[Boleh aku egois?Aku gak mau cuma bersama kamu di akhirat, tapi aku mau sama kamu di dunia juga, Aa Izz.]
Rasanya urat malu ku sudah benar-benar putus. Bisa-bisanya aku mengirimkan pesan seperti itu pada Izandra. Otak dimana otak? Aku menepuk keningku dengan telapak tanganku keras berulang kali.Kring!!Terlihat Izan melakukan panggilan telepon padaku. Bagaimana ini? Apa yang harus aku lakukan? Bagaimana jika dia bertanya soal pesanku tadi? 'Bodoh! Bodoh! Bodoh! Kamu bodoh banget Indri!'Aku terus saja menggerutu sambil menatap layar ponsel yang menampilkan nama Izandra sedang memanggil. Aku terus menggigiti ujung kuku jari telunjukku sambil mondar mandir cemas. Aku baru bisa bernafas lega saat panggilan itu telah berhenti.Fyuuhh!!Aku mengusap keningku yang sama sekali tak berpeluh.Sayang kelegaan itu hanya sebentar, karena beberapa detik kemudian, Izandra kembali menelpon ku.Aku yakin dia takkan berhenti menelpon sebelum aku angkat. Dan benar saja setelah beberapa menit, dia tetap tak menyerah dan terus menghubungi ku.Akhirnya di panggilan ke 10, aku memberanikan diri untuk mengangkat telepon darinya."Ha-halo. A-assalamu'alaikum?" ucapku ragu-ragu."Halo, De. Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Lagi apa? Ganggu, gak?" Kata Izandra diseberang sana.Aaahhhh. Suaranya membuat jantungku seakan sedang ikut lari maraton. Berdebar-debar dengan sangat cepat.Aku buru-buru menetralisir rasa gugupku. "Ehm ... De lagi diem aja, A. Emmm ... Aa lagi apa? Enggak kok, gak ganggu sama sekali." Untung ini hanya telepon biasa bukan video call. Jika video call mungkin saat ini dia bisa melihat pipiku yang sekarang berubah merah seperti tomat karena malu."Syukurlah kalo gak ganggu. Ko diem aja, lagi ngelamun ya? Jangan bilang ngelamunin Aa?" Katanya dengan percaya diri tingkat dewa.Aku ingin cekikikan, tapi dengan sekuat tenaga aku menahannya. Aku lalu menarik nafas panjang dan berusaha untuk tidak salah tingkah. Bisa-bisa dia besar kepala."Siapa juga yang lagi mikirin Aa. Orang De lagi mikirin masa depan De." Kataku sambil mesem-mesem gak jelas.Aku jadi berasa anak ABG yang lagi di telepon gebetannya. Kejang-kejang gak jelas sambil guling-guling di atas kasur.'Istighfar Indri ... Dia suami orang.' Peringatku dalam hati agar aku tidak terbawa suasana. "Yakin? Bukannya masa depan Dede itu Aa yah? Buktinya tadi ada yang chat romantis sama Aa."Sumpah! Kalau ada lubang cacing disini sekarang, rasanya aku ingin masuk dan sembunyi di dalamnya."Ehm! Ko diem aja, De? Gak pingsan, kan?" Tanya Izandra lagi.Ish ... Apaan sih dia ini. Bikin hatiku jadi tak karuan!"E-eh ... Enggak kok. Ini masih sadar. Cuma ... De aja yang gak sadar diri, berani-beraninya kirim pesan kek gitu sama Aa. Jadi berasa pelakor deh, Dede," ucapku sendu.Tiba-tiba suasana jadi canggung dan hening beberapa saat. Izandra juga tak mengatakan apapun."Emmmm ... De ... Masa Aa harus poligami sih?" tanyanya polos.Duaarrrr!!Berasa di sambar petir siang bolong pas dia bilang soal poligami. Sumpah, aku gak ada pikiran jauh sampai ke sana.Mungkin iya, aku belum move on dari masa lalu dengannya. Tapi untuk merusak rumah tangganya atau menjadi madu dikehidupan dia dengan istrinya, tak terpikirkan sama sekali dalam pikiran dan hatiku.Apalagi aku sadar, aku juga seorang perempuan dan seorang ibu. Rasanya terlalu kejam jika aku harus menjadi duri untuk perempuan