Namun, Tirta masih terlihat ragu. Bella buru-buru berucap dengan cemas, "Tirta, cepat terima saja. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Menurutku, uang sebanyak ini malah terlalu sedikit."Darwan yang terlihat tenang di luar, sebenarnya terkejut dalam hatinya. Sikap Bella begitu antusias, seolah rela memberikan seluruh kekayaan Keluarga Purnomo untuk Tirta. Ternyata benar, anak perempuan akan sulit ditahan setelah tumbuh dewasa."Baiklah. Makasih, Paman Darwan," ucap Tirta akhirnya. Dia menerima cek itu dan menyimpannya dengan hati-hati.Sebelumnya, Tirta hanya bercanda dengan Bella. Dia mengatakan bahwa setelah menyelamatkan nyawa anak orang kaya sepertinya, dia harus diberikan kompensasi setidaknya triliunan.Namun, siapa sangka itu menjadi kenyataan. Itu adalah uang 40 triliun. Mungkin sepanjang hidupnya, Tirta tidak akan bisa menghabiskan uang sebanyak itu.Darwan berucap, "Nak, Ayah akan mengatur urusan penyerahan tambang giok ini dulu. Setelah Ayah kembali, kita akan la
Segera setelah itu, Darwan memberikan sebuah kartu kepada Tirta. Dia memberi tahu, "Tirta, ini nomor telepon pribadiku. Kalau ada masalah yang nggak bisa kamu selesaikan, jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja."Tirta membalas, "Makasih, Paman Darwan. Bella, aku akan pulang dulu. Fokuslah untuk pemulihan tubuhmu. Kita akan segera bertemu lagi."....Setelah keluar dari bandara, Tirta mengendarai Mercedes Maybach dan kembali ke Desa Persik. Meskipun sudah semalaman tidak tidur, Tirta sama sekali tidak merasa lelah.Pikirannya dipenuhi dengan rencana bagaimana nanti mempertemukan Ayu dengan Bella, serta bagaimana menjelaskan semuanya kepada Ayu dan yang lainnya. Memiliki banyak wanita memang cukup merepotkan!"Nanti saat waktunya tiba, pasti ada jalan keluar," ucap Tirta. Dia menghentikan pikirannya yang berkecamuk.Dalam perjalanan, Tirta teringat sudah cukup lama tidak menghubungi Agatha. Dia sebenarnya berniat mampir untuk melihat bagaimana hasil penjualan Pil Kecantikannya.Namun
Setelah mendengar rencana itu, Calista mendesak, "Ayah, cepat setuju saja. Aku mau pulang buat main mahyong!""Ya, kita sudah terseret selama beberapa hari. Ayo, cepat ikuti cara Damar. Kalau terus begini, aku bisa mati kelelahan," seru istri kedua Gandhi dengan sinis. Dia adalah seorang wanita paruh baya."Oke. Setelah urusan ini selesai, kami akan langsung pergi. Jangan pernah cari-cari kami lagi untuk minta uang mahar," ucap Gandhi tanpa ragu sedikit pun kepada Damar.Dari sini, terlihat jelas bahwa Gandhi memang sudah tidak peduli pada putrinya. Hal ini mungkin karena ibu Melati meninggal lebih awal.Setelah menikah lagi, istri barunya melahirkan seorang putra. Gandhi lebih menyayangi putranya. Lambat laun, dia pun mengabaikan Melati sepenuhnya.Berhubung Gandhi tidak peduli, anggota Keluarga Handoko lainnya juga tidak menghargainya. Bahkan sebelum Melati datang ke Desa Persik, hidupnya di Keluarga Handoko tidak pernah mudah."Oke. Kamu dan anakmu dobrak pintunya. Aku sudah tua, ng
