puas, kamu juga lakukan saja!" balas Susanti."Haeh, kalian lanjutkan saja pertengkarannya, aku mau keluar untuk berkeliling." Tirta tiba-tiba merasa ingin mencari udara segar.Melihat
"Sementara ini nggak usah dulu, terima kasih atas niat baikmu. Tapi, kamu nggak usah terlalu khawatir. Kami sudah cari media, semoga bisa dapat upahnya dalam waktu dekat. Kalau kami nggak sanggup menyelesaikannya, aku pasti akan menghubungimu lagi," jawab Farida dengan penuh terima kasih."Baiklah kalau begitu, Kak Farida. Kalau ada apa-apa, jangan lupa kabari aku." Tirta juga tidak memaksa lagi.Baru saja telepon itu ditutup, bahkan sebelum sempat dimasukkan ke dalam saku, sebuah panggilan lain masuk. Suara yang penuh kegembiraan terdengar di ujung telepon."Tirta, akhirnya kamu angkat telepon juga! Besok pagi aku sudah bisa sampai rumah. Kamu rindu aku nggak? Tahu nggak, aku rindu sekali sama kamu beberapa hari ini! Aku nggak bisa tidur nyenyak tanpa ditemani kamu!"Didengar dari suaranya, orang ini adalah Nabila yang sudah lama tidak ditemuinya. Delapan hari yang lalu, dia pergi ke kota tetangga bersama kedua orang tuanya untuk menghadiri pernikahan sepupunya. Awalnya, mereka hanya
Jelas sekali, kesedihannya itu adalah karena kehadiran Susanti dan Agatha yang mendadak."Oke, Kak." Tirta berlari kecil ke arahnya. Melihat tidak ada orang di sekitarnya, Tirta memeluk pinggang Melati yang ramping. "Kak, dadamu masih sakit? Gimana kalau kupijat nanti setelah mereka semua tertidur?""Dasar berengsek. Kamu masih ingat dadaku sakit? Kukira setelah punya banyak wanita, kamu sudah lupa sama aku," balas Melati dengan sedih."Mana mungkin, Kak? Mau sebanyak apa pun wanitaku, aku tetap nggak mungkin melupakanmu. Kamu ini wanita pertama dalam hidupku." Tirta menyadari bahwa Melati sedang cemburu. Oleh karena itu, dia langsung mengecup bibir Melati tanpa aba-aba sama sekali.Setelah berciuman selama sesaat dan merasakan gairah dari Tirta, Melati pun tidak merasa kesal lagi terhadapnya. Sebaliknya, dia malah merasa agak malu."Sudah, jangan cium lagi. Kita pulang untuk makan malam dulu. Kalau nunggu terlalu lama, nanti mereka khawatir. Nanti malam Kakak pergi cari kamu.""Oke, a
Tiba-tiba, Ayu yang sejak tadi berpura-pura tidur, menyadari gerakan Melati. Dia membuka matanya dan memanggil dengan pelan, "Melati, tunggu sebentar, kamu mau ke mana ...." Sambil berkata demikian, Ayu juga bangkit perlahan, berusaha untuk tidak menimbulkan suara."Eh, Bibi, aku ... cuma mau ke toilet sebentar, maaf sudah membangunkanmu ...," jawab Melati dengan gugup karena tidak mau mengungkapkan alasan sebenarnya. Meskipun mereka berdua sudah beberapa kali bersama-sama dengan Tirta, Melati merasa bersalah diam-diam menemui Tirta."Shh, jangan terlalu keras, kita bicara di luar," bisik Ayu. Melihat Melati hanya mengenakan pakaian tidur tipis tanpa membawa jaket, Ayu langsung tahu apa yang ingin dilakukan Melati. Sebenarnya, Ayu juga tidak bisa tidur, dia sendiri berniat untuk diam-diam menemui Tirta."Bibi mau bilang apa denganku?" tanya Melati dengan gugup setelah tiba di luar."Melati, kita berdua nggak perlu saling menutupi. Aku tahu kamu kangen sama Tirta. Ayo, kita temui dia sa
