Kartu Tirta sama persis dengan milik Ghafar! Kali ini, semua orang terperangah melihatnya, termasuk Ghafar! Dari reaksi Tirta sebelumnya, dia mengira Tirta mendapat kartu yang sangat buruk. Tak disangka, kartu yang diperoleh Tirta juga sama dengannya! Kali ini benar-benar gawat!"Mana mungkin bisa ada dua kartu yang sama persis?""Nggak, nggak mungkin!""Pasti ada yang curang!"Orang-orang di sekitar mereka langsung memikirkan kemungkinan lainnya. Tidak ada penjelasan lain lagi selain ada yang melakukan kecurangan."Bos, ini ...." Ehsan dan Hafid terdiam. Bahkan mereka sendiri juga tidak bisa membedakan siapa yang melakukan kecurangan."Nak, trik kecuranganmu hebat sekali. Salut! Tapi, aku duluan yang menunjukkan kartuku. Kamu yang curang, jadi kamu yang kalah. Sesuai aturan kasino, kamu bukan hanya harus mengembalikan semua uangmu. Setidaknya juga harus tinggalkan salah satu jarimu di sini!"Ghafar memang sangat berpengalaman dalam dunia perjudian ini. Hanya dalam sekejap, dia melempa
"Kalau begitu ayo lepas. Biar kuperiksa bajumu dan kamu periksa bajuku!"Pandangan Tirta yang tajam langsung menyadari keanehan pada sorot mata Ghafar. Dia mengira Ghafar pasti tidak akan berani membiarkannya memeriksa bajunya. Apa yang mau dilakukan Ghafar sebenarnya?Dengan menggunakan mata tembus pandang, Tirta melihat dengan jelas bahwa Ghafar sudah menyembunyikan kartu di tangannya! Jika dia memberikan bajunya kepada Ghafar, pasti Ghafar akan menuduhnya menyembunyikan kartu!Tirta segera memanfaatkan kesempatan itu, berpura-pura menyerahkan bajunya!"Haha, coba kuperiksa siapa yang sebenarnya menyembunyikan kartu!" Melihat Tirta jatuh ke dalam perangkapnya, Ghafar berpikir, 'Bocah, kamu berani melawanku dengan trik rendahan begini? Naif sekali!'Namun sebelum tangan Ghafar menyentuh baju Tirta, Tirta tiba-tiba mengambil dadu yang ada di meja dan memantulkannya seperti peluru. Dadu itu tepat mengenai titik di pergelangan tangan Ghafar yang menyembunyikan kartu!"Ah!" Tiba-tiba tang
"Aku benar-benar bukan sengaja mau bawa dia datang ke sini untuk permalukan Bos!""Dasar nggak berguna! Tahunya buat aku repot saja!" maki Ghafar. Ingin sekali rasanya dia menendang Ehsan sampai mati sekarang.Setelah itu, dia membentak bawahannya, "Bawa pecundang ini keluar dan patahkan kaki dan tangannya! Kalau aku lihat dia masuk ke sini lagi, kalian yang harus tanggung jawab!""Baik, Bos!" Melihat bos mereka naik pitam, para bawahannya juga tidak peduli lagi terhadap Ehsan yang meminta ampun. Setelah menghajarnya hingga babak belur, mereka menyeret Ehsan keluar dari kasino."Argh ... bocah sialan! Semua ini gara-gara kamu! Aku nggak akan lepaskan kamu!" teriak Ehsan saat diseret keluar dengan kondisi babak belur."Huh, mau balas dendam? Kamu nggak akan punya kesempatan lagi." Tirta sama sekali tidak takut terhadap ancamannya. Sebaliknya, dia menoleh pada Ghafar."Bos Ghafar, sesuai aturanmu, bukankah seharusnya kamu kasih aku semua uangmu itu? Lalu, bukannya jarimu juga harus dipot
