"Apa katamu?!" Herman semakin emosional saat mendengar ucapan Tirta. Sejak kecil, dia telah terbiasa dimanjakan. Belum pernah ada seorang pun yang membuatnya semarah ini sebelumnya."Kubilang, memangnya kamu pantas kuberi nama? Bocah nggak tahu aturan!" Melihat ekspresi Herman yang merasa kesal, Tirta kembali menerjang ke arah Herman dan memukulnya. Herman bahkan tidak sanggup melawan saat dipukuli Tirta.Pada saat ini, terdengar sebuah suara yang penuh kemarahan dari kejauhan, "Hentikan! Besar sekali nyalimu!""Beraninya kamu memukul orang di depan umum! Nggak ada hukum lagi ya? Kulihat kamu ini sepertinya sudah bosan hidup!"Tirta yang mendengar suara itu langsung menoleh. Terlihat seorang pria paruh baya yang menatap Tirta dengan sorot mata penuh amarah. Di belakangnya tampak beberapa pria kekar yang baru turun dari mobil sambil memelototi Tirta dengan beringas."To ... Tora sudah datang!" Melihat adegan ini, para penjual sayuran di sekitar mereka semakin ketakutan. Mereka langsung
Tora menatap Tirta dengan pandangan penuh penghinaan. "Berani-beraninya kamu mengkritikku? Sebaiknya kamu khawatirkan dulu dirimu sendiri ...."Namun sebelum Tora selesai berbicara, dia tiba-tiba terkejut dan membuka mulutnya lebar-lebar. Saat ini, Tirta sudah menerobos masuk ke kerumunan. Meskipun para preman itu memegang tongkat besi di tangan mereka, senjata tersebut tidak ada gunanya di hadapan Tirta.Tirta menyerbu ke kerumunan bagaikan serigala yang masuk ke kawanan domba. Dalam waktu singkat, dia telah berhasil menjatuhkan semua preman itu. Melihat kejadian ini, warga di sekitarnya bertepuk tangan dengan gembira. Sementara itu, Tirta berjalan mendekati Tora dengan senyuman sinis.Pada saat ini, keangkuhan dan kesombongan Tora sudah lenyap, digantikan oleh ketakutan di matanya. Dengan keringat dingin mengalir di dahinya, dia bertanya, "A ... apa maumu?"Mendengar pertanyaan itu, Tirta mendengus. "Aku mau apa? Tentu saja mau memberimu pelajaran!"Melihat tinju Tirta mengarah padan
Saat Tirta ingin pergi, orang-orang yang dibawa oleh Tora tentu tidak berani menghalanginya sedikit pun. Mereka bahkan terlihat ketakutan. Tirta kemudian membawa Arum ke mobil dan bergegas kembali ke Desa Persik.Di perjalanan, Arum akhirnya bisa bernapas lega. Dia berkata pada Tirta seraya menepuk dada, "Tirta, tadi aku benar-benar ketakutan. Untung ada kamu, kita jadi bisa pulang dengan selamat!""Tapi, lain kali kamu harus lebih hati-hati. Jangan sampai bertindak gegabah seperti itu lagi. Orang yang kamu pukul tadi itu camat. Gimana kalau mereka cari masalah sama kita nanti?"Saat berkata demikian, Arum merasa semakin ketakutan. Dia mencondongkan tubuhnya dan menatap Tirta dengan penuh kekhawatiran.Awalnya saat Arum menepuk dadanya, gerakan itu membuat kedua buah dadanya yang montok bergetar. Pemandangan ini langsung menarik perhatian Tirta. Sambil menyetir, Tirta terus mencuri pandang ke arah payudara Arum dengan kegirangan.Kini saat Arum mencondongkan tubuhnya, sabuk pengaman di
