Darwan berujar, "Tampaknya semua ini berkat Tirta yang disebut-sebut Bella. Masih muda, tapi selain ahli dalam memilih batu, kemampuan medisnya juga luar biasa. Aku jadi makin penasaran dengannya."Mendengar perkataan awal dokter wanita itu, ekspresi Darwan sempat berubah. Namun setelah mendengar bahwa kondisi Bella sudah membaik, kekhawatirannya pun mereda. Dari nada bicara dokter, Darwan bisa merasakan bahwa Tirta adalah sosok yang sangat dihargai.Saat ini, Bella berucap, "Ayah, awalnya aku juga nggak tahu dia sehebat itu. Tapi setelah itu aku menyadari bahwa dia hampir bisa melakukan apa saja. Rasanya nggak ada yang nggak bisa dia lakukan.""Bahkan, Pil Kecantikan yang sedang sangat populer adalah hasil karyanya," puji Bella. Dia merasa lega ketika melihat reaksi ayahnya. Itu sebabnya, dia mulai memuji Tirta tanpa henti."Oh? Jadi, Pil Kecantikan itu hasil karyanya? Anak muda yang hebat!" ucap Darwan yang makin kagum. Pil Kecantikan yang menjadi sorotan Keluarga Purnomo karena pot
Namun, ketika perkataan itu sampai ke telinga Darwan, itu justru membuatnya makin mengagumi Tirta. Sebab, dia menganggapnya sangat rendah hati.Darwan memuji, "Bagus, bagus sekali. Selama bertahun-tahun di dunia bisnis, aku sudah bertemu banyak anak muda, tapi nggak ada yang sehebat dirimu.""Kebanyakan dari mereka terlalu sombong dan suka meremehkan orang lain. Tapi, kamu justru rendah hati dan punya sifat yang baik. Putriku memang punya selera yang bagus!" lanjut Darwan."Ayah, jangan terlalu membesar-besarkan. Ini karena Tirta memang hebat, bukan karena aku," jawab Bella dengan malu-malu. Dia menatap Tirta dengan penuh kekaguman.Bella sendiri tidak menyangka bahwa ayahnya akan sangat puas dengan Tirta. Dengan begitu, hubungannya dengan Tirta pun hampir pasti bisa diterima.Namun, Tirta justru merasa makin tertekan. Dia bahkan sudah merendahkan dirinya. Lantas, kenapa Darwan malah makin menyukainya?"Tirta, boleh tahu kamu berasal dari mana? Gimana keadaan keluargamu?" tanya Darwan
Namun, Tirta masih terlihat ragu. Bella buru-buru berucap dengan cemas, "Tirta, cepat terima saja. Kamu sudah menyelamatkan nyawaku berkali-kali. Menurutku, uang sebanyak ini malah terlalu sedikit."Darwan yang terlihat tenang di luar, sebenarnya terkejut dalam hatinya. Sikap Bella begitu antusias, seolah rela memberikan seluruh kekayaan Keluarga Purnomo untuk Tirta. Ternyata benar, anak perempuan akan sulit ditahan setelah tumbuh dewasa."Baiklah. Makasih, Paman Darwan," ucap Tirta akhirnya. Dia menerima cek itu dan menyimpannya dengan hati-hati.Sebelumnya, Tirta hanya bercanda dengan Bella. Dia mengatakan bahwa setelah menyelamatkan nyawa anak orang kaya sepertinya, dia harus diberikan kompensasi setidaknya triliunan.Namun, siapa sangka itu menjadi kenyataan. Itu adalah uang 40 triliun. Mungkin sepanjang hidupnya, Tirta tidak akan bisa menghabiskan uang sebanyak itu.Darwan berucap, "Nak, Ayah akan mengatur urusan penyerahan tambang giok ini dulu. Setelah Ayah kembali, kita akan la