lain. Tak ada satupun perempuan yang benar-benar rela untuk berbagi suami dengan perempuan lain."A ... De tadi cuman bercanda ... De gak mau lah jadi perebut suami orang, apalagi anak-anak Aa sekarang udah empat dan masih kecil-kecil. Pasti mereka akan sedih jika tau ibu mereka diduakan oleh Ayahnya," ujarku dengan sangat pelan agar tak menyinggung perasaannya."Aa tau ko. Dede bukan perempuan seperti itu. De bukan tipe perebut suami orang. Tapi asal Dede tau, sampe sekarang pun, dihati Aa masih ada nama Dede. De punya tempat khusus di dalam hati Aa," lirihnya.Air mataku mengalir seketika. Entah harus bahagia atau sedih. Tapi yang pasti, aku benar-benar tak bisa menjadi jahat pada perempuan lain hanya demi menuruti egoku sendiri.Jujur, aku sangat bahagia. Aku sangat bersyukur bisa menjalin komunikasi lagi dengan Izandra. Tapi aku masih punya perasaan sebagai seorang perempuan. Jika aku ada di posisi istri Izandra, aku akan sangat terluka saat tahu suamiku masih memikirkan perempuan lain dan bahkan membuatkan tempat khusus di hatinya.Aku akan berpikir seribu kali untuk merusak hubungan Izan dengan istrinya. Karena aku takut Allah akan murka kepadaku."A ...."Hening."Aa gak boleh kek gitu sama De. Biar gimanapun, kisah kita udah selesai, A. Udah gak bisa diperbaiki lagi. Sebenernya dengan seperti ini pun, De udah ngerasa berdosa banget sama istri Aa. Apa istri Aa tau kalau Aa suka chat Dede, bahkan sampai nelpon De kayak gini? Pasti istri Aa gak tau, kan?" tanyaku.Terdengar helaan nafas panjang darinya."Iya, istri Aa gak tau, De. Ini Aa pakai HP lain khusus buat temen-temen Aa. Bukan HP khusus keluarga dan kerjaan," cicitnya. "De gak usah khawatir, kita gak akan ketahuan suka komunikasi.""Ck!! Udah De duga dari awal. De mau komunikasi sama Aa, bukan berarti De mau balikan sama Aa. De cuma pure mau silaturahim sama Aa, gak lebih. Tapi kenapa Aa malah jadi kek gini? De gak enak sama istri Aa. De juga perempuan," kataku panjang lebar."Entahlah, De. Buat Aa, Dede itu beda. Bahkan asal De tau, tiap Aa lewat daerah rumah Dede, Aa selalu nyempetin buat bener-bener lewat didepan rumah Dede, Aa selalu berharap bisa ketemu Dede meskipun hanya sekilas. Bahkan Aa sering banget datengin taman tempat kita dulu sering ketemuan." Ada kegetiran yang terdengar dari nada suara Izandra. Aku bisa merasakannya."Aa sadar gak? Kita kek gini aja tuh udah salah. Jangan bikin De tambah ngerasa salah lagi dengan sikap Aa yang kek gini sama De. De takut De khilaf. Aa paham kan, sekarang Aa pimpinan pondok pesantren. Aa harusnya lebih tau bagaimana batasan antara 2 orang yang bukan mahram dalam berkomunikasi. Kita udah kelewat batas kek gini tuh, Aa!" Aku mulai menangis sesegukan."Aa tau dan Aa juga paham. Tapi, hati Aa gak bisa bohong, De. Bahkan hampir di setiap doa, Aa selalu minta sama Allah, buat menyatukan kita kelak di surga. Aa minta sama Allah agar De jadi Bidadari Surganya Aa kelak. Dan rasanya sakit banget, De. Apalagi pas Aa tau, De udah pisah dengan suami De. Hati Aa rasanya ikut sakit. Aa ikut khawatir sama De.""Cukup, A! Cukup!" ucapku. "Aku gak mau makin ngerasa bersalah seperti ini sama istri Aa. Please, De mohon. Kita bersikap biasa aja, A ... Komunikasi juga seperlunya jangan kayak gini. De gak mau jadi duri dalam keluarga Aa." Aku makin terisak."De ... Sebenernya, tahun lalu saat Aa tahu Dede udah pisah sama suami Dede dari Irene, Aa pernah minta ijin poligami sama istri Aa. Dan dia ... ternyata ngijinin."Aku kehilangan kata-kata mendengarnya.Kalau dikatakan kami keterlaluan. Ya, memang benar. Aku pun menyadarinya. Hanya saja ini kenyataannya. Kenyataan bahwa kami berdua masih terjebak dalam nostalgia masa lalu dan terjebak dengan cinta yang belum usai. Jika di katakan ini salah, memang benar ini semua salah. Aku takkan berkata bahwa aku benar. Jujur saja, aku tak ingin di cap pelakor. Tapi masalah hati siapa yang bisa mengaturnya kecuali Allah. Hanya saja, kita bisa menggunakan akal pikiran kita untuk menerima atau menolak hal yang akan berpengaruh baik atau buruk bagi kehidupan kita kedepannya. Semua dengan nafsu atau tidak. Seperti yang IzanIzandra katakan kemarin, bahwa istrinya mengijinkan dia berpoligami setahun yang lalu. Well ... Aku tak serta merta bahagia. Meski memang aku merasa ada sedikit harapan tapi aku takkan menyiram harapan itu agar semakin besar. Aku harus menguburnya. Apalagi saat aku memikirkan latar belakang kami yang sangat jauh berbeda. Aku yang notabene bukan lulusan pondok dan dia yang justru s
~Bagaimana aku bisa bahagia, sedangkan ada banyak hati yang harus aku jaga~Di sepertiga malam ini, aku bersimpuh di hadapan Rabb-ku. Meminta petunjuk, meminta ketenangan hati, dan meminta yang terbaik untuk kehidupan dunia dan akhiratku. Karena aku sadar, tak ada yang bisa memberi petunjuk selain Allah. Jujur, setelah perceraianku dua tahun kemarin. Aku menjadi memiliki keinginan untuk berhijrah. Terutama memakai hijab disetiap saat. Dan alhamdulillah atas kemudahan dari Allah dan dorongan dari orang-orang terdekatku, terutama sahabatku Irene yang lebih dulu berhijab syar'i, aku kini memantapkan hati memakai hijab. Awalnya aku ragu, tapi karena hati yang selalu saja gelisah akhirnya aku nekat berhijrah. Bermodal niat ingin memperbaiki diri karena Allah. Bahkan kalau bisa aku ingin langsung memakai cadar. Ah, mungkin itu akan aku pikirkan lagi kelak ketika aku sudah memiliki imam dalam rumah tanggaku.Aku sadar sekarang bahwa segala sesuatu itu harus atas kehendak Allah. Maka kini ak
PoV 3Indri terbangun dari tidurnya. Ternyata sehabis shalat istikharah tadi ia ketiduran di atas sajadah. Saat ia membuka mata, ia teringat akan mimpinya barusan yang seakan nyata. 'Apakah itu jawaban dari Allah bahwa semua akan baik-baik saja?' batinnya.Jujur di hatinya, dia masih merasa dilema dan bimbang. Banyak sekali pertimbangan yang dia pikirkan. Bahkan setelah beberapa hari ini dia rutin istikharah, ada banyak hal yang membuat dia justru semakin galau.Indri dan Izz selalu berkomunikasi tentang apa saja yang akan terjadi jika pernikahan mereka benar-benar menjadi kenyataan. Karena keduanya pun merasa bahwa jalan mereka tak mudah dan takkan ada yang tahu bagaimana rumitnya perasaan mereka saat ini.Satu sisi, Indri memang masih memiliki perasaan pada Izz, hanya saja di sisi lain, dia juga bimbang jika harus menyakiti hati istri pertama Izz. Tak ada wanita yang akan dengan sukarela berbagi suaminya dengan orang lain, pikir Indri. Kalau pun ada, maka orang itu pasti telah melal