Setelah mendengar cerita tersebut, alis Gavan langsung berkerut. Kejadian yang menimpa Tora tentu saja tidak bisa lepas dari perhatian kapten patroli seperti dirinya. Dia juga tidak menyangka bahwa Tirta yang masih semuda itu ternyata begitu menakutkan!Pemuda itu telah mengalahkan belasan pria kekar sekaligus dan membuat Tora serta Herman menderita luka parah! Meskipun Gavan tidak terlalu ingin terlibat, dia juga tidak berani menolak permintaan Tora.Jika sampai kehilangan dukungan dari Tora, masa depannya juga akan menjadi sulit. "Oke, tunggu aku. Aku akan bawa beberapa orang untuk menemuimu dan kita pergi sama-sama."....Sementara itu, Tirta masih tidak menyadari masalah yang akan menghampirinya. Sambil membawa benih dan peralatan bertani yang baru dibelinya, Tirta mengajak Melati dan Nabila untuk pergi ke ladang dan mulai menanam sayuran.Berhubung penglihatan Ayu kurang baik, Tirta memintanya untuk beristirahat sejenak.....Di sisi lain, di kantor kepolisian tingkat kabupaten.S
"Bocah sialan, kamu sudah membuatku menderita! Tunggu saja, aku nggak akan mengampunimu!" Tora benar-benar marah besar saat ini. Setelah tiba di desa ini, Gavan mencari tahu lokasi klinik Tirta dan membawa bawahannya ke sana.Setelah memasuki klinik dan melihat Tirta sedang makan bersama beberapa wanita lainnya, emosi Tora semakin memuncak. Sekarang dia sudah dilumpuhkan oleh Tirta dan kehilangan kemampuan sebagai seorang pria sejati.Yang lebih parah lagi, dia sekarang juga tidak bisa mengendalikan kapan untuk buang air. Tora terpaksa harus selalu membawa kantong urine ke mana pun dia pergi. Namun, Tirta malah masih bisa duduk di sini dan makan dengan wanita cantik?"Balikkan mejanya!" teriaknya sambil memberi isyarat pada Herman. Setelah itu, Herman langsung bergerak maju dan membalikkan meja makan tersebut."Tirta, kamu sudah membuat ayahku seperti ini. Masih berani makan dengan tenang di sini? Cepat sembuhkan ayahku sekarang juga. Kalau nggak, jangan salahkan aku bertindak kasar!"
Mereka memang melihat bahwa Tirta sedang makan dengan beberapa wanita tadi. Namun, jika bukan karena mendengar teriakan itu, mereka tidak menyadari betapa cantiknya beberapa wanita ini.Dengan demikian, mereka memutuskan untuk membawa pulang beberapa wanita cantik ini. Setelah Tirta mengobati penyakit Tora, mereka akan menikmati beberapa wanita cantik ini bersama-sama nantinya!"Tangkap dan bawa pergi wanita-wanita ini. Mereka juga melanggar hukum!" teriak Tora. Beberapa polisi patroli langsung menyerbu ke arahnya."Pergi sana!" Tirta juga tentunya menyadari situasi yang terjadi dan merasa sangat marah.Tirta memukul beberapa polisi hingga mundur, lalu berlari ke arah Ayu dan para wanita lainnya. Namun, secepat apa pun gerakan Tirta, dia tetap saja terlambat selangkah.Sebelum Tirta mendekat, Herman sudah berhasil menangkap Melati. Dia mencengkeram leher Melati yang putih mulus sambil menampilkan senyuman jahat di wajahnya."Tirta, sekarang cepat lepaskan ayahku, lalu berlutut dan mint
"Kalau kamu berani menyentuh mereka sedikit saja, aku akan buat kalian semua menderita!" Niat membunuh Tirta menguar dari tubuhnya."Nak, kamu masih terlalu muda untuk melawanku! Lepaskan aku atau aku akan kuperintahkan untuk menembak mereka semua!" bentak Tora dengan bangga karena mengira Tirta hanya menggertaknya."Apa yang kalian lakukan? Hentikan semuanya!" teriak seseorang tiba-tiba di luar pintu. Herman dan beberapa orang lainnya sontak terkejut.Terlihat Saad membawa beberapa polisi patroli tingkat provinsi yang sedang berdiri di depan pintu. Semua orang bergegas masuk ke klinik dengan wajah muram."Tora, besar sekali nyalimu!" Didengar dari perkataan Tora dan adegan di dalam tadi, mereka telah bisa menebak apa yang telah telah terjadi. Saad, Mauri, dan Susanti marah besar."Pak ... Saad?""Kapten Mauri ...."Tora, Herman, dan Gavan seketika menjadi panik dan berkeringat dingin. Saad dan Mauri telah lama menjabat posisi tinggi, sehingga wibawa mereka bukanlah sesuatu yang bisa d
Mauri adalah atasan langsung dari Gavan. Menghadapi pertanyaan seperti itu, Gavan merasa sangat bersalah. Wajahnya menjadi pucat dan berkeringat dingin."Pak, kami memang datang setelah menerima laporan. Tapi karena masalah ini sangat mendesak dan nyawa Pak Tora berada dalam bahaya, kami terpaksa datang duluan tanpa sempat melapor dulu," kata Gavan dengan suara gemetaran.Mendengar hal ini, Saad dan Mauri saling bertukar pandang. Mereka benar-benar merasa kecewa sepenuhnya. Saad tidak ingin lagi mendengar alasan mereka. Dia langsung melambaikan tangan kepada Mauri."Tangkap mereka semua, jangan ada yang ketinggalan satu pun!" perintahnya.Mauri mengangguk dengan wajah kesal. Begitu tangannya dilambaikan, polisi kabupaten di belakangnya tanpa ragu menyita senjata para polisi patroli. Herman, Tora, dan Gavan juga tentunya langsung ditangkap."Tirta!" Melati yang akhirnya bebas, langsung bersembunyi di belakang Tirta sambil menangis tersedu-sedu."Nggak apa-apa, Kak Melati. Semuanya sudah
"Pak Idris, kalau memang ada sesuatu, lebih baik berdiri dan bicarakan saja. Selama bukan hal yang melanggar nurani dan hukum, aku pasti akan bantu." Melihat keadaan itu, Tirta hanya bisa menghela napas dengan pasrah."Benarkah? Kamu benaran bersedia membantuku, tanpa mengungkit kesalahan masa lalu? Tapi, permintaanku ini .... Aku ingin kamu membantuku dan istriku agar bisa punya seorang anak.""Kami sudah menikah 20 tahun, sampai sekarang belum juga punya keturunan. Aku dan istriku sudah pergi ke rumah sakit di seluruh negeri, tapi nggak ada yang bisa menemukan penyebab pastinya ...."Idris akhirnya berdiri dari lantai, tetapi suaranya masih penuh emosi dan sedikit tidak percaya. Dia merasa Tirta yang seperti dewa hidup pasti sulit didekati dan tak mudah diajak bicara. Itu sebabnya, sikapnya terhadap Tirta sangat sungkan."Kenapa nggak? Pak Idris, kamu dan Bu Marila sudah susah payah membantuku mencari Susanti. Aku tentu harus membantumu semaksimal mungkin.""Lagi pula, sekalipun buka
Setelah itu, Yuli memperhatikan bahwa wajah Idris tampak agak canggung. Dia pun mengecilkan suaranya dan bertanya dengan hati-hati, "Pak Idris, suaraku terlalu keras sampai mengganggumu ya? Maaf banget ya, aku terlalu bersemangat, jadi nggak bisa kontrol diri.""Nggak, nggak. Bu Yuli, suaramu sama sekali nggak keras. Kamu nggak perlu mengkhawatirkanku. Selama Pak Tirta nggak merasa terganggu, aku nggak akan keberatan sedikit pun." Saat melihat dari ujung mata bahwa Tirta menoleh ke arahnya, Idris buru-buru melambaikan tangan sambil tertawa canggung."Benaran?" Yuli tampak semakin tidak percaya. Seorang gubernur bisa serendah hati ini? Apalagi dari nada bicara Idris, terlihat jelas bahwa dia sangat takut pada Tirta! Jangan-jangan Tirta punya latar belakang yang bahkan membuat seorang gubernur seperti Idris gentar?"Masih sempat ngobrol, nggak pikirin kondisi anak kita sekarang kayak gimana!" Sebelum Yuli sempat melanjutkan, Anton sudah menyela dengan nada kesal."Huh! Kalau anak kita ke
