Pertarungan ini akhirnya berakhir untuk sementara, meskipun belum tentu semua orang bisa tidur dengan nyenyak malam itu."Tirta, kenapa masih melamun? Kamu juga cepat tidur," kata Ayu setelah melihat kedua orang itu kembali ke tempat tidur masing-masing. Sorot matanya menyiratkan sedikit kesedihan. "Aku tahu, Bibi. Aku akan tidur sekarang. Kalian juga istirahatlah lebih awal." Berhubung Agatha berada di sana, Tirta hanya bisa melemparkan tatapan penghiburan dan kembali ke mobil.....Malam yang penuh kekacauan ini akhirnya telah berlalu. Sekitar pukul enam atau tujuh keesokan paginya, Tirta menerima telepon dari Nabila."Tirta, sekitar satu atau dua jam lagi aku akan tiba di kota. Kamu bisa jemput aku sekarang. Maaf sudah membangunkanmu pagi-pagi begini. Setelah kamu datang nanti, aku akan kasih kompensasi." Suara Nabila terdengar sangat gembira."Oke, Kak Nabila. Aku siap-siap dulu untuk berangkat sekarang," jawab Tirta menyetujuinya.Setelah menutup telepon, Tirta buru-buru mandi di
"Kak Farida, jangan panik dulu. Coba ceritakan pelan-pelan apa yang terjadi. Biar kupikirkan cara untukmu," bujuk Tirta setelah merasakan kejanggalan pada suasana hati Farida."Begini, Tirta. Bos proyek ini namanya Riza, dia orang dari daerah luar. Aku dan para pekerja di bawahku mulai bekerja untuknya sejak tahun lalu ....""Sampai sekarang, Riza ini sudah menunggak pembayaran kami sebesar 10 miliar. Kemarin kami menghubungi media untuk melaporkan masalah ini, tapi Riza malah marah besar dan mengirim orang-orangnya untuk memukuli para wartawan dan pekerjaku ....""Tadi pagi, aku bawa para pekerja ke instansi terkait untuk mencari solusi, tapi ternyata orang-orang di sana bekerja sama dengan Riza. Bukannya membantu, mereka malah nuduh kami sengaja membuat keributan. Kalau kami melanjutkan protes, mereka mengancam akan menangkap kami!""Aku benar-benar nggak punya cara lain lagi. Kalau nggak, aku juga nggak akan telepon untuk minta bantuanmu," ucap Farida dengan sedih.Uang senilai 10 m
"Kenapa? Ada masalah apa?" tanya Riza sambil mengernyit."Pak Riza, perusahaan kita nggak kekurangan uang. Kenapa kamu malah memilih ngasih uang ke Pak Kangga daripada melunasi upah pekerja? Padahal jelas-jelas upah ini adalah hak mereka. Selain itu, kalau masalahnya jadi besar, nggak ada untungnya bagi perusahaan kita ...," ucap sekretaris itu dengan heran."Kamu yang bos atau aku? Memangnya aku nggak boleh nikmati sendiri uangnya kalau nggak kekurangan uang?""Lagian, bukan cuma aku seorang yang nunggak pembayaran upah! Pokoknya lakukan saja yang kuperintahkan, nggak usah banyak omong kosong! Keluar sana!" maki Riza sambil memukul mejanya.....Sekitar setengah jam kemudian, Tirta melihat papan nama bertuliskan "Grup Polar" dari kejauhan. Di depannya telah dikerumuni sekumpulan orang. Mereka adalah Farida dan 30 orang pekerja di bawahnya.Selain itu, ada juga beberapa pria tua dan muda yang mengenakan seragam sedang mengadang di pintu masuk. Kemungkinan besar, mereka adalah orang dar
Mendengar hal itu, ekspresi para pria berseragam itu langsung menjadi muram."Kalian ngomong sembarangan apaan? Bos sudah jelaskan, belakangan ini perputaran dananya nggak bagus. Jadi, dia minta kalian untuk datang menagihnya setengah tahun lagi.""Sekalipun kalian terburu-buru, tetap saja harus menunggu sampai dia punya uang, 'kan? Masalahnya, kalian nggak mau dan malah memblokir pintu masuk perusahaan. Mau gimana perusahaannya bisa berjalan? Apa tindakan kalian ini bukan buat onar namanya?""Kami nggak langsung menahan kalian saja sudah termasuk menoleransi kalian. Kalian malah marah-marah sama kami. Dasar nggak tahu diri!" bentak salah seorang pria botak.Di lencana dadanya tertulis dengan huruf kecil, "Wakil Kepala Dinas Pengelolaan Bangunan, Kangga".Tiba-tiba, terdengar suara pesan masuk di ponsel Kangga. Dia segera membalikkan badan dan melihat ponselnya. Dahinya sedikit berkedut ketika dia melihat pesan itu ... ternyata satu miliar yang dijanjikan oleh Riza sudah masuk ke reken
"Kami tahu, Pak Riza punya uang. Dua hari yang lalu kami lihat sendiri dia baru beli mobil Benz seharga 4 miliar! Kalau dia nggak punya uang, apa dia sanggup beli mobil semewah itu?" tanya seorang pekerja dengan lantang."Ya, kalau Pak Riza nggak punya uang, memangnya dia bisa beli mobil mewah?" sahut pekerja lainnya."Pak Riza pasti nggak punya uang beli mobil. Mungkin kalian salah lihat. Ada banyak orang yang punya wajah mirip di dunia ini. Sebaiknya kalian cepat pulang, jangan buat onar lagi," ucap Kangga membela Riza setelah menenangkan dirinya.Melihat Kangga yang keras kepala, emosi Tirta semakin meledak. Pada akhirnya, dia berkata dengan nada mengancam, "Pak Kangga, kutanyakan satu pertanyaan terakhir.""Kalau ada orang yang transfer satu miliar untukmu dan menyuruhmu melakukan sesuatu, apa kamu akan terima uang itu padahal jelas-jelas tahu itu hal yang melanggar hukum?" tanya Tirta."Huh! Bukannya itu omong kosong? Aku adalah orang yang jujur, tentu nggak akan terima uang itu."
