[Aku selalu doain kamu, De. Meskipun sekarang kita gak bisa bersama di dunia, aku selalu berdoa semoga kita bisa dipasangkan di surgaNya kelak.]Pesan yang kuterima dari Aa Iz itu, membuat hatiku ketar ketir tak karuan. Bukan kenapa-kenapa, tapi karena status dia yang sekarang adalah suami orang lain. Tambah lagi sekarang dia itu Ustadz kondang penerus sebuah pesantren yang lumayan besar milik ayahnya. Yang lebih dramatis lagi, pria tampan itu sudah memiliki 4 orang anak yang lucu-lucu. Sedangkan aku? Aku hanyalah seorang janda cerai hidup yang memiliki satu anak. Ah ... memang sudah sepantasnya aku sadar diri, siapa aku dan bagaimana aku harus bersikap. Levelku sekarang jauh berbeda. Aku hanya seorang Guru TK. Aku minder sekali, apalagi dibandingkan dengan istrinya yang seorang lulusan pesantren yang sama, berpendidikan bahkan seorang Bidan. Nama Ustadz tampan itu Muhammad Izandra. Dulu aku menyebutnya Aa Izan atau Aa Iz. Mantan terindahku saat aku masih duduk dibangku SMA. ***Ta
[Jangan panggil Pak Ustadz donk, Bu Dede. Panggil aja kaya dulu. Aa Iz ... ]Begitulah isi pesan Izandra saat aku memanggilnya Pak Ustadz. Dia bilang enakan di panggil Aa Iz atau hanya Aa saja. Dan dia memanggilku, Bu Dede. Lucu sekali. Aku juga memprotes panggilan dia yang memakai embel-embel "Bu" di depannya. Aku ingin di panggil Dede saja seperti dulu. Sama seperti panggilan kedua orangtuaku dan teman-teman dekatku, karena aku adalah anak bungsu, jadi kedua orangtua dan teman dekatku terbiasa memanggilku seperti itu, sekalipun sekarang aku sudah memiliki anak. Jika di pikir-pikir, rasanya aneh juga, sudah kepala tiga masih di panggil Dede, seperti sebutan untuk anak balita. Tapi ya sudahlah, jadi serasa awet muda juga ... Apalagi panggilan itu panggilan kesayangannya padaku. Eh.Setelah awal mula chat basa-basi yang menanyakan kabar, anak, istri dan lain-lain. Semakin kesini chat dari Izan semakin menjurus ke masa lalu. Dia bilang, dulu sebelum tahun 2015 dia mencari ku. Dia ingin
[Boleh aku egois?Aku gak mau cuma bersama kamu di akhirat, tapi aku mau sama kamu di dunia juga, Aa Izz.]Rasanya urat malu ku sudah benar-benar putus. Bisa-bisanya aku mengirimkan pesan seperti itu pada Izandra. Otak dimana otak? Aku menepuk keningku dengan telapak tanganku keras berulang kali. Kring!! Terlihat Izan melakukan panggilan telepon padaku. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika dia bertanya soal pesanku tadi? 'Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh banget Indri!'Aku terus saja menggerutu sambil menatap layar ponsel yang menampilkan nama Izandra sedang memanggil. Aku terus menggigiti ujung kuku jari telunjukku sambil mondar mandir cemas. Aku baru bisa bernafas lega saat panggilan itu telah berhenti. Fyuuhh!!Aku mengusap keningku yang sama sekali tak berpeluh.Sayang kelegaan itu hanya sebentar, karena beberapa detik kemudian, Izandra kembali menelpon ku. Aku yakin dia takkan berhenti menelpon sebelum aku angkat. Dan benar saja setelah beberapa menit, dia
Kalau dikatakan kami keterlaluan. Ya, memang benar. Aku pun menyadarinya. Hanya saja ini kenyataannya. Kenyataan bahwa kami berdua masih terjebak dalam nostalgia masa lalu dan terjebak dengan cinta yang belum usai. Jika di katakan ini salah, memang benar ini semua salah. Aku takkan berkata bahwa aku benar. Jujur saja, aku tak ingin di cap pelakor. Tapi masalah hati siapa yang bisa mengaturnya kecuali Allah. Hanya saja, kita bisa menggunakan akal pikiran kita untuk menerima atau menolak hal yang akan berpengaruh baik atau buruk bagi kehidupan kita kedepannya. Semua dengan nafsu atau tidak. Seperti yang IzanIzandra katakan kemarin, bahwa istrinya mengijinkan dia berpoligami setahun yang lalu. Well ... Aku tak serta merta bahagia. Meski memang aku merasa ada sedikit harapan tapi aku takkan menyiram harapan itu agar semakin besar. Aku harus menguburnya. Apalagi saat aku memikirkan latar belakang kami yang sangat jauh berbeda. Aku yang notabene bukan lulusan pondok dan dia yang justru s
~Bagaimana aku bisa bahagia, sedangkan ada banyak hati yang harus aku jaga~Di sepertiga malam ini, aku bersimpuh di hadapan Rabb-ku. Meminta petunjuk, meminta ketenangan hati, dan meminta yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhiratku. Karena aku sadar, tak ada yang bisa memberi petunjuk selain Allah. Jujur, setelah perceraianku dua tahun kemarin. Aku menjadi memiliki keinginan untuk berhijrah. Terutama memakai hijab disetiap saat. Dan alhamdulillah atas kemudahan dari Allah dan dorongan dari orang-orang terdekatku, terutama sahabatku Irene yang lebih dulu berhijab syar'i, aku kini memantapkan hati memakai hijab. Awalnya aku ragu, tapi karena hati yang selalu saja gelisah akhirnya aku nekat berhijrah. Bermodal niat ingin memperbaiki diri karena Allah. Bahkan kalau bisa aku ingin langsung memakai cadar. Ah, mungkin itu akan aku pikirkan lagi kelak ketika aku sudah memiliki imam dalam rumah tanggaku.Aku sadar sekarang bahwa segala sesuatu itu harus atas kehendak Allah. Maka kini ak
PoV 3Indri terbangun dari tidurnya. Ternyata sehabis shalat istikharah tadi ia ketiduran di atas sajadah. Saat ia membuka mata, ia teringat akan mimpinya barusan yang seakan nyata. 'Apakah itu jawaban dari Allah bahwa semua akan baik-baik saja?' batinnya.Jujur di hatinya, dia masih merasa dilema dan bimbang. Banyak sekali pertimbangan yang dia pikirkan. Bahkan setelah beberapa hari ini dia rutin istikharah, ada banyak hal yang membuat dia justru semakin galau.Indri dan Izz selalu berkomunikasi tentang apa saja yang akan terjadi jika pernikahan mereka benar-benar menjadi kenyataan. Karena keduanya pun merasa bahwa jalan mereka tak mudah dan takkan ada yang tahu bagaimana rumitnya perasaan mereka saat ini.Satu sisi, Indri memang masih memiliki perasaan pada Izz, hanya saja di sisi lain, dia juga bimbang jika harus menyakiti hati istri pertama Izz. Tak ada wanita yang akan dengan sukarela berbagi suaminya dengan orang lain, pikir Indri. Kalau pun ada, maka orang itu pasti telah melal
Allah memudahkan kita mengambil keputusan yang sulit dengan cara meminta petunjuk kepadaNya lewat shalat istikharah. Dan itulah yang Izz dan Indri lakukan selama satu bulan ini. Setiap malam mereka melantunkan doa-doa agar diberikan petunjuk mana yang terbaik bagi hubungan mereka ke depannya.Bagi orang lain yang melihat apa yang mereka lakukan, mungkin akan berkata mereka sudah gila dan di butakan oleh cinta. Apalagi seorang Izandra yang notabene orang yang memiliki ilmu agama yang baik yang harusnya lebih bisa berpikir positif dan bijak dalam mengambil sikap. Bukan malah terlena dalam cinta yang belum usai. Padahal di mata orang awam, sekelas Kyai harus memiliki iman yang kuat, tak mudah goyah oleh hawa nafsu. Tapi apalah daya.. Izandra tetap lah seorang manusia yang memiliki hati, dia pikir siapa yang bisa membolak-balikan hatinya kecuali atas kehendak Allah. Itulah yang membuatnya yakin untuk melakukan istikharah selama satu bulan penuh, agar apa yang akan dia putuskan kini, adal
Di saat kita sudah merasa memiliki sesuatu, terkadang kita di paksa sadar bahwa hal tersebut nyatanya bukanlah milik kita. Apa yang kita jaga agar tak lepas dari genggaman, ternyata justru hanya titipan semata. Jangankan orang lain, anak kita, pasangan kita, orang tua kita, saudara kita, harta kita, bahkan diri kita sendiri pun semua hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa saja di ambil kembali oleh Sang Pemilik Segalanya. Begitulah yang kira-kira Annisa rasakan saat ini. Rasa memiliki yang begitu dalam akan sang suami, Izandra. Membuat Annisa merasa sangat amat pilu ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus berbagi segala apa yang ada pada suaminya itu dengan perempuan lain. Raganya, cintanya, hartanya, ilmunya, perhatiannya, tanggung jawabnya, semua seperti sebuah mimpi buruk yang membuat Annisa enggan untuk meyakininya sebagai kenyataan. Sayangnya semua bukanlah sebuah mimpi. Sang suami benar-benar berniat ingin membagi segala sesuatu yang selama ini Annisa sangka hanya u
Dengan pertimbangan yang sangat panjang dan perdebatan yang alot antara ibu Indri dengan Gani kakaknya Indri, akhirnya setelah dua minggu Indri koma, keluarga memutuskan untuk menikahkan Indri dengan Izandra. Mereka agak khawatir dengan kondisi Indri yang belum mengalami perubahan. Mereka menjadikan pernikahan dengan Izandra adalah harapan terakhir Indri. Pertanyaannya adalah bagaiman jika saat Indri sadar nanti justru tidak setuju menikah dengan Izz? Di sini para keluarga, terutama orang tua Indri dan juga Annisa hanya memikirkan hal terburuk terlebih dahulu. Masalah kelak jika Indri bangun dan menolak pernikahan akan di pikirkan lagi ke depannya. "Saya terima nikah dan kawinnya Indria Saputri Binti Yanto Susanto dengan mas kawin yang tersebut, tunai!" ucap Izz lantang sambil menjabat tangan ayah Indri. Terdengar kata 'SAH' menyahut dari kedua saksi setelah Izz melafazkan ijab qabul nya. Ijab qabul di laksanakan di rumah sakit secara siri di ruangan VIP tem
Dengan pertimbangan yang sangat panjang dan perdebatan yang alot antara ibu Indri dengan Gani kakaknya Indri, akhirnya setelah dua minggu Indri koma, keluarga memutuskan untuk menikahkan Indri dengan Izandra. Mereka agak khawatir dengan kondisi Indri yang belum mengalami perubahan. Mereka menjadikan pernikahan dengan Izandra adalah harapan terakhir Indri. Pertanyaannya adalah bagaiman jika saat Indri sadar nanti justru tidak setuju menikah dengan Izz? Di sini para keluarga, terutama orang tua Indri dan juga Annisa hanya memikirkan hal terburuk terlebih dahulu. Masalah kelak jika Indri bangun dan menolak pernikahan akan di pikirkan lagi ke depannya. "Saya terima nikah dan kawinnya Indria Saputri Binti Yanto Susanto dengan mas kawin yang tersebut, tunai!" ucap Izz lantang sambil menjabat tangan ayah Indri. Terdengar kata 'SAH' menyahut dari kedua saksi setelah Izz melafazkan ijab qabul nya. Ijab qabul di laksanakan di rumah sakit secara siri di ruangan VIP
Seminggu Indri di rawat. Seminggu itu pula lah Annisa melihat banyak sekali cinta di mata suaminya untuk perempuan yang saat ini sedang terbaring koma itu. Izz pasti setiap hari menengok Indri. Dan karena takut Annisa cemburu, maka Izz mengajaknya setiap kali menjenguk Indri. Dia pikir hal tersebut akan membuat Annisa merasa di hargai oleh Izz, padahal justru semua itu membuat Annisa diam-diam memendam rasa sakit. Rasanya Annisa ingin menutup mata dari semuanya. Berharap jika semua yang dia lihat di mata Izz hanyalah perasaan buruk sangkanya saja. Tapi, ternyata tidak. Semua terlihat sama. Mata sendu itu, rasa khawatir itu, perhatian itu, semua sangat tulus dari mata sang suami. Sayang semua untuk perempuan lain. Bukan untuknya. Apalagi Izz seolah melupakan Annisa yang berada di sisinya saat Izz sudah bertemu dengan Indri, meskipun Indri hanya terbaring tak sadarkan diri. Izz seolah larut dalam kesedihan mendalam saat melihat cinta pertamanya itu lemah tak berdaya hingga tak
Ekspresi Izandra berubah panik setelah mendapat telepon dari seseorang. Orang tersebut mengabarkan bahwa Indri tertabrak mobil yang melaju kencang saat menyebrang jalan. Orang itu menghubungi nomor Izz terlebih dahulu, karena nama Izz yang ada di nomor kontak darurat di HP Indri yang di kunci tanpa adanya akses fingerprint. Dia mengabarkan bahwa Indri sudah di bawa ke RS terdekat untuk segera di tangani. Annisa yang melihat raut wajah Izz menegang langsung bertanya-tanya mengapa ekspresi suaminya berubah setelah menerima telepon. Suasana yang tadi hening setelah kepergian Indri, kini berubah menjadi tegang. Ya. Satu sisi Izandra khawatir dengan Indri, di sisi lain saat ini dia harus meluluhkan hati istrinya lagi. Jika sekarang dia pergi, maka Annisa pasti akan semakin marah, tapi jika dia tak pergi, dia kasihan terhadap Indri. Sedangkan dia tak tahu nomor keluarga Indri yang bisa dia hubungi. Akhirnya dengan segenap kekuatan, dia mencoba memberi pengertian pada Annisa.
Izandra tiba di kediaman mertuanya. Rumah ibunya Annisa. Dan tentu saja Indri ikut ke sana karena Indri lah yang memaksa Izz untuk menemui Annisa. Tadinya ibunya Indri akan ikut, tapi Indri melarangnya karena ia pikir ini adalah urusannya dengan Annisa. Indri memutuskan untuk menyerah. Dan Izz pun tak bisa memaksakan kehendaknya pada Indri. Segala keputusan Indri akan selalu Izz terima. Karena sedari awal pun Izz tak pernah memaksa untuk Indri bisa menerimanya. Apalagi sekarang justru rumah tangganya dengan Annisa malah di ujung tanduk. Izz sebisa mungkin akan berusaha mempertahankan rumah tangganya. Karena memang Izz tak pernah berniat untuk meninggalkan Annisa dan juga anak-anaknya. Itu adalah hal yang sangat mustahil Izz lakukan sekalipun Izz pernah egois memaksakan Annisa untuk menerima wanita lain di tengah mahligai rumah tangganya. Tapi di sudut hati Izz, Annisa masih tetap menjadi Ratunya yang takkan pernah Izz lepaskan. Tok! Tok! Tok! Izzandra mengetuk pin
Ada yang bilang takdir tentang jodoh itu pilihan. Kitalah yang harus memilih akan menerima orang yang masuk ke dalam hidup kita atau menolaknya. Tinggal pikirkan resiko ke depannya. Begitu katanya. Tapi ada juga yang percaya, bahwa jodoh, rejeki, maut, semua adalah rahasia Allah. Ibarat kata, sekuat apapun kita berusaha berjodoh dengan seseorang, jika Allah tak menghendakinya maka semua takkan pernah terjadi. Begitu juga ketika kita menolak untuk berjodoh dengan seseorang tapi jika Allah sudah berkehendak, maka kita akan tetap berjodoh dengannya. Entahlah.. Tinggal pilih saja mana yang kita yakini. Pilihan atau takdir. Begitupun dengan kisah Indri dengan Izandra. Bukan ingin indri untuk masuk ke dalam kehidupan rumah tangga Izandra. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya, jika sekarang dialah yang menjadi duri di dalam rumah tangga orang lain. Tapi dia juga bimbang, tak tahu skenario seperti apa yang sedang Allah rencanakan untuknya. Beberapa hari ini Indri terus
Izz masuk ke dalam kamarnya di lantai dua setelah tadi dia menemani anak-anaknya bermain sebentar. Ia mengedarkan pandangannya mencari sang istri yang tak terlihat di sana. Dia berjalan menuju walk in closet, Annisa tak terlihat juga di sana. Lalu dia berjalan ke arah kamar mandi di seberang walk in closet. Izz sedikit menempelkan telinganya di depan pintu kamar mandi. Di sana terdengar gemericik air di dari dalam. Mungkin Annisa sedang mandi, pikir Izz. Sepulu menit, dua puluh menit, sampai hampir satu jam, Annisa sama sekali tak keluar dari dalam kamar mandi. Izz mulai merasa ada yang janggal. Ia kembali menuju pintu kamar mandi dan menempelkan telinganya di sana. Gemericik air tetap terdengar tapi seperti tak ada aktifitas apapun di dalamnya. Izz mencoba mengetuk pintu dan memanggil Annisa. Satu kali, dua kali, sama sekali tak ada jawaban. Dia mencoba memutar gagang pintu, tapi ternyata di kunci dari dalam. Izz mulai panik, berbagai pikiran buruk langsung berk
Indri duduk di Kafe Teras Biru sambil memainkan handphone nya dan menunggu sahabatnya datang. Semalam dia mengajak Irene untuk bertemu di kafe tersebut saat jam makan siang. Indri memindai isi Kafe tersebut yang di dominasi warna biru. Mulai dari cat dinding, warna lantai, hiasan-hiasan bahkan kursi dan mejanya pun dominan berwarna biru. Menu makanan di Kafe tersebut rata-rata adalah makanan kekinian, seperi aneka macam mie, seblak, bakso, dimsum, steak, ricebowl dan lain-lain. 'Tempatnya cukup enak buat nongkrong dan curhat,' pikir Indri. Beberapa menit kemudian Irene datang dan langsung memeluk Indri, mereka saling menanyakan kabar sambil cipika-cipiki. Setelah berbasa-basi mereka pun langsung duduk, Indri memanggil pelayan dan menyodorkan buku menu pada Irene, lalu mereka memesan 3 menu makanan dan dua minuman. Setelah pelayan pergi, Irene langsung menodong Indri dengan pertanyaan, "So... Gimana-gimana? Udah dapet keputusan?" tanya Irene, tapi Indri hanya tersenyum
"Tunggu! Aku ingin bicara," ucap Gani. Seketika Izz mengurungkan niatnya untuk pergi menyusul Annisa karena Gani meminta bicara dengannya. Izz menghela napasnya pelan. Kemudian mengangguk patuh. "Silakan duduk dulu," titah Gani. Izz merasa ada hawa intimidasi dari tatapan Gani kepadanya. Dan dia pun memaklumi juga menerima apapun konsekuensi yang akan dia terima. Gani duduk di seberang Izz di ikuti yang lainnya. Mereka diam beberapa saat sampai Gani membuka suaranya. "Jadi benar, kabar bahwa kamu akan menjadikan adik saya istri ke dua?" tanya Gani to the point. "A ... Please ... Jangan kek gini," bujuk Indri. Dia takut sekali sang kakak murka pada Izz. Tapi memang tak ada pilihan lain, dia harus membela Izz apapun yang terjadi. "Diam kamu!" sentak Gani. "Aa lagi ngomong sama dia! Kamu diam! Jangan ikut campur!" Gani membentak Indri dengan wajah merah menahan amarah. Ibunya Indri berusaha mendekat pada Indri dan memeluk putri kesayangannya it