"Eh ...." Tirta sebenarnya tidak menyangka bahwa Marila bisa sekompetitif itu dalam hal seperti ini. Namun, dia tetap menatap tubuh Marila dari atas sampai bawah dengan serius, lalu berkata, "Marila, sebenarnya postur tubuhmu cenderung lembut dan anggun.""Ukuran sebesar jeruk bali itu sudah sangat cocok. Bakal terlihat indah, seimbang, alami, dan menambah pesona feminin. Kalau sebesar melon, malah akan kelihatan agak aneh.""Kalau sampai lebih besar dari melon, itu malah jadi nggak enak dipandang. Nggak perlu terlalu mengejar ukuran. Yang pas itu yang terbaik."Mendengar ucapan Tirta, Marila tanpa sadar melirik tubuhnya sendiri, lalu merasa yang dikatakan Tirta masuk akal. Namun, begitu teringat pada Shinta, dia merasa enggan.Dia bertanya, "Kalau begitu, kenapa Shinta yang lebih muda dariku bilang mau sebesar melon? Kalau dia sebesar itu, bukannya juga nggak seimbang?""Benar. Makanya, aku juga nggak pernah berniat bantu dia sampai sebesar melon. Umurnya masih muda, dia belum bisa me
"Tapi, Pak Tirta sudah bilang, setelah dia mengantar Bu Susanti pulang, dia akan pergi ke ibu kota sebentar." Marila sudah tidak begitu marah lagi. Lagi pula, Shinta adalah adik kandungnya.Dia berencana untuk segera menjelaskan semuanya kepada Tirta, agar Tirta tidak melihatnya dengan pandangan yang aneh di kemudian hari."Ah, begitu ya. Kalau begitu, aku nggak akan ke sana. Tapi, Kak, sekarang aku benar-benar penasaran. Bisa nggak kamu kasih tahu aku?" Nada suara Shinta yang penuh kekecewaan seketika berubah menjadi bersemangat, bahkan dia melontarkan pertanyaan dengan nada yang berlebihan."Apa itu?" Marila tanpa sadar membalas."Tapi, jangan marah ya. Aku cuma ingin tahu, aku 'kan belum kasih tahu Kak Tirta tentang permintaanmu, terus gimana dia bisa membantumu?" Suara Shinta penuh dengan rasa penasaran dan kegembiraan."Dasar anak nakal! Nanti kalau aku kembali ke ibu kota, lihat saja gimana aku akan memberimu pelajaran!" Marila merasa sangat malu dan marah, lalu langsung memutusk
Tirta baru menyadari bahwa kejadian tadi hanyalah sebuah kesalahpahaman!Awalnya, dia berniat untuk mengejar Marila dan menjelaskan semuanya atau mungkin meminta bantuan untuk mencari bahan obat atau jarum perak, lalu benar-benar memberikan perawatan pembesaran dada seperti yang diminta.Namun, saat dia melihat Marila berbalik dan masuk ke ruangan lain, lalu menutup pintu, Tirta pun tidak mengejar lagi."Hais .... Memalukan sekali. Semoga Marila bisa melupakan kejadian ini. Kalau nggak, pasti akan canggung setiap kali kami bertemu." Setelah merasakan kemanisan tadi, Tirta kembali ke kamar tempat Susanti beristirahat untuk melihatnya.Tentu saja, Tirta sudah terbiasa dengan situasi seperti ini, jadi dia merasa cukup tenang.Di sisi lain, saat Marila kembali ke kamarnya dengan penuh rasa malu, dia baru menyadari bahwa celananya ternyata sudah basah."Kapan ini terjadi? Kenapa aku nggak sadar? Gawat, Pak Tirta pasti menyadarinya! Gimana aku bisa menghadapi Pak Tirta sekarang ...." Marila
Saat itu, hati Tirta dipenuhi kebingungan dan detak jantungnya juga tak terkendali. Meskipun dada Marila datar, dia tetaplah seorang wanita!Perut putih mulusnya datar, kulitnya sehalus giok, ekspresinya yang malu-malu tampak menggoda. Semuanya membuat hati Tirta bergetar tanpa bisa dikendalikan!"Pak Tirta, tentu saja maksudku ... maksudku ...." Melihat Tirta hanya bengong tanpa melakukan apa-apa, bahkan menatapnya dengan heran, wajah Marila semakin merah. Namun, dia benar-benar malu untuk mengatakan permintaannya secara langsung.Jadi, dia hanya melirik pelan ke arah dadanya, berharap Tirta bisa mengerti maksudnya."Bu Marila, kamu ingin aku bantu ... bantu ... apa ya?" Tirta salah paham dan cukup kaget. Pikirannya mulai liar. Bukannya Marila itu tipe yang kalem? Masa iya wanita ini memintanya memijat dadanya? Mungkin dia merasa kurang nyaman jika melakukannya sendiri?"Benar, Pak Tirta. Aku memang ingin kamu bantu aku .... Tolong segera dimulai ya ...." Melihat Tirta tampak ragu, Ma
