"Aku juga nggak tahu. Tapi, dia punya nomor pribadi Pak Saad, sebaiknya kamu serahkan uangnya dengan patuh," bisik Kangga sambil menjauhkan diri dari Riza."Hehe, cuma nomor pribadi saja sudah buat Pak Kangga setakut ini? Sepertinya posisimu ini nggak seberapa? Bocah ini kelihatannya cuma 20-an tahun. Selain itu, dia berbaur sama orang-orang kampungan begini, mana mungkin bisa kenal sama Pak Saad?""Mungkin saja cuma kebetulan tahu nomor pribadi Pak Saad dari suatu tempat. Belum tentu ada yang jawab kalau dia benar-benar meneleponnya!" ujar Riza sambil tertawa sinis.Mendengar nada cemoohan Riza, Kangga juga merasa kesal. Namun, setelah dipikir-pikir, sepertinya ucapan Riza cukup masuk akal juga.Jika Tirta benar-benar kenal dengan Saad, bukankah dia sudah memanggilnya ke sini untuk menangani masalah ini? Mana mungkin dia akan repot-repot menghabiskan waktu lagi di sini?Jika kejadiannya benar-benar seperti yang dikatakan Riza bahwa Tirta hanya kebetulan mendapatkan nomor pribadi Saad,
Dokumen yang diberikannya adalah dokumen resmi. Namun, Riza menghamburkan uang untuk mengeluarkan dokumen palsu ini. Jika tidak, orang-orang pasti bisa mendeteksi kepalsuannya.Sesuai harapan, setelah para pekerja memungut dokumen itu, mereka berkumpul untuk melihat. Namun, tidak ada tanda-tanda bahwa dokumen ini palsu atau pernah diperbaiki. Seketika, sekelompok orang itu ketakutan hingga gemetaran. "Ini .... Kita benaran harus ganti rugi?""Seratus miliar .... Astaga, gimana kita bisa ganti rugi sebanyak ini?"Tirta tidak menduga hal seperti ini akan terjadi. Dia segera bangkit dan bertanya kepada Farida, "Kak, kalau proyek gagal lolos pemeriksaan, kalian benaran harus bayar kompensasi?""Kami yang bertanggung jawab atas proyek ini. Kalau nggak lolos pemeriksaan, gaji kami bakal ditahan atau kami harus ganti rugi. Tapi, kami bekerja sesuai dengan sketsa yang diberikan. Nggak ada kesalahan apa pun. Bahan juga disediakan oleh Riza.""Secara logika, kami nggak mungkin gagal dalam pemeri
Kangga juga mengira Tirta hanya bicara omong kosong. Tirta pasti hanya menipu mereka supaya pengujian dilakukan ulang. Namun, Riza tidak mungkin menyetujuinya."Begini saja, aku telepon seseorang dulu. Kamu tunggu sebentar." Tanpa memberi Riza kesempatan untuk berbicara, Tirta sudah menghubungi nomor Irene."Kak Irene, aku lagi butuh uang. Tolong transfer sedikit ke nomor rekening yang kukirim. Nanti baru kujelaskan," ucap Tirta.Tirta menitipkan beberapa triliun uangnya di tempat Irene. Irene hanya membutuhkan beberapa menit untuk mentransfer 100 miliar ke rekening Tirta.Setelah panggilan berakhir, Tirta menunggu dengan sabar. Farida menatap Tirta dengan tatapan rumit dan berkaca-kaca, "Tirta, kamu benaran menyuruh Bu Irene mentransfer uang? Kamu sudah banyak membantuku. Gimana aku bisa membayarmu uang sebanyak ini?""Nggak apa-apa, Kak. Seratus miliar cuma uang kecil bagiku. Nggak usah sungkan," timpal Tirta sambil mengedikkan bahunya dengan tidak acuh."Bocah ini pintar sekali bers
Tirta mengira awalnya Riza hanya menyuap Kangga, makanya tidak ingin merepotkan Saad dan ingin mengatasinya sendiri.Namun, setelah mengetahui Riza juga menyuap orang-orang dari departemen pengujian, Tirta terpaksa memanggil Saad. Bagaimanapun, sekelompok orang ini berada di bawah yurisdiksi Saad.Selain itu, jika Saad turun tangan, mereka tidak perlu menghabiskan terlalu banyak energi. Riza, Kangga, dan orang departemen pengujian tidak mungkin berani macam-macam. Gaji para bawahan Farida juga akan dibayar.Setelah membuat keputusan, Tirta langsung menelepon Saad dan menceritakan semuanya secara singkat. "Pak Saad, maaf sekali. Aku lagi-lagi merepotkanmu."Tirta merasa agak malu. Bagaimanapun, Saad adalah wali kota yang bermartabat. Namun, Saad malah terus membantu Tirta layaknya seorang pengasuh pribadi."Kenapa bicara sesungkan ini, Tirta?" Saad merasa kurang puas mendengarnya. "Kita ini teman. Kamu yang menyelamatkanku. Sudah seharusnya aku membantumu. Apalagi, uang yang kamu titipk
Setelah masuk, Riza langsung menghubungi Kepala Departemen Pengujian, Bagas. "Pak Bagas, ini aku, Riza.""Oh, rupanya Pak Riza. Aku lagi berendam dengan teman-temanku. Ada urusan apa? Katakan saja. Kalau nggak penting, aku tutup telepon," sahut Bagas dengan tidak sabar.Sebenarnya, Bagas sedang bersama wanita barunya. Dia ingin mengobrol dan mengenal wanita itu lebih dalam, tetapi malah diganggu Riza. Wajar kalau dia merasa kesal."Begitu ya. Sebelumnya aku mencarimu untuk membuat dokumen palsu, 'kan? Sekarang orang yang mengerjakan proyek merasa ada yang aneh dengan dokumennya. Dia ingin memintamu melakukan pengujian ulang.""Aku menyetujuinya. Tentunya, aku nggak bakal membuatmu bekerja sia-sia. Kamu cuma perlu bicara dengan mereka dan menunjuk beberapa tempat yang nggak sesuai kualifikasi. Aku bisa memberimu 4 miliar, oh, enam miliar deh. Gimana?" tawar Riza tanpa marah sedikit pun.Hanya dengan bicara sedikit, Bagas bisa mendapat 6 miliar. Riza yakin Bagas tidak akan menolaknya. Se
Di depan pintu perusahaan, Tirta mulai merasa bosan karena terus menunggu. Dia pun mengobrol dengan Nabila.Nabila sudah tidak bertemu Tirta selama tujuh hingga delapan hari. Tentu ada banyak hal yang ingin dibicarakannya. Ketika mengobrol, Nabila tiba-tiba mengungkit tentang Pil Kecantikan. Katanya itu adalah produk yang sangat terkenal sekarang. Harganya pun sangat mahal dan sulit didapat."Kak, kamu sudah tahu tentang Pil Kecantikan ya?" tanya Tirta dengan agak terkejut. Bagaimanapun, ketika Pil Kecantikan diluncurkan, Nabila sedang berada di luar kota. Sepertinya seluruh orang di dalam negeri akan segera tahu tentang Pil Kecantikan."Mana mungkin aku nggak tahu soal produk ajaib itu. Saat kakak sepupuku menikah, dia mempersembahkan sebutir Pil Kecantikan di hadapan semua keluarga. Kulit istrinya awalnya agak hitam. Wajahnya juga punya bekas jerawat. Tapi, setelah makan Pil Kecantikan, dia jadi makin cantik!"Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian ini. Namun, ketika mengungkitny
Riza sudah tidak sabar! Bagaimanapun, setelah pengujian berakhir, uang itu akan benar-benar menjadi miliknya!Akan tetapi, Tirta malah melambaikan tangan sambil menyahut dengan tidak acuh, "Nggak usah terburu-buru. Kita tunggu seseorang. Setelah orang itu sampai, kita baru pergi.""Pak Bagas sudah di sana. Kamu mau tunggu siapa lagi? Cepat sedikit, jangan buang-buang waktu. Jangan sampai Pak Bagas tunggu kelamaan," desak Riza mengernyit dengan tidak sabar."Suruh dia tunggu sebentar. Mau dia sesibuk apa, tetap suruh dia tunggu," ucap Tirta dengan nada datar, menunjukkan ketidakpeduliannya."Kurang ajar! Kamu kira kami nggak punya kesibukan? Kalau kamu masih buang-buang waktu, kita batalkan saja pengujian ulangnya!" bentak Riza yang benar-benar kehilangan kesabarannya.Kangga awalnya juga ingin mendesak Tirta, tetapi dia tiba-tiba dikejutkan oleh kemunculan belasan mobil Audi hitam. "Pak Riza, lihat. Bukannya mobil paling depan itu mobil Pak Saad?"Seketika, Kangga merasa sangat panik.