Allah memudahkan kita mengambil keputusan yang sulit dengan cara meminta petunjuk kepadaNya lewat shalat istikharah. Dan itulah yang Izz dan Indri lakukan selama satu bulan ini. Setiap malam mereka melantunkan doa-doa agar diberikan petunjuk mana yang terbaik bagi hubungan mereka ke depannya.Bagi orang lain yang melihat apa yang mereka lakukan, mungkin akan berkata mereka sudah gila dan di butakan oleh cinta. Apalagi seorang Izandra yang notabene orang yang memiliki ilmu agama yang baik yang harusnya lebih bisa berpikir positif dan bijak dalam mengambil sikap. Bukan malah terlena dalam cinta yang belum usai. Padahal di mata orang awam, sekelas Kyai harus memiliki iman yang kuat, tak mudah goyah oleh hawa nafsu. Tapi apalah daya.. Izandra tetap lah seorang manusia yang memiliki hati, dia pikir siapa yang bisa membolak-balikan hatinya kecuali atas kehendak Allah. Itulah yang membuatnya yakin untuk melakukan istikharah selama satu bulan penuh, agar apa yang akan dia putuskan kini, adal
Di saat kita sudah merasa memiliki sesuatu, terkadang kita di paksa sadar bahwa hal tersebut nyatanya bukanlah milik kita. Apa yang kita jaga agar tak lepas dari genggaman, ternyata justru hanya titipan semata. Jangankan orang lain, anak kita, pasangan kita, orang tua kita, saudara kita, harta kita, bahkan diri kita sendiri pun semua hanya titipan yang sewaktu-waktu bisa saja di ambil kembali oleh Sang Pemilik Segalanya. Begitulah yang kira-kira Annisa rasakan saat ini. Rasa memiliki yang begitu dalam akan sang suami, Izandra. Membuat Annisa merasa sangat amat pilu ketika mendapati kenyataan bahwa dia harus berbagi segala apa yang ada pada suaminya itu dengan perempuan lain. Raganya, cintanya, hartanya, ilmunya, perhatiannya, tanggung jawabnya, semua seperti sebuah mimpi buruk yang membuat Annisa enggan untuk meyakininya sebagai kenyataan. Sayangnya semua bukanlah sebuah mimpi. Sang suami benar-benar berniat ingin membagi segala sesuatu yang selama ini Annisa sangka hanya u
"Maaf sebelumnya, A. Tapi aku gak mau menikah tanpa ijin dari Annisa," potong Indri mantap. Izz terkesiap mendengar kata-kata Indri. Dia sama sekali tak menyangka bahwa Indri akan mengajukan syarat seperti itu. "Ma-maksudnya gimana, De?" tanya Izz lesu. "Iyaa, aku gak bisa seperti itu. Kalau memang Annisa tak memberi ijin pada Aa untuk menikah sama aku, maka aku gak akan pernah mau menikah sama Aa." Indri berkata dengan pasti. Dia merasa bahwa pernikahan yang terjadi tanpa restu dari istri pertama tak akan pernah berjalan dengan baik ke depannya. "Aku gak mau kalau sampai nanti kita akhirnya ketahuan dan semua orang jadi menyudutkan kita. Apalagi jika sampai Viral. Semua ini aku lakukan untuk berhati-hati dan berjaga-jaga demi kebaikan kita ke depannya," ucap Indri lirih. "Tapi ... kita bisa menikah lebih dulu, lalu setelahnya kita bisa beritahu Annisa. Bukankah kalau kita sudah sah menjadi suami-istri, tak ada alasan untuk Annisa menolak lagi?" jawab Izz. Rencana Izz mema
Tak ada perempuan di zaman ini yang akan ikhlas berbagi suami. Meskipun ada, itu seperti satu butir berlian di tengah gurun pasir, sulit untuk menemukannya. Begitupun dengan Annisa. Sekuat apapun dia berusaha menerima, tapi tetap saja hatinya sakit. Dia masih belum bisa berdamai dengan kenyataan. Semalam setelah Izz pulang selepas isya dari Mesjid, Annisa akhirnya memutuskan untuk berbicara dengannya. "Bii ... Aku mau bicara," kata Annisa dengan ragu sambil menundukkan kepalanya. "Ya, ayo kita ke ruang kerja Abi," jawab Izz lembut. Sesampainya di sana, Izz langsung mempersilakan Annisa untuk bicara. Izz yakin Annisa akan memberikan keputusannya. Terlihat Annisa menarik nafas dalam dan dengan berat dia mengeluarkannya. Hening beberapa saat. Annisa merasa bingung harus mulai dari mana. "Jadi .... " Izz tak sabar menunggu istrinya bicara. "Aku mau kita pisah, Bii ...," ucap Annisa dengan suara serak seperti menahan tangis. Sontak saja Izz terkeju
Dua minggu berlalu, Annisa masih saja belum memberikan keputusannya. Sampai sang Ibu merasa heran, kenapa anak sulungnya ini, sudah dua minggu ini berada di rumahnya. Firasat seorang Ibu memang sangat kuat jika anaknya sedang mengalami suatu masalah. Hanya saja ia segan untuk ikut campur dalam kehidupan anaknya itu. "Nak ... Cerita sama Ibu, sebenarnya ada masalah apa antara kamu dengan suamimu? Sudah dua minggu kamu di sini, dan selama itu pula, suamimu tak pernah datang kesini untuk mengunjungi kalian. Pasti ada sesuatu yang terjadi di antara kalian kan?" tanya Ibu Annisa pagi ini selepas sarapan. Mereka masih duduk berdua di meja makan. "Em.. Gak ada apa-apa, kok, Bu ... Kyai mungkin lagi sibuk jadi gak sempet buat kesini." lirih Annisa. Tapi sang Ibu tetap bisa melihat ekspresi Annisa yang berbeda saat membahas sang Suami. Ibunya melihat Annisa tak seceria biasanya. Hanya saja, Ibu Annisa lebih memilih membiarkan Annisa menyelesaikan masalah rumah tangganya sendiri.
Dengan pertimbangan yang sangat panjang dan perdebatan yang alot antara ibu Indri dengan Gani kakaknya Indri, akhirnya setelah dua minggu Indri koma, keluarga memutuskan untuk menikahkan Indri dengan Izandra. Mereka agak khawatir dengan kondisi Indri yang belum mengalami perubahan. Mereka menjadikan pernikahan dengan Izandra adalah harapan terakhir Indri. Pertanyaannya adalah bagaiman jika saat Indri sadar nanti justru tidak setuju menikah dengan Izz? Di sini para keluarga, terutama orang tua Indri dan juga Annisa hanya memikirkan hal terburuk terlebih dahulu. Masalah kelak jika Indri bangun dan menolak pernikahan akan di pikirkan lagi ke depannya. "Saya terima nikah dan kawinnya Indria Saputri Binti Yanto Susanto dengan mas kawin yang tersebut, tunai!" ucap Izz lantang sambil menjabat tangan ayah Indri. Terdengar kata 'SAH' menyahut dari kedua saksi setelah Izz melafazkan ijab qabul nya. Ijab qabul di laksanakan di rumah sakit secara siri di ruangan VIP tem
Dengan pertimbangan yang sangat panjang dan perdebatan yang alot antara ibu Indri dengan Gani kakaknya Indri, akhirnya setelah dua minggu Indri koma, keluarga memutuskan untuk menikahkan Indri dengan Izandra. Mereka agak khawatir dengan kondisi Indri yang belum mengalami perubahan. Mereka menjadikan pernikahan dengan Izandra adalah harapan terakhir Indri. Pertanyaannya adalah bagaiman jika saat Indri sadar nanti justru tidak setuju menikah dengan Izz? Di sini para keluarga, terutama orang tua Indri dan juga Annisa hanya memikirkan hal terburuk terlebih dahulu. Masalah kelak jika Indri bangun dan menolak pernikahan akan di pikirkan lagi ke depannya. "Saya terima nikah dan kawinnya Indria Saputri Binti Yanto Susanto dengan mas kawin yang tersebut, tunai!" ucap Izz lantang sambil menjabat tangan ayah Indri. Terdengar kata 'SAH' menyahut dari kedua saksi setelah Izz melafazkan ijab qabul nya. Ijab qabul di laksanakan di rumah sakit secara siri di ruangan VIP
Seminggu Indri di rawat. Seminggu itu pula lah Annisa melihat banyak sekali cinta di mata suaminya untuk perempuan yang saat ini sedang terbaring koma itu. Izz pasti setiap hari menengok Indri. Dan karena takut Annisa cemburu, maka Izz mengajaknya setiap kali menjenguk Indri. Dia pikir hal tersebut akan membuat Annisa merasa di hargai oleh Izz, padahal justru semua itu membuat Annisa diam-diam memendam rasa sakit. Rasanya Annisa ingin menutup mata dari semuanya. Berharap jika semua yang dia lihat di mata Izz hanyalah perasaan buruk sangkanya saja. Tapi, ternyata tidak. Semua terlihat sama. Mata sendu itu, rasa khawatir itu, perhatian itu, semua sangat tulus dari mata sang suami. Sayang semua untuk perempuan lain. Bukan untuknya. Apalagi Izz seolah melupakan Annisa yang berada di sisinya saat Izz sudah bertemu dengan Indri, meskipun Indri hanya terbaring tak sadarkan diri. Izz seolah larut dalam kesedihan mendalam saat melihat cinta pertamanya itu lemah tak berdaya hingga tak
Ekspresi Izandra berubah panik setelah mendapat telepon dari seseorang. Orang tersebut mengabarkan bahwa Indri tertabrak mobil yang melaju kencang saat menyebrang jalan. Orang itu menghubungi nomor Izz terlebih dahulu, karena nama Izz yang ada di nomor kontak darurat di HP Indri yang di kunci tanpa adanya akses fingerprint. Dia mengabarkan bahwa Indri sudah di bawa ke RS terdekat untuk segera di tangani. Annisa yang melihat raut wajah Izz menegang langsung bertanya-tanya mengapa ekspresi suaminya berubah setelah menerima telepon. Suasana yang tadi hening setelah kepergian Indri, kini berubah menjadi tegang. Ya. Satu sisi Izandra khawatir dengan Indri, di sisi lain saat ini dia harus meluluhkan hati istrinya lagi. Jika sekarang dia pergi, maka Annisa pasti akan semakin marah, tapi jika dia tak pergi, dia kasihan terhadap Indri. Sedangkan dia tak tahu nomor keluarga Indri yang bisa dia hubungi. Akhirnya dengan segenap kekuatan, dia mencoba memberi pengertian pada Annisa.
Izandra tiba di kediaman mertuanya. Rumah ibunya Annisa. Dan tentu saja Indri ikut ke sana karena Indri lah yang memaksa Izz untuk menemui Annisa. Tadinya ibunya Indri akan ikut, tapi Indri melarangnya karena ia pikir ini adalah urusannya dengan Annisa. Indri memutuskan untuk menyerah. Dan Izz pun tak bisa memaksakan kehendaknya pada Indri. Segala keputusan Indri akan selalu Izz terima. Karena sedari awal pun Izz tak pernah memaksa untuk Indri bisa menerimanya. Apalagi sekarang justru rumah tangganya dengan Annisa malah di ujung tanduk. Izz sebisa mungkin akan berusaha mempertahankan rumah tangganya. Karena memang Izz tak pernah berniat untuk meninggalkan Annisa dan juga anak-anaknya. Itu adalah hal yang sangat mustahil Izz lakukan sekalipun Izz pernah egois memaksakan Annisa untuk menerima wanita lain di tengah mahligai rumah tangganya. Tapi di sudut hati Izz, Annisa masih tetap menjadi Ratunya yang takkan pernah Izz lepaskan. Tok! Tok! Tok! Izzandra mengetuk pin
Ada yang bilang takdir tentang jodoh itu pilihan. Kitalah yang harus memilih akan menerima orang yang masuk ke dalam hidup kita atau menolaknya. Tinggal pikirkan resiko ke depannya. Begitu katanya. Tapi ada juga yang percaya, bahwa jodoh, rejeki, maut, semua adalah rahasia Allah. Ibarat kata, sekuat apapun kita berusaha berjodoh dengan seseorang, jika Allah tak menghendakinya maka semua takkan pernah terjadi. Begitu juga ketika kita menolak untuk berjodoh dengan seseorang tapi jika Allah sudah berkehendak, maka kita akan tetap berjodoh dengannya. Entahlah.. Tinggal pilih saja mana yang kita yakini. Pilihan atau takdir. Begitupun dengan kisah Indri dengan Izandra. Bukan ingin indri untuk masuk ke dalam kehidupan rumah tangga Izandra. Sama sekali tak pernah terpikir olehnya, jika sekarang dialah yang menjadi duri di dalam rumah tangga orang lain. Tapi dia juga bimbang, tak tahu skenario seperti apa yang sedang Allah rencanakan untuknya. Beberapa hari ini Indri terus
Izz masuk ke dalam kamarnya di lantai dua setelah tadi dia menemani anak-anaknya bermain sebentar. Ia mengedarkan pandangannya mencari sang istri yang tak terlihat di sana. Dia berjalan menuju walk in closet, Annisa tak terlihat juga di sana. Lalu dia berjalan ke arah kamar mandi di seberang walk in closet. Izz sedikit menempelkan telinganya di depan pintu kamar mandi. Di sana terdengar gemericik air di dari dalam. Mungkin Annisa sedang mandi, pikir Izz. Sepulu menit, dua puluh menit, sampai hampir satu jam, Annisa sama sekali tak keluar dari dalam kamar mandi. Izz mulai merasa ada yang janggal. Ia kembali menuju pintu kamar mandi dan menempelkan telinganya di sana. Gemericik air tetap terdengar tapi seperti tak ada aktifitas apapun di dalamnya. Izz mencoba mengetuk pintu dan memanggil Annisa. Satu kali, dua kali, sama sekali tak ada jawaban. Dia mencoba memutar gagang pintu, tapi ternyata di kunci dari dalam. Izz mulai panik, berbagai pikiran buruk langsung berk
Indri duduk di Kafe Teras Biru sambil memainkan handphone nya dan menunggu sahabatnya datang. Semalam dia mengajak Irene untuk bertemu di kafe tersebut saat jam makan siang. Indri memindai isi Kafe tersebut yang di dominasi warna biru. Mulai dari cat dinding, warna lantai, hiasan-hiasan bahkan kursi dan mejanya pun dominan berwarna biru. Menu makanan di Kafe tersebut rata-rata adalah makanan kekinian, seperi aneka macam mie, seblak, bakso, dimsum, steak, ricebowl dan lain-lain. 'Tempatnya cukup enak buat nongkrong dan curhat,' pikir Indri. Beberapa menit kemudian Irene datang dan langsung memeluk Indri, mereka saling menanyakan kabar sambil cipika-cipiki. Setelah berbasa-basi mereka pun langsung duduk, Indri memanggil pelayan dan menyodorkan buku menu pada Irene, lalu mereka memesan 3 menu makanan dan dua minuman. Setelah pelayan pergi, Irene langsung menodong Indri dengan pertanyaan, "So... Gimana-gimana? Udah dapet keputusan?" tanya Irene, tapi Indri hanya tersenyum
"Tunggu! Aku ingin bicara," ucap Gani. Seketika Izz mengurungkan niatnya untuk pergi menyusul Annisa karena Gani meminta bicara dengannya. Izz menghela napasnya pelan. Kemudian mengangguk patuh. "Silakan duduk dulu," titah Gani. Izz merasa ada hawa intimidasi dari tatapan Gani kepadanya. Dan dia pun memaklumi juga menerima apapun konsekuensi yang akan dia terima. Gani duduk di seberang Izz di ikuti yang lainnya. Mereka diam beberapa saat sampai Gani membuka suaranya. "Jadi benar, kabar bahwa kamu akan menjadikan adik saya istri ke dua?" tanya Gani to the point. "A ... Please ... Jangan kek gini," bujuk Indri. Dia takut sekali sang kakak murka pada Izz. Tapi memang tak ada pilihan lain, dia harus membela Izz apapun yang terjadi. "Diam kamu!" sentak Gani. "Aa lagi ngomong sama dia! Kamu diam! Jangan ikut campur!" Gani membentak Indri dengan wajah merah menahan amarah. Ibunya Indri berusaha mendekat pada Indri dan memeluk putri kesayangannya it