"Ada apa sih, Kak? Kok suaramu kayak lagi ngumpet-ngumpet gitu? Jangan-jangan Paman nggak dengarin nasihat Kakek lagi ya?" Suara ceria Shinta terdengar dari seberang telepon, dengan nada penuh rasa penasaran."Bukan soal Paman ...." Marila menahan rasa gugup dan malu dalam dirinya, lalu berbisik pelan, "Aku cuma mau tanya, waktu itu gimana caranya kamu buat Pak Tirta bantuin kamu besarin payudara?""Apa? Kakak bicara apa sih? Suaramu kecil banget, aku nggak dengar jelas ...." Shinta terdengar makin bingung.Wajah Marila pun langsung merah padam. Dia terpaksa mengulangi ucapannya dengan suara lebih keras, meskipun merasa malu. "Aku bilang, aku mau tanya, gimana caranya kamu bisa buat Pak Tirta bantu kamu besarin payudara ....""Hahaha! Wah, kamu ini ya! Aku benar-benar nggak nyangka! Waktu itu kamu marahin aku habis-habisan, sekarang kamu malah mau besarin juga!""Yah ... sebenarnya sih aku bisa saja kasih tahu, tapi kamu harus minta maaf dulu sama aku. Kalau suasana hatiku baik, aku bi
Ternyata setelah Shinta kembali ke ibu kota, Marila mulai menyadari ada yang aneh dengan perubahan di tubuh adiknya itu, khususnya di area payudara.Meskipun biasanya tertutupi pakaian dan tidak mudah terlihat oleh orang luar, Marila dan Shinta adalah kakak beradik. Tentu saja mereka kerap bersentuhan secara fisik.Suatu kali, Marila tanpa sengaja menyentuh tubuh Shinta dan terkejut mendapati payudara adiknya yang dulu rata telah berubah menjadi seperti buah pir besar!Karena itu, Marila curiga bahwa Shinta diam-diam melakukan operasi pembesaran payudara. Dia langsung memarahi sang adik habis-habisan.Shinta yang masih berjiwa muda dan sensitif, tentu tidak terima dituduh macam-macam tanpa alasan. Akhirnya, mereka bertengkar. Dalam perdebatan itu, Shinta keceplosan.Dari situ, Marila baru tahu bahwa Tirta memiliki kemampuan medis yang begitu ajaib! Melihat adiknya kini justru lebih "berisi" dibanding dirinya, Marila langsung merasa tertekan dan minder.Dia pun bertekad, kalau suatu har
Marila takut Tirta kehabisan kesabaran, jadi dia menunjuk ke arah sebuah gedung tinggi di pusat kota."Maaf sudah merepotkanmu. Oh ya, sebelumnya kamu sempat bilang ingin minta bantuanku, 'kan? Nanti setelah aku selesai menenangkan Susanti, aku pasti bantu kamu ...."Tirta melirik Susanti yang sedang tertidur di pelukannya, lalu mengangguk pelan. Dia seperti teringat sesuatu dan menoleh ke arah Marila. Namun, sebelum Tirta selesai bicara, Marila segera menyela dengan ekspresi agak canggung."Pak Tirta, urusanku nggak mendesak! Kamu bisa fokus dulu merawat Bu Susanti. Kalau nanti benar-benar sudah ada waktu luang, baru cari aku."Saat mengatakan itu, Marila tanpa sadar menunduk. Wajahnya pun terlihat agak malu dan pipinya sedikit memerah."Ya sudah kalau begitu." Melihat reaksi Marila, Tirta pun tak memperpanjang pembicaraan. Dia berkata ingin beristirahat sebentar, padahal sebenarnya dia masuk dalam kondisi meditasi untuk berbicara dengan Genta.'Kak Genta, lihat deh, pemandangan di Pr