Hampir saja pintu kayu di dalam rumah juga berhasil didobrak. Ayu dan Melati menjadi makin panik! Di momen genting seperti ini, mereka berdua teringat dengan Tirta.Namun, ponsel Tirta tak bisa dihubungi. Dia sudah menghilang selama beberapa hari. Entah apakah dia tahu tentang situasi mereka saat ini.Sepertinya tidak ada yang bisa membantu mereka menghadapi Damar dan yang lainnya. Mereka hanya bisa sebisa mungkin menahan pintu agar Gandhi tidak berhasil mendobraknya.Brak!Namun sayangnya, mereka hanyalah wanita yang kekuatannya tak sebanding dengan Gandhi dan Frans. Terutama Frans yang beratnya lebih dari 100 kilogram. Tak lama kemudian, pintu kayu pun berhasil didobrak dan mereka terjatuh ke lantai."Dasar wanita hina! Sekarang, kamu mau lari ke mana? Kalau aku nggak menghajarmu, kamu nggak akan tahu siapa yang berkuasa di sini!" seru Damar dengan penuh amarah.Saat Melati belum sempat berdiri, Gendis langsung menerjang masuk dan menarik rambut Melati sambil memakinya.Selama bebera
Tirta memiliki kekuatan besar. Begitu dia memegang tongkat kayu itu, Damar berusaha sekuat tenaga untuk menariknya kembali. Wajahnya memerah, tetapi tetap tidak berhasil."Sialan! Lepaskan tongkatnya sekarang!" seru Damar."Lepaskan? Mimpi saja!" balas Tirta dengan marah.Setelah melihat luka-luka di tubuh Ayu dan yang lainnya, serta Gendis yang masih mencengkeram rambut Melati, kemarahannya memuncak.Dengan sekali tarikan, tongkat itu berhasil direbut oleh Tirta. Tanpa ragu, dia mengayunkan tongkat itu ke tubuh Damar."Aduh ...." Damar menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, lalu dia memuntahkan darah. Dia tak bisa bergerak dalam waktu lama.Tongkat kayu sebesar lengan itu patah setelah mengenai tubuhnya. Itu menandakan betapa besar kekuatan Tirta."Sialan, aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Damar. Dia yang malu dan marah, mencoba bangkit dari lantai untuk menyerang Tirta lagi.Namun, Tirta segera memukulnya lagi. Kali ini, dia mematahkan tulang kakinya. Itu langsung
"Tirta, kamu nggak tahu saja. Mereka ini memang keluarga Melati, tapi mereka benar-benar berengsek! Masa mereka mau membantu Damar untuk melawan Melati, bahkan mau melepas pakaiannya dan menyuruhnya berlutut tiga hari tiga malam di depan desa!""Kamu nggak boleh biarkan mereka lolos!" pungkas Ayu dengan marah.Gandhi dan yang lainnya adalah kaki tangan utama. Kalau bukan karena mereka, Damar dan istrinya tidak mungkin bisa mendobrak pintu kayu. Kini Tirta telah pulang, Ayu tentu ingin Tirta untuk menuntut keadilan bagi Melati!"Apa?!" Mendengar hal itu, Tirta marah besar dan mengangkat Gandhi dengan tinggi."Apa pantas manusia nggak berperasaan seperti kalian jadi keluarga Kak Melati? Berlutut dan minta maaf sama Kak Melati. Kalau nggak, aku juga nggak akan mengampuni kalian!" ancam Tirta."Kak, Kak, kami juga nggak berdaya. Damar yang ...." Berat badan Gandhi sekitar 89 kilogram, tetapi dia terlihat begitu ringan di tangan Tirta. Merasakan kekuatan Tirta yang menakutkan, Gandhi ketaku