"Pak Kangga, apa maksudmu ini? Setelah dapat uangnya, kamu masih belum puas?" Riza sama sekali tidak menyangka akan dimarahi oleh Kangga, sehingga nada bicaranya menjadi muram."Riza, aku nggak terima uangmu. Aku sudah pakai uang itu untuk dijadikan upah para pekerja," jawab Kangga langsung dengan lantang. "Kuperingatkan sekali lagi, segera turun ke sini dan lunasi semua upah para pekerja. Kalau nggak, aku akan suruh orang untuk menahanmu!""Oke, kamu suruh mereka tunggu di bawah," jawab Riza sambil mengernyit, lalu menutup telepon itu.Riza telah beberapa kali bekerja sama dengan Kangga dan dia tidak pernah bereaksi seperti ini sama sekali. Setelah dipikirkan sejenak, Riza bisa menebak alasannya."Sepertinya bantuan yang dicari Farida kali ini bukan orang biasa. Mungkin orang yang hebat. Kalau nggak, nggak mungkin Kangga akan mengkhianatiku. Tapi, nggak semudah itu mau mendapat uang dari tanganku!"Riza melambaikan tangannya, lalu memberi perintah pada sekretaris di belakangnya, "Ambi
"Aku juga nggak tahu. Tapi, dia punya nomor pribadi Pak Saad, sebaiknya kamu serahkan uangnya dengan patuh," bisik Kangga sambil menjauhkan diri dari Riza."Hehe, cuma nomor pribadi saja sudah buat Pak Kangga setakut ini? Sepertinya posisimu ini nggak seberapa? Bocah ini kelihatannya cuma 20-an tahun. Selain itu, dia berbaur sama orang-orang kampungan begini, mana mungkin bisa kenal sama Pak Saad?""Mungkin saja cuma kebetulan tahu nomor pribadi Pak Saad dari suatu tempat. Belum tentu ada yang jawab kalau dia benar-benar meneleponnya!" ujar Riza sambil tertawa sinis.Mendengar nada cemoohan Riza, Kangga juga merasa kesal. Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya ucapan Riza cukup masuk akal juga.Jika Tirta benar-benar kenal dengan Saad, bukankah dia sudah memanggilnya ke sini untuk menangani masalah ini? Mana mungkin dia akan repot-repot menghabiskan waktu lagi di sini?Jika kejadiannya benar-benar seperti yang dikatakan Riza bahwa Tirta hanya kebetulan mendapatkan nomor pribadi Saad,
Dokumen yang diberikannya adalah dokumen resmi. Namun, Riza menghamburkan uang untuk mengeluarkan dokumen palsu ini. Jika tidak, orang-orang pasti bisa mendeteksi kepalsuannya.Sesuai harapan, setelah para pekerja memungut dokumen itu, mereka berkumpul untuk melihat. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa dokumen ini palsu atau pernah diperbaiki. Seketika, sekelompok orang itu ketakutan hingga gemetaran. "Ini .... Kita benaran harus ganti rugi?""Seratus miliar .... Astaga, gimana kita bisa ganti rugi sebanyak ini?"Tirta tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. Dia segera bangkit dan bertanya kepada Farida, "Kak, kalau proyek gagal lolos pemeriksaan, kalian benaran harus bayar kompensasi?""Kami yang bertanggung jawab atas proyek ini. Kalau nggak lolos pemeriksaan, gaji kami bakal ditahan atau kami harus ganti rugi. Tapi, kami bekerja sesuai dengan sketsa yang diberikan. Nggak ada kesalahan apa pun. Bahan juga disediakan oleh Riza.""Secara logika, kami nggak mungkin gagal dalam pemeri
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka