Di depan pintu perusahaan, Tirta mulai merasa bosan karena terus menunggu. Dia pun mengobrol dengan Nabila.Nabila sudah tidak bertemu Tirta selama tujuh hingga delapan hari. Tentu ada banyak hal yang ingin dibicarakannya. Ketika mengobrol, Nabila tiba-tiba mengungkit tentang Pil Kecantikan. Katanya itu adalah produk yang sangat terkenal sekarang. Harganya pun sangat mahal dan sulit didapat."Kak, kamu sudah tahu tentang Pil Kecantikan ya?" tanya Tirta dengan agak terkejut. Bagaimanapun, ketika Pil Kecantikan diluncurkan, Nabila sedang berada di luar kota. Sepertinya seluruh orang di dalam negeri akan segera tahu tentang Pil Kecantikan."Mana mungkin aku nggak tahu soal produk ajaib itu. Saat kakak sepupuku menikah, dia mempersembahkan sebutir Pil Kecantikan di hadapan semua keluarga. Kulit istrinya awalnya agak hitam. Wajahnya juga punya bekas jerawat. Tapi, setelah makan Pil Kecantikan, dia jadi makin cantik!"Beberapa hari telah berlalu sejak kejadian ini. Namun, ketika mengungkitny
Riza sudah tidak sabar! Bagaimanapun, setelah pengujian berakhir, uang itu akan benar-benar menjadi miliknya!Akan tetapi, Tirta malah melambaikan tangan sambil menyahut dengan tidak acuh, "Nggak usah terburu-buru. Kita tunggu seseorang. Setelah orang itu sampai, kita baru pergi.""Pak Bagas sudah di sana. Kamu mau tunggu siapa lagi? Cepat sedikit, jangan buang-buang waktu. Jangan sampai Pak Bagas tunggu kelamaan," desak Riza mengernyit dengan tidak sabar."Suruh dia tunggu sebentar. Mau dia sesibuk apa, tetap suruh dia tunggu," ucap Tirta dengan nada datar, menunjukkan ketidakpeduliannya."Kurang ajar! Kamu kira kami nggak punya kesibukan? Kalau kamu masih buang-buang waktu, kita batalkan saja pengujian ulangnya!" bentak Riza yang benar-benar kehilangan kesabarannya.Kangga awalnya juga ingin mendesak Tirta, tetapi dia tiba-tiba dikejutkan oleh kemunculan belasan mobil Audi hitam. "Pak Riza, lihat. Bukannya mobil paling depan itu mobil Pak Saad?"Seketika, Kangga merasa sangat panik.
Jika Tirta mengatakan akan ikut ke lokasi konstruksi sebelum Saad datang, Riza dan Kangga tentu akan merasa senang. Bagaimanapun, uang 100 miliar itu akan benar-benar menjadi milik mereka.Namun, sekarang Saad sampai datang karena masalah ini. Siapa yang berani berbohong di hadapan Saad? Kalau memungkinkan, mereka sudah memohon kepada Tirta untuk tidak mengajak Saad ke lokasi konstruksi.Ini jelas sesuatu yang tidak mungkin! Karena Saad menatap keduanya dengan ekspresi galak sambil menyetujui perkataan Tirta, "Oke, aku ikut. Aku ingin lihat, apa yang membuat proyek ini gagal lolos pengujian. Kalau ada yang berani bermain tipu muslihat, aku nggak bakal mengampuninya!"Kalimat terakhir dilontarkan Saad dengan tegas. Ini seperti palu yang menghantam hati Kangga dan Riza. Mereka tidak mungkin sanggup menanggung akibatnya setelah ketahuan berbohong! Kaki keduanya pun terasa makin lemas!"Hei, kenapa diam saja? Bukannya kalian sangat terburu-buru tadi? Cepat bawa jalan!" desak Nabila setelah
Saat ini, Bagas sedang menikmati pijatan wanita cantik sambil memikirkan cara menghabiskan 6 miliar yang akan segera didapatkannya.'Apa aku harus mencari mahasiswi lagi? Nggak, nggak. Aku sudah mulai bosan. Lebih baik cari istri orang. Wanita dewasa seperti ini serbabisa. Oke, aku bakal goda istri orang dengan uang ini,' batin Bagas.Setelah membuat keputusan, Bagas menjadi tidak sabar. Dia melirik ke arah jalanan, tetapi tidak melihat jejak Riza. "Kalian tunggu di sini. Kalau ada masalah, telepon saja aku. Yenny, kamu ikut aku."Bagas menjilat bibirnya, lalu merangkul seorang wanita cantik bertubuh seksi sambil berjalan masuk ke gedung. Yang ingin dilakukan Bagas sudah sangat jelas."Pak Bagas, kamu yakin mau melakukannya di sini? Nanti ada yang mau kemari, 'kan?" Wanita bernama Yenny terlihat menolak. Padahal, dia sudah bersandar di pelukan Bagas sejak tadi."Di sini sejuk dan lingkungannya bagus. Kenapa nggak? Aku merasa sangat seru. Ayolah, kita belum pernah main di tempat seperti
"Ugh ... Pak Bagas, hari ini ... kamu hebat sekali ...." Terdengar suara wanita yang menggoda. Jelas, itu adalah suara Yenny."Tentu saja .... Asal kamu tahu, setelah pengujian selesai, aku bakal dapat 6 miliar tanpa perlu susah payah .... Aku senang sekali, makanya aku sangat bersemangat!" Bagas memberi tahu Yenny semua karena suasana hatinya terlalu baik."Serius? Kamu ... memang hebat. Enam miliar bukan uang kecil. Um ... tapi, bukannya bangunan ini sudah lolos? Kenapa diuji lagi?" tanya Yenny dengan heran."Biarkan saja. Aku juga nggak tahu. Pokoknya aku harus menunjuk bagian yang nggak sesuai standar. Kemudian, aku bakal dapat uang!" Napas Bagas terdengar terengah-engah.Bagas tentu tidak tahu Saad dan lainnya mendengar semuanya dengan jelas. Seketika, ekspresi Saad menjadi makin dingin. Siapa pun bisa merasakan amarahnya."Ternyata bangunan ini sudah lolos pengujian. Riza, kamu nggak tahu malu sekali. Beraninya kamu menipu kami dengan dokumen palsu!" bentak Farida. Begitu mendeng
"Kenapa nggak mengabariku? Aku bisa menyambutmu kalau tahu kamu bakal datang," ujar Bagas."Bukannya kamu sangat sibuk? Sibuk menerima suap dan bermain wanita. Mana mungkin aku berani merepotkanmu," sindir Saad tersenyum tipis."Pak Saad, aku ...." Setelah mendengarnya, Bagas melirik Riza dan Kangga yang berwajah suram. Dia sontak mengumpat dalam hati, 'Berengsek! Kenapa nggak mengabariku kalau ada Pak Saad?'Ketika melihat ekspresi gusar Saad, Bagas tentu tahu ucapannya tadi didengar oleh Saad. Dia hendak menjelaskan, tetapi Saad tiba-tiba menyela, "Sudah! Aku nggak mau dengar omong kosong kalian!""Kalian berdua membantu Riza melawan Tirta. Kejahatan kalian nggak bisa diampuni. Cepat kemasi barang-barang kalian dan jangan pernah menampakkan diri lagi. Sebelum aku menyuruh orang menyelidiki, sebaiknya kalian kembalikan semua dana yang kalian gelapkan. Kalau nggak, kalian bakal mendekam di penjara untuk seumur hidup!" bentak Saad.Begitu mendengarnya, Kangga dan Bagas langsung menyesal
Farida menatap Tirta dan Saad dengan tatapan penuh terima kasih. "Tirta, Pak Saad, terima kasih banyak atas bantuan kalian. Kalau ada kesempatan, aku pasti akan traktir kalian makan.""Benar. Tirta, Pak Saad, kalau nggak ada kalian, gaji kami nggak bakal cair!""Kalian tentukan waktunya saja. Kami bakal traktir kalian makan!"Para pekerja maju dan berkata dengan penuh semangat."Haha. Nggak perlu mentraktirku. Traktir saja Tirta," tolak Saad sambil tertawa.Ketika mendengar penolakan Saad, Farida dan lainnya pun tidak berani memaksa karena tahu Saad sangat sibuk. Namun, mereka tetap mengajak Tirta dengan penuh semangat."Ya sudah, lihat lusa nanti. Kalau ada waktu, aku bakal makan bersama kalian." Lantaran tidak punya pilihan lain, Tirta pun menyetujuinya."Hore! Karena masalah ini sudah beres, kita bisa pergi bersenang-senang." Nabila bersorak dengan gembira. "Tirta, bukannya kamu bilang mau membawaku beli Pil Kecantikan? Ayo, kita pergi."Tirta dan Agatha bertatapan sambil tersenyum.
"Tirta cuma ingin memberimu kejutan. Sekarang Pil Kecantikan sudah habis. Aku buatkan khusus untukmu dulu. Ayo, kita masuk," ucap Agatha sambil tersenyum kepada Nabila."Serius? Terima kasih banyak, Agatha. Oke, oke. Kita masuk." Nabila merangkul Agatha, menariknya masuk dengan senang. Dia tidak lupa menoleh memanggil Tirta, "Tirta, yang cepat sedikit!""Kenapa diam saja? Cepat masuk. Pil Kecantikan sangat populer. Aku juga mau coba. Aku penasaran dengan hasilnya," desak Betari yang menarik Agus dengan tidak sabar."Bu Agatha, akhirnya kamu kembali!""Eh, Pak Tirta, rupanya kamu juga datang!""Pak Tirta, Bu Agatha!"Setelah sekelompok orang itu masuk, para pemegang saham langsung mengelilingi dan menyapa. Mereka cukup terkejut melihat Tirta dan Agatha masuk bersama."Aneh. Tirta, kenapa mereka lebih ramah padamu daripada pada Agatha?" Nabila merasa bingung."Mungkin karena mereka merasa aku ganteng." Tirta mengelus dagunya sambil bercanda."Ya. Pak Tirta bukan cuma ganteng, tapi juga g
Tirta menyalakan mobil dan mengantar Nia meninggalkan klinik."Wah, ini mobil Mercedes Maybach ya? Aku dengar harganya bisa sampai beberapa miliar. Tirta, aku benar-benar nggak sangka, ternyata kamu ini orang kaya yang diam-diam menyembunyikan kekayaanmu!" seru Nia dengan kagum sambil duduk di kursi belakang.Tirta membalas sambil tersenyum, "Aku bukan orang kaya seperti yang kamu bayangkan. Tapi kalau kamu bekerja dengan baik dan nanti kebun buah kita berkembang besar, kamu juga bisa beli mobil seperti ini."Nia menjulurkan lidahnya sambil membalas, "Benarkah? Kamu ini benar-benar jago bercanda. Bisa duduk di mobil seperti ini saja, aku sudah merasa cukup puas. Sepertinya, seumur hidupku aku nggak akan mampu membeli mobil seperti ini.""Jangan terlalu pesimis. Apa pun bisa terjadi kalau kita berusaha," jawab Tirta santai, lalu tidak melanjutkan pembicaraan.....Sementara itu, Arum baru saja tiba di rumah Yanti. Sebelum sempat mengucapkan apa pun, Yanti langsung menariknya ke kamar da
"Tentu. Kalau punya waktu luang, aku juga bisa bantu kalian mengelola kebun buah. Mungkin aku bisa cari beberapa pekerja. Kalian cukup mengawasi mereka saja," ucap Tirta sambil tersenyum.Nia menambahkan dengan nada santai, "Benar. Lagian, kalian semua wanita-wanita cantik dan anggun. Pekerjaan berat seperti itu nggak perlu kalian lakukan sendiri."Komentarnya membuat Ayu dan Melati tertawa. Salah satu dari mereka berujar, "Aduh, dia benar-benar pintar omong!""Aku rasa, nggak perlu cari pekerja," tanggap Arum yang baru saja datang sambil membawa dua piring lauk terakhir. Dia melanjutkan, "Kami bertiga terlalu sering menganggur, sampai hampir sakit karena bosan. Melakukan sedikit pekerjaan fisik juga bagus untuk melatih tubuh.""Tapi, ada syaratnya ya. Kami harus jadi orang pertama yang mencicipi buah-buahan yang matang nanti!" tambah Arum sambil bercanda."Tentu saja itu bukan masalah!" balas Nia sambil tertawa lepas. Dia memang memiliki kepribadian yang ceria dan mudah akrab. Dalam w
Pada akhirnya, Nia hanya bisa tersenyum pahit tanpa daya. Setelah berpikir sejenak, Tirta berucap, "Masalahnya cuma ini? Ayahmu terlalu pilih kasih pada anak laki-laki.""Kak Nia, kalau kamu benaran yakin bisa mengelola kebun buah dengan baik, aku bisa keluarkan uangnya untuk modal. Kita kerja sama saja. Di Desa Persik, masih banyak tanah kosong. Untuk menyewanya juga nggak terlalu mahal," lanjut Tirta.Sebenarnya, Tirta punya pemikiran praktis. Jika ada kebun buah di dekat Desa Persik, nanti Ayu dan yang lainnya tidak perlu repot-repot pergi ke kota kecil untuk membeli buah. Ini bisa sangat memudahkan.Nia ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, "Ide itu sih bagus. Masalahnya kalau untung nanti, gimana kita bagi hasilnya?""Aku cuma mau jadi investor yang lepas tangan. Kalau ada untung, kamu ambil bagian terbesar. Aku cuma minta sedikit saja. Selain itu kalau nggak ada kesibukan, aku mau bawa bibiku dan yang lainnya ke kebun untuk makan buah segar. Itu saja sudah cukup," jawab Tirta d
Tirta bertanya dengan nada terkejut, "Waktu kecil aku menepuk pantatmu? Serius? Kok aku nggak ingat sama sekali?"Nia membalas, "Tentu saja kamu nggak ingat. Waktu itu, kamu baru 3 atau 4 tahun. Kamu masih pakai celana berlubang pula. Aku lebih tua sedikit darimu, jadi masih ingat kejadian itu.""Kalau dipikir-pikir, kita ini sebenarnya sudah kenal dari lama, 'kan?" jelas Nia yang menutup mulutnya sambil tertawa geli. Dada putihnya sedikit bergetar."Uhuk, uhuk ...." Tirta berdeham, lalu menggaruk kepalanya dengan sedikit canggung.Tirta melanjutkan, "Sepertinya memang ada kejadian seperti itu. Waktu kecil, aku suka nggak tahu aturan. Hampir semua anak perempuan yang datang ke klinik untuk suntik, pasti pernah aku tepuk pantatnya. Gara-gara kebiasaan buruk itu, aku sering kena marah dan dipukul orang tuaku.""Wajar saja kamu kena pukul. Oh ya, orang tuamu di mana sekarang? Kok aku nggak melihat mereka?" tanya Nia. Dia menghentikan tawanya dan terlihat sedikit serius."Orang tuaku menin
Tirta tetap menunjukkan ekspresi tenang dan santai ketika berucap, "Lagian kalau kamu tetap di luar, aku juga nggak bisa mengobatimu. Lebih baik kita masuk bareng.""Itu memang harimau, aku nggak mungkin salah lihat ...." Nia bersikeras dengan pendapatnya. Namun, dia tahu bahwa menerima perawatan Tirta di luar bukanlah pilihan. Jadi meskipun dengan hati berat, dia mengikuti Tirta dan Melati masuk ke dalam klinik.Ketika mereka masuk, Ayu keluar dari dapur karena mendengar suara mereka. Dia bertanya, "Tirta, mana bajumu? Wanita ini sudah aku suruh masuk dari tadi, tapi dia tetap nggak mau. Dia datang untuk mengobati penyakit apa sih? Apa Bibi perlu membantumu nanti?"Mendengar ucapan Ayu, wajah Nia langsung memerah. Jelas sekali dia tidak ingin orang lain tahu bahwa dia mencari Tirta untuk mengobati dadanya."Bajunya kotor, jadi aku buang. Nia cuma ada masalah kecil kok. Nggak perlu bantuan, Bibi. Aku bisa menyelesaikannya sendiri," jawab Tirta sambil menggeleng. Pria itu bisa memahami
Setelah berpikir sejenak, Melati membalas, "Aku juga nggak tahu di mana Bu Yanti tinggal .... Di gunung ini nggak ada sinyal. Gimana kalau nanti setelah kita turun gunung, aku telepon Arum? Dia pasti tahu di mana Bu Yanti tinggal.""Ya sudah, kita langsung turun gunung sekarang saja. Jangan pikirkan dua harimau itu lagi, seharusnya nggak akan ada masalah," jawab Tirta sambil menempatkan Yanti di kursi belakang mobil. Melati pun membantu menjaga Yanti selama perjalanan.Setelah mobil turun gunung dan mendapatkan sinyal, Melati segera menghubungi Arum melalui telepon. Suara Arum segera terdengar."Apa? Bu Yanti mau lapor ke polisi biar dua harimau itu ditangkap?""Biarkan saja kalau sudah lupa. Bu Yanti tinggal di ujung barat desa, di rumah yang ....""Oh ya, di klinik datang seorang wanita muda. Katanya, dia mau cari Tirta untuk berobat. Kak Melati, tolong sampaikan ke Tirta ya ...."Setelah mendapatkan alamat rumah Yanti dari Arum, Tirta langsung mengarahkan mobil menuju rumah tersebut
"Tirta, apa lukaku sudah bisa dibalut sekarang?" tanya Yanti. Dia akhirnya menyadari bahwa sikapnya tadi kurang wajar. Matanya menghindar, bahkan tak berani menatap Tirta secara langsung.Tirta menjawab, "Bisa, Bu Yanti. Lagian, bajumu sudah rusak dan nggak bisa dipakai lagi. Lebih baik dilepaskan saja. Aku akan cuci bajumu ini, lalu pakai kainnya untuk membalut lukamu.""Setelah selesai, kamu bisa pakai bajuku untuk sementara kalau nggak keberatan," ujar Tirta sambil mencuci tangannya di aliran sungai kecil."Oke, terserah kamu. Lagian, bajuku memang sudah nggak bisa dipakai lagi," jawab Yanti sambil mengangguk pelan. Dia berusaha mengatasi rasa malunya dan perlahan melepaskan pakaian tipis yang dikenakannya.Meski berat badan Yanti sekitar 55 kilogram, pinggangnya tetap terlihat ramping dan memberikan kontras tajam dengan bagian atas tubuhnya yang montok.Bahkan Tirta yang sudah terbiasa menghadapi berbagai situasi, tak kuasa meliriknya sejenak sebelum akhirnya tersadar kembali.Sete
"Uhuk, uhuk. Nggak usah begitu gugup, Bu. Mungkin agak perih waktu dioleskan obat nanti. Kamu harus tahan ya," ucap Tirta untuk menenangkan Yanti. Ketika memeriksa luka itu, Tirta tak kuasa merasa takjub dengan ukuran payudara Yanti. Besar sekali!"Tirta, gimana kalau aku oles sendiri? Kalau kamu yang oles, aku ... aku malu ...." Suara Yanti terdengar lirih. Dia masih tidak berani membuka matanya. Wajah dan lehernya sampai memerah."Boleh saja. Tapi, kamu nggak bisa membalut lukamu sendiri. Aku tetap harus membantumu. Sebaiknya serahkan saja kepadaku. Kalau cepat beres, kita juga cepat turun. Langit sudah mau gelap lho," sahut Tirta sambil membersihkan tanaman obat dengan air sungai."Ya sudah, kamu saja yang bantu aku." Yanti mengiakan. Lagi pula, Tirta sudah pernah melihatnya. Jika terus menolak, dia hanya akan terkesan terlalu manja. Makanya, Yanti akhirnya membulatkan tekadnya.Setelah membersihkan tanaman obat, Tirta mencari dua buah batu bulat yang agak bersih. Setelah mencucinya
"Hais, memang nggak bagus kalau ada yang tahu. Pokoknya, aku nggak bakal beri tahu siapa pun tentang masalah hari ini," balas Tirta sambil melangkah dengan stabil. Dia bisa merasakan payudara besar di punggungnya.Setelah mendengarnya, Yanti pun mengiakan dan tidak merespons lagi. Dia tidak pernah bersentuhan dengan pria. Kini, Tirta malah menopang bokongnya dan bajunya rusak. Hal ini tentu membuat perasaannya campur aduk dan tak kuasa berpikir sembarangan.'Waktu itu, dia nggak sengaja menyemprotku. Kali ini, dia malah melihat dadaku. Jangan-jangan ... semua ini adalah takdir?'Tirta tentu tidak tahu apa-apa tentang pemikirkan Yanti ini. Sambil menggendong Yanti, dia terus mencari tanaman obat yang bisa digunakan untuk menghilangkan bekas luka.Sekitar tujuh atau delapan menit kemudian, mereka tiba di depan air terjun itu. Di bawahnya adalah air bersih.Tirta berjongkok untuk menurunkan Yanti, lalu berujar, "Bu, kamu bersihkan diri dulu di sini. Tadi aku melihat tanaman obat yang bisa