Segera setelah itu, Darwan memberikan sebuah kartu kepada Tirta. Dia memberi tahu, "Tirta, ini nomor telepon pribadiku. Kalau ada masalah yang nggak bisa kamu selesaikan, jangan ragu untuk menghubungiku kapan saja."Tirta membalas, "Makasih, Paman Darwan. Bella, aku akan pulang dulu. Fokuslah untuk pemulihan tubuhmu. Kita akan segera bertemu lagi."....Setelah keluar dari bandara, Tirta mengendarai Mercedes Maybach dan kembali ke Desa Persik. Meskipun sudah semalaman tidak tidur, Tirta sama sekali tidak merasa lelah.Pikirannya dipenuhi dengan rencana bagaimana nanti mempertemukan Ayu dengan Bella, serta bagaimana menjelaskan semuanya kepada Ayu dan yang lainnya. Memiliki banyak wanita memang cukup merepotkan!"Nanti saat waktunya tiba, pasti ada jalan keluar," ucap Tirta. Dia menghentikan pikirannya yang berkecamuk.Dalam perjalanan, Tirta teringat sudah cukup lama tidak menghubungi Agatha. Dia sebenarnya berniat mampir untuk melihat bagaimana hasil penjualan Pil Kecantikannya.Namun
Setelah mendengar rencana itu, Calista mendesak, "Ayah, cepat setuju saja. Aku mau pulang buat main mahyong!""Ya, kita sudah terseret selama beberapa hari. Ayo, cepat ikuti cara Damar. Kalau terus begini, aku bisa mati kelelahan," seru istri kedua Gandhi dengan sinis. Dia adalah seorang wanita paruh baya."Oke. Setelah urusan ini selesai, kami akan langsung pergi. Jangan pernah cari-cari kami lagi untuk minta uang mahar," ucap Gandhi tanpa ragu sedikit pun kepada Damar.Dari sini, terlihat jelas bahwa Gandhi memang sudah tidak peduli pada putrinya. Hal ini mungkin karena ibu Melati meninggal lebih awal.Setelah menikah lagi, istri barunya melahirkan seorang putra. Gandhi lebih menyayangi putranya. Lambat laun, dia pun mengabaikan Melati sepenuhnya.Berhubung Gandhi tidak peduli, anggota Keluarga Handoko lainnya juga tidak menghargainya. Bahkan sebelum Melati datang ke Desa Persik, hidupnya di Keluarga Handoko tidak pernah mudah."Oke. Kamu dan anakmu dobrak pintunya. Aku sudah tua, ng
Hampir saja pintu kayu di dalam rumah juga berhasil didobrak. Ayu dan Melati menjadi makin panik! Di momen genting seperti ini, mereka berdua teringat dengan Tirta.Namun, ponsel Tirta tak bisa dihubungi. Dia sudah menghilang selama beberapa hari. Entah apakah dia tahu tentang situasi mereka saat ini.Sepertinya tidak ada yang bisa membantu mereka menghadapi Damar dan yang lainnya. Mereka hanya bisa sebisa mungkin menahan pintu agar Gandhi tidak berhasil mendobraknya.Brak!Namun sayangnya, mereka hanyalah wanita yang kekuatannya tak sebanding dengan Gandhi dan Frans. Terutama Frans yang beratnya lebih dari 100 kilogram. Tak lama kemudian, pintu kayu pun berhasil didobrak dan mereka terjatuh ke lantai."Dasar wanita hina! Sekarang, kamu mau lari ke mana? Kalau aku nggak menghajarmu, kamu nggak akan tahu siapa yang berkuasa di sini!" seru Damar dengan penuh amarah.Saat Melati belum sempat berdiri, Gendis langsung menerjang masuk dan menarik rambut Melati sambil memakinya.Selama bebera
Tirta memiliki kekuatan besar. Begitu dia memegang tongkat kayu itu, Damar berusaha sekuat tenaga untuk menariknya kembali. Wajahnya memerah, tetapi tetap tidak berhasil."Sialan! Lepaskan tongkatnya sekarang!" seru Damar."Lepaskan? Mimpi saja!" balas Tirta dengan marah.Setelah melihat luka-luka di tubuh Ayu dan yang lainnya, serta Gendis yang masih mencengkeram rambut Melati, kemarahannya memuncak.Dengan sekali tarikan, tongkat itu berhasil direbut oleh Tirta. Tanpa ragu, dia mengayunkan tongkat itu ke tubuh Damar."Aduh ...." Damar menjerit kesakitan. Tubuhnya terlempar ke belakang, lalu dia memuntahkan darah. Dia tak bisa bergerak dalam waktu lama.Tongkat kayu sebesar lengan itu patah setelah mengenai tubuhnya. Itu menandakan betapa besar kekuatan Tirta."Sialan, aku akan melawanmu habis-habisan!" seru Damar. Dia yang malu dan marah, mencoba bangkit dari lantai untuk menyerang Tirta lagi.Namun, Tirta segera memukulnya lagi. Kali ini, dia mematahkan tulang kakinya. Itu langsung