Jika Tirta mengatakan akan ikut ke lokasi konstruksi sebelum Saad datang, Riza dan Kangga tentu akan merasa senang. Bagaimanapun, uang 100 miliar itu akan benar-benar menjadi milik mereka.Namun, sekarang Saad sampai datang karena masalah ini. Siapa yang berani berbohong di hadapan Saad? Kalau memungkinkan, mereka sudah memohon kepada Tirta untuk tidak mengajak Saad ke lokasi konstruksi.Ini jelas sesuatu yang tidak mungkin! Karena Saad menatap keduanya dengan ekspresi galak sambil menyetujui perkataan Tirta, "Oke, aku ikut. Aku ingin lihat, apa yang membuat proyek ini gagal lolos pengujian. Kalau ada yang berani bermain tipu muslihat, aku nggak bakal mengampuninya!"Kalimat terakhir dilontarkan Saad dengan tegas. Ini seperti palu yang menghantam hati Kangga dan Riza. Mereka tidak mungkin sanggup menanggung akibatnya setelah ketahuan berbohong! Kaki keduanya pun terasa makin lemas!"Hei, kenapa diam saja? Bukannya kalian sangat terburu-buru tadi? Cepat bawa jalan!" desak Nabila setelah
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami
Setelah berpikir sejenak, Melati membalas, "Aku juga nggak tahu di mana Bu Yanti tinggal .... Di gunung ini nggak ada sinyal. Gimana kalau nanti setelah kita turun gunung, aku telepon Arum? Dia pasti tahu di mana Bu Yanti tinggal.""Ya sudah, kita langsung turun gunung sekarang saja. Jangan pikirkan dua harimau itu lagi, seharusnya nggak akan ada masalah," jawab Tirta sambil menempatkan Yanti di kursi belakang mobil. Melati pun membantu menjaga Yanti selama perjalanan.Setelah mobil turun gunung dan mendapatkan sinyal, Melati segera menghubungi Arum melalui telepon. Suara Arum segera terdengar."Apa? Bu Yanti mau lapor ke polisi biar dua harimau itu ditangkap?""Biarkan saja kalau sudah lupa. Bu Yanti tinggal di ujung barat desa, di rumah yang ....""Oh ya, di klinik datang seorang wanita muda. Katanya, dia mau cari Tirta untuk berobat. Kak Melati, tolong sampaikan ke Tirta ya ...."Setelah mendapatkan alamat rumah Yanti dari Arum, Tirta langsung mengarahkan mobil menuju rumah tersebut
"Tirta, apa lukaku sudah bisa dibalut sekarang?" tanya Yanti. Dia akhirnya menyadari bahwa sikapnya tadi kurang wajar. Matanya menghindar, bahkan tak berani menatap Tirta secara langsung.Tirta menjawab, "Bisa, Bu Yanti. Lagian, bajumu sudah rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lebih baik dilepaskan saja. Aku akan cuci bajumu ini, lalu pakai kainnya untuk membalut lukamu.""Setelah selesai, kamu bisa pakai bajuku untuk sementara kalau nggak keberatan," ujar Tirta sambil mencuci tangannya di aliran sungai kecil."Oke, terserah kamu. Lagian, bajuku memang sudah nggak bisa dipakai lagi," jawab Yanti sambil mengangguk pelan. Dia berusaha mengatasi rasa malunya dan perlahan melepaskan pakaian tipis yang dikenakannya.Meski berat badan Yanti sekitar 55 kilogram, pinggangnya tetap terlihat ramping dan memberikan kontras tajam dengan bagian atas tubuhnya yang montok.Bahkan Tirta yang sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi, tak kuasa meliriknya sejenak sebelum akhirnya tersadar kembali.Sete
"Uhuk, uhuk. Nggak usah begitu gugup, Bu. Mungkin agak perih waktu dioleskan obat nanti. Kamu harus tahan ya," ucap Tirta untuk menenangkan Yanti. Ketika memeriksa luka itu, Tirta tak kuasa merasa takjub dengan ukuran payudara Yanti. Besar sekali!"Tirta, gimana kalau aku oles sendiri? Kalau kamu yang oles, aku ... aku malu ...." Suara Yanti terdengar lirih. Dia masih tidak berani membuka matanya. Wajah dan lehernya sampai memerah."Boleh saja. Tapi, kamu nggak bisa membalut lukamu sendiri. Aku tetap harus membantumu. Sebaiknya serahkan saja kepadaku. Kalau cepat beres, kita juga cepat turun. Langit sudah mau gelap lho," sahut Tirta sambil membersihkan tanaman obat dengan air sungai."Ya sudah, kamu saja yang bantu aku." Yanti mengiakan. Lagi pula, Tirta sudah pernah melihatnya. Jika terus menolak, dia hanya akan terkesan terlalu manja. Makanya, Yanti akhirnya membulatkan tekadnya.Setelah membersihkan tanaman obat, Tirta mencari dua buah batu bulat yang agak bersih. Setelah mencucinya
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa
"Bakal berbekas kalau infeksi? Serius? Jangan-jangan kamu cuma mau ambil keuntungan dariku? Kamu bicara begitu untuk menakutiku, 'kan?" tanya Yanti yang masih belum berbalik. Namun, dia merasa yang dikatakan Tirta masuk akal.Yanti terluka dan pakaiannya rusak. Dia pasti tidak bisa mengejar harimau lagi untuk sekarang. Dia terpaksa mengesampingkan masalah ini dulu."Kalau aku ingin ambil untung darimu, ngapain aku repot-repot ngarang kebohongan? Di sini nggak ada siapa-siapa. Aku bisa langsung menidurimu kalau memang mau!" sahut Tirta dengan pasrah."Terserah kamu saja. Pokoknya aku sudah mengingatkanmu. Mau diobati atau nggak, terserah kamu," lanjut Tirta."Kamu benaran bukan ingin ambil untung, 'kan? Kalau begitu, kamu mau gimana? Aku bakal turuti ucapanmu." Setelah ragu-ragu sejenak, Yanti akhirnya membuat keputusan. Payudara wanita sangat penting, hampir sama dengan kemaluan pria. Dia tentu tidak ingin payudaranya berbekas."Kita cari sungai yang bersih dulu untuk bersihkan lukamu.
"Tirta, aku perlu ikut nggak?" tanya Melati dengan agak panik."Nggak usah, Kak. Aku bisa sendiri. Nanti aku bawa Bu Yanti balik. Kamu tenang saja," sahut Tirta sambil mengeluarkan jarum perak di sakunya dan menunjukkannya kepada Melati."Kamu ingin membuat Bu Yanti lupa kejadian hari ini ya? Ya sudah, kamu kejar dia. Aku nggak bakal ikut supaya kamu nggak repot." Melati memahami maksud Tirta. Dia pun hanya menunggu di mobil.Tirta turun dari mobil, lalu berteriak kepada Yanti yang berlari di depan, "Bu Yanti, tunggu aku! Aku salah makan siang ini. Perutku terus mulas. Aku jadi nggak kuat lari. Jangan terlalu cepat, aku nggak bisa menyusulmu!""Kamu masih begitu muda. Seharusnya tubuhmu kuat. Kenapa malah lemas sekali? Cepat sedikit! Aku nggak lihat harimaunya lagi!" Yanti sama sekali tidak berhenti dan terus berlari. Payudaranya yang besar itu pun terus berguncang dibuatnya."Hais ...." Tirta menghela napas dengan tidak berdaya. Ketika dia memutuskan untuk tidak berpura-pura lagi dan
"Bu Yanti, kedua harimau itu nggak melukai siapa pun. Untuk apa kamu lapor polisi?"Begitu mendengarnya, Tirta menghentikan mobilnya. Kemudian, dia turun, tetapi tidak berniat membawa Yanti mencari harimau.Sepertinya, Yanti melihat kedua harimau itu waktu mereka kabur. Makanya, dia mengejar kedua harimau itu bersama Melati."Harimau sangat ganas. Mereka bisa memangsa orang. Aku melihat mereka di desa tadi! Mereka pasti mencari mangsa di bawah gunung karena nggak ada yang bisa dimakan di pegunungan!""Aku tentu harus lapor polisi supaya mereka menangkap kedua harimau itu. Kemudian, mereka akan dibawa ke pusat perlindungan satwa! Kalau ditunda, takutnya akan ada yang terluka!" jelas Yanti dengan ekspresi cemas dan napas terengah-engah.Bisa dilihat bahwa kepala desa ini sangat baik hati. Namun, dia tidak tahu bahwa kedua harimau itu adalah milik Tirta. Mereka ditugaskan untuk menjaga rumah."Kamu berpikir terlalu jauh. Mungkin mereka cuma mau jalan-jalan. Kalau tujuan mereka adalah mema
"Kak! Ka ... kamu ini ya! Karena kamu yang mulai duluan, aku nggak bakal sungkan-sungkan lagi! Waktu Tirta mengantarmu pulang hari itu, aku melihat bulu keriting di mulutmu! Cepat jujur, apa itu .... Ah!"Naura sungguh kewalahan karena ditindas Aiko. Tanpa sempat berpikir lagi, dia langsung mengungkapkan apa yang dilihatnya hari itu.Begitu mendengarnya, wajah Aiko sontak memerah. Dia buru-buru menutup mulutnya dan berteriak nyaring, "Ah! Nggak mungkin! Kamu pasti salah lihat! Kalau kamu berani bicara sembarangan, aku bakal menyiksamu mati-matian!"....Mobil akhirnya berhenti di depan klinik. Setelah turun dari mobil, Tirta membuka bagasi dan menurunkan barang belanjaan mereka. Kemudian, dia dan Arum sama-sama memasuki klinik.Sebelum Tirta meletakkan barang-barangnya, Ayu menghampiri dan berkata dengan cemas, "Tirta, Arum, akhirnya kalian pulang! Dua ekor harimau besar kabur saat Melati membuka pintu untuk mengambil barang!""Melati sedang mencari mereka! Taruh saja barang-barang kal