"Ce ... cepat kembalikan seperti semula! Kalau nggak, kamu akan nyesal setelah polisi datang nanti!" maki Pipit setelah mendengar ucapan Tirta.Gandhi beserta anaknya dan Calista hanya bisa berdiri bengong tanpa bergerak sama sekali. Mereka penasaran bagaimana Tirta bisa melakukan hal itu, sekaligus merasa ketakutan terhadap trik yang digunakan Tirta.Jika Tirta menancapkan jarum untuk membuat mereka berlutut selamanya, mereka pasti akan merasa malu. Namun, Tirta sama sekali tidak peduli dengan reaksi Pipit dan beberapa orang lainnya. Dia berlari ke hadapan Melati dan menyeka air matanya, lalu memeluk dan memeriksa bagian mana yang terluka."Kak Melati, sakit nggak? Sini kulihat! Semua ini salahku. Kalau aku pulang lebih awal, kamu juga nggak perlu ditindas orang sampai begini!""Nggak apa-apa, Tirta. Kakak nggak sakit lagi setelah lihat kamu, malahan aku sangat senang. Kamu nggak perlu merasa bersalah," balas Melati sambil menggeleng dan tersenyum melihat Tirta yang menyalahkan diriny
"Masa lalu sudah terjadi, lupakan saja semuanya," bujuk Ayu."Bibi, aku tahu kalian semua merasa kasihan. Kalau bukan karena aku pulang tepat waktu, gimana jadinya Kak Melati disiksa mereka?" ujar Tirta berusaha menenangkan nada bicaranya."Aku bisa ampuni beberapa orang yang menyadari kesalahannya sendiri. Tapi kalau menghadapi orang yang nggak menyesali perbuatannya, bersikap murah hati pada mereka hanya akan membahayakan diri kita sendiri!"Saat mengucapkan hal ini, Tirta tak kuasa teringat dengan Pasha. Tirta tidak melakukan apa pun terhadapnya saat Pasha mencelakai mereka pertama kalinya. Mereka hanya mengurungnya dan menyerahkannya untuk dihukum Keluarga Purnomo.Namun, Pasha malah lagi-lagi ingin mencelakai dirinya dan Bella. Saat itu, hampir saja rencana busuk Pasha itu berhasil. Karena insiden itulah, Tirta memutuskan untuk tidak boleh berbelaskasihan lagi jika menemui kejadian seperti itu."Tirta ...." Melihat tekad Tirta yang sudah bulat, Ayu juga tidak lagi membujuknya."Bi
Di sisi lain, Tirta menelepon Ayu setelah Idris dan Rasmi pergi. Setelah panggilan terhubung, Ayu yang sudah 2 hari tidak bertemu Tirta tentu merasa khawatir. Dia terus menanyakan kondisi Tirta.Tirta menjelaskan kondisinya dengan singkat, "Bi, Susanti terancam bahaya. Jadi, aku langsung naik pesawat untuk mencari Susanti. Tapi, kamu nggak usah khawatir. Sekarang semuanya sudah aman."Tirta memberi tahu Ayu pemikirannya, "Aku berencana membawa Susanti menemuimu setelah dia bangun, lalu kita dan Bi Elisa langsung kembali ke Desa Persik. Kita tinggal di sana untuk beberapa waktu."Mendengar ucapan Tirta, Ayu yang khawatir bertanya, "Ha? Tirta, kalau kamu mau kembali ke Desa Persik, tentu saja aku dan Elisa nggak keberatan. Masalahnya, gimana caranya kamu menjelaskan pada Bu Bella?"Ayu menambahkan, "Bagaimana kalau Bu Bella mau ikut kita kembali ke Desa Persik? Aku rasa berdasarkan sifat Bu Bella, dia pasti nggak terima kalau tahu kamu punya banyak kekasih.""Aku yang akan jelaskan pada
"Aku rasa otakmu bermasalah karena terlalu lama tinggal di Provinsi Naru!" bentak Rasmi. Ucapannya menunjukkan dia tidak menyukai Tirta."Rasmi, kenapa kamu bicara seperti itu? Pak Tirta itu saudara Ayah. Bukannya sudah seharusnya kita bersikap hormat padanya? Lagi pula ...," sahut Idris.Idris berniat menceritakan pada Rasmi bahwa Tirta sudah membantunya menyelesaikan masalah mereka yang tidak bisa mempunyai keturunan.Namun, sebelum Idris selesai bicara, Rasmi menyela, "Apa? Aku nggak marah kalau nggak ungkit masalah itu! Ayah sudah pikun, makanya dia mengakui pemuda itu sebagai saudaranya."Rasmi melanjutkan, "Waktu Ayah menceritakan masalah ini padaku, aku sudah sarankan dia cepat batalkan keputusannya. Ayah pikun karena tua, masa kamu juga sama? Kalau waktu itu Ayah mengakui anak 3 tahun jadi saudaranya, apa kamu juga mau memuja anak kecil itu?"Rasmi menambahkan, "Aku nggak peduli! Apa pun caranya, kamu harus usir pemuda itu dari rumah kita secepatnya! Aku nggak mau tinggal di ho