"Tirta, kamu nggak tahu saja. Mereka ini memang keluarga Melati, tapi mereka benar-benar berengsek! Masa mereka mau membantu Damar untuk melawan Melati, bahkan mau melepas pakaiannya dan menyuruhnya berlutut tiga hari tiga malam di depan desa!""Kamu nggak boleh biarkan mereka lolos!" pungkas Ayu dengan marah.Gandhi dan yang lainnya adalah kaki tangan utama. Kalau bukan karena mereka, Damar dan istrinya tidak mungkin bisa mendobrak pintu kayu. Kini Tirta telah pulang, Ayu tentu ingin Tirta untuk menuntut keadilan bagi Melati!"Apa?!" Mendengar hal itu, Tirta marah besar dan mengangkat Gandhi dengan tinggi."Apa pantas manusia nggak berperasaan seperti kalian jadi keluarga Kak Melati? Berlutut dan minta maaf sama Kak Melati. Kalau nggak, aku juga nggak akan mengampuni kalian!" ancam Tirta."Kak, Kak, kami juga nggak berdaya. Damar yang ...." Berat badan Gandhi sekitar 89 kilogram, tetapi dia terlihat begitu ringan di tangan Tirta. Merasakan kekuatan Tirta yang menakutkan, Gandhi ketaku
Akan tetapi, Tirta sama sekali tidak berani lengah. Sebaliknya, dia malah menginjak pedal gas lebih dalam lagi. Dia merasa harus segera kembali ke Desa Persik untuk menemani Ayu dan beberapa wanita lainnya.Setelah menanyakan beberapa informasi tambahan tentang Black Gloves dari Mauri, Tirta pun menutup telepon dan buru-buru kembali ke kliniknya.Melati dan Arum ternyata sudah ada di sana. Ayu berjalan mendekatinya dengan penuh kekhawatiran dan bertanya, "Tirta, kenapa wajahmu agak pucat? Kamu lagi nggak enak badan ya?"Tirta memaksakan diri untuk tersenyum ketika menjawab, "Bibi, aku baik-baik saja. Hanya saja akhir-akhir ini aku terlalu sering berkeliaran, jadi agak lelah."Namun dalam hatinya, Tirta masih memikirkan cara menghadapi ancaman dari organisasi Black Gloves.Mendengar itu, Ayu membalas, "Kalau lelah, istirahatlah baik-baik. Jangan berkeliaran terus."Ayu dan para wanita lainnya yang ada di sana tentu saja tidak tahu apa yang sebenarnya sedang dipikirkan oleh Tirta. Mereka
Mendengar itu, Tirta langsung mengernyit dan bertanya dengan serius, "Pak Mauri, sebenarnya apa yang terjadi? Tadi siang, bukannya kamu bilang semuanya baik-baik saja?"Mauri menghela napas berat sebelum menjelaskan, "Aduh .... Tirta, memang benar tadi siang nggak ada kejadian apa-apa. Tapi setelah aku menyerahkan Alicia ke pihak atasan, tim mereka tiba-tiba diserang di perjalanan pulang!""Aku rasa, orang-orang dari Black Gloves memang seperti yang kamu bilang sebelumnya. Pagi tadi, mereka sudah berencana menculik Alicia. Hanya saja, karena aku mendengarkan saranmu dan bawa lebih banyak orang, mereka nggak punya kesempatan untuk bertindak!" tambah Mauri."Tapi saat atasanku membawa pergi Alicia, timnya cuma 7 atau 8 orang saja. Makanya, mereka punya kesempatan untuk menyerang. Sekarang termasuk atasanku, ada 7 orang yang terluka parah dan 1 orang tewas. Semua korban luka termasuk atasanku, lagi dirawat di rumah sakit!" jelas Mauri.Mauri yang tadinya sedang sibuk di kantor polisi, lan