"Aku nggak bisa tidur. Kenapa kamu keluar?" tanya Tirta berpura-pura tidak tahu."Aku ... teringat dengan sindiran Susanti tadi siang, jadi hatiku agak kesal. Aku mau cari kamu untuk menemaniku. Ayo, kita duduk di dalam mobil saja .... Sudah lama kita nggak ketemu, aku sudah rindu," pinta Agatha sambil hendak membuka pintu mobil.Di dalam mobil.Ayu dan Melati yang melihat kondisi ini langsung tersentak. Tirta juga langsung merasa panik. Baru saja dia ingin menghalangi gerakan Agatha, tiba-tiba Agatha teringat sesuatu dan berbisik di telinga Tirta."Oh ya, Tirta. Kamu lihat Bibi dan Kak Melati nggak? Sepertinya tadi aku lihat mereka mau ke toilet. Kalau kita di mobil, apa akan ketahuan waktu mereka kembali dari toilet nanti?"Ternyata, Agatha juga sedang berpura-pura tidur saat Ayu dan Melati keluar tadi. Melihat ekspresinya yang cemas, jelas sekali Agatha khawatir akan tertangkap basah saat berhubungan intim nanti.Tirta langsung buru-buru menimpali, "Mungkin akan kelihatan. Tadi aku
Mendengar hal itu, Susanti menarik tangan Tirta dari dada Agatha dengan kesal."Sebagai Direktur Farmasi Santika, kalau sampai ketahuan sama orang lain kamu keluar diam-diam di tengah malam untuk tidur sama Tirta, ini pasti akan jadi berita besar!"Susanti dan Agatha memang tidak pernah akur. Keduanya sama-sama berniat untuk tidur dengan Tirta. Melihat Agatha lebih dulu menemui Tirta, tentu saja Susanti kesal."Lalu bagaimana denganmu? Memangnya kamu mau ke toilet di tengah malam begini? Dilihat dari pakaianmu yang tipis itu, kamu juga pasti mau cari Tirta untuk tidur sama-sama, 'kan? Nggak ada yang perlu kamu sembunyikan dariku!" teriak Agatha dengan kesal."Kamu dan Tirta belum nikah, kalian cuma sebatas teman sejak kecil. Kalaupun aku mau tidur sama Tirta, kamu juga nggak berhak mengaturnya!" balas Susanti yang tidak mau kalah.Melihat perdebatan kedua orang ini, Tirta juga mulai pusing. Dia buru-buru maju untuk memisahkan kedua orang itu."Kalau mau, kalian berdua sama-sama saja su
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami
Setelah berpikir sejenak, Melati membalas, "Aku juga nggak tahu di mana Bu Yanti tinggal .... Di gunung ini nggak ada sinyal. Gimana kalau nanti setelah kita turun gunung, aku telepon Arum? Dia pasti tahu di mana Bu Yanti tinggal.""Ya sudah, kita langsung turun gunung sekarang saja. Jangan pikirkan dua harimau itu lagi, seharusnya nggak akan ada masalah," jawab Tirta sambil menempatkan Yanti di kursi belakang mobil. Melati pun membantu menjaga Yanti selama perjalanan.Setelah mobil turun gunung dan mendapatkan sinyal, Melati segera menghubungi Arum melalui telepon. Suara Arum segera terdengar."Apa? Bu Yanti mau lapor ke polisi biar dua harimau itu ditangkap?""Biarkan saja kalau sudah lupa. Bu Yanti tinggal di ujung barat desa, di rumah yang ....""Oh ya, di klinik datang seorang wanita muda. Katanya, dia mau cari Tirta untuk berobat. Kak Melati, tolong sampaikan ke Tirta ya ...."Setelah mendapatkan alamat rumah Yanti dari Arum, Tirta langsung mengarahkan mobil menuju rumah tersebut
"Tirta, apa lukaku sudah bisa dibalut sekarang?" tanya Yanti. Dia akhirnya menyadari bahwa sikapnya tadi kurang wajar. Matanya menghindar, bahkan tak berani menatap Tirta secara langsung.Tirta menjawab, "Bisa, Bu Yanti. Lagian, bajumu sudah rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lebih baik dilepaskan saja. Aku akan cuci bajumu ini, lalu pakai kainnya untuk membalut lukamu.""Setelah selesai, kamu bisa pakai bajuku untuk sementara kalau nggak keberatan," ujar Tirta sambil mencuci tangannya di aliran sungai kecil."Oke, terserah kamu. Lagian, bajuku memang sudah nggak bisa dipakai lagi," jawab Yanti sambil mengangguk pelan. Dia berusaha mengatasi rasa malunya dan perlahan melepaskan pakaian tipis yang dikenakannya.Meski berat badan Yanti sekitar 55 kilogram, pinggangnya tetap terlihat ramping dan memberikan kontras tajam dengan bagian atas tubuhnya yang montok.Bahkan Tirta yang sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi, tak kuasa meliriknya sejenak sebelum akhirnya tersadar kembali.Sete
"Uhuk, uhuk. Nggak usah begitu gugup, Bu. Mungkin agak perih waktu dioleskan obat nanti. Kamu harus tahan ya," ucap Tirta untuk menenangkan Yanti. Ketika memeriksa luka itu, Tirta tak kuasa merasa takjub dengan ukuran payudara Yanti. Besar sekali!"Tirta, gimana kalau aku oles sendiri? Kalau kamu yang oles, aku ... aku malu ...." Suara Yanti terdengar lirih. Dia masih tidak berani membuka matanya. Wajah dan lehernya sampai memerah."Boleh saja. Tapi, kamu nggak bisa membalut lukamu sendiri. Aku tetap harus membantumu. Sebaiknya serahkan saja kepadaku. Kalau cepat beres, kita juga cepat turun. Langit sudah mau gelap lho," sahut Tirta sambil membersihkan tanaman obat dengan air sungai."Ya sudah, kamu saja yang bantu aku." Yanti mengiakan. Lagi pula, Tirta sudah pernah melihatnya. Jika terus menolak, dia hanya akan terkesan terlalu manja. Makanya, Yanti akhirnya membulatkan tekadnya.Setelah membersihkan tanaman obat, Tirta mencari dua buah batu bulat yang agak bersih. Setelah mencucinya
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa
"Bakal berbekas kalau infeksi? Serius? Jangan-jangan kamu cuma mau ambil keuntungan dariku? Kamu bicara begitu untuk menakutiku, 'kan?" tanya Yanti yang masih belum berbalik. Namun, dia merasa yang dikatakan Tirta masuk akal.Yanti terluka dan pakaiannya rusak. Dia pasti tidak bisa mengejar harimau lagi untuk sekarang. Dia terpaksa mengesampingkan masalah ini dulu."Kalau aku ingin ambil untung darimu, ngapain aku repot-repot ngarang kebohongan? Di sini nggak ada siapa-siapa. Aku bisa langsung menidurimu kalau memang mau!" sahut Tirta dengan pasrah."Terserah kamu saja. Pokoknya aku sudah mengingatkanmu. Mau diobati atau nggak, terserah kamu," lanjut Tirta."Kamu benaran bukan ingin ambil untung, 'kan? Kalau begitu, kamu mau gimana? Aku bakal turuti ucapanmu." Setelah ragu-ragu sejenak, Yanti akhirnya membuat keputusan. Payudara wanita sangat penting, hampir sama dengan kemaluan pria. Dia tentu tidak ingin payudaranya berbekas."Kita cari sungai yang bersih dulu untuk bersihkan lukamu.