"Wah, sombong sekali. Kamu kira hanya mereka saja sanggup melawanku?" kata Tirta sambil tertawa sinis. Dia sama sekali tidak peduli dengan Ghafar yang marah."Kamu kira kamu bisa melawan bawahanku sendirian dengan membawa dua wanita ini?" tanya Ghafar sambil menatap Tirta dengan tatapan remeh."Bos, biar kuhadapi bocah ini! Kalau nggak bisa mengalahkannya, Bos nggak perlu turun tangan. Aku yang akan lumpuhkan kaki dan tanganku sendiri!" Entah sejak kapan, Hafid telah mengajukan diri dengan mengambil sebuah pisau."Hehe, oke. Kamu maju saja," jawab Ghafar.Hafid bukan hanya mahir dalam melakukan kecurangan, tetapi juga merupakan seorang petarung yang handal. Ada banyak utang judi yang sulit ditagih, akhirnya berhasil dia selesaikan."Terima kasih, Bos!" Melihat Ghafar telah menyetujuinya, Hafid tersenyum meringis sambil menyerbu ke arah Tirta. "Bocah sialan, lihat saja kamu masih bisa sesombong itu nggak! Berlututlah!"Hanya beberapa langkah lagi, pisau tajam di tangan Hafid sudah hampi
"Nggak ... kami nggak berani. Kak, bukan, Tuan, Anda cepat pergi saja! Sebentar lagi Bos kami akan datang bawa pistol!" ucap seorang bawahan yang cerdas.Orang itu tidak ingin tewas di tangan Tirta, juga tidak ingin Tirta membawa kabur uang mereka. Oleh karena itu, dia menggunakan pistol untuk menggertak Tirta."Tirta, gimana kalau kita pergi saja .... Punya uang memang bagus, tapi nyawa lebih berharga," bujuk Arum."Tirta, sudahlah. Kita pergi saja dari sini ...," timpal Nabila yang juga ketakutan ketika mendengar Ghafar akan mengambil pistol. Sehebat apa pun kemampuan bertarung Tirta, Nabila tetap tidak ingin mengambil risiko."Nggak apa-apa. Kalaupun dia punya pistol, bukannya sama saja nggak berguna kalau nggak bisa dipakai?" Tirta tentu tidak akan pergi begitu saja tanpa melakukan apa pun.Setelah berpikir sejenak, dia langsung menemukan ide bagus. Saat Ghafar keluar nanti, dia akan mengambil sebuah kartu dan melemparkannya untuk memotong tangan Ghafar. Dengan begitu, bukankah sem
"Siapa wanita ini? Berani sekali memandang rendah bos kami?" Melihat aura Naura yang begitu berwibawa, para bawahan Ghafar semakin gentar."Tirta, dia ...." Melihat kecantikan Naura, Nabila merasa agak cemburu."Temanku. Aku pernah menolong ayahnya. Kamu jangan banyak pikir, kami nggak ada hubungan apa pun," jelas Tirta. Hati Nabila jadi semakin lega setelah mendengar penjelasannya. Namun, melihat sikap Naura yang tampak keren, Nabila tetap merasa agak iri dan kagum.Pada saat itu, Ghafar kebetulan keluar dari ruang dalam sambil membawa pistol. Dia sudah mendengar suara Naura dari tadi. Emosinya semakin memuncak! Ghafar yang sudah bertahun-tahun menjadi bos di dunia mafia, hari ini harus menghadapi begitu banyak orang yang datang untuk menginjak-injaknya?Mana mungkin dia tidak emosi menghadapi semua ini? Ghafar langsung mengarahkan pistol ke Tirta dan Naura sambil tersenyum dingin."Nak, kamu kira kamu siapa berani ikut campur urusanku? Segera bawa orangmu untuk keluar. Kalau nggak, j
"Aku nggak mau kompensasi, aku cuma mau dia menepati janjinya. Berikan semua uang yang kumenangkan padaku, lalu potong satu jarinya. Mengenai masalah dia menyinggung Bu Naura, menurutku ini hal yang lumayan serius. Sebaiknya dipenjara 10 tahun," balas Tirta setelah berpikir sejenak.Ghafar tadi sangat angkuh sampai hendak mengancam Nabila dan Arum. Tirta tentu tidak akan melepaskannya begitu saja."Bu Naura, nggak perlu sampai separah itu, 'kan?" Mendengar penuturan Tirta, wajah Ghafar semakin pucat. Kali ini dia benar-benar rugi besar, bahkan mengorbankan keselamatannya."Ghafar, dari perbuatan yang kamu lakukan ini, menurutku hukuman itu nggak terlalu berat. Kalau kamu nggak puas, aku akan bawa kamu temui ayahku. Biar dia saja yang ambil keputusan. Gimana?" Naura juga tentunya berpihak pada Tirta."Nggak ... nggak usah. Anggap saja aku sial hari ini." Ghafar tahu betul apa yang telah dia lakukan, jadi dia hanya bisa menerima kekalahan dengan patuh. Tanpa perlu berkata apa pun, Tirta
"Kak Arum, kamu nggak mau di kota saja?" tanya Nabila. Tentu saja, dia tidak beranggapan bahwa Arum ingin mengikuti Tirta demi uang."Nggak, nggak ada lagi yang kurindukan dari tempat ini," jawab Arum sambil tersenyum getir. "Toko sudah digadai, beberapa hari lagi waktu tenggatnya sudah tiba. Adikku yang nggak berguna itu ... aku juga nggak bisa urus dia lagi.""Aku merasa kalian ini orang baik. Sudah bertahun-tahun nggak ada orang yang melindungiku seperti yang kalian lakukan," timpal Arum sambil meneteskan air mata. Jika bukan karena bertemu Tirta hari ini, dia sudah pasti akan ditangkap oleh Ehsan untuk melunasi utang."Tirta, Kak Arum kasihan juga. Kalau nggak, biarkan saja dia ikut kita ke desa." Sesama wanita memang lebih sensitif, Nabila merasa sangat simpati terhadap Arum."Bisa saja kalau kamu mau ikut kami ke desa. Tapi, sekarang ini nggak ada tempat tinggal untuk Kak Arum," balas Tirta."Ini ... gimana kalau nginap di rumahku dulu?" usul Nabila setelah berpikir sejenak."Nan
Di sisi lain, di dalam kantor polisi.Wali Kota Hamza, Pinot, bersama dengan kepala kepolisian, Ladim, duduk dengan santai di aula utama. Mereka mulai bertanya kepala polisi yang berjaga di depan, Niko."Kapan atasan kalian keluar? Cuma menyerahkan penjahat, sepertinya nggak perlu terlalu lama, 'kan?" Yang berbicara adalah Ladim. Dia menerima banyak hadiah dari Karsa. Ketika ada masalah, dia tentu harus turun tangan."Huh, Bu Susanti sedang sibuk dan nggak punya waktu untuk bertemu dengan kalian. Kalian bisa kembali saja. Lagian, para penjahat itu ditangkap di wilayah kami. Tanpa izin dari Bu Susanti, aku nggak akan melepaskan mereka!"Niko jelas bisa merasakan bahwa mereka datang dengan niat buruk. Makanya, dia mendengus dan berkata dengan kesal."Hehe, memang benar kalian yang tangkap, tapi mereka semua berasal dari Kota Hamza. Jadi, sudah seharusnya diserahkan ke Kepolisian Kota Hamza untuk diproses. Kalian nggak punya hak untuk bernegosiasi denganku. Suruh atasan kalian keluar dan
"Kak Tirta, yang kamu tulis ini benar? Benaran ada efek seperti itu?" Setelah melihat resep untuk pembesaran bokong dengan teliti, ekspresi Shinta penuh kegembiraan.Dengan resep pembesaran payudara dan bokong ini, dia akan menjadi wanita sempurna di masa depan!"Tentu saja benar, untuk apa aku menipumu?" sahut Tirta mengangguk."Tirta, aku tentu percaya dengan keahlian medismu, bahkan kamu bisa dibilang setara dengan dewa. Tapi, apa benaran khasiatnya sebagus itu? Orang mati bisa dibangkitkan kembali?" tanya Saba yang semakin terkejut setelah melihat resep itu."Itu juga benar. Selama nggak ada kerusakan otak, jantung hancur, atau berusia lebih dari 100 tahun, resep ini bisa menyelamatkan mereka. Kalau kamu nggak butuh, keluarga atau temanmu juga bisa menggunakannya. Cukup ikuti resep di atas untuk membuatnya," jelas Tirta."Oke, ini baru namanya kebal dari apa pun! Kalau digunakan di kemiliteran, ini akan sangat berguna! Tirta, terima kasih!" Ini pertama kalinya Saba menunjukkan eksp
"Kak Saba, hadiah ini terlalu berharga. Aku nggak bisa menerimanya!" Mendengar itu, tangan Tirta sampai gemetaran. Dia hendak mengembalikan kotak hitam kecil itu.Meskipun belum pernah mendengar tentang Nagamas, dari namanya saja, Tirta bisa menebak bahwa yang tinggal di sana pasti orang-orang besar seperti Saba!Tirta merasa, sebagai orang biasa yang tidak memiliki jabatan atau kekuasaan, dirinya tidak layak tinggal di tempat seperti itu.Sementara itu, buku kecil biru itu seperti semacam surat pengampunan yang sangat berharga!Tirta merasa dirinya hanya mengobati penyakit orang, secara logika, dia tidak pantas menerima hadiah sebesar ini."Tirta, kenapa sungkan begitu sama aku? Vila itu sudah terdaftar atas namamu. Terima saja. Lagi pula, kalau aku mengundangmu untuk jalan-jalan ke ibu kota, kamu butuh tempat untuk tinggal, 'kan?" Saba melambaikan tangan dan tersenyum."Benar, barang-barang ini nggak ada artinya bagi kakek. Kak Tirta, terima saja. Kalau nggak, kamu nggak boleh mencar
Tirta tersenyum dan berkata, "Ya sudah, besok kamu temani aku beli sayuran."Dengan mata yang berkilat, Tirta langsung menyetujui dengan cepat. Melihat Tirta setuju, Ayu merasa senang. Dia mulai memikirkan, apa yang harus dikenakan besok.....Setelah makan, sekitar setengah jam kemudian, Ayu membawa para wanita menyiram tanaman di kebun.Tirta dengan beberapa anak harimau di pelukannya, sedang duduk santai di depan pintu menikmati sinar matahari.Tiba-tiba, beberapa mobil jeep hitam berhenti perlahan di depan klinik. Pintu mobil terbuka. Shinta adalah yang pertama keluar dari mobil.Gadis itu berkata dengan girang kepada seorang pria tua di dalam mobil, "Kakek, ini tempat tinggal Tirta. Namanya Desa Persik. Ada gunung dan ada air, pemandangannya sangat indah.""Desa Persik ... bagus, bagus. Benar-benar tempat yang bagus untuk menenangkan diri. Pantas saja orang sehebat Tirta tinggal di sini." Saba turun dari mobil dan memandang sekitar.Di depan matanya, ada pegunungan hijau dan air y
"Bi Ayu, aku sudah bawa Tirta kembali! Waktu aku sampai, dia sedang makan nasi kotak di vila!" Setelah kembali ke klinik, Arum melepaskan Tirta dan menepuk tangannya sambil berkata dengan tidak puas."Tirta, Arum sudah masak banyak makanan bergizi untukmu. Kenapa nggak dimakan dan malah pergi ke vila untuk makan nasi kotak?" tanya Ayu dengan bingung."Kenapa lagi?" Agatha tertawa dan menyela, "Karena dia nggak ingin makan kemaluan sapi!"Di sudut meja makan, Nia yang mendengar ini merasa agak malu."Tirta, terakhir kali kamu menghabiskan sepiring penuh kemaluan sapi dalam dua hingga tiga menit. Kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Arum dengan kesal. "Aku kira kamu suka makan itu, jadi aku masak dua batang kali ini!""Ya, Tirta, kenapa kali ini kamu nggak mau makan?" tanya Melati dengan bingung."Aku ... hais, aku sebenarnya nggak butuh makan itu. Tubuhku sehat-sehat saja, makanan seperti itu berlebihan untukku," timpal Tirta dengan lesu."Kenapa berlebihan? Makanan itu sangat b
Farida menebak Tirta pasti menyembunyikan sesuatu. Dia mengambil nasi kotak dari mobil, lalu memberikannya kepada Tirta. Farida berkata, "Nggak ada nasi kotak yang tersisa lagi. Kalau kamu nggak keberatan, ini nasi kotakku."Farida yang membawa nasi kotak. Di atasnya terdapat gambar kartun kucing berwarna merah muda. Gambar itu juga terdapat di pakaian dalam yang sering dikenakannya. Siapa sangka, Farida yang lebih tua daripada Ayu menyukai barang lucu seperti ini."Kak Farida, kalau kamu berikan nasi kotakmu padaku, kamu makan apa?" tanya Tirta. Dia merasa malu. Apalagi setelah melihat gambar kucing di nasi kotak itu.Farida melihat tatapan Tirta tertuju pada gambar kucing itu. Dia takut Tirta mentertawakannya. Farida menyahut dengan gugup, " Aku nggak lapar, anggap saja aku lagi diet. Kamu makan saja.""Oke. Terima kasih, Kak Farida. Oh, iya. Bagaimana perkembangan renovasi vila? Apa malam ini aku bisa tinggal di vila?" timpal Tirta.Tirta tidak sungkan lagi. Dia membuka nasi kotak,
Tiba-tiba, terdengar suara batuk Agatha. Dia bertanya, "Tirta, apa maksudmu?"Tirta terkejut. Dia segera menyimpan mata tembus pandang, lalu membuka pintu dan berkata seraya tersenyum, "Kak Agatha, maksudku Kak Nia sangat kompeten. Ke depannya pria yang bersamanya pasti bahagia."Agatha yang curiga bertanya, "Kenapa kamu tiba-tiba bicara seperti itu? Bukannya kamu lagi melakukan akupunktur pada Kak Nia? Apa yang dia lakukan?"Tirta menjawab dengan tenang, "Maksudku untuk urusan kebun buah. Tadi kami membahas masalah kebun buah waktu melakukan terapi akupunktur. Kak Nia bisa mengurus semuanya tanpa bantuanku. Dia sangat kompeten."Agatha mengangguk sambil menanggapi, "Kak Nia memang kompeten. Aku pun nggak bisa melakukannya sendiri. Aku pasti kewalahan."Agatha bertanya lagi, "Mana Kak Nia? Apa terapi akupunktur sudah selesai?"Tirta menyahut, "Sudah. Dia lagi ganti baju."Agatha berusaha menahan tawanya dan menimpali, "Makanannya sudah siap. Kamu cuci tangan dulu sebelum makan. Kak Aru
Tirta berkata sebelum memulai akupunktur, "Kak Nia, terapi akupunktur kali ini mungkin berbeda dengan sebelumnya. Aku akan menambahkan pijatan agar efeknya lebih bagus."Tirta melanjutkan, "Sebaiknya kamu persiapkan mentalmu. Tentu saja, aku nggak berniat mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kalau kamu keberatan, aku hanya melakukan akupunktur.""Pijatan?" ujar Nia. Dia menghela napas, lalu mengangguk dan menambahkan, "Itu ... nggak masalah. Lagi pula, semua itu untuk mengobati penyakitku. Aku bisa terima, yang penting bisa menyembuhkanku.""Oke, Kak Nia. Mungkin nanti akan sedikit gatal. Tahan sebentar, ya," timpal Tirta. Selesai bicara, dia langsung menusukkan jarum ke bagian dada Nia.Kali ini, Tirta melakukan terapi akupunktur pada Nia untuk menyembuhkan sesak napas yang dideritanya. Setelah Tirta mencabut jarum, Nia belum merasakan gatal.Kemudian, Tirta melakukan terapi akupunktur sesi kedua. Begitu Tirta menusukkan jarum, Nia merasa gatal hingga mengeluarkan desahan. Dia bergu
Kemudian, Ayu kembali sibuk di dapur. Agatha keluar dari klinik, lalu bertanya kepada Tirta, "Tirta, Bibi Ayu bilang apa denganmu? Kenapa kalian kelihatan misterius?"Tirta menjawab dengan tenang, "Nggak apa-apa. Bibi Ayu tanya kenapa Kak Nia tiba-tiba tinggal di klinik.""Oh. Kamu cepat lihat dulu, nanti malam Kak Nia tidur di mana?" timpal Agatha. Dia menarik Tirta masuk ke klinik, lalu melanjutkan dengan ekspresi khawatir, "Selain itu, kita bertiga ... kita tidur di mana? Nggak ada tempat lagi."Nia yang berdiri di depan pintu klinik berujar dengan canggung, "Tirta, apa aku merepotkan kalian? Kalau nggak, aku tinggal di hotel saja."Tirta menepuk dadanya sambil menjamin, "Nggak usah, Kak Nia. Aku sudah atur semuanya. Klinik ini cukup untuk ditempati kita semua.""Kalau begitu, kamu lakukan akupunktur pada Kak Nia. Aku lihat Bibi Ayu butuh bantuan atau nggak," ucap Agatha. Selesai bicara, dia masuk ke dapur.Tirta menutup pintu klinik, lalu mengambil jarum dan berkata kepada Nia, "Ka