Tirta khawatir Shinta tidak bisa berdiri dengan stabil jika sendirian di sungai. Itu sebabnya, dia terpaksa menggendongnya turun ke dalam air.Setelah melakukannya dua kali berturut-turut ... kalau bukan karena tubuhnya sedang terendam di air, Shinta mungkin sudah merasa sangat malu sampai ingin bersembunyi.Namun, ini hanya permulaan saja. Jika bukan karena melihat dengan mata kepala sendiri perubahan nyata di area dadanya, Shinta mungkin sudah kabur meninggalkan Tirta.....Tirta akhirnya menggendong Shinta dan berendam di air selama hampir 10 menit. Meskipun sama sekali tidak punya niat buruk, apa yang dilakukan Shinta benar-benar membuatnya cukup tersiksa.Selama itu, Tirta hanya bisa terus mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak berpikiran aneh-aneh. Sementara itu, sensasi kesemutan dan geli luar biasa yang dirasakan Shinta akhirnya mereda sepenuhnya.Shinta akhirnya bisa bernapas lega. Bersamaan dengan itu, Tirta juga ikut merasa tenang. Setelah mencabut semua jarum perak, dia m
Shinta berujar dengan ekspresi tegas dan penuh percaya diri, "Nggak apa-apa. Selama bisa jadi lebih besar, jangankan geli, bahkan kalau sakit pun aku sanggup menahannya!"Mendengar itu, Tirta tidak lagi ragu. Jarum perak mulai ditancapkan satu per satu di beberapa titik akupunktur di dekat area dada Shinta.Ketika jarum pertama menancap, Shinta masih merasa baik-baik saja. Rasanya agak hangat dan geli, tetapi masih dalam batas yang bisa ditahannya.Namun begitu jarum kedua masuk, ekspresinya langsung berubah. Shinta menggigit bibirnya, lalu tanpa sadar mendesah pelan. Dia bertanya, "Aduh! Kak Tirta, kenapa gelinya sampai begini ...."Shinta bisa merasakan sensasi hangat dan kesemutan yang kuat, seolah-olah ada aliran listrik halus menjalar dari dada ke seluruh tubuhnya. Sensasi di area jantung terasa paling intens. Gelinya benar-benar membuatnya hampir tidak bisa duduk diam.Tirta berdeham sebelum memberi tahu, "Uhuk, uhuk. Sudah kubilang sebelumnya, 'kan? Rasa geli itu memang wajar. A
Tirta menambahkan, "Lain kali kalau ada waktu, aku bantu bikin ukurannya lebih besar dari apel, tapi tetap lebih kecil dari melon. Prosesnya bertahap, jadi nggak bikin orang curiga.""Benar! Untuk sekarang, dibuat sebesar apel juga nggak masalah. Lain kali masih banyak kesempatan untuk bikin jadi sebesar melon!" balas Shinta.Shinta terlihat sangat antusias. Dia terus mengangguk dan mendesak Tirta agar bergegas, "Kak Tirta, ayo kita jalan cepat sedikit. Aku sudah nggak sabar untuk merasakan sensasi ukuran sebesar apel!"....Setelah berjalan selama lebih dari setengah jam, Shinta sudah kehabisan tenaga. Sebagai anak orang kaya yang terbiasa bepergian dengan mobil, dia benar-benar tidak terbiasa dengan jalan tanah berlubang di desa seperti ini.Beberapa kali, Shinta hampir saja keseleo. Akhirnya, Tirta tak punya pilihan selain memindahkan keranjang ke lengannya. Kemudian, dia menggendong Shinta dan melanjutkan perjalanan naik gunung.Saat digendong, tubuh Shinta yang kecil dan mungil me
"Eh, benar juga. Aku nggak kepikiran." Tirta menepuk dahinya. "Biasanya Kak Lutfi selalu ikut ke mana-mana, makanya aku tanya begitu.""Ya sudah, nggak usah dipikirin lagi." Shinta tidak peduli pada masalah ini. Dia menarik Tirta untuk membawanya ke dalam desa."Klinikmu di mana? Cepat bawa aku ke sana. Aku mau perbesar payudaraku! Tapi, jangan sampai kebesaran seperti semangka ya. Nanti aku bocorkan perselingkuhanmu!"Sejak Tirta bilang bisa memperbesar payudaranya, Shinta terus memikirkannya. Kini, dia akhirnya punya kesempatan sehingga tidak akan melewatkannya."Ehem, ehem. Di klinik ada bibiku. Aku nggak bisa membantu memperbesar payudaramu di sana. Semua bahan obat sudah kusiapkan. Aku bawa kamu ke gunung saja. Kita lakukan di tempat yang terpencil," ujar Tirta dengan canggung."Ya sudah, terserah kamu saja. Aku bisa di mana saja. Aku nggak peduli pada prosesnya. Pokoknya hasilnya sesuai keinginanku!" Shinta melepaskan tangan Tirta, lalu menyuruh Tirta membawa jalan. Dia terus men