"Tirta, aku perlu ikut nggak?" tanya Melati dengan agak panik."Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Nanti aku bawa Bu Yanti balik. Kamu tenang saja," sahut Tirta sambil mengeluarkan jarum perak di sakunya dan menunjukkannya kepada Melati."Kamu ingin membuat Bu Yanti lupa kejadian hari ini ya? Ya sudah, kamu kejar dia. Aku nggak bakal ikut supaya kamu nggak repot." Melati memahami maksud Tirta. Dia pun hanya menunggu di mobil.Tirta turun dari mobil, lalu berteriak kepada Yanti yang berlari di depan, "Bu Yanti, tunggu aku! Aku salah makan siang ini. Perutku terus mulas. Aku jadi nggak kuat lari. Jangan terlalu cepat, aku nggak bisa menyusulmu!""Kamu masih begitu muda. Seharusnya tubuhmu kuat. Kenapa malah lemas sekali? Cepat sedikit! Aku nggak lihat harimaunya lagi!" Yanti sama sekali tidak berhenti dan terus berlari. Payudaranya yang besar itu pun terus berguncang dibuatnya."Hais ...." Tirta menghela napas dengan tidak berdaya. Ketika dia memutuskan untuk tidak berpura-pura lagi dan
"Bu Yanti, kedua harimau itu nggak melukai siapa pun. Untuk apa kamu lapor polisi?"Begitu mendengarnya, Tirta menghentikan mobilnya. Kemudian, dia turun, tetapi tidak berniat membawa Yanti mencari harimau.Sepertinya, Yanti melihat kedua harimau itu waktu mereka kabur. Makanya, dia mengejar kedua harimau itu bersama Melati."Harimau sangat ganas. Mereka bisa memangsa orang. Aku melihat mereka di desa tadi! Mereka pasti mencari mangsa di bawah gunung karena nggak ada yang bisa dimakan di pegunungan!""Aku tentu harus lapor polisi supaya mereka menangkap kedua harimau itu. Kemudian, mereka akan dibawa ke pusat perlindungan satwa! Kalau ditunda, takutnya akan ada yang terluka!" jelas Yanti dengan ekspresi cemas dan napas terengah-engah.Bisa dilihat bahwa kepala desa ini sangat baik hati. Namun, dia tidak tahu bahwa kedua harimau itu adalah milik Tirta. Mereka ditugaskan untuk menjaga rumah."Kamu berpikir terlalu jauh. Mungkin mereka cuma mau jalan-jalan. Kalau tujuan mereka adalah mema
"Kak! Ka ... kamu ini ya! Karena kamu yang mulai duluan, aku nggak bakal sungkan-sungkan lagi! Waktu Tirta mengantarmu pulang hari itu, aku melihat bulu keriting di mulutmu! Cepat jujur, apa itu .... Ah!"Naura sungguh kewalahan karena ditindas Aiko. Tanpa sempat berpikir lagi, dia langsung mengungkapkan apa yang dilihatnya hari itu.Begitu mendengarnya, wajah Aiko sontak memerah. Dia buru-buru menutup mulutnya dan berteriak nyaring, "Ah! Nggak mungkin! Kamu pasti salah lihat! Kalau kamu berani bicara sembarangan, aku bakal menyiksamu mati-matian!"....Mobil akhirnya berhenti di depan klinik. Setelah turun dari mobil, Tirta membuka bagasi dan menurunkan barang belanjaan mereka. Kemudian, dia dan Arum sama-sama memasuki klinik.Sebelum Tirta meletakkan barang-barangnya, Ayu menghampiri dan berkata dengan cemas, "Tirta, Arum, akhirnya kalian pulang! Dua ekor harimau besar kabur saat Melati membuka pintu untuk mengambil barang!""Melati sedang mencari mereka! Taruh saja barang-barang kal