Begitu melontarkan perkataannya, Marila baru merasa kurang pantas. Dia berbisik lagi dengan wajah memerah, "Pak Tirta, bukan itu maksudku. Jangan salah paham."Tentu saja Tirta tahu Marila tidak bermaksud seperti itu. Dia tertawa, lalu menanggapi, "Oke. Aku tunggu Bu Marila pulang setelah beli bahan obat-obatan."Sesudah itu, Tirta tidak mengatakan apa pun lagi. Mendengar perkataan Tirta, Marila baru merasa tenang. Kemudian, Marila berpamitan dengan Idris.Tirta merasa bosan saat menunggu Marila. Dia kembali ke kamar untuk menemani Susanti. Tirta duduk di samping tempat tidur. Pikirannya sangat kacau.Tirta mendesah dan bergumam, "Setelah Susanti bangun, aku bawa dia cari Bi Ayu, lalu langsung kembali ke Desa Persik. Kak Nabila, Kak Melati, Kak Arum, Kak Farida, dan lainnya pasti merindukanku."Sebenarnya sebelum Susanti tertimpa masalah, Tirta berencana pergi ke ibu kota setelah meninggalkan Provinsi Dohe. Namun, masalah ini terjadi.Tirta juga memahami satu hal. Dia memang bisa menge
"Aku nggak akan pergi lagi. Jangan tiduri aku, ya?" mohon Selina. Wajahnya memerah setelah mendengar ucapan Tirta.Selina berusaha menggerakkan pinggangnya untuk menjauhi sumber masalah itu. Napas Tirta yang hangat membuat wajah Selina merah padam.Tirta menegaskan, "Aku nggak peduli, pokoknya sekarang aku harus menidurimu sampai puas. Terserah kamu mau pergi atau tetap tinggal, aku tetap akan melakukannya!"Hasrat Tirta membara karena pinggang Selina terus bergerak. Dia segera mengerahkan 2 teknik. Yang pertama adalah Teknik Menghilang untuk menyembunyikan tubuhnya dan Selina. Yang kedua adalah Teknik Senyap untuk menutupi suara yang dikeluarkan Selina selanjutnya.Kemudian, Tirta langsung bersanggama dengan Selina. Sementara itu, Selina memelas, "Tirta ... jangan ... aku benci kamu ...."Biarpun mengeluh, tubuh Selina tetap terangsang. Jelas-jelas Tirta sudah melepaskannya, tetapi Selina tidak melepaskan Tirta dan tidak bergerak sedikit pun. Dia membiarkan Tirta memberinya kompensasi
Tirta menunggu sampai Selina berjalan keluar dari taman bunga kompleks tempat Idris tinggal. Dengan begitu, mereka berdua sudah menjauh dari pandangan Anton dan Yuli.Tirta baru maju dan berkata seraya memeluk Selina, "Bu Selina, aku tahu kamu pasti pergi bukan karena dipanggil atasan. Apa kamu punya masalah? Kamu bisa ceritakan padaku.""Aku nggak punya masalah. Pak Tirta, aku cuma ingin pulang untuk mengurus kasus. Selain itu, aku sudah merasa sangat bangga bisa mengenal tokoh hebat sepertimu. Aku nggak mau terus tinggal di sini dan mengganggu Pak Tirta," sahut Selina.Selina memohon, "Pak Tirta, tolong lepaskan aku. Kita berdua nggak punya hubungan apa pun. Kita lupakan masalah yang sudah berlalu."Mata Selina memerah. Dia berbicara sambil terisak dan ingin melepaskan Tirta.Sementara itu, Tirta yang merasa tidak berdaya mendesah dan menimpali, "Bu Selina, aku sudah paham. Kamu pasti merasa aku cuma berpura-pura dan mempermainkan perasaanmu setelah kamu tahu latar belakangku. Jadi,