"Kalau Tirta setuju, kita melakukannya bertiga. Atau nggak kamu pakai saja dulu? Setelah kamu selesai, baru giliranku ....""Jangan sembarangan bicara lagi. Cepat hapus videonya. Memalukan sekali. Aku nggak mau video itu ada di ponselmu."...."Achoo!" Tirta yang sedang berkemudi ke Desa Persik bersin beberapa kali. Dia mengambil tisu dan menyeka hidungnya sambil bergumam, "Aneh, kenapa terus bersin? Apa ada yang gosipin aku?"Tirta tidak akan menyangka setelah dirinya meninggalkan vila, dirinya malah menjadi perebutan dua wanita cantik.Tirta melihat jam. Sepertinya Mauri sudah sampai di ibu kota provinsi. Dia lantas menelepon untuk menanyakan kabar.Setelah mendengar Mauri sudah tiba dengan selamat dan mengobrol sesaat, Tirta pun mengakhiri panggilan. Sekitar sejam kemudian, dia tiba di klinik.Tirta turun dan masuk, tetapi tidak melihat Shinta. Dia pun menebak Shinta masih dalam perjalanan kemari. Jadi, dia mencari obat untuk memperbesar payudara di lemari.Saat ini, Arum dan Yanti
"Ya, memang Tirta orangnya." Saat melihat reaksi Aiko, Naura tidak berani bertatapan dengannya. Dia menunduk dan mengepalkan tangannya dengan gugup."Aku juga nggak tahu kapan aku menyukai Tirta. Tapi, sejak tahu kamu punya hubungan istimewa dengannya, aku cemburu. Rasanya seperti barang kesayanganku direbut orang lain.""Pagi ini waktu dengar kamu akan tidur dengan Tirta, aku merasa sangat sesak. Aku pun baru sadar. Mungkin, aku jatuh cinta pada Tirta ...."Begitu ucapan ini dilontarkan, Aiko tidak bisa mencernanya untuk waktu yang lama. Dia tertegun di tempatnya tanpa bereaksi sedikit pun."Kak, maaf. Aku juga nggak ingin begini, tapi aku nggak bisa mengontrol diriku. Waktu melihatmu bersama Tirta, aku cemburu ....""Terutama hari ini. Aku merasa cemburu sekaligus sedih melihatmu tidur dengan Tirta. Aku sangat berharap wanita itu adalah aku ...."Naura mengeluarkan ponselnya dan memutar rekaman CCTV yang disimpannya. Matanya memerah. Dia terlihat sangat emosional.Beberapa saat kemud
"Naura, terima kasih. Kalau nggak ada kamu, aku nggak mungkin kenal Tirta. Kamu pasti bisa menemukan tambatan hatimu juga suatu hari nanti! Aku janji bakal membantumu nanti!" Aiko menggenggam tangan Naura. Dia tidak merasa Naura sedang berbohong."Aiko, Bu Naura, mienya sudah matang. Ayo dicoba." Tidak lama setelah kedua wanita itu mengobrol, Tirta menyajikan dua mangkuk mie dari dapur.Mie diletakkan di depan keduanya. Kuahnya bening. Di atasnya terdapat taburan daun bawang dan beberapa tetes minyak wijen. Kelihatannya tidak terlalu menggugah selera, tetapi aromanya sangat harum.Jangankan Naura yang suka makan mie, Aiko yang selalu makan makanan lezat juga menjadi lapar melihatnya."Wah, wangi sekali! Tirta, kamu memang jago masak mie! Gimana cara masak mie ini?" Naura pun mengambil sumpit, lalu mengambil mangkuknya dan mencicipinya. Begitu menyeruputnya, ekspresi Naura langsung terlihat puas."Ya, sepertinya ini mie terenak yang pernah kumakan! Cepat kasih tahu kami gimana cara masa