Selain itu, perasaan Selina campur aduk saat melihat Tirta. Melihat ekspresi mereka yang terkejut, Idris tertawa dan bertanya, "Apa Pak Tirta nggak pernah beri tahu kalian?"Idris membatin, 'Pak Tirta sangat hebat. Biarpun nggak ada Pak Saba, Pak Tirta bisa mendekati petinggi negara yang lain asalkan dia mau.'Sayangnya, Idris sudah berjanji kepada Tirta tidak akan mengungkapkan kehebatannya. Kalau tidak, Idris akan menjadi pelindung Tirta dan memamerkan kehebatannya.Yuli masih merasa antusias. Bahkan, dia sangat bangga hingga memandangi Tirta seraya tersenyum lebar dan menjawab, "Nggak. Pak Tirta, kenapa kamu nggak beri tahu kami hal sepenting ini?"Sekarang Tirta terpaksa harus mengakuinya. Dia berdeham, lalu menanggapi dengan ekspresi tenang, "Karena aku merasa hal seperti ini nggak perlu diumbar. Aku juga nggak ingin memanfaatkan status Pak Saba untuk bertindak semena-mena."Kenyataannya memang seperti itu. Tirta tidak pernah berinisiatif mengatakan dirinya adalah saudara Saba.Yu
Tirta tertawa licik, lalu membalas, 'Oke. Kak, aku akan pergi. Nanti malam jangan berpikiran untuk menghabisiku lagi.'Kemudian, Tirta keluar dengan perasaan gembira. Dia melihat Idris yang antusias sedang duduk tegak sambil mengobrol dengan Marila, Yuli, dan Selina.Begitu Tirta keluar, Idris langsung berhenti bicara. Dia berdiri, lalu menyambut Tirta, "Pak Tirta ...."Yuli juga menghampiri Tirta dan menimpali sembari tersenyum, "Pak Tirta, apa kita bisa bicara sebentar? Ada yang ingin kutanyakan padamu.""Ada apa? Tentu saja boleh," sahut Tirta.Yuli sangat senang melihat Tirta menyetujui permintaannya. Dia segera menarik Tirta kembali ke kamar. Namun, sebelum Yuli membawa Tirta masuk ke kamar, Anton yang keberatan menghentikan Yuli, "Aduh, berhenti! Yuli, kamu gila, ya? Kenapa kamu nggak langsung bertanya pada Pak Tirta di sini saja? Untuk apa kamu bawa dia ke kamar? Kamu kira ini rumahmu?"Anton berucap pada Tirta dengan ekspresi canggung, "Pak Tirta, begini. Ibunya Susanti ingin
Namun, bagian tubuh yang telah dipijat oleh Tirta terasa hangat dan nyaman, membuat Idris sangat rileks."Sudah beres. Pak Idris, masalahmu berasal dari kelelahan berkepanjangan ditambah dengan faktor bawaan, menyebabkan kondisi tubuhmu lebih lemah dari orang lain, makanya sulit menghasilkan sperma.""Dengan metode kedokteran barat, masalah seperti ini sangat sulit ditangani, bahkan sering kali tak terdeteksi.""Tapi di tanganku, ini bukan masalah besar. Kalau kondisi tubuh istrimu juga memungkinkan, aku jamin malam ini kamu bisa langsung tepat sasaran."Saat mengatakan itu, alis Tirta tiba-tiba berkerut. Dia baru teringat satu hal. Dia sudah berhubungan intim dengan begitu banyak wanita, tetapi sejauh ini belum ada satu pun yang hamil."Wah, terima kasih banyak, Pak Tirta! Kalau aku dan istriku benar-benar bisa punya anak, aku pasti akan undang kamu ke acara syukuran!"Idris yang tenggelam dalam euforia itu sama sekali tidak menyadari ekspresi aneh di wajah Tirta. Dia sangat bersyukur
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka